15/10/2025
[Gue cuman mau ngasih tahu aja kalau laki lu lagi indehoi sama gue! Sampah, lu. Bac*d]
[Hahahaha ... jangan lupa pake pangaman, ya. Kasihan nanti anakmu punya mamah ha.ram!]
Astagah ... benar-benar wanita itu!
~~~*
POV Rara (Pelakor)
"Benar-benar kurang ajar wanita itu!" ump4tku. "Aku akan buat dia benar-benar menyesal! Dia salah sudah meremehkanku!"
"Gue juga udah pernah ngingetin lu, Ra. Jangan main api begini. Sekarang elu sendiri, kan, yang kesal?" Niken mengusap lenganku.
"Gua akan buat perhitungan! Akan gue pastikan suaminya bertekuk lutut dan dia akan menangis meminta belas kasihan dari gue!" tekadku.
"Tapi, Ra--"
Aku menoleh cepat pada Niken. "Elu temen gue apa bukan?"
Segera dia menangguk. Jelas dia sangat takut kehilangan teman sepertiku, karena aku sering membelanjakannya, tentu saja dari uang yang kudapatkan dari mas Alvin.
Aku melanjutkan langkah, berusaha menepikan kekesalanku pada wanita itu dengan berbelanja sepuasnya.
***
"Mas, kita liburan, yuk! Aku suntuk, nih!" ajakku pada mas Alvin saat kami tengah makan siang di sebuah restoran.
Mas Alvin tampak berpikir, dia menggantungkan suapannya.
"Ayolah, Mas," rengekku.
Dia mengangguk. "Kebetulan satu minggu lagi aku ada cuti bulanan."
"Jadi?" Aku begitu antusias.
"Ya, kita akan liburan, tapi tak bisa lama-lama, hanya tiga hari saja paling lama," ujarnya.
Rasakan kau wanita lucknut. Aku akan manfaatkan momen itu untuk memanas-manasinya.
Aku mengulurkan sendok, menyuapkan makananku pada mas Alvin. Tentu saja dia menerimanya.
Selesai makan siang mas Alvin kembali mengantarku ke kampus, karena aku masih ada kelas, sedangkan dia juga kembali ke kantornya. Kebetulan letak kantornya dan kampusku searah.
"Hati-hati, Mas," ucapku saat mobilnya sudah menepi di depan gerbang bangunan bertingkat tiga tempatku menuntut ilmu itu.
"Iya, sayang," sahutnya sambil membelai rambutku.
Sebelum turun tak lupa kusinggahi pipinya, beginilah caraku agar dia selalu merasa bahagia. Tentu hal itu tidak dia dapatkan dari istrinya, makanya dia mencari kenyamanan di luar.
Mas Alvin tersenyum dan membalas perlakuanku dengan membelai pipiku.
"Aku turun ya, Mas."
Mas Alvin mengangguk.
Setelah turun aku tak langsung masuk ke gerbang, tapi berdiri dulu di tepi jalan untuk menunggu mobil mas Alvin hingga melaju seraya melambaikan tangan.
"Yes, aku akan liburan berdua bersama mas Alvin, tak akan kusia-siakan kesempatan itu, kalau bisa aku harus berhasil merebut posisi wanita sombong itu dan menyingkirkannya dari kehidupan mas Alvin." Aku tertawa dalam hati, membayangkan kehancuran wanita yang sudah berani bermain-main denganku dan meremehkanku.
-
-
-
Hari yang ditunggu-tunggu datang juga, aku tersenyum puas memandang koper berwarna pink bermotif hello kitty--boneka kes**aanku--yang sudah tersandar di dinding kamar. Sekarang aku tinggal menunggu mas Alvin menjemputku.
Kuperhatikan penampilanku di cermin. "Sempurna," gumamku. "Bagaimana mas Alvin tidak jatuh cinta dan selalu terpesona dengan kecantikanku." Aku memuji diriku sendiri.
Aku keluar dari kamar sembari menyeret koper. Detak high heels yang kupakai terdengar berirama karena beradu dengan lantai. "Lihatlah wanita bod*h, anak kecil yang kau remehkan ini akan menunggang balikkan bahteramu."
Aku mempercepat langkah saat mendengar suara mobil mas Alvin berhenti di halaman, dia benar-benar menepati janjinya.
Kusuguhkan senyuman saat pandangan kami bertemu setelah aku membuka pintu.
"Kita langsung berangkat?" tanya mas Alvin sambil mengambil alih koper dari tanganku. Perhatian dan manis sekali, bukan?
Aku mengangguk dan menggandeng lengannya, walaupun aku tak tahu akan kemana tujuan kami, yang penting kami liburan.
***
"Mas, senyum!" Aku mengarahkan kamera ke arahku yang tengah bersandar di lengan mas Alvin. Dia menurut saja, gayung bersambut, dia mengecup kepalaku. Sungguh pas sekali.
Aku memperbaiki posisiku.
[Hai, cantik. Apa kabarmu pagi ini? Sabar, ya. Aku dan suamimu harus liburan beberapa hari ke depan.] Kukirim foto beserta caption tersebut pada si wanita s0mbong.
[Terima kasih karena sudah mengakui saya cantik, anak kecil. Saya tahu saya memang cantik. Btw, nggak apa-apa, kok. Lanjut aja liburannya. Saya juga mau hang out soalnya sama teman-temanku, kalau mas Alvin ada, waktu saya bisa terbatas. Terima kasih atas kerja samanya, ya.]
Aku mengerutkan kening membaca balasan pesannya.
[Hahaha ... setelah kami p**ang nanti, aku pastikan kita tinggal serumah, atau kamu keluar dari rumah itu!] balasku.
[Wah ... jadi kamu ada ide untuk tinggal di rumahku? Bagus d**g. Kamu bisa bantu-bantu aku mengurus rumah. Kan, posisiku lagi hamil jadi aku nggak boleh kecapean. Padahal aku udah berpikir untuk mencari pembantu, tapi sepertinya aku harus membatalkan niatku itu, deh.]
Astagah, benar-benar di luar dugaan! Sepertinya wanita itu sudah tidak waras!
[Song*Ng, lu! Lu bakal dimadu!] Aku jadi emosi olehnya. [Dan perhatian mas Alvin akan lebih ke gue!]
[Wkwkwk, nggak masalah, kok. Soal dimadu, mah, aku oke-oke aja. Malah aku bersyukur nanti akan ada yang bantu-bantu aku mengiris pekerjaan rumah. Jadi aku nggak harus capek-capek lagi. Kalau bisa secepatnya, ya. Sebelum kandunganku semakin membesar, agar nanti aku bisa santai.]
"S**t!" umpatku.
Mas Alvin mengalihkan pandangan padaku. "Ada apa, sayang?" tanyanya.
"Eh? Enggak apa-apa, Mas. Ini Niken." Aku cengengesan. Tertawa dalam emosi itu ternyata butuh tenaga juga.
[Sampah, lu. Bac*d. Gue cuman mau ngasih tahu aja kalau laki lu lagi indehoi sama gue!]
[Hahahaha ... jangan lupa pake pangaman, ya. Kasihan nanti anakmu punya mamah ha.ram!]
Astagah ... benar-benar wanita itu!
"Mas, aku lapar," keluhku sembari memegang perut. Cacing-cacingku di dalam sana sudah berdemo menuntut hak mereka. Kulirik layar ponselku, ternyata sudah hampir pukul sembilan, wajar saja jika perut sudah terasa sangat lapar karena belum diisi semenjak tadi pagi.
"Nanti kita mampir di restoran, ya." Mas Alvin menatapku sekilas, lalu meraih tanganku dan menggenggamnya, menghadirkan sensasi hangat yang seolah mengalir ke seluruh tubuhku bersamaan dengan aliran darah.
"Iya, Mas." Aku mengangguk. Lihat saja wanita sia*an! Akan kupastikan suamimu ini tak bisa lagi lepas dariku. Sekarang kau mungkin bisa santai, tapi lihat apa yang akan terjadi nanti! Rasakan seranganku! Akan kupastikan kau menyesal karena sudah meremehkanku yang kau sebut anak kecil ini. Akan kuhadiahkan seorang anak kecil di antara kalian yang berasal dari rahimku sendiri. Aku yakin, jika hal itu terjadi wanita itu baru akan sadar karena sudah salah memilih lawan.
Di depan sebuah restoran di perempatan jalan mas Alvin menghentikan mobilnya. "Ayo, kita turun," ajaknya sambil melepaskan sabuk pengamannya.
"Yuk," seruku, melakukan hal yang sama dan keluar dari mobil. Perut sudah benar-benar lapar.
Aku menggandeng tangan mas Alvin masuk ke restoran, beberapa pasang mata di sana memperhatikan kami, mereka pasti kagum melihat kami yang sangat serasi juga terlihat sangat mesra.
Aku mengajak mas Alvin duduk di bangku tepat di tengah-tengah.
"Kamu mau makan apa, sayang?" tanya mas Alvin sembari membolak-balikan buku menu yang sudah tersedia di atas meja.
Aku menatap menu itu satu per satu, semua menu yang tertera di sana tampak sangat menggugah selera. Rasanya aku ingin menikmati semuanya, namun saat teringat dengan timbangan yang akan bergeser ke kanan aku mengurungkannya, dan memesan sepiring nasi goreng spesial yang lengkap dengan segelas teh tawar. Sedangkan mas Alvin memesan sup iga dan minuman yang sama denganku. Ah, kami memang punya selera yang sama. Serasi, bukan?
"Yakin cuma itu saja?" Mas Alvin memastikan.
Aku menjawabnya dengan anggukan.
Mas Alvin mengangkat tangannya, seorang waiters langsung menghampiri kami, dan kembali berlalu setelah mas Alvin mengatakan apa yang akan kami pesan.
"Istrimu tahu kita akan liburan, Mas?" pancingku. Padahal aku sendiri yang sudah memberitahunya.
"Tentu tidak. Aku mengatakan kalau aku ada pekerjaan di luar kota," sahut mas Alvin. Dia tersenyum menatapku, sepertinya dia sangat senang karena sudah berhasil membohongi istrinya dan membuat wanita itu percaya begitu saja.
Aku mengangguk-angguk kecil. "Maaf, Mas, aku sudah memberi tahu istrimu, agar dia sadar dan merasa salah karena sudah berurusan denganku," ucapku dalam hati.
Pembicaraan kami terhenti saat pelayan restoran menghidangkan makanan. Aromanya sangat menggugah selera, membuatku tak sabar untuk melahapnya. Sengaja aku memesan beberapa menu. Ada sup iga, steak, chicken finger dan makanan wajib favoritku yaitu nasi goreng spesial, dan masih ada yang lain lagi. Kata Mas Alvin dia senang aku makan banyak.
Aku melirik pada semangkuk sup di hadapan mas Alvin, asapnya masih mengepul, kelihatannya sangat enak.
"Kamu mau ini?" tanya mas Alvin. Dia benar-benar lelaki yang peka. Tanpa kukatakan saja dia sudah paham dengan apa yang kurasakan.
Aku hanya tersenyum, malu juga jika mengatakan iya. Setidaknya aku harus jaga image di hadapannya agar terlihat seperti wanita manis dan anggun.
"Mbak, tolong sup iganya satu lagi, ya," ucap mas Alvin.
"Baik, Mas." Wanita berseragam hitam putih itu pun kembali beranjak dari meja kami.
"Kamu mau makan punyaku dulu?" tawar mas Alvin.
"Enggak usah, Mas. Aku makan nasi goreng aja dulu," tolakku sembari meraih sendok dan mulai menyuap. Aku benar-benar sudah sangat lapar.
"Yaudah, ini cobain punyaku dulu!" Mas Alvin menyodorkan sendok padaku.
Tak mau menolak, langsung saja mulutku menganga menerima suapannya. Benar-benar perhatian sekali. Bagaimana aku tidak jatuh cinta dan makin cinta padanya. Bahkan aku tak perduli sekalipun dia sudah punya istri.
Pelayan restoran kembali menghampiri kami untuk mengantarkan sup iga pesananku. "Silakan," ucapnya ramah.
Aku hanya mengangguk saja. Malas sekali beramah-tamah pada orang yang tidak kukenal.
"Terima kasih." Berbeda denganku, mas Alvin malah tersenyum pada wanita itu. Tentu saja wanita itu membalasnya. Ah, dasar wanita tidak tahu diri! Apa dia tidak lihat sudah ada aku bersama mas Alvin.
"Ekhem!" Aku berdehem dan menatap pada wanita itu dengan tatapan tak s**a, sehingga wanita itu bergegas pergi.
"Matanya biasa aja! Nggak usah senyum-senyum juga!" sinisku pada mas Alvin.
Mas Alvin yang sedari tadi menatap wanita pelayan itu mengalihkan pandangan padaku, dia lantas tersenyum. "Hanya menghargai, sayang," dalihnya.
"Hilih," desisku.
"Udah, jangan cemburu. Aku cinta dan sayangnya 'kan cuma sama kamu aja." Mas Alvin menjangkau tanganku yang kuletakkan di atas meja dan menggenggamnya. "Yuk, lanjut lagi makannya. Habiskan semuanya. Karena nanti kamu butuh tenaga." Dia mengedipkan mata menggodaku. Ucapannya itu membuat darahku berdesir. Aku yakin, dia sudah benar-benar terperangkap ke dalam pesonaku.
***
Hidangan di atas meja sudah kami tandaskan. Setelah istirahat sejenak mas Alvin mengajakku melanjutkan perjalanan yang entah kemana sebenarnya tujuannya.
Dia mengangkat tangan lagi, memanggil pelayan untuk meminta bill.
"Hanya ini saja hampir satu juta?" Aku terperangah.
"Wajar, sayang. Ini kita makan bukan di emperan. Ini restoran ternama," sahut mas Alvin santai. Tentu dia tidak merasa keberatan untuk membayarnya.
Mas Alvin meraih tas kecil yang selalu dibawanya untuk tempat dompet dan ponsel.
"Astaga." Seketika raut wajahnya berubah panik.
"Ada apa, Mas?" tanyaku.
"Dompetku! Dompetku nggak ada!" ujarnya seraya mengacak-acak isi tas kecil itu.
"Mas? Jangan becanda," ucapku.
"Beneran, sayang. Untuk apa aku becanda?" Dia menatapku lesu. "Kalau nggak percaya, nih, periksa!" titahnya seraya menyodorkan tas itu padaku.
Meski sudah yakin dengan ucapan mas Alvin, tapi aku tetap memeriksanya, dengan harapan mas Alvin salah lihat dan dompet yang dia cari terselip di sana, walaupun sangat kecil kemungkinannya.
"Lalu bagaimana ini, Mas?" tanyaku. "M-bankingmu?"
"Kan kemarin bermasalah, aku belum ke bank untuk memperbaikinya. Kamu ada uang? Uang yang aku kasih minggu lalu masih ada, kan?" tanyanya penuh harap.
Aku menggeleng lemah, karena memang uang itu sudah kuhabiskan untuk belanja bersama Niken tempo hari.
"Astaga ... bagaimana ini?"
"Coba telpon istrimu, Mas! Suruh dia TF ke rekeningku!" usulku.
Mas Alvin menatapku tak yakin.
"Bilang aja kalau itu rekening teman sekantormu. Bukannya kamu bilang kalau kamu sedang ada urusan kantor ke istrimu itu?"
Mas Alvin tampak tak yakin.
"Mas, daripada kita dilaporkan ke polisi karena sudah makan tapi tidak bayar. Itu memalukan sekali, Mas," ringisku. Tak bisa kubayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Mau ditaruh dimana mukaku ini?!
Mas Alvin mengangguk. Segera dia mengambil ponselnya.
"S**t!" umpatnya karena tidak ada jawaban. Kembali mas Alvin mengulanginya, hingga beberapa kali. Namun, hasilnya tetap sama. Wanita itu pasti sengaja karena sudah mengetahui kalau suaminya sedang bersamaku. Sial! Aku menyesal juga karena kecerobohanku tadi sudah memberitahunya kalau suaminya sedang bersamaku.
"Coba lagi, Mas!" pintaku.
Kembali mas Alvin mencobanya, tapi masih seperti yang tadi. Wanita itu tidak menanggapinya.
Wajah mas Alvin tampak panik. Begitu juga denganku. Bagaimana ini?
Tuhan ... apa salahku? Kenapa aku selalu sial begini? rintih hatiku.
cerita ini sudah TAMAT di KBM App
Judul : PELAKOR SALAH SASARAN
Akun : Mella_Selfiana
Link :