11/07/2024
Di sudut kota yang sunyi, di bawah sinar matahari yang memudar, hiduplah Pak Fulan, seorang lelaki berusia lanjut yang menjalani kehidupan dengan tekad baja. Setiap pagi, dia mengayuh sepeda tua berkaratnya, membawa keranjang bambu yang penuh dengan krupuk renyah.
Pak Fulan adalah penjual krupuk keliling. Dengan kaki yang sudah tak sekuat dulu, dia menaiki sepedanya dan berkeliling kampung. Wajahnya keriput, tapi matanya masih menyala ketika dia menawarkan krupuknya kepada para tetangga. “Krupuk, beli krupuk!” serunya dengan semangat.
Setiap langkahnya adalah perjuangan. Sepeda tua itu kadang mogok di tengah jalan, dan Pak Fulan harus mendorongnya dengan susah payah. Namun, dia tidak pernah menyerah. Dia tahu bahwa krupuk yang dia jual adalah nafkah bagi keluarganya. Anak-anaknya sudah dewasa dan memiliki keluarga sendiri, tapi dia ingin tetap mandiri.
Pak Fulan mengenal setiap pelanggan dengan nama. Ibu Widya yang selalu membeli krupuk untuk cucunya, Pak Joko yang s**a krupuk pedas, dan Bu Siti yang selalu memberinya senyum hangat. Dia bukan hanya penjual, tapi juga teman bagi mereka.
Di sore hari, ketika matahari mulai terbenam, Pak Fulan kembali pulang. Dia menghitung uang hasil penjualan hari ini dengan hati berdebar. Setiap rupiah adalah keringatnya, setiap sen adalah doanya. Dia tahu bahwa hidupnya mungkin sederhana, tapi dia bangga dengan apa yang dia lakukan.
Pak Fulan adalah contoh nyata ketabahan dan semangat. Dia tidak pernah mengeluh tentang usianya yang menua atau sepedanya yang rusak. Baginya, mencari nafkah adalah tentang keberanian dan ketulusan. Dan ketika malam tiba, dia duduk di teras rumahnya, menatap langit dengan senyum. Dia tahu bahwa esok hari, dia akan kembali mengayuh sepeda tua itu, menjual krupuk, dan mengisi hidupnya dengan arti yang sebenarnya.