18/12/2025
Sora adalah seekor kucing kampung yang penuh rasa ingin tahu. Bulunya abu-abu dengan corak belang samar, matanya bulat berwarna hijau, dan ekornya panjang selalu bergerak ke sana kemari. Ia tinggal bersamaku di rumah kecil di pinggir kota, dan setiap hari selalu menemukan hal baru untuk dijadikan petualangan. Pagi itu, matahari baru saja naik, udara masih segar, dan aku baru saja membeli sepasang sepatu baru. Sepatu itu kutaruh di depan pintu rumah, masih berkilau dengan bau kulit yang khas. Aku tidak pernah menyangka bahwa sepatu itu akan menjadi pusat cerita panjang tentang kelucuan Sora.
Begitu aku meletakkan sepatu di depan pintu, Sora langsung mendekat. Ia mengendus pelan, matanya berbinar, seolah menemukan harta karun. Aku hanya tersenyum, mengira ia akan sekadar mencium lalu pergi. Tapi ternyata tidak. Sora menunduk, memasukkan kepalanya ke dalam sepatu kanan, lalu perlahan tubuhnya ikut masuk. Dalam beberapa detik, separuh tubuhnya sudah berada di dalam sepatu. Aku terkejut, tapi juga geli. Sepatu itu jelas terlalu kecil untuk tubuh seekor kucing, tapi Sora memaksa, meringkuk, dan akhirnya berhasil masuk sepenuhnya. Dari luar, hanya ekornya yang menjulur keluar, bergerak-gerak seperti antena.
Aku tertawa melihatnya. “Sora, itu sepatu, bukan rumahmu,” kataku. Tapi Sora tidak peduli. Ia duduk di dalam sepatu, matanya setengah terpejam, wajahnya tampak puas. Seolah-olah sepatu itu adalah singgasana barunya. Aku mencoba mengangkat sepatu, tapi Sora mengeong keras, menolak keluar. Ia mencakar sedikit bagian dalam, lalu kembali meringkuk. Aku akhirnya membiarkannya, meski sepatu baruku kini penuh bulu abu-abu.
Hari-hari berikutnya, sepatu itu benar-benar menjadi rumah baru bagi Sora. Setiap pagi, ia masuk ke dalamnya, tidur di sana, dan keluar hanya untuk makan atau bermain. Kadang ia berpindah ke sepatu kiri, kadang ke sepatu kanan. Jika ada tamu datang, mereka harus rela melepas sepatu di luar, karena Sora sudah menempati salah satunya. Pernah seorang teman datang, melihat Sora di dalam sepatu, lalu berkata, “Kucingmu ini seperti penjaga rumah. Tidak ada yang bisa masuk tanpa izin.” Aku hanya tertawa, tapi dalam hati aku setuju.
Suatu sore, aku duduk di teras sambil membaca buku. Sora, seperti biasa, masuk ke dalam sepatu. Tapi kali ini ia tampak gelisah. Ia mengendus, mencakar, lalu keluar masuk berkali-kali. Aku bingung, lalu mendekat. Ternyata ada seekor cicak kecil yang masuk ke dalam sepatu. Sora berusaha menangkapnya, tapi cicak itu lincah, berlari keluar, lalu masuk lagi. Sepatu itu berubah menjadi arena perburuan. Aku melihat Sora melompat, mencakar, dan akhirnya duduk dengan wajah kesal karena cicak berhasil kabur. Aku tertawa terbahak-bahak, sementara Sora menatapku dengan mata penuh protes.
Malam harinya, aku mencoba memindahkan sepatu ke dalam rumah. Aku khawatir sepatu akan rusak jika terus di luar. Tapi Sora mengikuti, mengeong keras, lalu duduk di depan sepatu, menatapku tajam. Aku menyerah, membiarkan sepatu tetap di luar. Sejak saat itu, aku sadar bahwa sepatu itu bukan lagi milikku. Itu sudah menjadi milik Sora. Aku hanya pemilik resmi di mata toko, tapi Sora adalah pemilik sejati di mata rumah.
Suatu hari, hujan turun deras. Aku buru-buru mengangkat jemuran, sementara Sora berlari ke teras. Ia mendekati sepatu, tapi sepatu itu basah kuyup. Aku pikir ia akan meninggalkannya, tapi ternyata tidak. Ia masuk ke dalam sepatu yang basah, duduk di sana, dan mengeong pelan. Aku merasa kasihan, lalu mengambil sepatu dan mengeringkannya dengan handuk. Sora menatapku dengan mata penuh terima kasih, lalu kembali masuk. Aku tersenyum, merasa seperti pelayan pribadi yang bertugas menjaga singgasana raja kecilku.
Cerita semakin lucu ketika suatu pagi ada tamu datang. Tamu itu tidak tahu bahwa sepatu di depan pintu sudah ditempati Sora. Ia mencoba memasukkan kakinya ke dalam sepatu, dan tiba-tiba Sora keluar dengan wajah marah. Tamu itu terkejut, hampir jatuh, sementara aku tertawa terbahak-bahak. Sora duduk di depan sepatu, menatap tamu itu dengan mata tajam, seolah berkata, “Ini milikku, jangan macam-macam.” Tamu itu akhirnya masuk tanpa sepatu, dan sepanjang pertemuan ia terus menatap Sora dengan wajah waspada.
Hari demi hari, sepatu itu semakin penuh bulu. Aku mencoba membersihkannya, tapi Sora selalu kembali. Kadang ia membawa mainan kecil ke dalam sepatu, seperti bola kertas atau daun kering. Sepatu itu berubah menjadi rumah kecil dengan segala perabotan. Aku bahkan menemukan sepotong makanan kering di dalamnya. Sora benar-benar menjadikan sepatu itu sebagai dunia pribadinya.
Suatu malam, aku duduk di ruang tamu sambil menonton TV. Sora masuk ke dalam sepatu, lalu tiba-tiba mengeong keras. Aku mendekat, dan melihat ada seekor katak kecil yang masuk ke dalam sepatu. Sora tampak bingung, tidak tahu harus apa. Ia menatap katak itu, lalu menatapku, seolah meminta bantuan. Aku mengangkat sepatu, mengeluarkan katak, lalu mengembalikan sepatu ke tempatnya. Sora masuk lagi, duduk dengan wajah puas. Aku tertawa, merasa seperti penjaga keamanan yang bekerja untuk seekor kucing.
Waktu berlalu, dan sepatu itu semakin rusak. Bagian dalamnya sobek, warnanya pudar, dan baunya tidak lagi seperti kulit baru. Tapi bagi Sora, itu tetap rumah terbaik. Aku akhirnya membeli sepatu baru lagi, tapi kali ini aku langsung menyimpannya di lemari. Aku tidak ingin Sora mengklaimnya. Sepatu lama tetap di luar, menjadi rumah permanen bagi Sora. Kadang aku berpikir, mungkin aku harus membeli sepatu khusus hanya untuknya.
Suatu pagi, aku melihat Sora duduk di dalam sepatu sambil menatap matahari. Bulunya berkilau, matanya setengah terpejam, wajahnya damai. Aku merasa bahagia melihatnya. Sepatu itu mungkin sudah rusak, tapi telah menjadi bagian dari cerita hidup kami. Setiap kali aku melihatnya, aku teringat betapa sederhana kebahagiaan itu. Seekor kucing, sebuah sepatu, dan banyak tawa.
Cerita tentang Sora dan sepatu ajaibnya terus berlanjut. Kadang ia tidur di sana, kadang bermain, kadang marah jika ada yang mendekat. Sepatu itu bukan sekadar benda, tapi simbol persahabatan kami. Aku belajar bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari hal besar. Kadang, kebahagiaan datang dari hal kecil yang tidak terduga—seperti kucing yang menemukan rumah di dalam sepatu.
Kini, setiap tamu yang datang selalu bertanya tentang sepatu itu. Aku hanya tersenyum dan berkata, “Itu bukan sepatu, itu rumah Sora.” Mereka tertawa, tapi aku tahu, bagi Sora, itu benar-benar rumah. Dan bagi aku, itu adalah cerita indah yang akan selalu kuingat. Karena di dalam sepatu itu, tersimpan kenangan tentang tawa, kebersamaan, dan cinta sederhana antara manusia dan kucing kecil bernama Sora.