Mas Al Rantau

Mas Al Rantau Cerita Kehidupan✅
Saling Support✅
Berbagi Itu Indah✅
Pro novel✅ Wa👉0881036236365
Jual halaman siapkan konten👈
(4)

ISTRI YANG KUKIRA PENGANGGURAN TERNYATA SULTAN BAB 1"Ayolah Adam, Ibu ingin sekali membeli tas baru itu!" Suara rengekan...
19/08/2025

ISTRI YANG KUKIRA PENGANGGURAN TERNYATA SULTAN

BAB 1

"Ayolah Adam, Ibu ingin sekali membeli tas baru itu!" Suara rengekan Ibu terdengar masuk dalam indra pendengaranku.

"Bu, aku takut minta uangnya pada, Dania."

Jelas saja takut. Baru beberapa hari yang lalu Mas Adam meminta padaku untuk mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya dengan alasan untuk membuka usaha baru. Aku tidak bisa menolaknya, kerena aku adalah tipe istri yang sangat patuh pada suami.

"Dam, cuma lima juta saja Adam. Masa iya Nia tidak mau mengasih!" desis Ibu dengan nada kesal. Aku tidak bisa melihat wajahnya saat ini. Ta adapi aku yakin, wanita itu pasti sedang bersungut-sungut pada Mas Adam.

"Dasar istri kamu itu memang pelit!" hardik Ibu mertuaku kesal.

Aku mendengus berat. Dadaku bergemuruh mengajar amarah. Apa? Ibu bilang aku pelit. Memangnya siapa yang sudah membayar hutang-hutang ibu pada rentenir. Anaknya? Dasar.

"Ibu jangan kencang-kencang ngomongnya! Nia kan lagi tidur Bu," sergah Mas Adam. Pasti dia sedang panik.

"Makanya mintain sama Istrimu itu, ya!"

"Dasar matre!" seruku kesal dalam hati.

"Iya, nanti Adam coba bicara sama Nia," sahut Mas Adam.

Aku mendengus berat, berjalan pelan menuju pembaringan. Niatanku untuk mengambil air minum ke dapur harus terhenti oleh pembicara antara Mas Adam dan Ibu mertuaku.

Aku tersenyum sinis seraya menarik selimut hingga ke dagu. Lalu memejamkan mata.

*****

Aku memasang wajah sembab keluar dari dalam kamar. Ibu yang sedang asik menonton televisi mengalihkan pandangannya kepadaku.

"Ada apa, Nia?" seloroh Ibu berjalan mendekatiku.

Aku terisak, "Ibu!" lirihku menjatuhkan pelukan pada wanita yang sebenarnya sudah aku anggap sebagai Ibuku sendiri.

"Ada apa, Dania? Kenapa menangis, ceritakanlah pada Ibu, Nak!" ucap Ibu begitu lembut. Satu tangannya mengusap lembut pada punggungku.

Aku menarik tubuhku dari pelukan ibu. "Bagaimana aku tidak menangis, Bu! Beberapa naskahku di tolak oleh platform. Lalu bagaimana bisa aku mendapatkan uang jika tulisanku sudah mulai tidak ada yang menyukainya!" isakku.

"Sabar Nia! Ibu yakin kamu pasti bisa seperti dulu lagi." Ibu mencoba menenangkanku.

"Jika seperti ini aku tidak yakin bisa mendapatkan uang dengan cara menulis lagi, lalu bagaimana bisa kita mencukupi kebutuhan keluarga kita, Bu!" seruku seraya mengusap air mata.

"Nia, kan kamu bisa mencoba lagi dengan cerita yang lainnya. Lagi p**a pendapatan kamu yang sebulan 80 juta itu pasti masih kan?" Ibu menaikan kedua alisnya padaku. "Jadi masih bisa untuk biaya kehidupan kita sehari-hari, lagi p**a Adam kan sekarang sedang buka usaha baru," tutur Ibu.

Aku bergeming. "Masih Bu, tapi juga nggak seberapa. Kan ibu tau sendiri kebutuhanku juga lumayan," balasku.

"Makanya Nia, jangan biasakan hidup boros. Jangan membeli sesuatu yang tidak penting. Ingat, kasihan Adam tuh, pontang panting cari uang buat hidup kita. Kamu sih, enak. Kerjaannya cuma di depan laptop dapat bayaran puluhan juta," gerutu Ibu dengan wajah kesal. Wanita itupun berlalu meninggalkan aku.

"Daripada Ibu, maunya minta terus tapi nggak tahu diri!" umpatku dalam hati.

Aku adalah seorang penulis di sebuah platform digital yang cukup terkenal. Semua ceritaku pasti akan laris di pasaran.. Beberapa ada yang sudah di filmkan. Tapi aku merahasiakan semua itu dari Mas Adam dan keluarganya yang menurutku sudah kelewat batas.

Semua biaya di rumah ini aku lah yang menanggungnya. Bahkan biaya pernikahan adik Mas Adam beberapa bulan yang lalu, aku juga yang menanggung. Aku masih muda, tapi beban hidupku sudah seperti memiliki anak sepuluh, sangat berat sekali. Apalagi gaya hidup ibu mertuaku yang kelewat batas untuk seusianya. Hingga ia menghalalkan segala cara untuk menuruti gengsinya. Termasuk berhutang rentenir, dan aku juga yang melunasi hutang-hutang itu.

Ada hal yang membuatku sangat kecewa. Tenyata kebaikanku sepertinya hanya menjadi ajang pemanfaatan oleh keluarga suamiku. Aku sering mendengar mereka menjelek-jelekkan aku pada tetangga dan s**a membanding-bandingkan aku dengan Risa, istri dari adik Mas Adam yang berprofesi sebagai seorang guru.

"Iya, Nia itu memang pemalas. Main ke tetangga saja tidak pernah. Dasar wanita pengangguran!"

Begitulah kira-kira. Apalagi saat pertengkaran antara aku dan Mas Adam terjadi. Pasti Ibu akan mengatakan kepada semua orang jika aku adalah wanita keras kepala yang susah diatur. Meskipun nyatanya Mas Adam adalah seorang lelaki yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup kami.

"Nia!" Mas Adam memanggilku saat aku meletakkan secangkir kopi di atas meja tempat ia bersantai saat ini.

"Iya, Mas!" sahutku menghentikan langkah kakiku, menoleh pada Mas Adam.

"Ibu mau pinjam uang lima juta, tolong kamu kasih dulu ya!" tutur Mas Adam tanpa menoleh ke arahku. Sorot matanya tertuju pada koran yang berada di tangannya.

"Lima juta?" sergahku menaikan nada suara.

"Dari mana aku punya uang sebesar itu, Mas!" ucapku.

Mas Adam mengalihkan perhatian padaku. "Ya tentu dari pekerjaan kamu itu, Nia! Bukannya bulan kemarin kamu dapat 80 juta. Masa iya ibu pinjam 5 juta saja tidak boleh." Mas Adam menaikan nada suaranya.

Aku menarik tubuhku duduk pada bangku yang berada di samping Mas Adam. "Bukannya aku tidak boleh Mas. Tapi kan sudah aku berikan kepada Mas 40 juta untuk buka usaha baru Mas. Terus beberapa hari yang lalu aku juga sudah memberikan kepada ibu 10 juta, kan?"

Belum sempat aku melanjutkan ucapanku, Mas Adam meletakkan koran yang berada di tangannya dengan kasar di atas meja.

"Nia, Mas tidak pernah mengajari kamu untuk pelit pada orang tua, apalagi ibu. Bukankah dulu kita sudah sepakat akan merawat ibu bersama untuk mencari ridhonya," debat Mas Adam. Sorot matanya membulat penuh kepadaku.

"Tapi Mas, keadaanku sekarang sudah tidak seperti dulu. Beberapa naskah
Lohku ditolak oleh platform. Kemungkinan bulan depan aku tidak memiliki gaji lagi," ucapku dengan wajah ragu mengigit bibir bawahku.

"Apa?" Wajah Mas Adam terkejut.

*****

Bersambung ....

Penulis Ayu Kristin
Judul: pembalasan untuk keluarga suamiku

Link ada di kolom komentar

"Kamu fikir, kamu aja yang bisa antar jemput perempuan p**ang kerja, alibi satu arah?!!""Tenang ... aku juga bisa. Biar ...
19/08/2025

"Kamu fikir, kamu aja yang bisa antar jemput perempuan p**ang kerja, alibi satu arah?!!"

"Tenang ... aku juga bisa. Biar kubuat jantungmu co po t melihat laki-laki seperti apa yang mengantar-jemputku "

Bab 11

-11

"Terimakasih sudah mengantar saya p**ang."

Kalimat itu terdengar biasa yang keluar sebagai ucapan penghormatan atas sebuah pertolongan. Tapi entah kenapa suara lembut Qiara saat mengatakan itu pada orang lain membuat d a d aku b e r g. ejo lak pa n na s.

Apalagi senyum manis yang Qiara tampilkan, aku seperti penonton dalam adegan drama perpisahan romantis.

“Diantar siapa?”

Tatapanku menghunus ta jjam kearah Qiara. Sengaja kuperlihatkan bahwa aku tengah marah.

“Oh itu Pak Adnan.”

Jawabnya singkat, berjalan meninggalkanku.

“Adnan siapa? Kenapa kamu mau di antar p**ang laki-laki lain?”

Nafasku menggebu sebab tak puas dengan jawaban Qiara yang terkesan mengabaikanku. Kemarin direktur keuangan sekarang Adnan ada saja laki-laki baru setiap harinya di sekitarnya. Aku terus mengikutinya dari belakang dengan banyak pertanyaan.

“Dia Bosku, kebetulan satu arah makanya sekalian mengantar aku p**ang.”

Jawabnya enteng tanpa beban, tanpa merasa bersalah sama sekali. Aku membolehkannya bekerja,tapi bukan berarti dia bebas p**ang pergi dengan laki-laki lain.

“Kenapa kamu mau. Bukannya tadi aku menyuruhmu untuk naik taxi saja p**angnya.”

Kupegang kedua lengannya dan mendudukkan Qiara di pinggir tempat tidur, aku menarik kursi agar berhadapan dengannya. Kulihat dia seperti sangat kelelahan wajahnya lesu dan sedikit pucat. Tapi aku tidak bisa menunda percakapan ini. Lagian salah sendiri, sudah baik aku menyuruhnya di rumah saja, malah minta bekerja. Sekarang biar dia merasakan lagi, bagaimana lelahnya bekerja tapi tetap harus meladeni banyak pertanyaan dariku.

“Nggak papalah sekalian p**ang satu arah juga daripada buang-buang ongkos.”

Apa katanya? Buang-buang ongkos? Enteng sekali mulutnya berkata seperti itu.

Bahkan dia tersenyum santai saat mengatakan itu, jelas dia melihat bahwa aku tidak menyukainya tapi dia seperti tidak menganggap ketidaks**aanku.

“Aku membolehkan kamu bekerja lagi bukan berarti kamu bebas dan ses**a hatimu jalan bersama laki-laki lain.” Suaraku pelan tapi penuh tekanan dan arti yang dalam.

“Loh, siapa yang jalan sama laki-laki lain? Aku cuma p**ang bareng, gak lebih apa salahnya?”

“Kamu seorang perempuan dan seorang istri, apa pantas berdua dengan laki-laki lain dalam satu mobil seperti itu?”

“Memang apa salahnya toh kami hanya rekan kerja gak lebih. Saling tolong menolong gak ada salahnya kan, seperti katamu?”

Jawaban Qiara mengingatkanku pada saat dia juga memprotesku saat aku sering mengantar dan menjemput Ririn. Dia seperti tengah membalas dan membalikkan perlakuanku.

Baca selengkapnya di aplikasi K b mapp yaa..
Hanya 33 Bab saja.

• Berubah Cuek Setelah Diabaikan (Silent Treatment)
• Lyana Anggraini

[Pernikahanku yang bahagia selama lima tahun meski tanpa anak, terenggut ketika mertuaku datang dengan seorang perempuan...
19/08/2025

[Pernikahanku yang bahagia selama lima tahun meski tanpa anak, terenggut ketika mertuaku datang dengan seorang perempuan muda. Perempuan itu adalah ...]

BAB 6

Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk lewat sela-sela tirai jendela, menyapa lembut wajah Anisa yang masih setengah terpejam. Ia terbangun oleh bisikan lembut suaminya, yang sudah bersiap berangkat ke Bandung.

"Sayang, aku berangkat dulu, ya," ucap Purhajir sambil mengecup kening Anisa.

Anisa mengangguk, senyumnya mengembang meski matanya masih mengantuk. Ia bangkit duduk, memeluk Purhajir erat, seolah tak ingin melepas kepergiannya.

"Hati-hati di jalan. Jangan lupa makan, jangan tidur larut malam, dan kabari aku terus, ya."

Purhajir terkekeh ringan. Ia menatap istrinya penuh cinta. "Iya, iya ... Istriku yang bawel ini memang nggak pernah lupa ngingetin."

Mereka tertawa bersama, saling memandangi, seolah dunia hanya milik berdua. Namun, momen manis itu tak luput dari pengawasan sepasang mata yang membara oleh rasa iri.

Nadia berdiri di balik tirai, menggigit bibir bawahnya. Matanya menatap nanar adegan mesra itu. Dadanya sesak. Ia muak melihat kemesraan yang selalu ditunjukkan pasangan itu.

Begitu mobil Purhajir melaju meninggalkan rumah, Anisa masuk ke dalam. Ia meraih tas tangannya dan bersiap pergi ke rumah sakit untuk cek kandungan.

Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Bu Darmi dari arah ruang tamu.

"Pere mpuan macam apa kau ini? Suaminya baru pergi, dia juga ikut-ikutan pergi. Hanya pere mpuan se sat yang tidak tahu aturan, berani begitu," ujar Bu Darmi ketus.

Anisa menarik napas panjang. Ia menoleh dan menundukkan kepala. "Aku tidak keluyuran, Bu. Aku ke rumah sakit. Hari ini jadwal cek kan dungan ku."

"Cek kan du ngan? Hah! Sudah tahu man dul, ngapain periksa segala?" Nadia menyahut sambil tertawa meremehkan.

Anisa menunduk. Hatinya mencelos mendengar ucapan itu, tapi ia memilih diam. Ia tahu, membalas hanya akan membuat semuanya lebih buruk.

Tanpa sepatah kata pun lagi, ia melangkah pergi. Bu Darmi dan Nadia saling pandang, lalu tertawa kecil.

"Sudah waktunya kita mulai," kata Bu Darmi.

Nadia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Senyumnya melebar.

---

Seminggu berlalu. Selama di Bandung, Purhajir tak pernah absen menghubungi Anisa. Setiap pagi, siang, dan malam, suara hangatnya selalu menjadi pelipur lara Anisa yang terus menahan perasaan akibat perlakuan Bu Darmi dan Nadia.

"Sayang, kau baik-baik saja, kan?" tanya Purhajir lewat sambungan video call.

"Aku baik-baik saja," jawab Anisa dengan senyum yang dipaksakan. Meski wajahnya terlihat tenang, tubuhnya mulai melemah. Perutnya sakit belakangan ini, seringkali mual dan pusing.

Selesai menelepon, Anisa meraba perutnya yang terasa nyeri. Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, dan meneguk segelas air dingin. Namun, sakit di perutnya tak kunjung mereda.

Ia kembali ke kamar, merebahkan tu buh nya yang lelah. Namun, rasa sakit terus meng gerogoti. Tak tahan, ia meneguk sebutir obat tidur. Malam itu, ia tertidur p**as.

Keesokan paginya, Anisa bangun dengan rasa sakit yang masih mengendap di pe rutnya. Ia menghubungi sahabatnya, Dinda.

"Din, bisa antar aku ke rumah sakit? Aku ... aku butuh bantuan."

Dinda yang mendengar suara lemah Anisa langsung menyanggupi. "Aku ke sana sekarang. Tunggu, ya."

Tak lama, Dinda sudah menjemputnya. Sepanjang perjalanan, Anisa hanya diam, memegangi perutnya.

"Kau kenapa? Sejak kapan sakitnya?" tanya Dinda dengan khawatir.

"Beberapa hari terakhir. Aku pikir hanya masuk angin biasa."

Sesampainya di rumah sakit, Anisa berjalan ke arah ruang dokter Andre. Namun, tiba-tiba ia berhenti.

"Aku nggak mau periksa ke Dokter Andre. Nanti dia lapor ke Mas Pur. Aku nggak mau suamiku khawatir. Boleh kita ke dokter umum saja?"

Dinda mengangguk. "Oke, ayo."

Mereka masuk ke ruang praktek dokter umum. Seorang wanita paruh baya dengan wajah ramah mempersilakan Anisa duduk. Ia mulai memeriksa dengan seksama.

"Saya akan minta hasil lab-nya dulu, Bu. Nanti setelah keluar, tolong kembali ke sini, ya," ucap dokter itu setelah selesai memeriksa singkat.

Anisa mengangguk lemah. Ia keluar dan duduk di ruang tunggu bersama Dinda.

Sementara itu, di rumah, Bu Darmi dan Nadia tampak duduk santai di ruang tengah. Wajah mereka sumringah.

Di sudut ruangan, ada saudara Bu Darmi yang dulu ikut men cibir Anisa. Mereka ikut tertawa puas.

---

Beberapa saat kemudian, nama Anisa dipanggil. Ia masuk kembali ke ruang dokter, kali ini didampingi Dinda.

Dokter itu menatap Anisa dengan serius. Di tangannya ada berkas hasil pemeriksaan. Ia ragu untuk membuka suara.

"Bu Anisa, ini hasil pemeriksaan Anda. Saya harap Anda tidak ka get."

Anisa menelan lu dah. Tangannya ber getar saat menerima hasil laporan kesehatan itu. Jantungnya berdebar keras. Ia membuka perlahan dokumen itu dan menarik lembaran kertas di dalamnya.

Pandangan matanya menyapu setiap baris kata. Ma tanya melebar. Na pasnya ter cekat. Dunia seolah berhenti berputar. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, meski ruangan itu dipenuhi pendingin udara.

Tangannya gemetar hebat. "Ya Tuhan ... ini... ini."

Dinda yang berada di sampingnya, melihat perubahan ekspresi Anisa. Ia langsung merebut kertas itu dari tangan Anisa.

Begitu matanya membaca isi kertas itu, wajah Dinda ikut berubah. Na pasnya tertahan. Ia menatap Anisa dengan sorot tak percaya.

"Nis ... ini ... Ini nggak mungkin."

Anisa hanya mampu memandang Dinda, mulutnya terbuka. Namun, tak ada suara keluar.

------

Judul : RAHIM YANG DITUDUH NAMUN CINTA YANG TERENGGUT
Penulis : Srhy Chan

[Pernikahanku yang bahagia selama lima tahun meski tanpa anak, terenggut ketika mertuaku datang dengan seorang perempuan...
19/08/2025

[Pernikahanku yang bahagia selama lima tahun meski tanpa anak, terenggut ketika mertuaku datang dengan seorang perempuan muda. Perempuan itu adalah ...]

Bab 5

Hening memenuhi kabin mobil dalam perjalanan p**ang. Hanya suara mesin dan deru angin malam yang menemani Purhajir dan Anisa.

Mata Anisa sembab, memerah karena menahan tangis sejak keluar dari rumah keluarga Bu Darmi. Jari-jarinya menggenggam kuat tas kecil yang terletak di pangkuannya.

"Maafkan aku, Mas ...." Suara lirih Anisa memecah keheningan.

Purhajir menoleh sejenak, alisnya mengernyit. "Maaf untuk apa, Sayang?"

Anisa menghela napas panjang. Matanya menatap ke luar jendela, tapi suaranya jelas bergetar. "Kalau Mas Pur memang ingin punya ketu runan, aku rela dima du. Aku rela ... kalau Mas Pur ingin menikah dengan Nadia."

Mobil berhenti dengan mendadak di pinggir jalan yang sepi. Purhajir menoleh cepat ke arah Anisa, matanya mem bara oleh emosi. Ia meraih p**i istrinya dengan kedua tangannya, menatap mata Anisa yang berkaca-kaca.

"Jangan pernah katakan hal seperti itu lagi, Anisa! Jangan!"

Anisa terdiam. Bibirnya ber getar, tapi sebelum ia sempat membuka mulut, Purhajir melanjutkan, suaranya berat dan penuh ketegasan.

"Meski kita belum dikaruniai ketu runan, aku sangat bahagia bersamamu. Tak pernah sedikit pun aku berpikir untuk menggantikanmu. Kau adalah istriku. Satu-satunya pere mpuan yang kucintai!"

"Tapi ...."

"Tidak ada tapi!" potong Purhajir cepat. "Aku tidak ingin mendengar hal itu keluar dari mu lutmu lagi. Aku tidak peduli dengan ci bi ran orang lain. Yang penting, kau tetap di sampingku."

Anisa tersenyum kecil. Air matanya jatuh begitu saja, bukan lagi karena kesedihan, tapi karena keharuan. "Terima kasih, Mas."

Purhajir tersenyum, lalu mengusap lembut rambut istrinya. Ia kembali menjalankan mobil. Anisa menyandarkan kepala di bahu suaminya, lalu perlahan tertidur.

Sesampainya di rumah, Purhajir turun dan memutar ke sisi penumpang. Dengan lembut, ia meng gendong Anisa ke dalam rumah. Langkahnya hati-hati, seolah tak ingin membangunkan tidur sang istri.

Namun, dari balik tirai ruang tamu, sepasang mata mengawasi mereka dengan sorot tak s**a. Nadia, yang sejak sore menanti kep**angan Purhajir, tak menyangka lelaki itu justru menjemput Anisa. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.

Tanpa suara, ia berbalik dan melangkah menuju kamar dengan amarah membuncah. Ia pun tertidur berbantakan amarah, berselimutkan cemburu.

---
Pagi-pagi sekali, suasana rumah terasa berat. Bu Darmi baru saja p**ang. Wajahnya gelap dan mata tajamnya melirik tajam ke arah Nadia.

"Bagaimana?" tanya Bu Darmi saat duduk di sofa.

Nadia menggeleng pelan. "Aku gagal. Dia malah pergi. Rupanya menjemput Anisa."

Bu Darmi mendengus, lalu menjatuhkan tubuhnya di kursi dengan kasar. "Jangan menyerah. Masih banyak cara. Kita belum selesai."

Nadia menatap wajah Bu Darmi yang tampak penuh rencana. "Apa yang Ibu rencanakan sekarang?"

"Tenang saja. Kita akan tunggu waktu yang tepat. Laki-laki seperti Purhajir pasti akan berubah kalau diberi tekanan yang tepat."

Pagi itu, Anisa dan Purhajir bersiap ke rumah sakit. Anisa hendak melakukan kontrol rutin, sementara Purhajir kembali ke jadwal praktiknya yang padat. Ketika keduanya melangkah keluar dari kamar dengan pakaian rapi, Bu Darmi sudah menunggu di meja makan.

"Mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Bu Darmi dengan nada sinis.

"Ke rumah sakit, Bu," jawab Anisa pelan. "Aku cek kan dungan, dan Mas Purhajir praktik."

"Hmph, cek kan dungan. Padahal sudah jelas man dul. Ngapain diperiksa terus? Nggak usah berharap yang aneh-aneh."

Purhajir hendak menyela, wajahnya memerah karena amarah, tapi Anisa dengan cepat meraih tangan suaminya, menggenggamnya erat. Tatapan Anisa meminta agar Purhajir tak membalas ucapan ibunya.

Dengan berat hati, Purhajir menahan diri. Mereka pun berpamitan dan keluar dari rumah.

---

Di rumah sakit, sebelum menuju ruang praktiknya, Purhajir menemani Anisa ke bagian kandungan. Mereka menemui dokter Andre, sahabat Purhajir sekaligus spesialis kandungan terkenal.

"Andre, aku titip istriku, ya. Periksa seperti biasa."

Andre tersenyum. "Tenang saja, Pur. Aku sudah hafal kondisi Anisa."

Setelah pemeriksaan selesai, Andre memandang Purhajir dan Anisa bergantian. "Anisa sehat. Ra him nya normal. Semua fungsi reproduksinya juga baik. Kalau sampai sekarang belum ada anak, mungkin Tuhan belum mengizinkan. Bukan berarti kalian harus menyerah."

"Kami terus berusaha, Dok," ucap Anisa pelan.

"Dan jangan berhenti berdoa," tambah Andre. "Keajaiban itu nyata."

Setelah keluar dari ruang pemeriksaan, Purhajir menawarkan diri untuk mengantar Anisa p**ang. Namun, Anisa menolak.

"Mas kembali saja ke ruang praktik. Banyak pasien yang menunggu. Aku bisa p**ang sendiri."

Purhajir tampak ragu. "Kau yakin?"

Anisa tersenyum. "Yakin. Nanti aku naik taksi."

Senyum Purhajir melunak. Ia mencium dahi istrinya dengan lembut. "Hati-hati di jalan. Pulang langsung ke rumah, ya."

Anisa mengangguk. Setelah berpisah dengan suaminya, Anisa justru memutuskan pergi ke rumah sahabatnya, Dinda.

Begitu pintu rumah Dinda terbuka, Anisa langsung memeluknya erat. Tangisnya tumpah di bahu sahabatnya itu.

"Hey ... ada apa ini?" tanya Dinda sambil menuntun Anisa masuk.

Di ruang tamu, Anisa menceritakan semua keluh kesahnya. Tentang cibiran, tentang Bu Darmi, tentang Nadia, dan tentang rasa takutnya kehilangan Purhajir.

Dinda mendengarkan dengan sabar, sesekali mengelus tangan Anisa untuk menenangkannya. "Kau harus bersyukur, Nis. Suamimu luar biasa. Meski ibunya tidak menyukaimu, dia terus berada di pihakmu, membelamu mati-matian. Nggak semua istri bisa seberuntung dirimu."

"Tapi sampai kapan, Din? Sampai kapan aku bisa bertahan di bawah tekanan ini?"

"Selama cintanya masih untukmu, kau akan kuat. Aku tahu kau kuat."

Anisa tersenyum, meski matanya masih sembab, dan setelah puas bercerita dan merasa sedikit lega, Anisa pun berpamitan p**ang. Setibanya di rumah, ia melihat Bu Darmi dan Nadia duduk di ruang tamu. Mereka diam, dingin, bahkan tak menyambut ketika Anisa menyapa.

Anisa hanya menunduk. Ia sudah lelah. Tanpa berkata-kata, ia naik ke kamar dan memilih beristirahat.

---

Malam hari, suara mobil Purhajir terdengar. Anisa cepat-cepat turun dan menyambut sang suami di pintu. Seperti biasa, Purhajir menyerahkan seuntai bunga mawar merah.

"Untuk istriku tercinta."

Anisa tertawa pelan. "Mas, setiap hari bawa bunga. Nanti rumah kita penuh bunga, lho."

"Biar penuh cinta juga," balas Purhajir sambil mencium keningnya.

Dari kejauhan, Bu Darmi dan Nadia melihat kemesraan itu. Wajah keduanya keruh. Bu Darmi bahkan mengalihkan pandangan, sementara Nadia mencengkeram sandaran kursi dengan gemetar.

Di ruang makan, Anisa dan Purhajir duduk berdua. "Mas sudah makan?" tanya Anisa.

"Sudah, tadi bareng teman-teman dokter. Kamu sendiri?"

"Sudah juga."

Purhajir menatap wajah Anisa sejenak. "Besok aku harus ke Bandung. Dua minggu. Ada pertemuan dokter spesialis jan tung. Kau ikut, ya."

Anisa menggeleng. "Mas, kalau aku ikut, nanti Mas malah nggak fokus. Aku di rumah aja."

"Kau selalu bisa cari alasan, ya," ucap Purhajir sambil men cubit lembut hidung Anisa.

Mereka tertawa bersama. Namun, tanpa mereka sadari, dari balik tangga, Nadia mengintip sambil menggigit bibir bawahnya.

Dengan langkah cepat, Nadia naik ke lantai atas. Ia mengetuk pintu kamar Bu Darmi.

Begitu pintu terbuka, Nadia masuk dan berkata dengan suara rendah namun penuh emosi. "Bu, Anisa tidak ikut ke Bandung. Tapi Mas Pur ingin mengajaknya. Sepertinya ini kesempatan kita."

Bu Darmi menatap Nadia, lalu tersenyum licik. "Bagus. Kita harus manfaatkan ini dengan baik."

------

Judul : RA HIM YANG DITUDUH NAMUN CINTA YANG TERENGGUT
Penulis : Srhy Chan

"Bu, kita nggak tinggal di rumah lagi?” tanya Aira masih kelihatan bingung saat mereka berada dalam taksi online.“Iya, s...
19/08/2025

"Bu, kita nggak tinggal di rumah lagi?” tanya Aira masih kelihatan bingung saat mereka berada dalam taksi online.

“Iya, sayang,” sahut Mira sambil melihat alamat kontrakan yang dicarinya lewat media social. Hingga akhirnya mereka sampai di tujuan dan turun dari taksi.

Langkah Mira masih ragu-ragu ketika menyusuri gang sem pit di kawasan pinggir kota itu. Tangan mungil Aira tergenggam erat dalam genggamannya, dan koper kecil mereka dige ret pelan di belakang.

Ia sudah menyusuri beberapa iklan rumah kontrakan sejak tadi dari warung ke warung, dari tiang listrik ke tiang listrik lainnya, bertanya dan mencatat nomor. Tapi kebanyakan rumah yang ia lihat terlalu kvmuh, atau harga sewanya terlalu tinggi.

Sampai akhirnya, di ujung gang kecil yang agak sunyi, ia menemukan satu rumah kecil berpagar besi. Di depannya tertera tulisan: “Dikontrakkan. Hubungi Bu Rohma.”

Dengan cepat Mira menghubungi nomor tersebut dari ponsel tuanya. Tak lama, seorang ibu setengah baya keluar dari rumah sebelah sambil tersenyum ramah.

“Cari kontrakan, Dek? Ini rumah memang baru kosong kemarin. Tapi kalau cocok, bisa langsung ditempati hari ini,” kata Bu Rohma.

Rumah itu kecil, hanya dua kamar, satu dapur mungil, dan ruang tamu sempit. Tapi bersih. Dindingnya dicat krem terang dan jendela menghadap ke kebun kecil belakang.

Mira menatap sekeliling, lalu mengangguk perlahan. “Saya ambil, Bu.”

“Bayar sewa awal minimal tiga bulan ya, Dek. Listrik sama air ditanggung sendiri.”

Mira mengangguk, meski hatinya tercekat. Uang di dompetnya nyaris tak cukup. Tapi dia tak boleh ragu.

Ia membayar uang muka sewa satu bulan dulu, sambil berjanji akan melunasi sisanya minggu depan. Bu Rohma sempat ragu, tapi melihat Mira yang datang membawa anak kecil dan koper lusuh, ia luluh.

“Gak apa-apa. Saya percaya kamu orang baik.”

Sore itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Mira dan Aira punya atap sendiri. Sederhana, tapi terasa milik mereka.

Malamnya, saat Aira tertidvr di kasvr tipis pinjaman dari ibu kontrakan, Mira duduk di lantai ruang tengah, membuka kembali map biru yang berisi dokumen SDB milik Fandy. Ia mengamati kembali surat itu, memastikan semua persyaratan sudah lengkap. Besok, ia akan ke bank.

Bank itu berlokasi di pusat kota, megah dan modern. Mira mengenakan pakaian terbaik yang ia punya, blouse putih yang sedikit pvdar dan rok panjang hitam. Ia menggandeng Aira yang memakai pita biru kes**aannya.

Di dalam ruangan customer service, Mira menjelaskan maksud kedatangannya. Petugas bank memintanya mengisi formulir, lalu menyerahkan seluruh dokumen.

"Suami Ibu menyewa SDB ini lima tahun yang lalu. Kami memang mencatat beliau mencantumkan Anda sebagai ahli wa ris," ujar petugas, setelah memverifikasi data.

Setelah serangkaian proses dan tanda tangan, mereka dibawa ke ruang brankas di lantai bawah tanah.

Petugas membuka SDB itu di depan Mira. Kotak besi panjang dikeluarkan dan diletakkan di atas meja. Saat dibuka, mata Mira membe lalak.

Di dalamnya, ada beberapa ba-tang emas antam yang dibungkus rapi. Ada juga buku tabungan deposito dan sepucuk surat kecil dengan tulisan tangan Fandy.

“Untuk Mira dan Aira,”

Kalau kamu menemukan ini, berarti aku sudah nggak di sisimu lagi. Maaf kalau aku pergi terlalu cepat. Tapi aku ingin kamu tahu, aku percaya kamu bisa hidup mandiri. Aku tahu kamu kuat. Pakai semua ini untuk mulai dari awal. Bangun hidup kalian. Dan tolong... jangan pernah menyerah.

“Fandy.”

Mata Mira berkaca-kaca. Ia mengelus kertas itu pelan, lalu mencivminya. “Terima kasih, Mas…”

Dengan bantuan pegawai bank, ia mencairkan sebagian emas dan deposito menjadi ua ng tunai. Ia tidak mengambil semuanya, hanya cukup untuk beberapa bulan ke depan juga untuk modal usahanya. Dalam hati, ia berjanji akan mengelola ini sebaik mungkin.

Siang itu, Mira menatap sekeliling kontrakan mungil itu. Aira tidvr p**as di sudut ruangan, beralaskan kasvr tipis hasil pinjaman dari ibu pemilik rumah. Meski sederhana, tempat ini memberinya napas. Tempat yang tak berisi kemarahan, cemo ohan, dan tekanan seperti di rumah yang sekarang ditempati kakak ipar dan mertuanya.

Ia mengelvs kepala putrinya pelan, lalu duduk bersandar di dinding, menggenggam ponselnya yang ret ak di ujung layar. Ia membuka kembali daftar pesan dan catatan yang sudah disimpannya sejak dulu. Sebuah mimpi kecil yang dulu hanya tersimpan dalam kepala, kini mulai diberi ruang untuk diwujudkan.

Malam itu, Mira membuka aplikasi belanja online. Ia mengetik: “Mesin ja hit portable digital.”

Matanya mengamati satu per satu pilihan. Ia tahu persis fitur apa yang ia butuhkan, mesin yang tidak terlalu besar, tidak terlalu mahal, tapi cukup kuat untuk berbagai jenis kain. Ia memilih satu dengan rating tinggi dan ulasan bagus, lalu memasukkannya ke keranjang.

Lalu lanjut ke kain katun motif, benang ja-hit berbagai warna, meteran, gvnting kain, jarvm, renda, dan kancing. Satu demi satu item ia pilih dengan hati-hati. Tidak boros, tapi cukup untuk memulai.

Sesekali, ia menoleh ke arah Aira. Anak itu tertidvr lelap, wajahnya tenang. Mira tersenyum pahit.

"Aira… Mama bakal mulai dari nol. Tapi ini demi kita."

Ia menarik napas panjang. Setelah menimbang semuanya, ia klik "Checkout." Barang-barang akan sampai dalam 3 hari ke depan.

Tiga hari kemudian, beberapa paket datang hampir bersamaan. Mira menata semuanya di sudut ruang tamu. Sebuah mesin ja-hit putih mengkilat kini berdiri kokoh di atas meja kecil bekas meja belajar yang ia beli bekas secara online juga.

Hari itu, ia duduk di depan mesin, mengamati dengan seksama. Tangannya gemetar saat menyentvh tombol-tombolnya. Sudah lama sekali sejak terakhir ia menja hit untuk dirinya sendiri, bukan untuk pesanan orang lain atau sekadar memperbaiki pakaian tua.

Ia mengambil sepotong kain biru langit dan mulai menja hit. Ja-hitan pertama terasa gugup. Tapi makin lama, tangannya menemukan ritmenya kembali. Mesin berde ngung pelan, mengisi ruang kecil itu dengan suara yang entah kenapa terasa menguatkan.

Malamnya, setelah Aira tidvr, Mira duduk di depan ponsel. Ia membuka akun media sosial yang baru dibuatnya: .

Bio-nya sederhana:
“Baju buatan tangan, dari rumah kecil kami untukmu.”

Ia memotret hasil karyanya yang pertama, sebuah atasan wanita dari katun motif bunga kecil, dengan renda di ujung lengan. Baju itu ia gantvng di dinding dengan latar kain putih seadanya.

Ia mengetik caption dengan jantu ng berdegup. “Produk pertama kami. Dija hit sendiri, dengan cinta dan harapan baru. ” Lalu ia unggah.

Postingan itu hanya dilihat oleh lima orang malam itu. Tapi Mira tidak kecewa. Ia tahu, semua hal besar dimulai dari langkah kecil.

Keesokan harinya, ia menulis di buku catatannya untuk membuat 5 desain baju berbeda. Upload minimal 3 kali seminggu di IG. Pelajari cara pasang iklan murah di media sosial. Beli label nama brand kecil-kecilan kalau uang sudah cukup.

Di pojok kertas ia menuliskan: “Ingat kata Mas Fandy: Jangan pernah menyerah.”

Mira tersenyum, matanya berkaca-kaca. Rasa kehilangan masih ada, tapi kini ia menggenggam warisan terbesar dari suaminya yaitu kepercayaan.

Ia bukan siapa-siapa. Yatim piatu, perempuan yang tak punya sandaran selain dirinya sendiri. Tapi hari ini, ia memilih untuk berdiri. Dan itu sudah cukup. Hingga terdengar notifikasi pesan IG yang masuk. Mira tersenyum lebar membaca pesan itu.

Judul : Membalas Mertua dan Ipar Tamak
Penulis : putri_arhea1
Selengkapnya tamat di KBM

“Iya, pergi dari sini! Dan kalau kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah pikir bisa balik lagi, kamu ngerti, Mira!”Ket...
19/08/2025

“Iya, pergi dari sini! Dan kalau kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah pikir bisa balik lagi, kamu ngerti, Mira!”

Keterlaluan! Belum tujuh hari suamiku mennggal. Mertua menguasai ha r ta peninggalan suamiku. Bahkan mereka mengvsirku, mereka tidak tahu ada harta tersembunyi dari suamiku yang kubawa dan bisa mengubah hidupku dan membuat mereka……5

“Iya, pergi dari sini! Dan kalau kamu keluar dari rumah ini, jangan pernah pikir bisa balik lagi, kamu ngerti, Mira!”

Suara Risma membe lah ruang tamu seperti pe tir menya mbar. Nada suaranya penuh ama rah dan ejekan. Mira berdiri mematung di hadapannya, wajahnya pu cat, matanya sudah sembab. Tapi dia tidak menangis lagi. Tidak di hadapan ibu mertuanya yang tega.

“Pergi aja kalau kamu merasa udah nggak tahan! Tapi jangan bawa apa-apa ya! Semuanya di rumah ini milik Fandy!” lanjut Risma, menuding ke segala arah.

Mira menghela napas panjang, lalu berbalik masuk ke ka mar. Tangannya gemetar ketika membuka lemari. Aira sedang duduk di pojok kasvr, memelvk bonekanya, menatap ibunya dengan pandangan bingung.

“Bu... kita mau ke mana?” bisik Aira.

Mira menatap anknya dengan senyum getir. Ia tak mampu menjawab. Ia hanya membelai kepala anknya, lalu mulai membereskan beberapa pakaian ke dalam koper kecil.

Ketika ia mena rik laci di meja rias, pandangannya tertvmbuk pada sebuah map biru. Mata Mira membelalak. Map itu berisi dokumen-dokumen lama milik Fandy. Tangannya bergerak cepat, membuka satu per satu berkas yang ada di sana, hingga akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya.

Sebuah surat perjanjian sewa Safe Deposit Box (SDB) dari salah satu bank besar.

“Ini dia…,” gumam Mira, jantungnya berdegup keras.

Mata Mira tertuju pada bagian yang ditulis tangan oleh Fandy beberapa tahun lalu. Ada kolom ahli waris yang jelas-jelas menyebut namanya.
“Jika saya men inggal dunia, hak pengelolaan dan pembukaan brankas ini akan menjadi milik istri saya, Mira Andini.”

Ingatannya langsung melayang pada malam-malam sunyi saat Fandy pernah berbisik, “Kalau nanti ada apa-apa sama aku, kamu cari di lemari map biru ya. Aku taruh surat soal tabungan emas di bank. Jaga Aira baik-baik…”

Saat itu Mira tidak pernah berpikir kalau pesan itu akan menjadi begitu penting. Tapi sekarang, itu seperti sinar harapan kecil di tengah gelapnya tekanan hidup.

Ia segera memasukkan surat itu ke dalam tas selempangnya. Kemudian, ia menyatukan beberapa dokumen penting, KTP, KK, surat kematian Fandy, dan buku nikah mereka. Semuanya dibundel rapi.

Ia tahu, dengan semua itu, dia bisa mendatangi bank dan mengurus akses ke brankas itu.

Ua ng tunainya sekarang nyaris habis. Tapi jika benar di dalam SDB itu ada tabungan emas yang Fandy kumpulkan selama bertahun-tahun sebagai PNS, maka dia dan Aira masih punya peluang untuk memulai hidup dari awal.

Perlahan, ia kembali mengang kat koper kecil, menyelipkan tas selempang ke pundaknya, dan menggandeng Aira.

Ketika keluar dari kam ar, Risma yang duduk di ruang tengah menatapnya ta jam, lalu tertawa kecil dengan nada menghi na.

“Heh… kamu beneran mau pergi, Mira? Kamu kira hidup di luar sana gampang? Kamu itu bukan siapa-siapa. Yatim piatu, nggak punya saudara, nggak punya rumah. Kamu pikir kamu bisa bertahan hidup dengan anak kecil begitu?”

Mira diam, tetap berjalan perlahan ke pintu.

“Kamu pikir bisa hidup dari belas kasihan orang? Atau kamu mau jval diri demi makan?! Jangan sok kuat, Mira. Dunia nggak semurah itu!” cibir Risma keras, sambil tertawa penuh ejekan.

Nita berdiri tak jauh dari ibunya, terlihat cemas. “Mira... yakin mau pergi?” tanyanya ragu. “Mungkin... kita bisa bicarakan lagi…”

Tapi Risma menoleh cepat. “Nita! Jangan ikut campur! Biarkan saja kalau dia mau pergi. Biar dia tahu dunia nggak segampang hidup enak di rumah ini. Lagian, dia nggak akan lama di luar sana. Sebentar lagi juga pasti balik, mere ngek kayak an-jing kelaparan!”

Mira berhenti sejenak di depan pintu. Lalu ia menoleh ke belakang. Tatapannya ta jam, bukan marah, tapi penuh lvka.

“Saya mungkin tidak punya siapa-siapa, Bu,” ucap Mira dengan suara tenang. “Tapi saya masih punya harga diri. Dan saya nggak akan hidup di tempat di mana saya terus di in jak-I njak.”

Dengan satu tarikan napas, ia membuka pintu. Udara pagi menyambutnya, memberi kesegaran yang lama tak ia rasakan. Mira menggenggam tangan Aira lebih erat.

“Bu, kita ke mana?” tanya Aira lagi.

“Kita cari tempat baru, Nak,” ucap Mira sambil membe lai p**i putrinya. “Tempat yang bisa bikin kita tenang.”

Ia melangkah pergi, meninggalkan rumah yang dulu dibangun bersama cinta, kini hanya menyisakan dinding-dinding dingin dan ejekan. Koper kecil bergulir di ta nah, pelan tapi mantap. Dari balik jendela, Risma menatap kepergian mereka sambil tersenyum sinis.

“Percuma aja. Lihat aja, dia pasti balik. Nggak lama lagi.”

Namun, Risma tidak tahu, dengan surat SDB itu, Mira membawa lebih dari sekadar koper kecil dan anknya. Dia membawa harapan baru. Titipan cinta terakhir dari suaminya yang akan jadi pondasi hidup mereka ke depan.

Dan untuk pertama kalinya sejak Fandy meni nggal, langkah Mira terasa ringan. Meski masih ada tangis yang ia tahan, tapi hari ini, dia tidak kalah. Hari ini, dia memilih untuk berdiri tegak melindungi buah cinta mereka.

Judul : Membalas Mertua dan Ipar Tamak
Penulis : putri_arhea1
Selengkapnya tamat di KBM

Address

Lamongan

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Mas Al Rantau posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share