24/11/2025
"Kucing Keluyuran yang Pulang Kalau Lapar"
Ada banyak jenis kucing di dunia ini. Ada yang manja, ada yang penakut, ada yang anteng kayak boneka, ada juga yang hidupnya cuma makan–tidur–makan–tidur. Tapi di rumahku, aku punya satu kucing yang… yah, bisa dibilang punya jiwa petualang tingkat dewa.
Namanya Jowo.
Bukan karena dia berasal dari Jawa, tapi karena waktu aku nemuin dia pertama kali, dia duduk di atas motor tuaku yang mereknya “Jowo Star”. Nama itu nempel begitu saja.
Jowo ini tipe kucing yang punya majikan… tapi nggak pernah kelihatan kalau nggak ada maunya. Kalau kucing lain mungkin s**a manja, ngikutin majikannya kemana-mana, atau tidur di pangkuan, Jowo justru sebaliknya. Dia lebih s**a keluyuran entah ke mana, p**angnya cuma kalau lapar, itu pun sebentar kayak numpang ngecas batre.
Tapi anehnya, aku tau dia sebenernya sayang. Cuma gengsian.
Setiap pagi, aku bangun, buka pintu rumah, dan hal pertama yang aku lihat adalah… ketiadaan Jowo. Maksudnya, dia nggak pernah ada di rumah jam segitu.
Kalau malam sebelumnya dia tidur di teras, begitu subuh dikit dia udah cabut.
Kalau semalam dia nggak kelihatan sama sekali, besok paginya makin nggak kelihatan.
Pokoknya, Jowo itu seperti pegawai yang jam kerjanya nggak jelas.
Kadang aku mikir, dia ini peliharaanku atau peliharaannya tetangga satu kampung?
Wajahnya polos, bulunya belang kuning-cokelat, matanya tajem kayak lagi merencanakan sesuatu. Dia jalan selalu kayak punya tujuan, seolah dunia ini penuh misi penting yang harus dia selesaikan.
Aku pernah ngikutin dia sekali—penasaran.
Eh, ternyata dia cuma duduk di pagar tetangga, terus nyantai bengong lima menit, terus pindah lagi ke rumah lain, terus tidur di kursi plastik depan warung sebelah.
Tidak ada misi penting.
Dia cuma… keluyuran buat gaya-gayaan.
Kebiasaan paling bikin aku gregetan adalah: Jowo cuma p**ang kalau lapar.
Biasanya dia muncul sekitar jam 11 siang atau jam 5 sore, tergantung mood. Pintu rumah aku buka sedikit, dan dari luar aku bakal lihat dia jalan santai—kayak seleb masuk ruangan konferensi pers.
Pelan, santai, muka datar.
Begitu masuk, hal pertama yang dia lakukan adalah duduk di depan mangkok makanan sambil melirik aku, seolah bilang:
“Bos… isi, bos. Saya cuma mampir nih.”
Dan tentu saja, aku isi.
Kadang sambil ngomel kecil:
“Kamu ya, p**angnya cuma kalau laper. Dasar kucing nggak tau diri.”
Tapi Jowo cuma sibuk makan, nggak peduli aku ngomel apa.
Habis makan?
Dia nggak pernah peluk, nggak pernah duduk manis di sampingku.
Nggak.
Dia cuma ngebersihin mulut sebentar, ngulet, terus… cabut lagi.
Serius, rasanya kayak ditinggal gebetan setelah dia cuma minjem charger.
Karena kelakuannya yang s**a jalan tanpa tujuan, Jowo jadi dikenal semua orang di gang.
“Eh, kucingmu tadi tidur di gerobak sayur aku.”
“Jowo tadi ngintipin ayam saya, untung nggak dicakar.”
“Dia tadi main sama anak-anak di pos ronda.”
Kadang aku merasa Jowo ini kayak warga RT yang paling aktif bersosialisasi.
Pernah suatu sore hujan turun deras banget. Tetangga depan rumah bilang:
“Bang, si Jowo numpang ngadem di rumah saya, tuh. Kayaknya takut hujan.”
Aku langsung datang.
Pas aku muncul, Jowo yang tadinya meringkuk di atas kardus langsung meong kecil—bukan karena kedinginan, tapi kayak baru ketahuan selingkuh.
Aku bawa p**ang, keringin pakai handuk.
Lima menit setelah hangat… dia minta keluar lagi.
Aku cuma bisa geleng-geleng.
Jowo memang keluyuran ses**a hati, tapi ada satu hal yang selalu bikin aku luluh: dia selalu p**ang kalau ada apa-apa sama dirinya.
Pernah suatu malam, dia p**ang dengan kaki sedikit pincang. Badannya lecet, kayak habis berantem sama kucing lain. Dia lompat ke pangkuanku, ngeong kecil—padahal dia biasanya cuek banget.
Aku ambil obat, bersihin luka-lukanya pelan-pelan. Dia diam, nggak melawan, padahal kalau disisir aja biasanya dia protes.
Waktu itu aku baru sadar satu hal:
Dia mungkin keluyuran sejauh apa pun, tapi tempat aman buat dia tetap rumah ini.
Setelah aku obati, dia tidur lama banget di dekatku. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Jowo tidur nempel kakinya di kakiku.
Besoknya dia sehat, dan tentu saja… langsung keluyuran lagi.
Aku ketawa.
“Ya sudah lah, namanya juga hidupmu.”
Kadang aku tidur jam satu atau dua pagi. Dan sering banget, di jam-jam segitu, kedengeran suara:
“Krak… krak…”
di pintu teras.
Itu bukan maling.
Bukan juga angin.
Itu Jowo, menggaruk pintu minta dibukain.
Kalau aku bukain, dia masuk kayak raja p**ang dari perang. Jalan pelan, ekor naik, muka sombong. Kadang ada dedaunan nyangkut di bulunya—tanda dia habis masuk semak-semak entah di mana.
Begitu masuk rumah, dia cuma keliling lima detik, ngecek sudut-sudut kayak sedang inspeksi. Setelah itu… keluar lagi.
Iya, keluar lagi.
Kayak cuma mampir buat bilang: “Aku hidup kok, jangan kangen.”
Kalau dia bisa ngomong, pasti dia bakal bilang:
“Aku sibuk nih, nanti sore aku mampir makan.”
Walaupun dia jarang banget manja, ada beberapa momen kecil yang bikin aku yakin dia sayang.
Kadang, pagi-pagi banget sekitar jam lima, waktu aku duduk di teras sambil minum teh, Jowo tiba-tiba datang. Dia duduk di bawah kursiku, diem aja. Nggak minta makan, nggak minta dielus. Cuma duduk.
Kadang dia ngegosok sedikit kepalanya ke kakiku, lalu pergi lagi.
Atau kalau malam aku duduk di depan TV sambil makan mie, Jowo tiba-tiba masuk, duduk agak jauh, tapi matanya memperhatikan aku. Begitu aku selesai makan, dia pergi lagi.
Seolah cara dia bilang “Aku ada di sini kok,” tapi dengan jarak aman karena gengsinya tinggi.
Pernah aku pergi keluar kota tiga hari. Waktu aku p**ang, tetangga bilang:
“Bang, si Jowo nyariin kamu. Dia duduk di depan pintu rumahmu tiap sore. Biasanya keluyuran, tapi kemarin-kemarin dia diem terus.”
Aku kaget.
Jowo? Duduk diem di depan pintu?
Kapan pernah?
Begitu aku buka pintu rumah, Jowo datang dari arah gang. Jalannya cepat, meongnya kencang. Dia nempel di kaki—hal yang jarang banget dia lakukan.
Sorenya dia nggak pergi. Dia tidur dekatku sampai malam.
Besoknya?
Ya, tentu dia keluyuran lagi. Tapi yang kemarin itu cukup membuktikan:
Dia butuh aku.
Walaupun dia sok nggak peduli.
Waktu berjalan.
Jowo yang dulu energik mulai jarang pergi jauh. Jalannya lebih pelan. Kadang dia duduk lama di teras hanya menatap jalan.
Suatu sore, saat aku panggil namanya, dia datang pelan-pelan dan duduk di sampingku. Nggak minta makan, nggak minta dielus. Dia hanya… duduk.
Cuma itu.
Tapi buat aku, itu momen yang paling hangat.
Aku elus kepalanya. Dia meong kecil, suara yang lembut banget.
Dan malamnya, dia tidur di kamar untuk pertama kalinya dalam hidupnya.
Aku baru sadar:
Keluyuran itu cuma masa muda dia.
Pulang adalah rumahnya.
Dan rumah itu bukan bangunan—tapi aku.
Sampai sekarang, Jowo tetap kucing yang lebih s**a keluyuran. Tapi aku udah nggak kesel lagi. Karena aku tahu, dia pergi bukan karena nggak sayang. Dia cuma… punya jiwa bebas.
Dia hidup dengan caranya.
Dan dia sayang dengan caranya.
Setiap kali dia p**ang dengan meong kecil sebelum makan, aku selalu balas:
“Udah keliling dunia? Sini makan dulu.”
Lalu dia makan dengan lahap, ngulet, dan pergi lagi.
Aku cuma tersenyum.
Karena kadang, cinta itu bukan soal selalu ada di samping.
Tapi soal selalu tahu ke mana harus kembali.
Dan Jowo selalu kembali.
Meskipun cuma sebentar.