14/12/2025
(4) “Aku hanya bertanya, Mi. Lagian kalau sampai apa yang aku pikirkan benar, lihat saja, aku tidak akan tinggal diam,” kata Feli, lalu melenggang pergi dari hadapan ibu mertuanya.
“Hei, jangan lupa masak! Aku lapar!” teriak Bu Dona mengingatkan Feli.
Feli hanya mengendikkan bahu, bukan bermaksud ingin melawan ibu mertuanya. Tapi ia juga butuh dihargai di rumah itu. Feli menjatuhkan tubuh di kasurnya, ia memainkan ponsel dan membuka galeri, melihat foto-foto Rafan ketika masih bayi.
“Ya Allah, kenapa hati ini rasanya gelisah sekali? Aku masih saja memikirkan anak itu. Wajahnya sangat mirip dengan Mas Ghata juga Rafan. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa aku pikirikan. Azka anak kandungku, atau Azka anak hasil perselingkuhan Mas Ghata dengan wanita lain.”
Hatinya berdenyut sakit, merasakan sesak yang tak beralasan. “Tapi apa mungkin Mas Ghata tega mengkhianatiku?”
Feli memejamkan sejenak matanya untuk beristirahat. Namun semua ketenangan itu sirna saat Bu Dona menggedur kamarnya.
“Fel! Feli! Bukannya masak malah tidur!” teriak Bu Dona di luar kamar.
Feli mengerjapkan mata, mengembuskan napas berat lalu berjalan ke arah pintu dengan gontai.
“Mi, aku sedang tidak enak badan. Kalau Mami lapar Mami bisa pesan makanan online, atau minta Bi Marni membuatkan apa yang Mami mau. Di sini aku bukan pembantu.” Feli sudah mu ak dengan segala drama ibu mertuanya.
Walau ia juga berpenghasilan, tapi selalu saja dianggap remeh oleh Bu Dona. Tapi wajar saja jika Bu Dona seperti itu, ia tidak tahu jika butik Feli telah tersebar di beberapa kota dengan nama lain, memakai nama putranya. Bu Dona hanya tahu Felicia butik, pakaian muslim. Tapi tidak tahu dengan Rafan collection, busana anak yang sengaja ia buat untuk diwariskan pada putranya nanti.
“Halah, mau babu atau bukan tugas kamu itu nurutin perintahku. Kamu menikah dengan Ghata itu jadi otomatis harus patuh padaku, gak boleh membantah,” kata Bu Dona dengan nada sarkas.
“Sorry, kalau mau seperti itu silahkan cari menantu lain saja. Sudah cukup aku menuruti semua kemauan Mami.”
“Kurangajar kamu ya.” Bu Dona mengangkat tangan hendak mena mpar Feli, namun Feli dengan sigap menahan tangan tersebut dan mele mparnya dengan kesal.
“Aku hanya mengimbangi sikap Mami padaku. Mami pikir aku akan diam saja diperlakukan seperti ini terus? Aku Feli Mi, bukan menantu yang bisa Mami injak dan hina terus.” da da Feli naik turun merasakan amarah yang kian memuncak.
“Ck, awas aja kamu. Belum tau saja kamu kalau Ghata akan mewariskan harta keluarga Dirgantara. Pasti kamu akan menyesal telah melawanku, akan aku buang kamu setelah Ghata mendapatkan perusahaan itu.” Bu Dona mendengus kesal, bersedekap dengan congkak bahkan menatap hi na pada Feli.
Feli mengerutkan kening, mencerna perkataan Bu Dona barusan. “Keluarga Dirgantara?” gumamnya.
Bu Dona terkekeh. “Pria yang istrinya baru saja mena mparmu.”
“Astaghfirullah, berarti harta rampa san. Maaf, aku juga tidak sudi memakan uang itu.” Diandra tak kalah angkuh, tatapannya seolah ingin menantang Bu Dona.
“Awas kamu ya, jangan nangis kalau Ghata punya wanita lain di luar sana,” kata Bu Dona membuat Feli bungkam.
Tentu perkataan itu bagai boomerang bagi Feli. Ia sangat mencintai suaminya, tapi kalau sampai terjadi, tentu Feli tidak akan menerimanya.
“Terserah, aku gak peduli.”
Feli tak ingin memperpanjang percakapan mereka. Ia masuk ke dalam kamar untuk mengambil tasnya, lalu menutup pintu kamar dengan kuat walau Bu Dona ada di sana.
“Mau ke mana kamu?” tanya Bu Dona saat Feli melintasinya begitu saja.
“Mau jemput Rafan.”
Berkali-kali Feli mengembuskaan napas karena sikap Bu Dona. Kesabarannya terus saja diuji oleh wanita yang telah melahirkan suaminya itu.
“Assalamualaikum, Ma. Kok Mama sih yang jemput? Bukannya Mama sakit?” tanya Rafan begitu masuk ke dalam mobil.
Feli mengusap kepala sang putra. “Gak sakit kok, cuma kelelahan aja.”
“Alhamdulillah,” balas Rafan terdengar lega.
“Oh ya Ma, tadi… di sekolah teman-temanku terus saja mengatakan kalau aku kembaran Azka. Sudah aku katakan kalau aku dan Azka tidak ada hubunngan apa-apa, tapi mereka gak percaya Ma.” adu Rafan.
Baru juga kaki Diandra hendak menginjak pedal gas, namun semua itu urung saat sang anak bercerita. Feli memperhatikan wajah putranya dengan seksama, hal yang sedari tadi mengganggu pikirannya terus saja berputar, bahkan semakin menjadi saat mendengar ucapan anaknya.
“Kita ke rumah sakit ya, besuk Azka. Kamu mau?” tanya Feli yang diangguki Rafan.
“Mau, Ma. Aku juga mencemaskannya, kemarin saat di sekolah dia murung banget, mukanya juga pucat. Dia juga bilang….” Rafan tak melanjutkan ucapannya, dari suara anak itu jelas terdengar kalau ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Melihat itu semua membuat Feli semakin gelisah, gelisah tanpa tahu sebabnya.
“Dia bilang apa sayang?” tanya Feli menggebu, penasaran.
“Dia bilang… Di rumah tidak pernah dikasih makan Ma. Kok gitu ya Ma? Apa mamanya gak sayang sama dia ya? Aku aja selalu dibuatkan makanan terus sama Mama.” Suara Rafan terus melemah, seolah ia bisa merasakan apa yang dirasakan Azka.
“Loh, bukannya kata kamu dia dibawakan bekal?” tanya Feli bingung.
“Katanya itu bekal pemberian ayahnya, Ma. Kalau ayahnya gak bawain ya dia gak makan. Paling makan makanan sisa mamanya. Ish, sedih banget ya Ma, andai aja dia kembaranku, pasti perutnya selalu kenyang sepertiku.”
Degh!
‘Tidak bisa, aku harus memastikannya. Aku harus ke rumah sakit dan mencari tahu siapa sebenarnya Azka,’ batin Feli cemas bercampur takut, bahkan tangannya mere mas kemudi dengan erat.
Baca selengkapnya di KBM
Judul : Anak Keturunan Gundik
Penulis : Nuraselina