Pororo Quotes

Pororo Quotes Klik Tombol "S**A" Otomatis Kita Langsung Berteman ;)

Sora adalah seekor kucing kampung yang penuh rasa ingin tahu. Bulunya abu-abu dengan corak belang samar, matanya bulat b...
18/12/2025

Sora adalah seekor kucing kampung yang penuh rasa ingin tahu. Bulunya abu-abu dengan corak belang samar, matanya bulat berwarna hijau, dan ekornya panjang selalu bergerak ke sana kemari. Ia tinggal bersamaku di rumah kecil di pinggir kota, dan setiap hari selalu menemukan hal baru untuk dijadikan petualangan. Pagi itu, matahari baru saja naik, udara masih segar, dan aku baru saja membeli sepasang sepatu baru. Sepatu itu kutaruh di depan pintu rumah, masih berkilau dengan bau kulit yang khas. Aku tidak pernah menyangka bahwa sepatu itu akan menjadi pusat cerita panjang tentang kelucuan Sora.

Begitu aku meletakkan sepatu di depan pintu, Sora langsung mendekat. Ia mengendus pelan, matanya berbinar, seolah menemukan harta karun. Aku hanya tersenyum, mengira ia akan sekadar mencium lalu pergi. Tapi ternyata tidak. Sora menunduk, memasukkan kepalanya ke dalam sepatu kanan, lalu perlahan tubuhnya ikut masuk. Dalam beberapa detik, separuh tubuhnya sudah berada di dalam sepatu. Aku terkejut, tapi juga geli. Sepatu itu jelas terlalu kecil untuk tubuh seekor kucing, tapi Sora memaksa, meringkuk, dan akhirnya berhasil masuk sepenuhnya. Dari luar, hanya ekornya yang menjulur keluar, bergerak-gerak seperti antena.

Aku tertawa melihatnya. “Sora, itu sepatu, bukan rumahmu,” kataku. Tapi Sora tidak peduli. Ia duduk di dalam sepatu, matanya setengah terpejam, wajahnya tampak puas. Seolah-olah sepatu itu adalah singgasana barunya. Aku mencoba mengangkat sepatu, tapi Sora mengeong keras, menolak keluar. Ia mencakar sedikit bagian dalam, lalu kembali meringkuk. Aku akhirnya membiarkannya, meski sepatu baruku kini penuh bulu abu-abu.

Hari-hari berikutnya, sepatu itu benar-benar menjadi rumah baru bagi Sora. Setiap pagi, ia masuk ke dalamnya, tidur di sana, dan keluar hanya untuk makan atau bermain. Kadang ia berpindah ke sepatu kiri, kadang ke sepatu kanan. Jika ada tamu datang, mereka harus rela melepas sepatu di luar, karena Sora sudah menempati salah satunya. Pernah seorang teman datang, melihat Sora di dalam sepatu, lalu berkata, “Kucingmu ini seperti penjaga rumah. Tidak ada yang bisa masuk tanpa izin.” Aku hanya tertawa, tapi dalam hati aku setuju.

Suatu sore, aku duduk di teras sambil membaca buku. Sora, seperti biasa, masuk ke dalam sepatu. Tapi kali ini ia tampak gelisah. Ia mengendus, mencakar, lalu keluar masuk berkali-kali. Aku bingung, lalu mendekat. Ternyata ada seekor cicak kecil yang masuk ke dalam sepatu. Sora berusaha menangkapnya, tapi cicak itu lincah, berlari keluar, lalu masuk lagi. Sepatu itu berubah menjadi arena perburuan. Aku melihat Sora melompat, mencakar, dan akhirnya duduk dengan wajah kesal karena cicak berhasil kabur. Aku tertawa terbahak-bahak, sementara Sora menatapku dengan mata penuh protes.

Malam harinya, aku mencoba memindahkan sepatu ke dalam rumah. Aku khawatir sepatu akan rusak jika terus di luar. Tapi Sora mengikuti, mengeong keras, lalu duduk di depan sepatu, menatapku tajam. Aku menyerah, membiarkan sepatu tetap di luar. Sejak saat itu, aku sadar bahwa sepatu itu bukan lagi milikku. Itu sudah menjadi milik Sora. Aku hanya pemilik resmi di mata toko, tapi Sora adalah pemilik sejati di mata rumah.

Suatu hari, hujan turun deras. Aku buru-buru mengangkat jemuran, sementara Sora berlari ke teras. Ia mendekati sepatu, tapi sepatu itu basah kuyup. Aku pikir ia akan meninggalkannya, tapi ternyata tidak. Ia masuk ke dalam sepatu yang basah, duduk di sana, dan mengeong pelan. Aku merasa kasihan, lalu mengambil sepatu dan mengeringkannya dengan handuk. Sora menatapku dengan mata penuh terima kasih, lalu kembali masuk. Aku tersenyum, merasa seperti pelayan pribadi yang bertugas menjaga singgasana raja kecilku.

Cerita semakin lucu ketika suatu pagi ada tamu datang. Tamu itu tidak tahu bahwa sepatu di depan pintu sudah ditempati Sora. Ia mencoba memasukkan kakinya ke dalam sepatu, dan tiba-tiba Sora keluar dengan wajah marah. Tamu itu terkejut, hampir jatuh, sementara aku tertawa terbahak-bahak. Sora duduk di depan sepatu, menatap tamu itu dengan mata tajam, seolah berkata, “Ini milikku, jangan macam-macam.” Tamu itu akhirnya masuk tanpa sepatu, dan sepanjang pertemuan ia terus menatap Sora dengan wajah waspada.

Hari demi hari, sepatu itu semakin penuh bulu. Aku mencoba membersihkannya, tapi Sora selalu kembali. Kadang ia membawa mainan kecil ke dalam sepatu, seperti bola kertas atau daun kering. Sepatu itu berubah menjadi rumah kecil dengan segala perabotan. Aku bahkan menemukan sepotong makanan kering di dalamnya. Sora benar-benar menjadikan sepatu itu sebagai dunia pribadinya.

Suatu malam, aku duduk di ruang tamu sambil menonton TV. Sora masuk ke dalam sepatu, lalu tiba-tiba mengeong keras. Aku mendekat, dan melihat ada seekor katak kecil yang masuk ke dalam sepatu. Sora tampak bingung, tidak tahu harus apa. Ia menatap katak itu, lalu menatapku, seolah meminta bantuan. Aku mengangkat sepatu, mengeluarkan katak, lalu mengembalikan sepatu ke tempatnya. Sora masuk lagi, duduk dengan wajah puas. Aku tertawa, merasa seperti penjaga keamanan yang bekerja untuk seekor kucing.

Waktu berlalu, dan sepatu itu semakin rusak. Bagian dalamnya sobek, warnanya pudar, dan baunya tidak lagi seperti kulit baru. Tapi bagi Sora, itu tetap rumah terbaik. Aku akhirnya membeli sepatu baru lagi, tapi kali ini aku langsung menyimpannya di lemari. Aku tidak ingin Sora mengklaimnya. Sepatu lama tetap di luar, menjadi rumah permanen bagi Sora. Kadang aku berpikir, mungkin aku harus membeli sepatu khusus hanya untuknya.

Suatu pagi, aku melihat Sora duduk di dalam sepatu sambil menatap matahari. Bulunya berkilau, matanya setengah terpejam, wajahnya damai. Aku merasa bahagia melihatnya. Sepatu itu mungkin sudah rusak, tapi telah menjadi bagian dari cerita hidup kami. Setiap kali aku melihatnya, aku teringat betapa sederhana kebahagiaan itu. Seekor kucing, sebuah sepatu, dan banyak tawa.

Cerita tentang Sora dan sepatu ajaibnya terus berlanjut. Kadang ia tidur di sana, kadang bermain, kadang marah jika ada yang mendekat. Sepatu itu bukan sekadar benda, tapi simbol persahabatan kami. Aku belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal besar. Kadang, kebahagiaan datang dari hal kecil yang tidak terduga—seperti kucing yang menemukan rumah di dalam sepatu.

Kini, setiap tamu yang datang selalu bertanya tentang sepatu itu. Aku hanya tersenyum dan berkata, “Itu bukan sepatu, itu rumah Sora.” Mereka tertawa, tapi aku tahu, bagi Sora, itu benar-benar rumah. Dan bagi aku, itu adalah cerita indah yang akan selalu kuingat. Karena di dalam sepatu itu, tersimpan kenangan tentang tawa, kebersamaan, dan cinta sederhana antara manusia dan kucing kecil bernama Sora.

"Si Opa dan Mesin Kasir yang Tak Pernah Sepi"Di sebuah Indomaret kecil di pinggir jalan, tepat di antara bengkel motor d...
18/12/2025

"Si Opa dan Mesin Kasir yang Tak Pernah Sepi"

Di sebuah Indomaret kecil di pinggir jalan, tepat di antara bengkel motor dan warung kopi, ada seekor kucing oren gemuk bernama Opa. Bulunya tebal dan sedikit kusut, dengan warna oren pucat seperti matahari sore. Opa bukan kucing resmi toko, tapi hampir semua orang yang pernah belanja di sana mengenalnya. Terutama satu orang: Mbak Rina, kasir yang selalu bertugas di shift sore.

Awalnya, Opa hanya kucing jalanan biasa. Ia sering duduk di depan pintu otomatis Indomaret, menunggu pintu terbuka setiap kali ada pelanggan masuk. Bukan karena ingin belanja, tentu saja, tapi karena dari dalam toko selalu keluar hawa dingin AC dan aroma makanan yang menggoda. Suatu sore, saat hujan turun deras, Opa masuk dan meringkuk di dekat rak minuman dingin. Mbak Rina melihatnya dari balik mesin kasir dan langsung merasa kasihan.

“Masuk aja, tapi jangan nakal ya,” katanya sambil tersenyum.

Sejak hari itu, Opa jadi pelanggan tetap—atau mungkin lebih tepatnya, penjaga tidak resmi Indomaret itu. Setiap sore, tepat sebelum Mbak Rina datang, Opa sudah duduk di depan pintu, menunggu. Begitu Mbak Rina muncul dengan seragam merah biru dan senyum lelahnya, Opa akan mengeong keras, lalu berjalan masuk mengikuti langkahnya.

Tempat favorit Opa adalah di bawah meja kasir. Di sana hangat, aman, dan dekat dengan Mbak Rina. Kadang ekornya menjulur keluar, membuat pelanggan hampir tersandung. Tapi bukannya marah, pelanggan justru tertawa.

“Lucu ya, kucingnya,” kata seorang ibu sambil menaruh belanjaan di meja kasir.
“Iya, Mbak. Ini karyawan favorit di sini,” jawab Mbak Rina sambil mengelus kepala Opa dengan kaki.

Opa punya kebiasaan aneh. Setiap kali mesin kasir berbunyi bip saat barcode discan, ia akan mengangkat kepala, lalu mendengkur. Seolah suara itu adalah musik pengantar tidurnya. Jika antrean panjang, Opa akan bangun dan berjalan ke depan, duduk tepat di dekat kaki pelanggan pertama, seakan mengawasi jalannya transaksi.

Mbak Rina sering membagi bekal makannya dengan Opa. Sedikit nasi, sedikit ayam, atau kadang sosis yang dipotong kecil-kecil. Ia tahu itu tidak selalu baik, tapi sulit menolak tatapan Opa yang memelas. Di sela-sela kesibukan melayani pelanggan, Mbak Rina sering berbicara pelan pada Opa, menceritakan capeknya berdiri seharian, target penjualan, atau rindu p**ang ke rumah yang sepi.

Opa hanya mendengarkan. Atau mungkin ia mengerti, dengan caranya sendiri.

Suatu malam, Indomaret itu hampir tutup. Pelanggan sudah sepi, dan Mbak Rina mulai menyapu lantai. Opa biasanya sudah tertidur p**as di bawah kasir. Tapi malam itu, Opa gelisah. Ia mondar-mandir, mengeong pelan. Saat Mbak Rina selesai dan mematikan sebagian lampu, Opa berhenti tepat di depan pintu, menolak keluar.

“Mau ikut p**ang?” tanya Mbak Rina setengah bercanda.

Opa mengeong lagi, lebih keras.

Malam itu, untuk pertama kalinya, Mbak Rina membawa Opa p**ang. Ia memberinya kardus, air minum, dan tempat tidur kecil dari kain bekas. Opa tidur di sudut kamar, dekat tas kerja Mbak Rina.

Keesokan harinya, Opa kembali ke Indomaret bersama Mbak Rina. Sejak saat itu, Opa bukan lagi sekadar kucing yang numpang berteduh. Ia resmi menjadi kesayangan Mbak Rina dan maskot kecil Indomaret itu. Semua pegawai mengenalnya, dan pelanggan sering mencarinya.

“Mana Opa hari ini?”
“Lagi shift malam kayaknya,” jawab Mbak Rina sambil tertawa.

Di balik bunyi mesin kasir, rak-rak penuh barang, dan kesibukan toko yang tak pernah benar-benar sepi, ada seekor kucing oren dan seorang kasir yang saling menemani. Opa mungkin tak tahu apa itu Indomaret, gaji, atau jam kerja. Tapi ia tahu satu hal: di dekat mesin kasir itu, ada tangan yang selalu mengelus kepalanya dengan penuh sayang.

"Tas Sekolah dan Jejak Kaki Kecil"Setiap pagi, sebelum aku berangkat sekolah, selalu ada satu ritual kecil yang tak pern...
18/12/2025

"Tas Sekolah dan Jejak Kaki Kecil"

Setiap pagi, sebelum aku berangkat sekolah, selalu ada satu ritual kecil yang tak pernah berubah. Aku akan menaruh tas sekolahku di sudut ruang tamu, tepat di samping rak sepatu. Dan seperti sudah hafal jadwal, seekor kucing abu-abu bernama Bimo akan datang menghampiri tas itu dengan mata berbinar, seolah tas sekolahku adalah mainan paling menarik di dunia.
Bimo bukan kucing mahal, bukan p**a kucing ras. Ia kucing kampung biasa yang bulunya abu-abu kusam dengan ekor agak bengkok di ujungnya. Tapi bagiku, Bimo adalah bagian dari rumah. Ia datang entah dari mana dua tahun lalu, saat hujan deras mengguyur sore hari. Sejak itu, ia tinggal bersama kami, tidur di teras, di kursi tua, dan—yang paling sering—di dekat tas sekolahku.
Begitu tas diletakkan, Bimo akan mulai aksinya. Ia mencium-cium tas itu, menggosokkan pipinya ke sisi tas, lalu menjatuhkan badan kecilnya di atasnya. Kadang ia menyelipkan kepalanya ke dalam tali tas, seolah sedang mencoba memakainya. Pernah suatu pagi, aku menemukan pensil dan penghapus berserakan di lantai. Rupanya Bimo berhasil membuka resleting tas dan “menyelamatkan” isinya satu per satu.

Awalnya aku sering kesal. Pernah buku tulisku terlipat, bahkan ada halaman yang tercakar. Pernah juga bekal makanku penyok karena Bimo tidur tepat di atas tas. Tapi setiap kali aku hendak marah, Bimo hanya menatapku dengan mata bulatnya yang polos, lalu mengeong pelan. Marahku selalu runtuh.
Ibu sering tertawa melihat tingkah kami.
“Bimo itu cuma mau ikut sekolah sama kamu,” katanya suatu pagi.
Aku mendengus, tapi diam-diam tersenyum.
Setiap sore sep**ang sekolah, tas itu kembali jadi milik Bimo. Saat aku meletakkannya, Bimo akan langsung melompat, menepuk-nepuk tali tas dengan kaki depannya. Ia menggigit ujung resleting, lalu berlari kecil sambil menyeret tas itu sedikit demi sedikit. Kadang aku ikut bermain, menarik tas dari satu sisi, sementara Bimo menarik dari sisi lain. Kami seperti sedang bermain tarik tambang kecil yang lucu.

Hari-hari berlalu, dan aku mulai terbiasa. Aku bahkan sengaja meninggalkan tas di lantai lebih lama, hanya untuk melihat Bimo bermain. Ada rasa hangat melihat betapa bahagianya ia dengan hal sederhana seperti tas sekolahku.
Suatu hari, aku p**ang sekolah dengan wajah murung. Nilai ujianku jelek, dan aku dimarahi guru. Aku melempar tas ke lantai dengan kasar, lalu duduk di sofa sambil menahan air mata. Bimo datang perlahan. Ia tidak langsung bermain seperti biasa. Ia mendekat, mencium tas itu sebentar, lalu meloncat ke pangkuanku. Kepalanya menyentuh dadaku, dengkur kecilnya terdengar pelan.
Saat itu, entah kenapa, air mataku jatuh. Bimo tetap di sana, diam, seolah tahu aku sedang sedih. Setelah aku agak tenang, barulah ia turun dan kembali memainkan tas sekolahku, seakan ingin menghiburku dengan tingkah konyolnya.
Sejak hari itu, tas sekolahku bukan lagi sekadar tempat buku dan alat tulis. Ia menjadi saksi persahabatan kecil kami. Tali tas yang sedikit berbulu karena gigitan Bimo, bekas cakaran halus di sisinya, dan resleting yang sering terbuka—semuanya terasa berharga.

Kini, setiap kali aku mengangkat tas untuk berangkat sekolah, Bimo akan mengeong pelan, lalu menepuk-nepuk tas itu dengan kaki depannya, seolah berkata, “Jangan lupa p**ang cepat.” Dan aku selalu menjawab dalam hati, “Tenang, Bimo. Tas ini milikmu juga.”

Karena di rumah kami, tas sekolah dan kucing kecil bernama Bimo telah menjadi dua hal yang tak terpisahkan.

"Jejak Kaki Kecil di Pematang Sawah"Setiap pagi, saat kabut masih menggantung rendah dan matahari belum benar-benar bang...
18/12/2025

"Jejak Kaki Kecil di Pematang Sawah"

Setiap pagi, saat kabut masih menggantung rendah dan matahari belum benar-benar bangun, ayah dan ibu sudah bersiap menuju sawah. Cangkul disandarkan di bahu ayah, topi caping ibu terikat rapi. Di belakang mereka, selalu ada satu sosok kecil yang tak pernah tertinggal—seekor kucing loreng bernama Gembul.

Gembul bukan kucing rumahan sepenuhnya. Ia lebih s**a menghabiskan waktunya di luar, berlarian di halaman, tidur di lumbung padi, dan mengikuti ayah ke sawah. Begitu ayah melangkah keluar rumah, Gembul akan mengeong pendek, lalu berlari mendahului, seolah ingin memastikan jalan menuju sawah aman.

Sawah adalah dunia bermain Gembul. Di pematang yang sempit, ia berjalan dengan hati-hati, menyeimbangkan tubuh kecilnya. Kadang ia terpeleset sedikit, lalu cepat-cepat bangkit dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Ayah sering tertawa melihat tingkahnya, sementara ibu hanya menggeleng sambil tersenyum.

Saat ayah mulai mencangkul tanah, Gembul akan duduk tak jauh, mengamati setiap gerakan. Tanah yang terbalik sering mengundang serangga kecil keluar, dan di situlah Gembul mulai berburu. Ia melompat, menepuk-nepuk tanah, lalu mengejar belalang atau capung yang terbang rendah. Jika gagal, ia hanya duduk dan menjilat kakinya, seolah tidak peduli.

Ibu biasanya menanam bibit padi sambil sedikit membungkuk. Gembul s**a ikut-ikutan, berjalan di antara barisan tanaman muda. Kadang ekornya menyentuh air sawah, membuatnya kaget dan meloncat kecil. Ibu sering mengingatkan, “Jangan jatuh, nanti basah semua,” meski tahu Gembul tak mengerti kata-katanya.

Saat matahari mulai naik dan panas terasa, ayah dan ibu beristirahat di bawah pohon kecil di tepi sawah. Bekal nasi dan sayur dikeluarkan. Gembul mendekat, duduk manis dengan mata berbinar. Ibu selalu menyisihkan sedikit ikan atau tempe untuknya. Gembul makan pelan, lalu merebahkan tubuhnya di atas tikar, tepat di antara ayah dan ibu.

Angin sore menggerakkan padi muda, membuat sawah tampak seperti lautan hijau. Gembul bangun lagi, berlari mengikuti bayangan burung yang melintas, lalu mengejar kodok kecil di pinggir sawah. Kadang ia berhenti mendadak, menatap jauh ke hamparan padi, seolah sedang menikmati pemandangan yang sama seperti ayah dan ibu.

Menjelang p**ang, Gembul kembali berjalan di depan. Jejak kakinya tertinggal samar di lumpur, lalu menghilang saat air menutupinya. Ayah dan ibu berjalan pelan, lelah tapi tenang. Mereka tahu, hari itu telah dilewati bersama—bekerja, tertawa kecil, dan berbagi kebersamaan sederhana.

Saat senja turun dan sawah mulai sunyi, Gembul akhirnya meringkuk di pangkuan ibu di beranda rumah. Bulunya masih sedikit basah dan berbau tanah. Ayah menyalakan rokok, ibu mengelus kepala Gembul, dan langit perlahan berubah warna.

Di antara kerja keras dan kehidupan yang sederhana, ada seekor kucing kecil yang ikut tumbuh bersama ayah dan ibu di sawah. Bermain, menemani, dan menjadi bagian kecil dari kebahagiaan yang tak pernah mereka minta, tapi selalu mereka syukuri.

"Penjaga Tidur Kakek"Setiap sore, ketika matahari mulai condong ke barat dan cahaya jingga menyelinap masuk melalui cela...
18/12/2025

"Penjaga Tidur Kakek"

Setiap sore, ketika matahari mulai condong ke barat dan cahaya jingga menyelinap masuk melalui celah jendela kayu, Kakek selalu duduk di kursi tuanya di ruang depan. Kursi itu sudah berderit dimakan usia, seperti tubuh Kakek sendiri, namun tetap setia menopang punggungnya yang mulai membungkuk. Di dekat kaki kursi itulah, seekor kucing abu-abu belang putih selalu menggulungkan tubuhnya. Namanya Biru.
Biru bukan kucing istimewa dari ras mahal. Bulunya tak selalu rapi, ekornya sedikit bengkok di ujung, dan telinga kirinya punya bekas sobekan kecil. Namun Biru punya kebiasaan yang tak pernah berubah: tidur di dekat Kakek. Ke mana pun Kakek pergi untuk beristirahat—di kursi ruang depan, di dipan bambu belakang rumah, atau di bale-bale dekat kebun—Biru akan mengikuti, lalu merebahkan diri sedekat mungkin.
Awalnya, tak ada yang menganggap kebiasaan itu istimewa. Kucing memang s**a tidur, dan Kakek pun s**a diam. Dua makhluk itu seolah cocok secara alami. Namun lama-kelamaan, keluarga mulai sadar bahwa Biru bukan sekadar tidur. Ia seperti menjaga

Jika Kakek terlelap terlalu lama, Biru akan bangun lebih dulu, duduk tegak, lalu menatap wajah Kakek dengan mata setengah terbuka. Sesekali ekornya bergerak pelan, seolah menghitung napas. Bila Kakek batuk atau mengerang kecil karena lututnya nyeri, Biru akan mendekat, menempelkan kepalanya ke kaki Kakek, lalu mendengkur pelan. Dengkur itu seperti lagu nina bobo yang tak bersuara keras, tapi terasa hangat.

Kakek sering tersenyum setiap kali membuka mata dan mendapati Biru di sana. Tangannya yang keriput akan bergerak perlahan, mengusap kepala kucing itu dengan sentuhan ringan. Biru jarang mengeong. Ia hanya merespons dengan mendengkur lebih kuat, seolah berkata, Aku di sini.
Biru datang ke rumah itu bertahun-tahun lalu, saat Kakek masih cukup kuat berjalan ke sawah setiap pagi. Suatu hari, Kakek p**ang dengan membawa anak kucing kurus yang basah kuyup karena hujan. Tanpa banyak cerita, Kakek hanya berkata, “Kasihan, tidur di parit.” Sejak saat itu, Biru tinggal.

Ketika usia Kakek bertambah dan langkahnya mulai melambat, kebiasaan tidur sore menjadi lebih panjang. Keluarga sering khawatir, tapi Kakek selalu berkata ia hanya ingin memejamkan mata sebentar. Biru selalu ada di sana, seolah memastikan “sebentar” itu benar-benar aman.

Suatu siang, Kakek tertidur di bale-bale belakang rumah. Angin berhembus pelan, daun pisang berdesir lembut. Biru tidur di sampingnya, perutnya naik turun mengikuti napas. Tiba-tiba, Biru terbangun. Ia berdiri, mendekat ke wajah Kakek, lalu mengeong pelan—sesuatu yang jarang ia lakukan.

Anak Kakek yang mendengar suara itu segera keluar. Ia mendapati Kakek masih tidur, namun napasnya terdengar berat. Mereka membangunkannya perlahan, memberinya minum, dan memastikan semuanya baik-baik saja. Sejak hari itu, tak ada lagi yang meremehkan keberadaan Biru di dekat Kakek.
Waktu terus berjalan. Rambut Kakek semakin putih, dan waktu tidurnya semakin sering. Namun setiap kali Kakek berbaring, Biru akan datang, mencari posisi paling dekat—kadang di kaki, kadang di samping, kadang tepat di bawah tangan Kakek yang menggantung.

Pada malam hari, ketika Kakek tidur lebih lama, Biru sering berpindah posisi mengikuti tubuh Kakek. Ia seolah tahu kapan harus mendekat dan kapan memberi ruang. Tak ada yang mengajarinya. Ia hanya melakukan apa yang terasa benar.
Bagi Kakek, kehadiran Biru adalah ketenangan. Dalam diamnya, kucing itu menjadi teman yang tak banyak bertanya, tak banyak menuntut. Cukup ada. Cukup dekat.
Dan bagi Biru, tidur di dekat Kakek bukan sekadar kebiasaan. Itu adalah caranya menjaga, caranya mencintai, caranya berkata bahwa selama Kakek memejamkan mata, ia akan tetap terjaga—meski hanya setengah, dengan dengkuran pelan dan tubuh kecil yang setia.

Di rumah tua itu, di antara waktu dan keheningan, ada persahabatan yang tak butuh kata-kata. Hanya tidur bersama, dekat satu sama lain, menunggu sore berganti malam dengan rasa aman.

"Si Ocil dan Semangkuk Mie Hangat"Di sudut dapur yang sempit, tepat di bawah rak bumbu yang sudah kusam, tinggal seekor ...
18/12/2025

"Si Ocil dan Semangkuk Mie Hangat"

Di sudut dapur yang sempit, tepat di bawah rak bumbu yang sudah kusam, tinggal seekor kucing belang abu-abu bernama Ocil. Ia bukan kucing rumahan sepenuhnya, bukan p**a kucing liar seutuhnya. Ocil adalah penjaga tak resmi dapur itu—datang dan pergi ses**anya, tidur di mana saja, dan memiliki satu kebiasaan aneh yang membuat semua orang menggeleng: ia sangat s**a makan mie.

Bukan mie mentah, bukan p**a mie dingin yang sudah kering. Ocil hanya tertarik pada mie yang masih hangat, beruap pelan, dengan aroma bawang goreng yang mengapung di udara. Setiap kali bunyi air mendidih terdengar dari panci, telinganya langsung tegak. Setiap kali bungkus mie dibuka, ekornya akan bergoyang seperti jam dinding yang terlalu bersemangat.

Dapur itu milik Bu Rini, seorang ibu yang membuka warung kecil di depan rumah. Warungnya sederhana: bangku kayu panjang, meja plastik, dan papan menu yang tulisannya sudah pudar. Tapi mie rebus Bu Rini terkenal di gang itu—kuahnya gurih, toppingnya pas, dan selalu disajikan dengan senyum. Dan tentu saja, selalu ditemani oleh Ocil yang duduk di dekat kaki pelanggan, menatap mangkuk mie dengan mata berbinar.

Awalnya, Bu Rini tidak sengaja memberi Ocil mie. Suatu malam hujan, listrik padam, dan warung sepi. Ocil masuk ke dapur, basah kuyup, lalu duduk di dekat kompor. Bu Rini yang iba, menyisihkan sedikit mie tanpa kuah, meniupnya agar tidak panas, lalu meletakkannya di piring kecil. Ocil mencium, menjilat, lalu memakannya dengan lahap—terlalu lahap, sampai kumisnya basah dan wajahnya tampak serius seperti sedang menjalankan tugas penting.

Sejak malam itu, Ocil yakin satu hal: mie adalah anugerah.

Setiap sore, saat matahari mulai condong dan pelanggan berdatangan, Ocil sudah siap di posisinya. Ia tahu waktu. Ia tahu suara. Ia tahu gerakan tangan Bu Rini saat menabur bumbu. Dan ia tahu, jika ia duduk rapi, tidak mengeong berlebihan, dan sesekali menggesekkan kepala ke kaki Bu Rini, mungkin—hanya mungkin—ia akan mendapat bagian.

Anak-anak di gang sering tertawa melihat tingkahnya. “Itu kucing apa manusia sih, Bu? Kok doyan mie?” kata mereka. Ocil tidak peduli. Ia hanya mengangkat dagu, menutup mata sebentar, lalu kembali menatap mangkuk-mangkuk yang keluar dari dapur seperti menatap masa depan.

Suatu hari, datang seorang pelanggan baru—seorang pria dengan jaket hitam dan raut wajah lelah. Ia memesan mie rebus, duduk diam, dan memperhatikan Ocil yang mendekat. Ocil duduk sopan, tidak menyentuh apa pun, hanya menatap. Tatapan itu lama, tenang, dan penuh harap.

Pria itu tersenyum kecil. “Kucingnya pinter ya, Bu.”

Bu Rini mengangguk. “Iya, tapi jangan dikasih banyak. Dia doyan mie.”

Pria itu tertawa, lalu menyisihkan sedikit mie di tutup mangkuknya, meniupnya, dan meletakkannya di lantai. Ocil mendekat perlahan, mencium, lalu makan dengan hati-hati. Setelah selesai, ia duduk kembali, menjilat kaki depannya, lalu menatap pria itu seolah mengucapkan terima kasih.

Sejak hari itu, pria berjaket hitam sering datang. Kadang sore, kadang malam. Selalu pesan mie. Selalu duduk di tempat yang sama. Dan selalu berbagi sedikit dengan Ocil. Mereka menjadi semacam teman—tanpa kata, tanpa janji.

Namun, kebahagiaan kecil itu sempat terganggu.

Suatu pagi, Bu Rini menemukan Ocil tidak ada di dapur. Tidak di bawah rak bumbu, tidak di bangku warung, tidak juga di halaman. Hari itu, warung terasa sepi meski ramai. Bu Rini gelisah. Ia memasak mie dengan perasaan tidak lengkap. Anak-anak bertanya, pelanggan menoleh, dan piring kecil Ocil tetap kosong.

Sore menjelang malam, hujan turun. Dan di tengah suara hujan, terdengar suara mengeong pelan dari depan warung. Bu Rini berlari keluar. Ocil datang tertatih, bulunya kotor, salah satu kakinya pincang. Tanpa berpikir panjang, Bu Rini mengangkatnya, mengeringkan bulunya, dan memeluknya erat.

Malam itu, Bu Rini tidak membuka warung. Ia memasak mie hanya untuk satu mangkuk kecil—tanpa bumbu berlebihan, tanpa kuah panas. Ia meniupnya lama, lalu menyuapkannya perlahan pada Ocil. Ocil makan sedikit demi sedikit, matanya setengah terpejam, tubuhnya hangat di pangkuan Bu Rini.

Sejak hari itu, Ocil tidak lagi tidur di bawah rak bumbu. Ia tidur di kotak kecil beralas kain, dekat dapur. Ia masih s**a mie, tentu saja. Tapi ia juga belajar satu hal baru: bahwa hangat bukan hanya datang dari semangkuk mie, tapi juga dari tangan yang menyentuh dengan sayang.

Warung Bu Rini tetap ramai. Ocil tetap duduk di dekat kaki pelanggan. Dan setiap kali semangkuk mie disajikan, aroma hangat itu tidak hanya mengisi perut, tapi juga mengikat cerita—tentang seekor kucing yang jatuh cinta pada mie, dan sebuah dapur kecil yang menjadi rumah.

"Manis di Ujung Lapak"Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar naik, sebuah gerobak buah sudah terparkir rapi di pinggi...
18/12/2025

"Manis di Ujung Lapak"

Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar naik, sebuah gerobak buah sudah terparkir rapi di pinggir jalan raya kecil yang menghubungkan pasar dan perumahan. Di atasnya tersusun semangka, pepaya, pisang, dan jeruk—semuanya tertata sederhana, tanpa spanduk mencolok. Tapi siapa pun yang sering lewat pasti mengenal satu hal yang selalu ada di sana: seekor kucing oren bernama Manis.

Manis adalah kucing kesayangan Pak Rahman, penjual buah yang sudah bertahun-tahun mangkal di tempat yang sama. Bulu Manis oren pucat, sedikit kusam, dengan ekor yang ujungnya bengkok. Ia tidak s**a berlari, tidak s**a mengejar burung, dan tidak pernah mencuri. Tugasnya satu: menemani.

Setiap Pak Rahman menggelar terpal dan menata buah, Manis akan duduk di atas kardus kosong, tepat di samping timbangan. Ia memperhatikan tangan Pak Rahman menimbang, mengikat plastik, dan menghitung uang kembalian. Sesekali, Manis berdiri, meregangkan badan, lalu duduk kembali, seolah memastikan semuanya berjalan seperti biasa.

“Ini kucing apa satpam ya, Pak?” canda pelanggan.

Pak Rahman hanya tersenyum. “Teman kerja,” jawabnya singkat.

Manis memang teman kerja yang setia. Saat siang terik, ia berteduh di bawah gerobak. Saat hujan turun tiba-tiba, ia bersembunyi di balik tumpukan peti buah. Dan saat lapak sepi, Manis akan mendekat ke kaki Pak Rahman, duduk rapat, berbagi bayangan dan keheningan.

Tidak banyak yang tahu, Manis bukan kucing yang datang begitu saja.

Dulu, Pak Rahman menemukan Manis kecil di pinggir jalan, tepat di dekat lapaknya. Anak kucing itu kurus, kotor, dan mengeong pelan di antara kulit jeruk yang berserakan. Pak Rahman yang baru saja kehilangan istrinya, berhenti sejenak. Ia menyisihkan sepotong pepaya matang dan meletakkannya di dekat anak kucing itu. Manis mencium, menjilat sedikit, lalu tertidur.

Sejak hari itu, Manis tidak pernah pergi.

Setiap sore, ketika dagangan hampir habis, Pak Rahman selalu memotong buah yang sudah terlalu matang untuk dijual—sedikit semangka, sedikit pepaya. Manis akan menunggu dengan sabar. Ia tidak pernah mendekat sebelum Pak Rahman memanggil pelan. Dan saat makan, Manis selalu rapi, tidak bercecer, seolah tahu buah-buah itu adalah hasil kerja keras.

Suatu hari, lapak Pak Rahman hampir tidak buka. Tubuhnya lemas, batuknya berat. Ia tetap datang, duduk di bangku kecil, dan menata buah seadanya. Manis tidak jauh darinya. Ia duduk lebih dekat dari biasanya, sesekali menatap wajah Pak Rahman.

Lapak sepi hari itu. Hampir tidak ada pembeli.

Menjelang sore, seorang ibu berhenti dan membeli banyak buah. Ia tersenyum melihat Manis. “Kucingnya lucu. Kelihatan sayang sama bapak,” katanya.

Pak Rahman mengangguk pelan. Setelah ibu itu pergi, Manis mendekat dan menggesekkan kepala ke lutut Pak Rahman. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Pak Rahman menepuk punggung Manis agak lama.

Kini, setiap orang yang lewat di pinggir jalan itu mengenal lapak Pak Rahman bukan hanya karena buahnya segar, tapi karena suasananya hangat. Ada kucing oren yang duduk setia, dan ada penjual buah yang tidak pernah benar-benar sendirian.

Di antara manisnya semangka dan pepaya, ada satu rasa lain yang tak dijual—rasa ditemani.

"Remah-Remah di Sudut Toples"Di rumah kecil berwarna hijau pucat itu, selalu ada aroma mentega yang hangat, terutama men...
17/12/2025

"Remah-Remah di Sudut Toples"

Di rumah kecil berwarna hijau pucat itu, selalu ada aroma mentega yang hangat, terutama menjelang sore. Bukan karena dapur sibuk setiap hari, melainkan karena di sudut lemari kayu, tersimpan toples-toples bening berisi kue kering: nastar berkilau selai nanas, kastengel keemasan, dan lidah kucing yang tipis rapuh. Di antara semua penghuni rumah, ada satu makhluk yang paling peka terhadap aroma itu—seekor kucing abu-putih bernama Piko.
Piko bukan kucing yang rakus. Ia pemilih, bahkan terkesan anggun. Ia bisa menolak ikan asin yang baru digoreng jika teksturnya terlalu keras, dan hanya mengendus ayam rebus tanpa tulang sebelum memutuskan menjilat. Namun, terhadap kue kering, Piko memiliki ketertarikan yang aneh. Bukan sekadar ingin mencicipi; ia menyukai bunyi halus saat kue patah, remah-remah yang menempel di kumisnya, dan rasa manis-asin yang samar.
Pertama kali Piko mencuri kue, itu terjadi tanpa sengaja. Ibu pemilik rumah—yang biasa dipanggil Bu Rini—lupa menutup rapat toples kastengel. Piko, yang sedang berjemur di lantai, mengangkat kepalanya. Aromanya seperti memanggil. Ia mendekat, mengintip dengan mata bulat penuh rasa ingin tahu, lalu menyelipkan kaki depannya. Krak. Sebuah kastengel patah. Piko terkejut, mundur, lalu menjilat remah yang menempel di lantai. Sejak saat itu, dunia Piko berubah.
Setiap sore, ketika matahari merayap masuk lewat jendela, Piko akan duduk di depan lemari, menatap toples-toples itu seolah menghitung waktu. Bu Rini sering tertawa melihatnya. “Kamu ini, Piko. Kucing apa tikus kue?” katanya sambil menggeleng. Meski begitu, Bu Rini tak pernah benar-benar marah. Ia hanya memindahkan toples ke rak lebih tinggi—yang tentu saja hanya membuat Piko makin kreatif.
Piko belajar mendengar. Ia tahu bunyi langkah Bu Rini ke dapur, tahu derit kecil kursi kayu yang biasa didorong ke dekat lemari saat Bu Rini mengambil kue untuk tamu. Piko juga belajar menunggu. Ia bukan pencuri kasar; ia pencuri yang sabar. Ia menunggu momen ketika toples terbuka, ketika Bu Rini teralihkan oleh tamu atau telepon, lalu dengan gerakan halus, Piko menyambar remah yang jatuh.
Suatu hari, menjelang Lebaran, dapur menjadi medan perang yang menyenangkan. Tepung beterbangan, loyang berjejer, dan Bu Rini sibuk dari pagi. Piko mondar-mandir, ekornya tegak, matanya berbinar. Hari itu, remah-remah kue berjatuhan lebih banyak dari biasanya. Bu Rini tahu Piko mengintai, tapi membiarkannya. “Asal jangan makan banyak, ya,” katanya seperti berbicara pada anak kecil.
Namun, kejadian tak terduga datang sore itu. Seorang tetangga membawa anak kecil yang penasaran. Anak itu melihat Piko dan berteriak, mengejar. Piko panik, melompat ke kursi, lalu—dug!—menabrak toples lidah kucing yang terbuka. Beberapa batang jatuh dan patah. Anak itu terdiam, Bu Rini terkejut, dan Piko membeku.
Hening sejenak. Piko menunduk, telinganya turun. Ia menunggu dimarahi. Tapi Bu Rini hanya menghela napas, lalu tertawa kecil. “Ya sudah,” katanya. Ia mengambil sapu, lalu menyisihkan beberapa remah ke piring kecil. “Ini bagianmu, Piko. Jangan takut.”
Piko mendekat pelan, mencium piring itu, lalu menjilat remah dengan hati-hati. Rasanya berbeda hari itu—bukan karena kue, melainkan karena perasaan aman. Sejak saat itu, Bu Rini punya kebiasaan baru: setiap kali kue dipanggang, selalu ada piring kecil berisi remah khusus untuk Piko.
Hari-hari berlalu. Piko bertambah dewasa, bulunya makin tebal, langkahnya tenang. Ia tak lagi mencuri. Ia menunggu di tempat yang sama, dan Bu Rini akan menaruh remah itu di sampingnya. Kadang, Piko hanya mengendus lalu pergi, memilih tidur di bawah meja. Kadang, ia makan sedikit, lalu menjilat kumisnya dengan puas.
Ketika Bu Rini jatuh sakit dan dapur menjadi sunyi, Piko yang paling setia. Ia duduk di dekat tempat tidur, sesekali ke dapur, menatap lemari yang kini tertutup rapat. Tak ada aroma mentega. Tak ada bunyi krak. Piko tak mencari kue; ia menunggu Bu Rini sembuh.
Beberapa minggu kemudian, aroma itu kembali. Lemah, tapi ada. Bu Rini tersenyum dari kursi, dan memanggil Piko. “Ayo, Nak.” Ia menaruh piring kecil di lantai. Piko mendekat, mencicipi remah pertama setelah lama. Ia mengangkat kepalanya, menatap Bu Rini, lalu menggesekkan tubuhnya ke kaki kursi.
Di rumah kecil itu, kue kering bukan sekadar camilan. Ia menjadi bahasa kasih yang sederhana—tentang menunggu, tentang berbagi, tentang remah-remah yang cukup untuk membuat seekor kucing merasa dicintai. Dan Piko, kucing yang s**a makan kue kering, belajar bahwa yang paling manis bukanlah rasanya, melainkan momen p**ang ke sudut lemari, ke aroma mentega, dan ke tangan yang selalu memberinya tempat.

Address

Kruengmane

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Pororo Quotes posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Pororo Quotes:

Share