Mas Al Rantau

Mas Al Rantau Cerita Kehidupan✅
Saling Support✅
Berbagi Itu Indah✅
Pro novel KBMapp✅ Wa👉0881036236365
Jual halaman siapkan konten👈
(1)

AKU DIMANFAATKAN MERTUA DAN SUAMIKU (5)“Maksudnya apa, Bu?” Aku menatap ibu mertua dengan sorot mata bingung.Wanita paru...
15/10/2025

AKU DIMANFAATKAN MERTUA DAN SUAMIKU (5)

“Maksudnya apa, Bu?” Aku menatap ibu mertua dengan sorot mata bingung.

Wanita paruh baya itu menyunggingkan bibirnya, mungkin merasa malas saat mendengar suaraku.

“Apa ini, Nit? Kwitansi apa ini?” tanyaku pada Nita seraya berharap wanita itu akan memberiku penjelasan. Meski demikian, Nita menggeleng, lantas menundukkan wajah. “Nita nggak tahu, Mbak.”

“Ini, semuanya hVt4ng Teguh, Mbak! Saya mau dibayar sekarang karena jatuh temponya udah terlalu lama. Gimana ini, saya juga butuh uang, masa sudah berbulan-bulan enggak balik uang saya?” jelas pria berkulit legam.

Aku yang baru saja mendapatkan jawaban membelalakkan mata. Kemudian, memandangi satu per satu lembar kehijauan yang dibubuhi tanda tangan milik Bang Teguh. Jumlah yang tertulis di atasnya tidak main-main, dan jika ditotal maka mencapai tiga puluh juta rupiah.

“Saya berani pinjamin terus tiap dia minta, karena katanya istrinya kaya raya dan bisa menjamin uangya balik. Loh ... bagaimana bisa sudah berbulan-bulan belum dibayarnya? Saya telepon malah ngeyel, memangnya saya enggak nyimpan bukti apa? Saya mau ditipu? Dasar tukang ngibul! Heh!” cerocosnya seraya menunjuk-nunjuk lantai.

Ya Allah ... pria macam apa yang sudah aku nikahi? Kenapa segalanya menjadi semakin rumit dan sulit? Kenapa harus aku yang mengalami hal buruk ini?

“Jadi gimana, ini? Kapan hutangnya mau dibayar? Saya butuh nih!” tuntutnya lagi dengan suara yang lebih rendah.

Aku memutar pandangan sedetik, memperhatikan raut wajah ibu mertua yang mengabaikan omelan pria berkulit legam ini, lalu Nita yang terus menundukkan wajah. Kualihkan tatapan juga ke arah pagar rumah, Bu Husna lagi-lagi menyembul di antara pepohonan remajanya, mengintip dan mungkin mencatat kejadian demi kejadian yang terus beriringan di rumah ini.

“Dia yang bayar, Pak! Saya mana ada uang segitu!” sahut ibu mertua ketus.

“Ya sudah, gimana, Mbak? Saya tunggu nih, saya udah enggak bisa tolerir lagi.”

“Bayar saja, Mbak ...,” desis Nita.

“Aku enggak mau!” Aku mengembalikan kwitansi itu dengan meletakkannya di meja.

“Hah ... ini hutang suamimu, Gin! Kalau bukan kamu yang bayar, terus siapa lagi?” desak ibu mertua lagi sembari menunjukiku dengan telunjuk dan dagunya.

Aku mencebik, sangat keberatan jika harus membayar hutang Bang Teguh, apalagi jumlahnya tidak sedikit. Lagip**a, sepeser pun dari uang itu tidak diberikannya padaku, lantas kenapa aku harus menanggung beban ini untuknya?

“Bu ... yang ngutang Bang Teguh, yang bayar harusnya dia juga.”

“Eh ... kamu ini, ya ... kamu tuli, apa? Bapak ini udah bilang kalau Teguh enggak bayar, itu artinya dia nggak bisa bayar. Lagian, duitmu itu banyak, Gin ... kamu enggak akan jatuh miskin dengan memberi sedikit!”

“Bu ... duitku ya duitku, Bu! Urusannya sama rumah ini apa, ya? Kenapa kalian terus mengusik apa yang aku peroleh selama ini? Apa kalian berjasa untuk usahaku? Apa kalian yang membantuku? Aku membangun semuanya dengan dibantu keluargaku di kampung serta karyawan-karyawan di gudang,” paparku muntab.

“Kamu enggak berbakti sama suamimu, Gin.”

“Suami kata Ibu? Bahkan nafkahku saja sering dilupakannya, Bu.”

“Mba ... sudah, jangan dibalas lagi omongan ibu,” pinta Nita seraya menahan tanganku.

Aku melepas tangannya, menjauhkan wanita lemah itu dariku. “Kamu belain saja ibu, Nit ... sudah diijank-injak kamu di sini, tapi masih belum sadar!”

“Stop!” Pria berkulit legam berteriak. “Saya ke sini mau nagih utang, bukan dengerin curhat kalian! Saya butuh kepastian ini, kalau enggak Teguh saya seret ke kantor polisi!” ancamnya.

“Mana bisa begitu, Pak? Kenapa bukan Gina aja yang diseret? Dia yang menjadi penjaminnya, kan?” Ibu mertua berkilah.

“Ya, tapi kan ini yang berhutang Si Teguh, Bu ... mana bisa penjaminnya yang saya seret?”

“Sudah, seret saja Gina!”

“Terserah kalian mau ngomong apa. Yang pasti, aku enggak sudi bayar hutang Bang Teguh! Sudah cukup semua usahaku disia-siakan di rumah ini. Permisi, aku pergi!” putusku segera.

lanjut di kbm app ya

AKU DIMANFAATKAN MERTUA DAN SUAMIKU
OLEH BEMINE

[Gue cuman mau ngasih tahu aja kalau laki lu lagi indehoi sama gue! Sampah, lu. Bac*d][Hahahaha ... jangan lupa pake pan...
15/10/2025

[Gue cuman mau ngasih tahu aja kalau laki lu lagi indehoi sama gue! Sampah, lu. Bac*d]

[Hahahaha ... jangan lupa pake pangaman, ya. Kasihan nanti anakmu punya mamah ha.ram!]

Astagah ... benar-benar wanita itu!

~~~*

POV Rara (Pelakor)

"Benar-benar kurang ajar wanita itu!" ump4tku. "Aku akan buat dia benar-benar menyesal! Dia salah sudah meremehkanku!"

"Gue juga udah pernah ngingetin lu, Ra. Jangan main api begini. Sekarang elu sendiri, kan, yang kesal?" Niken mengusap lenganku.

"Gua akan buat perhitungan! Akan gue pastikan suaminya bertekuk lutut dan dia akan menangis meminta belas kasihan dari gue!" tekadku.

"Tapi, Ra--"

Aku menoleh cepat pada Niken. "Elu temen gue apa bukan?"

Segera dia menangguk. Jelas dia sangat takut kehilangan teman sepertiku, karena aku sering membelanjakannya, tentu saja dari uang yang kudapatkan dari mas Alvin.

Aku melanjutkan langkah, berusaha menepikan kekesalanku pada wanita itu dengan berbelanja sepuasnya.

***

"Mas, kita liburan, yuk! Aku suntuk, nih!" ajakku pada mas Alvin saat kami tengah makan siang di sebuah restoran.

Mas Alvin tampak berpikir, dia menggantungkan suapannya.

"Ayolah, Mas," rengekku.

Dia mengangguk. "Kebetulan satu minggu lagi aku ada cuti bulanan."

"Jadi?" Aku begitu antusias.

"Ya, kita akan liburan, tapi tak bisa lama-lama, hanya tiga hari saja paling lama," ujarnya.

Rasakan kau wanita lucknut. Aku akan manfaatkan momen itu untuk memanas-manasinya.

Aku mengulurkan sendok, menyuapkan makananku pada mas Alvin. Tentu saja dia menerimanya.

Selesai makan siang mas Alvin kembali mengantarku ke kampus, karena aku masih ada kelas, sedangkan dia juga kembali ke kantornya. Kebetulan letak kantornya dan kampusku searah.

"Hati-hati, Mas," ucapku saat mobilnya sudah menepi di depan gerbang bangunan bertingkat tiga tempatku menuntut ilmu itu.

"Iya, sayang," sahutnya sambil membelai rambutku.

Sebelum turun tak lupa kusinggahi pipinya, beginilah caraku agar dia selalu merasa bahagia. Tentu hal itu tidak dia dapatkan dari istrinya, makanya dia mencari kenyamanan di luar.

Mas Alvin tersenyum dan membalas perlakuanku dengan membelai pipiku.

"Aku turun ya, Mas."

Mas Alvin mengangguk.

Setelah turun aku tak langsung masuk ke gerbang, tapi berdiri dulu di tepi jalan untuk menunggu mobil mas Alvin hingga melaju seraya melambaikan tangan.

"Yes, aku akan liburan berdua bersama mas Alvin, tak akan kusia-siakan kesempatan itu, kalau bisa aku harus berhasil merebut posisi wanita sombong itu dan menyingkirkannya dari kehidupan mas Alvin." Aku tertawa dalam hati, membayangkan kehancuran wanita yang sudah berani bermain-main denganku dan meremehkanku.

-

-

-

Hari yang ditunggu-tunggu datang juga, aku tersenyum puas memandang koper berwarna pink bermotif hello kitty--boneka kes**aanku--yang sudah tersandar di dinding kamar. Sekarang aku tinggal menunggu mas Alvin menjemputku.

Kuperhatikan penampilanku di cermin. "Sempurna," gumamku. "Bagaimana mas Alvin tidak jatuh cinta dan selalu terpesona dengan kecantikanku." Aku memuji diriku sendiri.

Aku keluar dari kamar sembari menyeret koper. Detak high heels yang kupakai terdengar berirama karena beradu dengan lantai. "Lihatlah wanita bod*h, anak kecil yang kau remehkan ini akan menunggang balikkan bahteramu."

Aku mempercepat langkah saat mendengar suara mobil mas Alvin berhenti di halaman, dia benar-benar menepati janjinya.

Kusuguhkan senyuman saat pandangan kami bertemu setelah aku membuka pintu.

"Kita langsung berangkat?" tanya mas Alvin sambil mengambil alih koper dari tanganku. Perhatian dan manis sekali, bukan?

Aku mengangguk dan menggandeng lengannya, walaupun aku tak tahu akan kemana tujuan kami, yang penting kami liburan.

***

"Mas, senyum!" Aku mengarahkan kamera ke arahku yang tengah bersandar di lengan mas Alvin. Dia menurut saja, gayung bersambut, dia mengecup kepalaku. Sungguh pas sekali.

Aku memperbaiki posisiku.

[Hai, cantik. Apa kabarmu pagi ini? Sabar, ya. Aku dan suamimu harus liburan beberapa hari ke depan.] Kukirim foto beserta caption tersebut pada si wanita s0mbong.

[Terima kasih karena sudah mengakui saya cantik, anak kecil. Saya tahu saya memang cantik. Btw, nggak apa-apa, kok. Lanjut aja liburannya. Saya juga mau hang out soalnya sama teman-temanku, kalau mas Alvin ada, waktu saya bisa terbatas. Terima kasih atas kerja samanya, ya.]

Aku mengerutkan kening membaca balasan pesannya.

[Hahaha ... setelah kami p**ang nanti, aku pastikan kita tinggal serumah, atau kamu keluar dari rumah itu!] balasku.

[Wah ... jadi kamu ada ide untuk tinggal di rumahku? Bagus d**g. Kamu bisa bantu-bantu aku mengurus rumah. Kan, posisiku lagi hamil jadi aku nggak boleh kecapean. Padahal aku udah berpikir untuk mencari pembantu, tapi sepertinya aku harus membatalkan niatku itu, deh.]

Astagah, benar-benar di luar dugaan! Sepertinya wanita itu sudah tidak waras!

[Song*Ng, lu! Lu bakal dimadu!] Aku jadi emosi olehnya. [Dan perhatian mas Alvin akan lebih ke gue!]

[Wkwkwk, nggak masalah, kok. Soal dimadu, mah, aku oke-oke aja. Malah aku bersyukur nanti akan ada yang bantu-bantu aku mengiris pekerjaan rumah. Jadi aku nggak harus capek-capek lagi. Kalau bisa secepatnya, ya. Sebelum kandunganku semakin membesar, agar nanti aku bisa santai.]

"S**t!" umpatku.

Mas Alvin mengalihkan pandangan padaku. "Ada apa, sayang?" tanyanya.

"Eh? Enggak apa-apa, Mas. Ini Niken." Aku cengengesan. Tertawa dalam emosi itu ternyata butuh tenaga juga.

[Sampah, lu. Bac*d. Gue cuman mau ngasih tahu aja kalau laki lu lagi indehoi sama gue!]

[Hahahaha ... jangan lupa pake pangaman, ya. Kasihan nanti anakmu punya mamah ha.ram!]

Astagah ... benar-benar wanita itu!

"Mas, aku lapar," keluhku sembari memegang perut. Cacing-cacingku di dalam sana sudah berdemo menuntut hak mereka. Kulirik layar ponselku, ternyata sudah hampir pukul sembilan, wajar saja jika perut sudah terasa sangat lapar karena belum diisi semenjak tadi pagi.

"Nanti kita mampir di restoran, ya." Mas Alvin menatapku sekilas, lalu meraih tanganku dan menggenggamnya, menghadirkan sensasi hangat yang seolah mengalir ke seluruh tubuhku bersamaan dengan aliran darah.

"Iya, Mas." Aku mengangguk. Lihat saja wanita sia*an! Akan kupastikan suamimu ini tak bisa lagi lepas dariku. Sekarang kau mungkin bisa santai, tapi lihat apa yang akan terjadi nanti! Rasakan seranganku! Akan kupastikan kau menyesal karena sudah meremehkanku yang kau sebut anak kecil ini. Akan kuhadiahkan seorang anak kecil di antara kalian yang berasal dari rahimku sendiri. Aku yakin, jika hal itu terjadi wanita itu baru akan sadar karena sudah salah memilih lawan.

Di depan sebuah restoran di perempatan jalan mas Alvin menghentikan mobilnya. "Ayo, kita turun," ajaknya sambil melepaskan sabuk pengamannya.

"Yuk," seruku, melakukan hal yang sama dan keluar dari mobil. Perut sudah benar-benar lapar.

Aku menggandeng tangan mas Alvin masuk ke restoran, beberapa pasang mata di sana memperhatikan kami, mereka pasti kagum melihat kami yang sangat serasi juga terlihat sangat mesra.

Aku mengajak mas Alvin duduk di bangku tepat di tengah-tengah.

"Kamu mau makan apa, sayang?" tanya mas Alvin sembari membolak-balikan buku menu yang sudah tersedia di atas meja.

Aku menatap menu itu satu per satu, semua menu yang tertera di sana tampak sangat menggugah selera. Rasanya aku ingin menikmati semuanya, namun saat teringat dengan timbangan yang akan bergeser ke kanan aku mengurungkannya, dan memesan sepiring nasi goreng spesial yang lengkap dengan segelas teh tawar. Sedangkan mas Alvin memesan sup iga dan minuman yang sama denganku. Ah, kami memang punya selera yang sama. Serasi, bukan?

"Yakin cuma itu saja?" Mas Alvin memastikan.

Aku menjawabnya dengan anggukan.

Mas Alvin mengangkat tangannya, seorang waiters langsung menghampiri kami, dan kembali berlalu setelah mas Alvin mengatakan apa yang akan kami pesan.

"Istrimu tahu kita akan liburan, Mas?" pancingku. Padahal aku sendiri yang sudah memberitahunya.

"Tentu tidak. Aku mengatakan kalau aku ada pekerjaan di luar kota," sahut mas Alvin. Dia tersenyum menatapku, sepertinya dia sangat senang karena sudah berhasil membohongi istrinya dan membuat wanita itu percaya begitu saja.

Aku mengangguk-angguk kecil. "Maaf, Mas, aku sudah memberi tahu istrimu, agar dia sadar dan merasa salah karena sudah berurusan denganku," ucapku dalam hati.

Pembicaraan kami terhenti saat pelayan restoran menghidangkan makanan. Aromanya sangat menggugah selera, membuatku tak sabar untuk melahapnya. Sengaja aku memesan beberapa menu. Ada sup iga, steak, chicken finger dan makanan wajib favoritku yaitu nasi goreng spesial, dan masih ada yang lain lagi. Kata Mas Alvin dia senang aku makan banyak.

Aku melirik pada semangkuk sup di hadapan mas Alvin, asapnya masih mengepul, kelihatannya sangat enak.

"Kamu mau ini?" tanya mas Alvin. Dia benar-benar lelaki yang peka. Tanpa kukatakan saja dia sudah paham dengan apa yang kurasakan.

Aku hanya tersenyum, malu juga jika mengatakan iya. Setidaknya aku harus jaga image di hadapannya agar terlihat seperti wanita manis dan anggun.

"Mbak, tolong sup iganya satu lagi, ya," ucap mas Alvin.

"Baik, Mas." Wanita berseragam hitam putih itu pun kembali beranjak dari meja kami.

"Kamu mau makan punyaku dulu?" tawar mas Alvin.

"Enggak usah, Mas. Aku makan nasi goreng aja dulu," tolakku sembari meraih sendok dan mulai menyuap. Aku benar-benar sudah sangat lapar.

"Yaudah, ini cobain punyaku dulu!" Mas Alvin menyodorkan sendok padaku.

Tak mau menolak, langsung saja mulutku menganga menerima suapannya. Benar-benar perhatian sekali. Bagaimana aku tidak jatuh cinta dan makin cinta padanya. Bahkan aku tak perduli sekalipun dia sudah punya istri.

Pelayan restoran kembali menghampiri kami untuk mengantarkan sup iga pesananku. "Silakan," ucapnya ramah.

Aku hanya mengangguk saja. Malas sekali beramah-tamah pada orang yang tidak kukenal.

"Terima kasih." Berbeda denganku, mas Alvin malah tersenyum pada wanita itu. Tentu saja wanita itu membalasnya. Ah, dasar wanita tidak tahu diri! Apa dia tidak lihat sudah ada aku bersama mas Alvin.

"Ekhem!" Aku berdehem dan menatap pada wanita itu dengan tatapan tak s**a, sehingga wanita itu bergegas pergi.

"Matanya biasa aja! Nggak usah senyum-senyum juga!" sinisku pada mas Alvin.

Mas Alvin yang sedari tadi menatap wanita pelayan itu mengalihkan pandangan padaku, dia lantas tersenyum. "Hanya menghargai, sayang," dalihnya.

"Hilih," desisku.

"Udah, jangan cemburu. Aku cinta dan sayangnya 'kan cuma sama kamu aja." Mas Alvin menjangkau tanganku yang kuletakkan di atas meja dan menggenggamnya. "Yuk, lanjut lagi makannya. Habiskan semuanya. Karena nanti kamu butuh tenaga." Dia mengedipkan mata menggodaku. Ucapannya itu membuat darahku berdesir. Aku yakin, dia sudah benar-benar terperangkap ke dalam pesonaku.

***

Hidangan di atas meja sudah kami tandaskan. Setelah istirahat sejenak mas Alvin mengajakku melanjutkan perjalanan yang entah kemana sebenarnya tujuannya.

Dia mengangkat tangan lagi, memanggil pelayan untuk meminta bill.

"Hanya ini saja hampir satu juta?" Aku terperangah.

"Wajar, sayang. Ini kita makan bukan di emperan. Ini restoran ternama," sahut mas Alvin santai. Tentu dia tidak merasa keberatan untuk membayarnya.

Mas Alvin meraih tas kecil yang selalu dibawanya untuk tempat dompet dan ponsel.

"Astaga." Seketika raut wajahnya berubah panik.

"Ada apa, Mas?" tanyaku.

"Dompetku! Dompetku nggak ada!" ujarnya seraya mengacak-acak isi tas kecil itu.

"Mas? Jangan becanda," ucapku.

"Beneran, sayang. Untuk apa aku becanda?" Dia menatapku lesu. "Kalau nggak percaya, nih, periksa!" titahnya seraya menyodorkan tas itu padaku.

Meski sudah yakin dengan ucapan mas Alvin, tapi aku tetap memeriksanya, dengan harapan mas Alvin salah lihat dan dompet yang dia cari terselip di sana, walaupun sangat kecil kemungkinannya.

"Lalu bagaimana ini, Mas?" tanyaku. "M-bankingmu?"

"Kan kemarin bermasalah, aku belum ke bank untuk memperbaikinya. Kamu ada uang? Uang yang aku kasih minggu lalu masih ada, kan?" tanyanya penuh harap.

Aku menggeleng lemah, karena memang uang itu sudah kuhabiskan untuk belanja bersama Niken tempo hari.

"Astaga ... bagaimana ini?"

"Coba telpon istrimu, Mas! Suruh dia TF ke rekeningku!" usulku.

Mas Alvin menatapku tak yakin.

"Bilang aja kalau itu rekening teman sekantormu. Bukannya kamu bilang kalau kamu sedang ada urusan kantor ke istrimu itu?"

Mas Alvin tampak tak yakin.

"Mas, daripada kita dilaporkan ke polisi karena sudah makan tapi tidak bayar. Itu memalukan sekali, Mas," ringisku. Tak bisa kubayangkan jika hal itu benar-benar terjadi. Mau ditaruh dimana mukaku ini?!

Mas Alvin mengangguk. Segera dia mengambil ponselnya.

"S**t!" umpatnya karena tidak ada jawaban. Kembali mas Alvin mengulanginya, hingga beberapa kali. Namun, hasilnya tetap sama. Wanita itu pasti sengaja karena sudah mengetahui kalau suaminya sedang bersamaku. Sial! Aku menyesal juga karena kecerobohanku tadi sudah memberitahunya kalau suaminya sedang bersamaku.

"Coba lagi, Mas!" pintaku.

Kembali mas Alvin mencobanya, tapi masih seperti yang tadi. Wanita itu tidak menanggapinya.

Wajah mas Alvin tampak panik. Begitu juga denganku. Bagaimana ini?

Tuhan ... apa salahku? Kenapa aku selalu sial begini? rintih hatiku.

cerita ini sudah TAMAT di KBM App
Judul : PELAKOR SALAH SASARAN
Akun : Mella_Selfiana
Link :

Cape-cape jadi pelakor biar bisa hidup enak, ternyata yang kaya istrinya. Niat hati menyingkirkan istri sah dan menjadi ...
15/10/2025

Cape-cape jadi pelakor biar bisa hidup enak, ternyata yang kaya istrinya. Niat hati menyingkirkan istri sah dan menjadi ratu, malah berakhir jadi babu. Apes bener hidipku. 😭😭😭

~~~*

Aku menatap baju lusuh dalam genggamanku, bergantian dengan si Lidya yang sudah berlalu.

Aku menelan saliva sembari meremas pakaian itu dengan geram. Ini penghinaan paling hina yang pernah kuterima. “Awas saja kamu, Lidya!” umpatku.

Kualihkan pandangan ke dalam gudang. Tampak banyak barang-barang tidak terpakai memenuhinya. Debu tebal yang menempel di sana tampak sangat menjijikkan, membuat aku bergidik.

“Ayo!” ajak Mad Radit sambil menggamit lenganku.

“Ayo?” tanyaku.

“Iya. Ayo, kita masuk!” ajaknya memperjelas.

Aku terperangah. “Heh, Mas! Apa kamu pikir aku ayam?” kesalku. “Ini gudang, Mas! Gudang!”

Mas Radit menghela napas dalam. “Lalu bagaimana? Ini lebih baik daripada kamu terlunta-lunta di jalan! Bersyukur Lidya masih memberimu tempat tinggal!”

“Hah? Bersyukur katamu? Aku ini istrimu, Mas! Sama derajatnya dengan Lidya! Seharusnya aku juga bisa tinggal dengan nyaman di rumah itu! Bukan di gudang!” cercaku sambil menunjuk ke arah rumah dua tingkat yang ditempati Lidya.

“Kamu kan sudah tahu kalau rumah itu milik Lidya! Aku hanya numpang di sana!” jelas Mas Radit.

Aku berdecak. “Makanya, Mas, kalau kere mendingan jangan selingkuh! Menyesal aku percaya kalau kamu memang orang kaya! Kalau tahu dari awal akan seperti ini, tak akan aku mau denganmu, apalagi sampai mengandung anakmu. Apes!” gerutuku.

“Jadi kamu hanya mengharapkan hartaku saja? Tidak benar-benar cinta seperti yang kamu katakan?”

“Yang jelas aku tidak ingin sengsara seperti saat ini!”

Aku melipat tangan di dada. Tak ingin aku masuk ke dalam gudang itu. Kotor dan menjijikkan.

Tak lagi menjawab ucapanku, Mas Radit pun masuk ke dalam gudang itu. Mungkin untuk membersihkannya, sedangkan aku memilih duduk di bangku besi di bawah pohon mangga yang sedang berbunga yang tumbuh rimbun di depan gudang.

Tak jauh dari pohon mangga tampak ada kolam ikan kecil dengan miniatur air terjun. Di tengah-tengah terdapat pondok kecil, sepertinya tempat bersantai. Ah, rumah ini asri sekali, membuatku semakin ingin menjadi nyonya-nya.

Aku menguap. Sepoian angin yang menghembus dedaunan memancing kantukku. Kusandarkan punggungku ke sandaran kursi, lalu memejamkan mata sambil membayangkan aku menjadi nyonya di rumah ini. Tidak mengapa jika saat ini hanya dalam khayalan saja. Aku yakin, suatu saat nanti akan terwujud.

“Ren, Arena!”

Aku terkejut saat mendengar suara Mas Radit memanggilku disertai dengan tepukan di pundak.

Kubuka mata, lalu menguceknya. Tampak Mas Radit sangat lusuh dan berkeringat.

“Sudah bersih. Kamu bisa istirahat sekarang!” ucapnya.

Aku merenggut. Kualihkan pandangan ke gudang.

“Ayo!” ajaknya.

Tidak punya pilihan lain. Daripada jadi gembel jalanan, mau tak mau aku terpaksa tidur di gudang itu. Ah, sial! Aku bahkan tidak memegang uang seribu rupiah pun, ditambah semua barangku sudah disita oleh si Lidya. Benar-benar menyebalkan dia.

Aku berdiri di ambang pintu. Tampak barang-barang bertumpuk di salah satu sudut gudang. Hatiku meringis. Ya Tuhan, apa dosaku?

Kuliarkan pandangan ke setiap penjuru. Tak ada kasur ataupun sofa. “Lalu, aku tidur di mana?” tanyaku.

“Di sana!” Mas Radit menunjuk tikar lusuh persis di bawah jendela.

“What?” Teriakanku menggema membuat mata Mas Radit terpejam.

Realita memang tidak seindah espektasiku. Aku yang berharap menjadi nyonya dan tinggal di rumah mewah setelah menyingkirkan istri pertama Mas Radit, ternyata malah dijadikan babu dan disuruh tinggal digudang olehnya. Sungguh tidak berprikemanusiaan dia, apalagi keadaanku yang tengah hamil muda begini.

Aku meringis merasa jijik melihat keadaan gudang. Kumuh dan berdebu. Bagaimana mungkin aku bisa tinggal di tempat ini. Aku yang semula berkhayal akan tinggal di rumah yang jauh lebih baik daripada kontrakan sebelumnya malah dihempaskan oleh keadaan karena tempat ini jauh lebih buruk.

“Ayo!” kembali Mas Radit mengajakku masuk.

“Kamu benar-benar tega membiarkan aku tinggal di gudang kumuh ini, Mas?” tanyaku.

“Apa boleh buat. Untuk sementara kamu di sini saja. Itu lebih baik daripada jadi gelandangan karena tidak punya tempat tinggal, apalagi tidak punya uang.”

“Seharusnya sebagai laki-laki kamu harus bisa tegas, Mas!” debatku. “Jangan mau kalah sama bini!”

“Aku belum siap ditendang dari sini. Apalagi sekarang aku tidak punya apa-apa!”

Jawaban yang sangat mencengangkan. “Pecundang kamu, Mas!” makiku. Menyesal karena sudah tertipu olehnya. Aku mengira dia bibit unggul, ternyata hanya ampas gabah.

“Itu apa?” tanya Mas Radit. Dia melirik pakaian dalam genggamanku. Lalu, mengambil pakaian itu dariku. “Ini? Baju siapa?” tanganya seraya mengembang daster lusuh tersebut.

“Ini semua ulah si Lidya! Dia mengambil semua pakainku, lalu menggantinya dengan baju yang pantas disebut lap kaki ini!” geramku. Wanita itu sangat menyebalkan. Tidak ada sejarahnya istri sah memperlakukan istri simpanan suaminya seperti ini. Selalunya istri sah ya g terdzolimi, tetapi ini? Hah! Benar-benar di luar perkiraan!

Mas Radit hanya mengangguk-angguk kecil, membuatku semakin gusar.

“Hanya itu responmu?!” geramku. “Tidak ada inisiatif, kah?!”

“Apa? Mengajakmu shopping? Membelikan apartemen untukmu?! Aku bukan CEO kaya seperti di novel-novel, Arena!”

“Iya, ternyata kamu hanya laki-laki melarat yang numpang hidup dengan istrimu!” sambarku. Jika waktu bisa kuulang, tak akan kutempuh jalan ini. Sudah jadi istri kedua, melarat p**a.

Mas Radit menghembuskan napas berat. “Sekarang istirahatlah dahulu!” titahnya. “Kamu dan bayi kita harus istirahat agar—“

“Kamu pikir aku bisa istirahat di tempat seperti ini?!”

“Tapi, Arena—“

“Halah, kebanyakan alasan kamu!” sambarku. “Mendingan sekarang ke luar! Pikirkan caranya agar aku bisa keluar dari sini dan kembalikan kehidupanku sebelum terjebak olehmu!” Aku mendorong Mas Radit ke luar, lalu menutup pintu dengan keras. Tak pernah terbayangkan olehku selama ini kalau nasibku akan setragis ini.

Kutatap tikar lusuh yang terbentang di sudut ruangan, kemudian aku meringis. Bisa-bisa kulitku jamuran dan kudisan. Ingin rasanya aku berteriak untuk mengeluarkan semua uneg-uneg kekesalan yang memenuhi dadaku.

Samar aku mendengar suara dari tumpukan barang, membuat aku bergidik. Perlahan kuhampiri tumpukan barang tersebut untuk mencari asal sumber suara.

“Aaa ...!” teriakku saat seekor tikus menampakkan wujudnya di depan mataku. Segera aku berlari menjauh. Menempelkan tubuhku ke dinding. Jijik bercampur geli. Akan tetapi, tikus itu masih tidak beranjak dari sana, dia seakan-akan sedang menertawakan keadaanku. Lihat, tikus di sini saja sama menyebalkan dengan si Lidya. Mereka mengeroyokku.

Kujangkau kayu kecil yang teronggok tak jauh dari tempatku berdiri, lalu mengusir tikus tersebut. Kutunjukkan pada hewan pengerat itu kalau aku sama sekali tidak takut padanya, walaupun dada berdebar hebat.

Kuhembuskan napas lega setelah berhasil mengusir binatang menjijikkan itu.

Tubuhku merosot ke lantai. Aku duduk memeluk lutut sembari menangisi nasibku yang berubah tragis.

***

Suara pintu yang terbuka membangunkanku. Ah, sepertinya jiwa ragaku sangat kelelahan sehingga aku tertidur di tempat kumuh ini.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Kulihat seseorang berdiri persis di depan pintu.

“Ingat, kamu tidak berada di hotel! Dan kamu di sini bukan nyonya, tapi pembantu!” sinisnya. Siapa lagi kalau bukan Lidya. “Jangan bersantai-santai, segera siapkan makanan karena nanti tamu saya akan datang dan saya harus menjamunya dengan baik. Tau kenapa? Karena tamu itu harus dihargai dan dihormati, tidak seperti parasit yang harus di-bu-nu-h!” selorohnya. Pedas sekali mulut wanita itu, pantas saja suaminya berpaling.

Aku mendengus, lalu melengos.

“Kamu dengar, tidak? Atau ... apa mau saya usir dan jadi gembel di luar sana?” ancamnya sambil melipat tangan di dada. Angkuh sekali dia, membuatku semakin ingin menyingkirkannya.

Dengan kesal aku bangkit. Ingin rasanya kujambak rambut wanita itu dan membungkam mulutnya, tetapi kali ini aku tidak bisa melakukannya, daripada dia nekat dan benar-benar menyeretku ke luar dari sini. Akan lebih menyedihkan jika aku benar-benar menjadi gelandangan. Semua ini salah Mas Radit!

***

“Mbok, awasi dia! Jangan dikasih hati!” pesan Lidya kepada wanita paruh baya yang sedang mengupas bawang.

“Siap, Neng! Akan si Mbok ospek dia,” jawab wanita itu.

“Bagus!” sambar Lidya. “Dan kamu, ikuti semua perintah Mbok Nur! Dia atasanmu. Paham?!” ucapnya pogah.

Aku tidak menjawab. Tidak ingin terlihat takut padanya.

Setelah memberi beberapa perintah, Lidya pun meninggalkanku berdua dengan wanita yang dia panggil dengan Mbok Nur itu. Wanita itu pasti pembantu di rumah ini. Enak saja si Lidya menganggap aku bawahan Mbok Nur, padahal posisi kami sejajar, yaitu sama-sama istri Mas Radir.

“Kamu kerjakan semuanya. Aku cape dan mau istirahat!” titahku pada Mbok Nur. “Oiya, tolong buatkan aku nasi goreng, lengkap dengan ayam suwir, telur ceplok separuh matang, sawi, kerupuk dan segelas es teh!”

Wanita itu tampak terperangah. Matanya melotot menatapku. Lantas, dia berkacak pinggang.

“Kamu tahu, kan, siapa aku? Aku istri Mas Radit! Berarti aku adalah nyonyamu!” tambahku sambil mencomot buah apel dari tengah meja dan menggigitnya.

“Mungkin kamu memang istri Den Radit, tapi kamu bukan nyonya di rumah ini, melainkan hanya pembantu karena nyonya di rumah ini adalah Neng Lidya! Paham?!” Dengan kasar Mbok Nur mengambil apel dari tanganku, lalu melemparkan ke tong sampah. “Sudahi mimpimu yang ketinggian itu! Sekarang kerjakan apa yang diperintahkan oleh Neng Lidya sebelum kamu dia seret ke luar dari rumah ini dan menjadi gem-bel!” Dia meletakkan nampan berisi sayuran dan cabe di tanganku.

Sial! Kenapa semua orang di sini sangat menyebalkan? Membuatku merasa hidup di neraka.

Cerita selengkapnya di KBM App
Judul: Madu Kujadikan Babu
Username: Mella_Selfiana
Link:

1 jam sebelum pernikahan, calon suamiku malah pergi untuk menemani mantan kekasihnya yang saat itu akan melah-irkan. Kar...
15/10/2025

1 jam sebelum pernikahan, calon suamiku malah pergi untuk menemani mantan kekasihnya yang saat itu akan melah-irkan. Karena kesal, aku menikahi seseorang yang yang akan membuat dia syok bukan main, karena yang kunikahi adalah....

Bab 10

Reflek aku mengalungkan tanganku ke lehe rnya. Aku menatap pria ini sejenak. Rasanya ada yang aneh. Kalau dia tidak menyukaiku, harusnya dia meninggalkanku saja kan? Dia tidak perlu menolongku yang teng gelam di sungai kan?

"Jangan menatapku seperti itu."

"Ehmmm. Aku tidak menatap Bapak kok."

"Kelelawar di sini saja bisa melihat kalau kamu sedang menatapku."

"Menatap suami sendiri itu nggak dosa."

"Ck, awas saja kalau sampai jatuh cinta."

"Memangnya kenapa? Jatuh cinta sama suami sendiri itu pahala, bukan dosa."

"Kamu bukan tipeku," ucapnya ketus.

"Aku tau, tipe Bapak yang punya bel alai."

"Arum!"

"Apa aku salah?"

Pak Rey kembali diam dan terus berjalan sembari menggend**gku.

"Sangat disayangkan, padahal Bapak ini tampan, rahang tegas, berwibawa, idola para kaum hawa di luaran sana. Tapi kenapa Bapak menyukai l4ki-l4ki? Padahal kaum wanita sibuk mempercantik dirinya hanya demi memikat laki-laki. Bapak beneran s**anya sama l4ki-l4ki? Nggak mau coba-coba sama perempuan?"

"Tutup mulutmu atau aku lem par kembali ke sungai!" ancamnya.

"Iya iya, kenapa Bapak hobi sekali mengancam? Aku kan cuma bertanya."

"Aku tidak s**a wanita karena cerewet sepertimu."

"Sayang ... Kenapa kamu gend**g dia?"

Tiba-tiba saja seorang pria menghampiri Pak kami. Pak Rey membuatku duduk di pinggir jalan.

"Kakinya terkilir, dia tidak bisa berjalan."

"Dasar wanita menyusahkan!" Pria itu menatap kesal padaku.

Loh, dia ini ... Pria yang saat itu ingin menci um Pak Rey kan?

OMG!

"Luruskan kakimu," titah Pak Rey.

"Kenapa?"

"Kakimu terkilir, harus dibereskan, kalau tidak, nanti akan bengkak."

"Bapak mau memutar kakiku!?" Tanyaku panik.

"Nanti bengkak."

"Nggak mau, pasti rasanya sakit."

"Nggak sakit, hanya seperti digigit semut."

"Bohong! Aku melihat di TV sakit sekali."

"Ini cidera ringan, kalau berat memang lebih sakit, tapi kalau kakimu hanya sedikit, jadi tidak seberapa sakit."

"Benar? Bapak nggak bohong kan?"

"Enggak."

"Baby, bisa tinggalin dia aja nggak sih? Menyusahkan!" Omel pria setengah silu man di sampingku ini.

Lihat saja dand anannya, tampilan pri a tapi pakai blush on dan lipstik. Benar-benar silu-man akhir zaman.

"Apa lihat-lihat, mau kuc olok," ucapnya ketus.

"Galak sekali. Seperti emak-emak akhir bulan."

"Apa kamu bilang?"

Krekkk

Aku merasakan bunyi pada kakiku saat ini juga.

"AAAAAAAAA REYYYYY DIA SERI GALA!" teriak pria yang saat ini lengannya aku gi git karena rasa sakit yang teramat sangat.

"Arum, lepaskan." Pak Rey memintaku melepaskan gigita nku, tapi karena rasanya sangat sakit, aku tidak bisa melepaskannya, dan tiba-tiba saja pria itu mendorongku dengan sangat kuat.

"Reyyy bawa aku ke rumah sakit sekarang juga, pasti ini akan infeksi. Aduh ... Kalau rab-ies gimana, aku bisa m-ati muda. Rey tolong aku, aku nggak mau mati sekarang." Pria itu mencak-mencak ketakutan saat ini.

Apa dia pikir, aku ini an jing yang bisa menyebabkan rab-ies? Dasar silu-man!

"Apa lebih baik?" Tanya Pak Rey menatapku.

"Rey! Dia gi git aku, kenapa kamu malah perduli sama dia sih!" Pria itu semakin kesal.

Sejujurnya aku juga heran. Harusnya dia memperdulikan pacarnya yang saat ini kelojo tan kan? Kenapa dia malah memperdulikanku?

Aku mencoba menggoyangkan kakiku dan..

"Wahhh udah nggak sakit Pak." Aku mencoba berdiri dan rasanya memang sudah tidak seperti sebelumnya yang ketika digerakkan rasanya sangat sakit.

"Harus tetap ke Dokter dan meminta obat, takutnya nanti malah bengkak."

"Rey, aku juga sakit. Dia gig it aku. Aduh ... Kepalaku jadi pusing, pasti racu-nnya udah mulai menyebar, Rey ... Tolong aku."

"Cihhh memang aku ular ko-bra?"

"Ayo kita ke rumah sakit."

"Rey ..." Pria itu mem-eluk Pak Rey, lalu masuk ke dalam mobil setelah Pak Rey membukakan pintu.

Aku masuk dan duduk di kursi belakang. Rasanya aku seperti orang ketiga saat ini. Apa lagi ketika pria itu terus saja mem-eluk bahu Pak Rey.

"Oeeeek." Aku mual sekali rasanya melihat tingkah mereka berdua.

"Kamu pasti masuk angin. Ada jas di belakangmu, pakailah biar kamu nggak kedinginan," ucap Pak Rey.

"Sayang, kenapa sih kamu perhatiin dia seperti itu? Memang dia siapa?" Tanya pria itu mulai tidak s**a.

"Dia calon istri putraku."

"Kenapa kamu perhatian padanya? Jangan-jangan kamu menyukai calon menan-tumu?" Pria itu melirikku dengan penuh kebencian.

Tapi aku balas melotot padanya.

"Rey ... Dia melot-otiku," ucapnya sembari memeluk Pak Rey.

"Diamlah, kita ke rumah sakit sekarang."

Mobil Pak Rey pun melaju dan beberapa saat kemudian, kami pun sampai di rumah sakit. Pak Rey mendaftar terlebih dahulu bersama manusia setengah silum-an itu dan aku menunggu tak jauh dari mereka.

Brukkk

"Ahhhh."

Aku kaget karena tiba-tiba saja ada seseorang yang menabrakku dan jatuh.

"Aku benar-benar minta maaf Arum. Aku sama sekali nggak berniat merebut Alex dari kamu. Aku udah suruh dia jauhin aku dan nggak perlu nemenin aku, tapi dia tetap maksa mau temenin aku. Aku benar-benar minta maaf Arum, aku akan menjauhi Alex sesuai perintah kamu, hiks hiks hiks...."

"Arum!"

Belum selesai kekagetanku barusan, tiba-tiba saja Alex datang.

"Mita baru saja habis melah irkan, tega-teganya kamu dorong dia!"

Aku menatap Mita yang saat ini duduk di lantai. Woww, dia yang menab-rakku tapi dia menuduhku?

Dan sekarang Alex menuduhku?

"Wahhh, sandiwaranya bagus sekali, dan kamu Alex, kamu dan wanita tidak tahu diri ini benar-benar cocok. Satu samp-ah, dan dia tong sam-pah!" Aku menunjuk wajah Mita.

"Arum tutup mulutmu!" Alex mengangkat tangan dan ingin menam parku. Aku memejamkan mata reflek.

"Jangan coba-coba mena mparnya!"

Aku membuka mata dan melihat tangan Alex tertahan di udara karena Pak Rey menahannya.

*
*
Baca selengkapnya di KBM
Judul: Siapa Suruh Meninggalkanku Dihari Pernikahan
Penulis: Nafisa Ica

Address

Lamongan

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Mas Al Rantau posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share