Pororo Quotes

Pororo Quotes Klik Tombol "S**A" Otomatis Kita Langsung Berteman ;)

"Kucing Keluyuran yang Pulang Kalau Lapar"Ada banyak jenis kucing di dunia ini. Ada yang manja, ada yang penakut, ada ya...
24/11/2025

"Kucing Keluyuran yang Pulang Kalau Lapar"

Ada banyak jenis kucing di dunia ini. Ada yang manja, ada yang penakut, ada yang anteng kayak boneka, ada juga yang hidupnya cuma makan–tidur–makan–tidur. Tapi di rumahku, aku punya satu kucing yang… yah, bisa dibilang punya jiwa petualang tingkat dewa.

Namanya Jowo.
Bukan karena dia berasal dari Jawa, tapi karena waktu aku nemuin dia pertama kali, dia duduk di atas motor tuaku yang mereknya “Jowo Star”. Nama itu nempel begitu saja.

Jowo ini tipe kucing yang punya majikan… tapi nggak pernah kelihatan kalau nggak ada maunya. Kalau kucing lain mungkin s**a manja, ngikutin majikannya kemana-mana, atau tidur di pangkuan, Jowo justru sebaliknya. Dia lebih s**a keluyuran entah ke mana, p**angnya cuma kalau lapar, itu pun sebentar kayak numpang ngecas batre.

Tapi anehnya, aku tau dia sebenernya sayang. Cuma gengsian.

Setiap pagi, aku bangun, buka pintu rumah, dan hal pertama yang aku lihat adalah… ketiadaan Jowo. Maksudnya, dia nggak pernah ada di rumah jam segitu.

Kalau malam sebelumnya dia tidur di teras, begitu subuh dikit dia udah cabut.
Kalau semalam dia nggak kelihatan sama sekali, besok paginya makin nggak kelihatan.

Pokoknya, Jowo itu seperti pegawai yang jam kerjanya nggak jelas.

Kadang aku mikir, dia ini peliharaanku atau peliharaannya tetangga satu kampung?

Wajahnya polos, bulunya belang kuning-cokelat, matanya tajem kayak lagi merencanakan sesuatu. Dia jalan selalu kayak punya tujuan, seolah dunia ini penuh misi penting yang harus dia selesaikan.

Aku pernah ngikutin dia sekali—penasaran.
Eh, ternyata dia cuma duduk di pagar tetangga, terus nyantai bengong lima menit, terus pindah lagi ke rumah lain, terus tidur di kursi plastik depan warung sebelah.
Tidak ada misi penting.
Dia cuma… keluyuran buat gaya-gayaan.

Kebiasaan paling bikin aku gregetan adalah: Jowo cuma p**ang kalau lapar.

Biasanya dia muncul sekitar jam 11 siang atau jam 5 sore, tergantung mood. Pintu rumah aku buka sedikit, dan dari luar aku bakal lihat dia jalan santai—kayak seleb masuk ruangan konferensi pers.

Pelan, santai, muka datar.

Begitu masuk, hal pertama yang dia lakukan adalah duduk di depan mangkok makanan sambil melirik aku, seolah bilang:

“Bos… isi, bos. Saya cuma mampir nih.”

Dan tentu saja, aku isi.
Kadang sambil ngomel kecil:
“Kamu ya, p**angnya cuma kalau laper. Dasar kucing nggak tau diri.”

Tapi Jowo cuma sibuk makan, nggak peduli aku ngomel apa.
Habis makan?
Dia nggak pernah peluk, nggak pernah duduk manis di sampingku.

Nggak.

Dia cuma ngebersihin mulut sebentar, ngulet, terus… cabut lagi.

Serius, rasanya kayak ditinggal gebetan setelah dia cuma minjem charger.

Karena kelakuannya yang s**a jalan tanpa tujuan, Jowo jadi dikenal semua orang di gang.

“Eh, kucingmu tadi tidur di gerobak sayur aku.”
“Jowo tadi ngintipin ayam saya, untung nggak dicakar.”
“Dia tadi main sama anak-anak di pos ronda.”

Kadang aku merasa Jowo ini kayak warga RT yang paling aktif bersosialisasi.

Pernah suatu sore hujan turun deras banget. Tetangga depan rumah bilang:

“Bang, si Jowo numpang ngadem di rumah saya, tuh. Kayaknya takut hujan.”

Aku langsung datang.
Pas aku muncul, Jowo yang tadinya meringkuk di atas kardus langsung meong kecil—bukan karena kedinginan, tapi kayak baru ketahuan selingkuh.

Aku bawa p**ang, keringin pakai handuk.
Lima menit setelah hangat… dia minta keluar lagi.

Aku cuma bisa geleng-geleng.

Jowo memang keluyuran ses**a hati, tapi ada satu hal yang selalu bikin aku luluh: dia selalu p**ang kalau ada apa-apa sama dirinya.

Pernah suatu malam, dia p**ang dengan kaki sedikit pincang. Badannya lecet, kayak habis berantem sama kucing lain. Dia lompat ke pangkuanku, ngeong kecil—padahal dia biasanya cuek banget.

Aku ambil obat, bersihin luka-lukanya pelan-pelan. Dia diam, nggak melawan, padahal kalau disisir aja biasanya dia protes.

Waktu itu aku baru sadar satu hal:
Dia mungkin keluyuran sejauh apa pun, tapi tempat aman buat dia tetap rumah ini.

Setelah aku obati, dia tidur lama banget di dekatku. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Jowo tidur nempel kakinya di kakiku.

Besoknya dia sehat, dan tentu saja… langsung keluyuran lagi.

Aku ketawa.
“Ya sudah lah, namanya juga hidupmu.”

Kadang aku tidur jam satu atau dua pagi. Dan sering banget, di jam-jam segitu, kedengeran suara:

“Krak… krak…”
di pintu teras.

Itu bukan maling.
Bukan juga angin.

Itu Jowo, menggaruk pintu minta dibukain.

Kalau aku bukain, dia masuk kayak raja p**ang dari perang. Jalan pelan, ekor naik, muka sombong. Kadang ada dedaunan nyangkut di bulunya—tanda dia habis masuk semak-semak entah di mana.

Begitu masuk rumah, dia cuma keliling lima detik, ngecek sudut-sudut kayak sedang inspeksi. Setelah itu… keluar lagi.

Iya, keluar lagi.
Kayak cuma mampir buat bilang: “Aku hidup kok, jangan kangen.”

Kalau dia bisa ngomong, pasti dia bakal bilang:

“Aku sibuk nih, nanti sore aku mampir makan.”

Walaupun dia jarang banget manja, ada beberapa momen kecil yang bikin aku yakin dia sayang.

Kadang, pagi-pagi banget sekitar jam lima, waktu aku duduk di teras sambil minum teh, Jowo tiba-tiba datang. Dia duduk di bawah kursiku, diem aja. Nggak minta makan, nggak minta dielus. Cuma duduk.

Kadang dia ngegosok sedikit kepalanya ke kakiku, lalu pergi lagi.

Atau kalau malam aku duduk di depan TV sambil makan mie, Jowo tiba-tiba masuk, duduk agak jauh, tapi matanya memperhatikan aku. Begitu aku selesai makan, dia pergi lagi.

Seolah cara dia bilang “Aku ada di sini kok,” tapi dengan jarak aman karena gengsinya tinggi.

Pernah aku pergi keluar kota tiga hari. Waktu aku p**ang, tetangga bilang:

“Bang, si Jowo nyariin kamu. Dia duduk di depan pintu rumahmu tiap sore. Biasanya keluyuran, tapi kemarin-kemarin dia diem terus.”

Aku kaget.
Jowo? Duduk diem di depan pintu?
Kapan pernah?

Begitu aku buka pintu rumah, Jowo datang dari arah gang. Jalannya cepat, meongnya kencang. Dia nempel di kaki—hal yang jarang banget dia lakukan.

Sorenya dia nggak pergi. Dia tidur dekatku sampai malam.

Besoknya?
Ya, tentu dia keluyuran lagi. Tapi yang kemarin itu cukup membuktikan:
Dia butuh aku.
Walaupun dia sok nggak peduli.

Waktu berjalan.
Jowo yang dulu energik mulai jarang pergi jauh. Jalannya lebih pelan. Kadang dia duduk lama di teras hanya menatap jalan.

Suatu sore, saat aku panggil namanya, dia datang pelan-pelan dan duduk di sampingku. Nggak minta makan, nggak minta dielus. Dia hanya… duduk.

Cuma itu.
Tapi buat aku, itu momen yang paling hangat.

Aku elus kepalanya. Dia meong kecil, suara yang lembut banget.

Dan malamnya, dia tidur di kamar untuk pertama kalinya dalam hidupnya.

Aku baru sadar:
Keluyuran itu cuma masa muda dia.
Pulang adalah rumahnya.
Dan rumah itu bukan bangunan—tapi aku.

Sampai sekarang, Jowo tetap kucing yang lebih s**a keluyuran. Tapi aku udah nggak kesel lagi. Karena aku tahu, dia pergi bukan karena nggak sayang. Dia cuma… punya jiwa bebas.

Dia hidup dengan caranya.
Dan dia sayang dengan caranya.

Setiap kali dia p**ang dengan meong kecil sebelum makan, aku selalu balas:

“Udah keliling dunia? Sini makan dulu.”

Lalu dia makan dengan lahap, ngulet, dan pergi lagi.

Aku cuma tersenyum.

Karena kadang, cinta itu bukan soal selalu ada di samping.
Tapi soal selalu tahu ke mana harus kembali.

Dan Jowo selalu kembali.
Meskipun cuma sebentar.

“Si Miko, Kucing Penunggu Bangku Taman"Di sebuah taman kecil di tengah kota, ada satu bangku kayu tua yang selalu menari...
24/11/2025

“Si Miko, Kucing Penunggu Bangku Taman"

Di sebuah taman kecil di tengah kota, ada satu bangku kayu tua yang selalu menarik perhatian. Bangkunya biasa saja—sedikit retak, catnya mengelupas, dan warnanya sudah pudar. Tapi ada satu hal yang membuat bangku itu terasa istimewa:

Seekor kucing loreng bernama Miko selalu duduk di sana setiap sore.

Miko bukan milik siapa pun. Orang-orang bilang dia kucing liar. Tapi sejujurnya, julukan “liar” itu tidak cocok untuk Miko. Dia terlalu sopan untuk disebut liar. Terlalu manis untuk disebut berandalan. Dan terlalu pintar untuk tidak punya peran.

Warga sekitar menyebutnya:
“Si Penunggu Bangku Taman.”

Awalnya hanya kebetulan.

Suatu sore, saat angin sepoi bertiup lembut, seorang nenek bernama Bu Reni duduk di bangku taman itu untuk beristirahat. Dia membawa sekantong kecil camilan kucing yang tak sengaja terbeli saat ia salah mengambil barang di minimarket.

Saat Bu Reni duduk, muncul seekor kucing loreng kecil dengan langkah pelan—seakan sangat yakin bahwa bangku itu adalah miliknya. Kucing itu duduk tepat di samping Bu Reni, tanpa ragu, tanpa takut.

“Hai, kamu,” kata Bu Reni sambil tersenyum.

Kucing itu menjawab dengan meong kecil yang sopan.

Bu Reni akhirnya memberi sedikit camilan itu. Kucing tersebut memakannya perlahan, tidak seperti kucing liar biasanya. Bahkan setelah selesai makan, dia tetap duduk manis, menemani Bu Reni sampai matahari terbenam.

Sejak hari itu, Miko selalu duduk di bangku itu. Dan lama-lama, semua orang tahu.

Miko memang punya kebiasaan unik:

Selalu duduk di bangku pukul 4 sore tepat, seperti sedang lembur kerja.

Tidak mau duduk di bangku lain, bahkan jika bangku itu lebih bersih.

Menegur burung yang terlalu dekat, tapi hanya dengan tatapan.

Mengeong sekali setiap kali seseorang duduk di sebelahnya, seolah menyapa.

Anak-anak taman sangat menyukainya. Mereka memanggil Miko dengan suara ceria:

“Mikoooooo! Lagi shift yaaa?”

Miko biasanya hanya mengedip perlahan.

Rupanya, itu sudah cukup sebagai jawaban.

Suatu hari, seorang remaja bernama Raka datang ke taman dengan wajah murung. Ia mengalami hari yang buruk di sekolah—berkelahi dengan teman, dimarahi guru, dan kehilangan pekerjaan paruh waktu.

Ia duduk dengan berat di bangku itu, kemudian baru sadar bahwa ada seekor kucing di sampingnya.

Miko menatapnya lama, tanpa bergerak.

“Apa liat-liat?” gumam Raka, setengah kesal.

Miko tidak tersinggung. Dia hanya menjulurkan kaki depannya dan menyentuh lengan Raka pelan—satu kali.

Raka terdiam.

Pelan-pelan, air matanya jatuh. Entah kenapa, sentuhan itu seperti memecah kesedihan yang ia tahan.

Miko kemudian naik dan duduk di pangkuannya, padahal biasanya ia hanya duduk di samping manusia.

Raka terkejut, tapi tidak mengusirnya.

“Makasih ya… kucing,” ucapnya lirih.

Sejak itu, setiap kali Raka punya hari buruk, ia akan datang ke bangku itu, dan Miko selalu duduk di sebelahnya.

Tanpa suara.
Tanpa menghakimi.
Hanya menemani.

Itu sudah cukup.

Suatu sore yang mendung, warga taman menyadari satu hal: Miko tidak terlihat.

Bangku itu kosong.

“Biasanya jam segini dia udah ada,” kata seorang ibu.
“Apa kehujanan?”
“Apa dia sakit?”

Bu Reni paling cemas. Ia berjalan mengelilingi taman, memanggil nama Miko.

“Mikooo… Mikooo…”

Tak ada jawaban.

Hujan turun. Angin bertiup. Pohon-pohon bergetar. Hari itu, semua orang p**ang dengan perasaan aneh—seperti ada yang hilang.

Keesokan harinya, bangku itu masih kosong.

Dan besoknya lagi.

Tiga hari berturut-turut.

Taman terasa sepi.

Anak-anak kehilangan teman. Orang tua kehilangan penghibur sore. Bahkan Raka, yang jarang bicara dengan orang lain, tampak gelisah dan mondar-mandir di dekat bangku.

“Dia kemana sih…” gumamnya.

Pada hari keempat, pagi-pagi sekali, Bu Reni membuka pagar rumahnya dan melihat sesuatu di depan pintu—

Miko.
Basah. Kurus. Lemah.
Matanya memohon.

“Oh, Nak…” Bu Reni langsung mengangkatnya.

Rupanya Miko terluka karena dikejar anjing besar di sekitar pasar. Ia sempat bersembunyi selama beberapa hari.

Bu Reni merawatnya dengan penuh kasih: mengeringkan bulunya, membersihkan lukanya, dan memberi makan sedikit demi sedikit.

Malam itu, Miko tidur di atas kain hangat, tenang seperti bayi.

Seminggu kemudian, tubuh Miko sudah lebih kuat. Pagi itu, tanpa aba-aba, Miko turun dari pangkuan Bu Reni dan berjalan ke arah taman.

“Sudah mau kerja lagi, kamu?” tanya Bu Reni sambil tertawa kecil.

Miko berjalan pelan namun pasti menuju bangku kayu favoritnya.

Saat warga melihatnya, suara sorak kecil terdengar:

“Miko balik!”
“Penunggunya sudah datang!”
“Wah akhirnya!”

Raka yang datang belakangan, terkejut melihat Miko duduk dengan tegap di bangkunya.

Pelan-pelan, ia duduk di sebelah Miko.

“Lo bikin orang satu taman kangen, tahu nggak?” katanya lirih.

Miko menatapnya, mengedip perlahan, lalu mengeong kecil.

Bangku itu terasa hidup lagi.
Taman terasa lengkap lagi.

Dan sejak hari itu, satu hal tidak pernah berubah:

Setiap sore jam 4, Miko kembali duduk di bangku yang sama, menjaga taman kecil itu dengan kesetiaan yang tidak pernah diminta—tapi sangat dihargai.

“Kopi Pagi Si Kucing Putih di Serambi Rumah”Setiap pagi, sebelum matahari muncul sempurna, ada satu ritual kecil di ruma...
24/11/2025

“Kopi Pagi Si Kucing Putih di Serambi Rumah”

Setiap pagi, sebelum matahari muncul sempurna, ada satu ritual kecil di rumah tua milik Bu Sinta: menyeduh kopi sambil ditemani seekor kucing putih bernama Lilo.

Lilo bukan kucing biasa. Bulunya putih bersih seperti kapas, tapi wajahnya selalu terlihat sedikit jutek—seolah-olah dia punya banyak pikiran yang jauh lebih berat dari manusia. Namun walaupun jutek, Lilo selalu duduk di kursi kayu sebelah kanan Bu Sinta, seperti ritual wajib.

“Pagi, Lo,” ucap Bu Sinta sambil menuang air panas.

Lilo menjawab dengan suara meong yang pelan, nyaris seperti gumaman.

Beberapa bulan yang lalu, Lilo ditemukan di bawah gerobak es jeruk milik tetangga. Saat itu hujan deras, petir menyambar, dan angin dingin membuat siapa pun ingin cepat p**ang. Bu Sinta yang hendak menutup pagar mendengar suara kecil.

Meong… meong…

Ia mengikuti suara itu, dan menemukan kucing kecil putih, gemetar, dan setengah basah. Bu Sinta mengangkatnya dan membawanya ke dalam. Ia mengeringkan bulu kucing itu dengan handuk dan memberinya makanan.

Sejak hari itu, kucing putih itu tidak pernah pergi.

Bu Sinta pun menamainya: Lilo.

Lilo, meski terlihat jutek, sebenarnya punya banyak kebiasaan lucu:

Selalu duduk saat Bu Sinta menyeduh kopi, seolah-olah ia juga menunggu kopi versinya.

Mengendus bunga melati di halaman, lalu bersin.

Tidak s**a jika ada orang asing membuka pintu, dan akan memandangi tamu itu dari ujung kaki sampai kepala.

Tidur di dekat sapu, entah kenapa.

Bu Sinta sering berkata, “Lilo ini aneh, tapi kamu lucu, Nak.”

Lilo memejamkan mata setiap kali kepalanya dielus.

Di sebelah rumah Bu Sinta, ada Pak Roni yang memelihara dua kucing hitam kembar. Kucing-kucing itu selalu mencoba merebut makanan Lilo. Tapi Lilo bukan tipe yang rela dibully begitu saja. Jika dua kucing hitam itu mendekat, Lilo akan berdiri tegak, mengangkat ekornya tinggi, dan mendesis.

Kucing-kucing itu pun mundur.

“Lilo, kamu kok sangar banget?” kata Bu Sinta sambil tertawa.

Tapi sebenarnya, setelah mereka pergi, Lilo akan kembali duduk sambil menyandar, seperti habis melakukan tugas berat.

Suatu hari, Bu Sinta mendapat pesan bahwa anaknya yang tinggal di kota akan p**ang. Ia sibuk menyiapkan makanan, membersihkan rumah, dan membeli bahan-bahan di warung. Karena sibuk, pagi itu Bu Sinta tidak sempat duduk di serambi untuk ritual kopi bersama Lilo.

Ketika Bu Sinta p**ang membawa belanjaan, ia melihat Lilo duduk di kursi kayu, menatapnya dengan ekspresi seperti:

“Loh, kamu ke mana? Ritual kopi kita mana?”

Bu Sinta tertawa kecil.

“Iya-iya, Lo, maaf. Aku sibuk banget.”

Lilo mendekat, menggesekkan tubuhnya ke kaki Bu Sinta. Dan untuk pertama kalinya, ia mengeong dengan suara yang agak panjang—seperti mengeluh.

Sore hari, rumah mulai ramai karena anak Bu Sinta sudah tiba. Saat semua orang sibuk bercerita, Lilo tidak terlihat di dalam rumah. Ia justru duduk sendiri di serambi, memandangi halaman.

Anak Bu Sinta melihatnya dan berkata, “Ma, Lilo kok sendirian? Dia nggak s**a ramai ya?”

Bu Sinta tersenyum lembut.

“Lilo itu anak rumahan, tapi dia nggak s**a keramaian. Dia lebih s**a tenang, kayak aku.”

Anaknya mengangguk. “Kucing yang mirip pemiliknya, ya.”

Tiba-tiba, terdengar suara gaduh dari arah pagar.

Seekor kucing liar besar masuk, mengendus makanan yang tertinggal di luar. Lilo langsung berdiri, ekornya mengembang. Kucing liar itu mendesis, menunjukkan taringnya.

Tanpa ragu, Lilo maju. Ia berdiri tepat di depan kucing besar itu, tidak mundur meski tubuhnya lebih kecil.

Bu Sinta yang melihat kejadian itu langsung keluar.

“Lilo, jangan!”

Tapi Lilo tetap tegap. Kucing liar itu akhirnya mundur dan kabur.

Saat semuanya aman, Lilo duduk di dekat kaki Bu Sinta, napasnya sedikit cepat.

Bu Sinta mengangkatnya dan memeluknya.

“Kamu tuh kecil tapi berani banget. Makasih ya, Lo.”

Setelah rumah kembali tenang, Bu Sinta duduk di serambi. Lilo melompat ke kursi sebelahnya dan menggulung tubuhnya menjadi bola kecil. Bulunya bersih, wajahnya damai.

Bu Sinta menatapnya dengan penuh kasih.

“Kita ini aneh ya, Lo. Dua-duanya s**a pagi, s**a kopi, s**a sepi, dan s**a duduk di sini.”

Lilo membuka mata perlahan, menatap Bu Sinta, lalu menempelkan kepalanya di tangan wanita tua itu.

Angin malam berhembus pelan, dan bintang-bintang mulai bermunculan. Rumah itu terasa hangat meski udara dingin. Seolah seluruh dunia hanya tinggal mereka berdua di serambi kecil itu.

Keesokan paginya, Bu Sinta bangun lebih awal. Ia duduk di serambi, menyiapkan kopi hitam kes**aannya.

Dan seperti biasa—dengan langkah pelan dan santai—Lilo datang, duduk di kursi sebelahnya, dan mengeong lembut.

“Pagi, Lo,” kata Bu Sinta.

Lilo mengeong pelan, kali ini lebih lembut.

Ritual kecil itu tetap hidup.
Hubungan sederhana antara seorang wanita tua dan kucing putih jutek yang diam-diam sangat setia.

Dan di rumah kecil itu, setiap pagi selalu dimulai dengan hal yang sama: kopi hangat, angin pagi, dan Lilo yang duduk menemani.

Karena kadang, kebahagiaan tidak perlu ramai.
Cukup dua makhluk yang saling menjaga dalam diam.

Kucing Malam yang Bikin Rumah Tetap HidupAda satu hal yang selalu bikin rumahku terasa “hidup”, bahkan kalau semua orang...
24/11/2025

Kucing Malam yang Bikin Rumah Tetap Hidup

Ada satu hal yang selalu bikin rumahku terasa “hidup”, bahkan kalau semua orang udah tidur: seekor kucing kecil bernama Buto. Namanya memang sangar, tapi badannya mungil kayak guling bayi, dan bulunya belang putih-abu yang kalau kena lampu malam jadi keliatan kayak hantu kecil berkeliaran.

Buto ini kucing yang aktifnya justru malam hari. Kalau siang dia kayak bantal—diam, empuk, dan nggak berguna. Tidur di sofa, tidur di rak TV, tidur di atas kulkas, tidur di bawah meja, pokoknya hidupnya kayak cuma punya satu misi: ngisi energi buat ngegas pas malam.

Dan tiap malam, hidupku diganggu… eh, maksudnya dihibur sama aksinya.

Setiap jam sembilan malam, lampu teras otomatis nyala. Dan begitu lampu menyala, Buto otomatis bangun dari tidur siangnya, kayak vampir yang dengar suara panggilan.

Dia jalan pelan-pelan menuju pintu, terus duduk di sana sambil ngintip keluar. Begitu aku buka pintunya, dia langsung keluar dengan gaya pahlawan anime—padahal cuma mau ngejar capung.

Lampu teras rumahku memang s**a ngundang serangga aneh-aneh. Ada capung kecil, ngengat sebesar jempol, serangga-serangga kecil yang kalau disorot kelihatan kayak bintang. Dan Buto… dia menganggap semuanya sebagai musuh bebuyutannya.

Kadang aku heran, capung-capung itu salah apa sampai tiap malam dikejar kayak maling dompet.

Biasanya, sebelum memulai aksinya, Buto akan melakukan hal yang selalu bikin aku geli: pemanasan.

Serius, dia kayak atlet lari: kaki depan diturunin, pantat naik, ekor goyang-goyang kecil. Matanya melotot, kuping tegak, hidung kembang-kempis. Dan begitu ada satu capung lewat…

Tweeeeng!
Dia loncat setinggi setengah pintu.

Kalau capungnya naik ke atas, dia ikut naik ke tembok. Kalau capungnya terbang ke kanan, dia sprint. Kalau capungnya muter-muter di lampu, dia ikut muter sampai aku pusing liatnya.

Kadang, aku juga ikutan tegang. Soalnya, setiap kali Buto udah siap loncat, aku deg-degan takut dia nabrak pot bunga yang baru kubeli. Dan tentu saja… itu sering kejadian.

Pot bungaku udah korban tiga kali.

Yang paling sering dikejar Buto bukan capung, tapi ngengat. Ngengat yang ukuran sayapnya cuma segede uang seratus rupiah, tapi kalau kena lampu warnanya putih-keperakan dan kelihatan banget.

Dan entah kenapa, Buto punya dendam pribadi sama ngengat.

Begitu ada satu ngengat mulai muter-muter lampu, Buto langsung berubah jadi ninja. Dia ngendap-endap, kakinya halus banget nggak ada suaranya. Terus dia loncat, terus jatuh, loncat lagi, jatuh lagi.

Kayak gagal mendarat tapi tetap semangat.

Ngengat itu tentu saja selamat. Yang jadi korban justru pintu, pot, sandal jepit, bahkan motorku pernah kena cakaran gara-gara dia loncat nggak nyampe.

Kadang aku keluar rumah cuma buat bilang:

“To, itu bukan maling. Itu cuma ngengat. Please… pelan dikit.”

Tapi dia cuma nengok sebentar, ngedip, seolah bilang:

“Tenang, bos. Biar saya yang urus.”

Terus lanjut rusuh lagi.

Selain capung dan ngengat, kadang ada serangga random yang muncul. Ada kumbang kecil, ada yang bentuknya kayak semut bersayap, bahkan pernah ada serangga yang aku sendiri nggak tau namanya. Bentuknya kayak jarum jalan.

Dan Buto, bukannya takut, malah kayak dapat hiburan baru.

Dia kadang cuma dudukin serangganya, bukan buat makan, tapi buat nunggu serangganya lari lagi. Begitu gerak dikit, dia kejar. Serangganya kabur, dia sambit pakai kaki, terus ngejar lagi.

Aku geleng-geleng. Kucingku ternyata gamer.

Seringkali aku duduk di kursi teras sambil ngopi karena insomnia. Dan tiap kali aku nongkrong di teras malam-malam, Buto makin semangat.

Dia pasti ngasih “show” lebih heboh.
Entah dia merasa didukung penonton atau gimana.

Kadang dia ngejar capung sampai ke kakiku. Kadang dia loncat, melayang, tapi jatuhnya pas di pangkuanku—yang tentu aja bikin aku kaget setengah mati.

Sering aku ngomel sambil dorong pelan-pelan:

“To, jangan jadi beban penonton lah.”

Tapi dia cuma ngelus-ngelus kakiku, terus lari lagi ngejar serangga lain.

Yang paling menyebalkan adalah… Buto s**a memulai babak kedua jam dua pagi.

Kalau serangga di luar sudah habis, dia balik ke dalam rumah dan muter-muter seperti setan kecil. Kadang dia naik ke meja makan, kadang naik ke rak buku, kadang lari dari ruang tamu ke dapur kayak sedang latihan sprint.

Dan kalau dia lihat ada bayangan kecil di dinding—entah itu bayangan kipas atau pantulan lampu—dia langsung mengira itu serangga.

Dia kejar.
Loncat.
Nabrak lemari.

Serius, kucingku malam hari kayak superhero tapi tanpa koordinasi mata.

Tapi ada kalanya, aku ketawa sendiri liat kelakuannya. Rumah yang tadinya sepi banget jadi ada hidupnya. Kayak ada anak kecil hiperaktif yang nggak kenal lelah.

Suatu malam, ada capung besar masuk ke teras. Ukurannya gede banget, kayak helicopter mini. Capung itu muter-muter lampu, dan Buto—yang lagi santai tiduran—langsung bangun kayak baru denger alarm perang.

Dia ngendap-endap, ambil posisi, pantat naik.
Terus… jreng!

Dia loncat setinggi-tingginya. Tapi bukan capung yang kena.
Yang kena justru dada aku yang kebetulan berdiri di dekatnya.

Aku teriak kecil, Buto juga kaget.
Terus… bukannya lari, dia malah berdiri tegak, balik badan, dan tetap ngejar capung itu. Seolah-olah tabrakanku barusan cuma kecelakaan kecil yang nggak penting.

Capungnya berhasil kabur.
Buto nggak puas.
Aku sakit dada.
Tapi aku ketawa juga.

Biasanya sekitar jam tiga atau setengah empat pagi, barulah Buto mulai melambat. Nafasnya ngos-ngosan, jalannya pelan, dan dia mulai ngedeketin aku buat minta dielus.

Aku biasanya lagi nonton video random atau minum teh hangat. Dan ketika Buto akhirnya naik ke pangkuanku, rebahan, dan mulai mengeong pelan, rasanya kayak lihat bocah nakal yang akhirnya capek.

Bulu kepalanya lembut dan badannya mulai hangat. Napasnya pelan—tanda dia siap masuk mode tidur sepanjang siang.

Kadang aku cuma elus sambil bilang:

“Udah ya, To. Serangganya istirahat, kamu juga istirahat. Besok malam lanjut lagi.”

Dan dia tutup mata, ngorok kecil, kayak balita.

Rumah jadi tenang lagi.
Dan walaupun aku sering terganggu tidur karena aksinya, aku merasa ada sesuatu yang hilang kalau Buto nggak rusuh malam-malam.

Apa yang bikin aku sayang banget sama Buto bukan cuma kelakuannya yang lucu, tapi juga cara dia bikin malam-malam sunyi jadi lebih hangat.

Rumah yang tadinya cuma ditemani suara kipas atau motor lewat, jadi penuh suara lari kecil, pantulan pot, dan sesekali suara “brak!” yang bikin aku panik.

Tapi anehnya…
Aku justru merasa lebih punya teman.

Buto mungkin nggak tidur malam.
Buto mungkin bikin rumah kayak arena permainan.
Buto mungkin bikin pot bungaku patah lagi nanti.

Tapi dia juga bikin hidupku lebih ramai dan lebih lucu.

Setiap kali lampu teras nyala, aku tahu satu hal:

Panggung dibuka, penonton siap, dan Buto… sudah menunggu untuk show berikutnya.

Dan aku?
Walaupun aku sering ngomel, sebenarnya aku selalu menunggu momen itu.

Karena hidup dengan kucing malam seperti Buto adalah hidup yang nggak pernah membosankan—bahkan di jam dua pagi.

“Abu, Penjaga Kedai Jus Kecil di Pojokan Pasar”Di sebuah sudut pasar kecil yang selalu ramai tiap pagi, ada sebuah kedai...
24/11/2025

“Abu, Penjaga Kedai Jus Kecil di Pojokan Pasar”

Di sebuah sudut pasar kecil yang selalu ramai tiap pagi, ada sebuah kedai jus sederhana milik Mbak Rara. Warungnya cuma terbuat dari papan kayu, atap seng, dan kipas kecil yang bunyinya kretek-kretek tiap kali berputar. Tapi meskipun sederhana, kedai jus itu selalu ramai karena Mbak Rara dikenal ramah dan jus buatannya segar.

Nah, di antara semua hal yang menarik dari kedai itu, ada satu yang paling mencuri perhatian para pelanggan: seekor kucing abu gemuk bernama Abu.

Abu bukan kucing biasa. Dia punya bulu abu-abu halus yang sering kusut karena kebiasaan tidurnya sembarangan. Matanya bulat dan malas, tapi kalau sudah mencium bau buah segar, dia langsung bangun seperti alarm hidup.

Sejak pagi buta, saat ayam bahkan belum sempat berkokok, Abu selalu datang ke kedai. Entah dari mana, pokoknya setiap hari dia muncul tanpa pernah absen. Mulai dari tidur di kursi plastik, nongkrong di bawah blender, sampai duduk manis di meja kasir—semuanya dia jajal.

Mbak Rara tahu betul bahwa kedainya mungkin akan terasa lebih sepi kalau tidak ada Abu. Karena itu, dia memanggil Abu dengan sebutan khusus: "Manajer Kedai Jus."

“Bos Abu sudah datang nih!” seru Mbak Rara setiap melihat Abu berjalan pelan, buntutnya ngegoyang ke kiri dan kanan.

Setahun yang lalu, saat baru mulai membuka kedai jus, Mbak Rara sering merasa sepi. Pelanggan baru sedikit, dan dia sering p**ang dengan bahan buah yang masih banyak. Suatu sore, ketika dia sedang mengemasi kedai, seekor kucing abu kurus muncul di depannya, matanya memohon.

Kucing itu mengeong lemah, seperti meminta sesuatu.

Mbak Rara yang waktu itu sedang makan potongan pepaya sisa, mengulurkan sedikit.

“Maumu pepaya?” katanya sambil tertawa kecil.

Yang mengejutkan, kucing itu langsung makan pepaya itu tanpa ragu.

“Eh, beneran s**a buah?” Mbak Rara manggut-manggut. “Ya sudah, kalau s**a, makan saja.”

Sejak hari itu, kucing abu itu selalu datang. Mbak Rara menamainya Abu, sesuai warna bulunya.

Dan dari hari ke hari, Abu makin akrab, makin sehat, makin gemuk, dan akhirnya jadi semacam ikon kedai jus.

Abu punya rutinitas harian yang sangat teratur:

Jam 06.00 – Duduk di bangku paling pojok, memantau bahan-bahan buah yang baru datang. Kadang sambil ngantuk.

Jam 07.00 – Mulai ronda. Jalan muter di bawah meja, ngecek apakah ada buah jatuh yang bisa dimakan.

Jam 09.00 – Saat kedai ramai, Abu tidur di atas kulkas kecil. Konon katanya, itu pos pantau terbaik.

Jam 11.00 – Waktunya minta jatah “gaji”: potongan kecil buah yang sudah matang banget. Favoritnya adalah semangka dan pisang.

Pelanggan pun sudah hafal.

Ada yang datang hanya untuk melihat Abu.

Ada yang foto-foto.

Ada p**a yang tanya, “Bu, Abu hari ini lagi shift nggak?”

Kalau Abu lagi tidur dan tidak muncul, pelanggan akan bilang, “Wah manajernya libur, ya?”

Dengan kehadiran Abu, kedai jus Mbak Rara perlahan-lahan jadi terkenal. Pelanggan anak sekolah s**a mampir karena ingin melihat tingkah Abu. Para ibu-ibu senam sering bawa cemilan kucing. Bahkan ada turis lokal yang pernah memotret Abu dan mengunggahnya ke media sosial hingga banyak yang penasaran.

Suasana kedai jus menjadi penuh canda.

Dan Mbak Rara sering bercanda,
“Abu ini harusnya saya gaji tiap bulan. Kalau nggak ada dia, kedai sepi!”

Abu hanya akan menjawab dengan ngeong pelan atau menguap lebar.

Suatu hari, badan Abu terlihat lesu. Biasanya dia akan menyambut Mbak Rara dengan ngeong panjang, tapi pagi itu Abu hanya duduk diam dan tidak menyentuh potongan semangka yang disiapkan.

“Abu, kamu kenapa?” tanya Mbak Rara dengan cemas.

Abu hanya berkedip lambat, seakan bilang “Aku capek.”

Karena khawatir, Mbak Rara membawanya ke klinik hewan terdekat. Dokter bilang Abu cuma kecapekan atau masuk angin ringan. Butuh istirahat.

Hari itu, kedai jus terasa sepi. Tidak ada Abu yang tidur di kulkas, tidak ada yang mengawasi blender, tidak ada yang minta buah. Pelanggan pun bertanya-tanya kenapa.

“Abu sakit ya?”
“Kasihan, semoga cepat sembuh.”
“Kalau Abu nggak ada, kedai ini beda rasanya.”

Sore hari, Mbak Rara membawa Abu p**ang ke rumahnya untuk dirawat sebentar. Itu adalah pertama kalinya Abu menginap di rumahnya.

Di malam sunyi, Abu tidur di dekat kaki Mbak Rara. Dan untuk pertama kalinya, Mbak Rara sadar bahwa kucing kecil itu bukan sekadar penghibur kedainya—Abu sudah jadi bagian dari hidupnya.

Tiga hari kemudian, Abu kembali sehat. Pagi-pagi sekali, Mbak Rara membawanya ke kedai.

Begitu pelanggan melihat Abu, semua bersorak kecil.

“Waaah Abu balik!”
“Manajer cuti tiga hari, pantas!”

Abu yang sudah sehat mengedipkan mata, lalu meloncat ke kursi favoritnya dan langsung tidur lagi.

Semuanya kembali seperti biasa.

Dan kedai jus itu terasa hidup kembali.

Suatu siang yang sangat panas, ada kejadian lucu: sebuah jeruk besar jatuh dari meja karena tersenggol pelanggan. Jeruk itu menggelinding ke arah Abu yang sedang tidur p**as.

Duk!

Abu terbangun kaget, bulunya sedikit mengembang seperti balon. Dia melihat jeruk itu, mendekat, mengendus, lalu menepuknya dengan kaki. Jeruk itu berguling pelan, dan entah kenapa Abu malah menganggapnya mainan.

Dia mengejar jeruk itu seperti bola.

Seluruh kedai tertawa.

“Abu, itu buat jus!” seru Mbak Rara sambil tertawa.

Tapi Abu tidak peduli. Dia terus mengejar jeruk itu sampai jeruknya pecah sedikit. Karena sudah tidak bisa dipakai, Mbak Rara akhirnya memberikan jeruk itu untuk dimainkan Abu sampai puas.

Sejak itu, pelanggan sering membawa mainan bola kecil sebagai hadiah.

Hampir setiap siang, segerombolan burung pipit akan datang dan mencoba mencuri potongan buah dari nampan. Abu sangat tidak s**a hal itu.

Setiap kali burung pipit hinggap, Abu akan langsung bangun, menatap tajam, lalu berjalan perlahan seperti ninja, mendekat tanpa suara.

Saat jaraknya sudah cukup dekat…

Hap!
Burungnya kabur, dan Abu kembali duduk dengan wajah bangga.

“Lho, Abu jadi satpam juga sekarang?”
“Ini kucing multi-talenta!”

Lagi-lagi Abu terlihat seperti tidak peduli, padahal dalam hati dia mungkin sedang merasa paling hebat se-pasar itu.

Suatu malam, hujan turun deras. Angin kencang membuat kedai jus goyang-goyang ringan. Biasanya Abu p**ang saat sore, tapi malam itu dia tidak terlihat.

Mbak Rara gelisah. “Abu kok nggak muncul ya? Biasa jam segini sudah p**ang.”

Dia membawa payung dan berkeliling kompleks pasar. Tapi Abu tidak ada. Mbak Rara panik. Hatinya tidak tenang.

Di pojokan pasar, dia mendengar suara ngeong kecil. Ia mengikuti suara itu sampai menemukan Abu terjebak di bawah tumpukan kardus basah, kedinginan, tubuhnya menggigil.

“Abuu… sini sayang…”

Dengan hati-hati, Mbak Rara mengangkatnya, membungkusnya pakai jas hujan, lalu membawanya p**ang. Malam itu, Abu tidur di atas bantal hangat, menyandar di lengan Mbak Rara.

Sejak malam itu, Mbak Rara memutuskan satu hal: Abu tidak boleh lagi tidur di pasar setiap hari. Dia harus tinggal di rumah.

Dan benar saja—Abu sangat betah.

Tapi yang menarik, setiap pagi pukul 06.00…
walaupun rumah Mbak Rara jaraknya lumayan jauh…
Abu selalu minta dibukakan pintu dan berjalan menuju pasar seperti biasa.

“Kamu nih, dedikasi banget jadi manajer kedai,” kata Mbak Rara sambil mengelus kepala Abu.

Kini, kedai jus di sudut pasar itu tidak pernah sepi. Pelanggan datang bukan hanya untuk minum jus segar, tapi juga untuk melihat Abu, sang kucing abu kesayangan penjual jus.

Abu sudah jadi legenda kecil.

Kucing yang dulu kurus dan sendirian, kini jadi bagian dari keluarga, penjaga kedai, penghibur pelanggan, dan sahabat setia Mbak Rara.

Dan setiap kali blender berbunyi, suara ngeong kecil juga terdengar, seakan Abu berkata:

“Jangan lupa bagianku, ya.”

Address

Kruengmane

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Pororo Quotes posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Pororo Quotes:

Share