24/12/2025
Nikmat Sederhana Penopang Iman
Sering kali manusia mengukur kesejahteraan dengan angka, harta, dan pencapaian lahiriah, padahal tanda paling jujur dari hidup yang sejahtera justru hadir dalam kesunyian malam dan kesederhanaan pagi. Ketika seseorang dapat tidur tanpa obat, terbangun oleh satu suara, dan membuka mata tanpa selang medis di tubuhnya, sesungguhnya ia sedang berada dalam limpahan nikmat Allah yang sering luput disyukuri.
Pernyataan sederhana bahwa selama kita masih bisa tidur tanpa obat tidur, bangun hanya dengan satu bunyi suara, dan terjaga tanpa alat medis yang menempel di tubuh, adalah cermin jujur tentang kesejahteraan hakiki. Islam mengajarkan bahwa nikmat terbesar bukan semata harta, jabatan, atau pujian manusia, melainkan kesehatan, ketenangan, dan kesempatan hidup dalam kesadaran iman. Banyak manusia baru memahami arti nikmat ketika nikmat itu dicabut, ketika malam terasa panjang karena nyeri, dan pagi datang bersama ketakutan. Padahal Allah sejak awal telah mengingatkan bahwa nikmat-Nya meliputi segala sisi kehidupan manusia, bahkan pada hal-hal yang dianggap biasa.
Allah Taala berfirman:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Artinya: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari nikmat.” (QS. Ibrahim: 34)
Tidur yang nyenyak tanpa bantuan obat adalah tanda bahwa sistem tubuh bekerja dengan izin Allah. Bangun hanya dengan suara alarm atau azan Subuh menandakan kesadaran dan daya hidup masih utuh. Tidak adanya alat medis di tubuh saat terjaga menunjukkan bahwa Allah masih memberi kesempatan hidup dengan tubuh yang berfungsi normal. Semua ini adalah kesejahteraan yang sering tidak tercatat dalam laporan ekonomi, tetapi dicatat oleh langit sebagai nikmat besar yang menuntut syukur.
Rasulullah ﷺ menegaskan hakikat kecukupan hidup dalam sabdanya:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
Artinya: “Barang siapa di antara kalian pada pagi hari merasa aman di tempat tinggalnya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seakan-akan dunia telah dikumpulkan baginya.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan bahwa aman, sehat, dan tercukupi kebutuhan dasar sudah cukup menjadikan seseorang sebagai manusia yang sejahtera. Tidur tanpa obat dan bangun tanpa alat medis adalah bagian dari kesehatan yang dimaksud Rasulullah ﷺ. Sayangnya, manusia sering menunda syukur hingga nikmat itu berubah menjadi ujian.
Al-Qur’an juga mengingatkan bahwa siang dan malam adalah karunia yang mengandung tanda bagi orang yang berpikir:
وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا، وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا، وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
Artinya: “Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai penutup, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba’: 9–11)
Tidur adalah ibadah pasif ketika diniatkan sebagai sarana menjaga amanah tubuh. Bangun tidur adalah kesempatan baru untuk taat. Karena itu Rasulullah ﷺ mengajarkan doa saat terbangun:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَحْيَانَا بَعْدَ مَا أَمَاتَنَا وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kami setelah mematikan kami, dan kepada-Nya kebangkitan.” (HR. Bukhari)
Doa ini mengingatkan bahwa bangun tidur adalah miniatur kebangkitan, sebuah tanda bahwa hidup masih berlanjut dan amal masih bisa ditambah. Orang yang bangun tanpa selang oksigen, tanpa infus, tanpa monitor jantung, sejatinya sedang menerima amanah besar untuk menggunakan kesehatannya dalam ketaatan.
Allah Taala berjanji bahwa syukur akan melahirkan tambahan nikmat:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
Artinya: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu memaklumkan, jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)
Syukur bukan hanya ucapan, tetapi kesadaran mendalam bahwa hidup yang tampak biasa sesungguhnya luar biasa. Menggunakan tubuh yang sehat untuk salat, menolong, bekerja halal, dan menjaga lisan adalah wujud syukur sejati. Sebaliknya, melalaikan nikmat kesehatan dengan maksiat adalah bentuk kufur nikmat yang halus namun berbahaya.
Rasulullah ﷺ juga mengingatkan tentang dua nikmat yang sering dilalaikan:
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ: الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Artinya: “Dua nikmat yang banyak manusia tertipu padanya, yaitu kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari)
Tidur nyenyak dan bangun sehat adalah pintu dari nikmat kesehatan dan waktu. Siapa yang menyadarinya akan hidup dengan rendah hati dan penuh ketaatan. Siapa yang mengabaikannya akan tersadar ketika nikmat itu berganti dengan ranjang rumah sakit dan doa-doa panjang dalam kesakitan.
Maka kesejahteraan sejati adalah ketika manusia mampu membaca tanda-tanda kecil nikmat Allah dalam hidupnya. Selama mata masih bisa terpejam tanpa obat, telinga masih peka pada satu suara, dan tubuh masih bebas dari alat medis, itu adalah seruan lembut dari Allah agar kita lebih banyak bersyukur, lebih sungguh beribadah, dan lebih bijak memaknai hidup sebelum nikmat itu berubah menjadi kenangan.