Mas Al Rantau

Mas Al Rantau Cerita Kehidupan✅
Saling Support✅
Berbagi Itu Indah✅
Pro novel KBMapp✅ Wa👉0881036236365
Jual halaman siapkan konten👈
(2)

(4) “Aku hanya bertanya, Mi. Lagian kalau sampai apa yang aku pikirkan benar, lihat saja, aku tidak akan tinggal diam,” ...
14/12/2025

(4) “Aku hanya bertanya, Mi. Lagian kalau sampai apa yang aku pikirkan benar, lihat saja, aku tidak akan tinggal diam,” kata Feli, lalu melenggang pergi dari hadapan ibu mertuanya.

“Hei, jangan lupa masak! Aku lapar!” teriak Bu Dona mengingatkan Feli.

Feli hanya mengendikkan bahu, bukan bermaksud ingin melawan ibu mertuanya. Tapi ia juga butuh dihargai di rumah itu. Feli menjatuhkan tubuh di kasurnya, ia memainkan ponsel dan membuka galeri, melihat foto-foto Rafan ketika masih bayi.

“Ya Allah, kenapa hati ini rasanya gelisah sekali? Aku masih saja memikirkan anak itu. Wajahnya sangat mirip dengan Mas Ghata juga Rafan. Hanya ada dua kemungkinan yang bisa aku pikirikan. Azka anak kandungku, atau Azka anak hasil perselingkuhan Mas Ghata dengan wanita lain.”

Hatinya berdenyut sakit, merasakan sesak yang tak beralasan. “Tapi apa mungkin Mas Ghata tega mengkhianatiku?”

Feli memejamkan sejenak matanya untuk beristirahat. Namun semua ketenangan itu sirna saat Bu Dona menggedur kamarnya.

“Fel! Feli! Bukannya masak malah tidur!” teriak Bu Dona di luar kamar.

Feli mengerjapkan mata, mengembuskan napas berat lalu berjalan ke arah pintu dengan gontai.

“Mi, aku sedang tidak enak badan. Kalau Mami lapar Mami bisa pesan makanan online, atau minta Bi Marni membuatkan apa yang Mami mau. Di sini aku bukan pembantu.” Feli sudah mu ak dengan segala drama ibu mertuanya.

Walau ia juga berpenghasilan, tapi selalu saja dianggap remeh oleh Bu Dona. Tapi wajar saja jika Bu Dona seperti itu, ia tidak tahu jika butik Feli telah tersebar di beberapa kota dengan nama lain, memakai nama putranya. Bu Dona hanya tahu Felicia butik, pakaian muslim. Tapi tidak tahu dengan Rafan collection, busana anak yang sengaja ia buat untuk diwariskan pada putranya nanti.

“Halah, mau babu atau bukan tugas kamu itu nurutin perintahku. Kamu menikah dengan Ghata itu jadi otomatis harus patuh padaku, gak boleh membantah,” kata Bu Dona dengan nada sarkas.

“Sorry, kalau mau seperti itu silahkan cari menantu lain saja. Sudah cukup aku menuruti semua kemauan Mami.”

“Kurangajar kamu ya.” Bu Dona mengangkat tangan hendak mena mpar Feli, namun Feli dengan sigap menahan tangan tersebut dan mele mparnya dengan kesal.

“Aku hanya mengimbangi sikap Mami padaku. Mami pikir aku akan diam saja diperlakukan seperti ini terus? Aku Feli Mi, bukan menantu yang bisa Mami injak dan hina terus.” da da Feli naik turun merasakan amarah yang kian memuncak.

“Ck, awas aja kamu. Belum tau saja kamu kalau Ghata akan mewariskan harta keluarga Dirgantara. Pasti kamu akan menyesal telah melawanku, akan aku buang kamu setelah Ghata mendapatkan perusahaan itu.” Bu Dona mendengus kesal, bersedekap dengan congkak bahkan menatap hi na pada Feli.

Feli mengerutkan kening, mencerna perkataan Bu Dona barusan. “Keluarga Dirgantara?” gumamnya.

Bu Dona terkekeh. “Pria yang istrinya baru saja mena mparmu.”

“Astaghfirullah, berarti harta rampa san. Maaf, aku juga tidak sudi memakan uang itu.” Diandra tak kalah angkuh, tatapannya seolah ingin menantang Bu Dona.

“Awas kamu ya, jangan nangis kalau Ghata punya wanita lain di luar sana,” kata Bu Dona membuat Feli bungkam.

Tentu perkataan itu bagai boomerang bagi Feli. Ia sangat mencintai suaminya, tapi kalau sampai terjadi, tentu Feli tidak akan menerimanya.

“Terserah, aku gak peduli.”

Feli tak ingin memperpanjang percakapan mereka. Ia masuk ke dalam kamar untuk mengambil tasnya, lalu menutup pintu kamar dengan kuat walau Bu Dona ada di sana.

“Mau ke mana kamu?” tanya Bu Dona saat Feli melintasinya begitu saja.

“Mau jemput Rafan.”

Berkali-kali Feli mengembuskaan napas karena sikap Bu Dona. Kesabarannya terus saja diuji oleh wanita yang telah melahirkan suaminya itu.

“Assalamualaikum, Ma. Kok Mama sih yang jemput? Bukannya Mama sakit?” tanya Rafan begitu masuk ke dalam mobil.

Feli mengusap kepala sang putra. “Gak sakit kok, cuma kelelahan aja.”

“Alhamdulillah,” balas Rafan terdengar lega.

“Oh ya Ma, tadi… di sekolah teman-temanku terus saja mengatakan kalau aku kembaran Azka. Sudah aku katakan kalau aku dan Azka tidak ada hubunngan apa-apa, tapi mereka gak percaya Ma.” adu Rafan.

Baru juga kaki Diandra hendak menginjak pedal gas, namun semua itu urung saat sang anak bercerita. Feli memperhatikan wajah putranya dengan seksama, hal yang sedari tadi mengganggu pikirannya terus saja berputar, bahkan semakin menjadi saat mendengar ucapan anaknya.

“Kita ke rumah sakit ya, besuk Azka. Kamu mau?” tanya Feli yang diangguki Rafan.

“Mau, Ma. Aku juga mencemaskannya, kemarin saat di sekolah dia murung banget, mukanya juga pucat. Dia juga bilang….” Rafan tak melanjutkan ucapannya, dari suara anak itu jelas terdengar kalau ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.

Melihat itu semua membuat Feli semakin gelisah, gelisah tanpa tahu sebabnya.

“Dia bilang apa sayang?” tanya Feli menggebu, penasaran.

“Dia bilang… Di rumah tidak pernah dikasih makan Ma. Kok gitu ya Ma? Apa mamanya gak sayang sama dia ya? Aku aja selalu dibuatkan makanan terus sama Mama.” Suara Rafan terus melemah, seolah ia bisa merasakan apa yang dirasakan Azka.

“Loh, bukannya kata kamu dia dibawakan bekal?” tanya Feli bingung.

“Katanya itu bekal pemberian ayahnya, Ma. Kalau ayahnya gak bawain ya dia gak makan. Paling makan makanan sisa mamanya. Ish, sedih banget ya Ma, andai aja dia kembaranku, pasti perutnya selalu kenyang sepertiku.”

Degh!

‘Tidak bisa, aku harus memastikannya. Aku harus ke rumah sakit dan mencari tahu siapa sebenarnya Azka,’ batin Feli cemas bercampur takut, bahkan tangannya mere mas kemudi dengan erat.

Baca selengkapnya di KBM
Judul : Anak Keturunan Gundik
Penulis : Nuraselina

"Ra, Kita putus! Aku sekarang seorang perwira, kita gak selevel!"Aku dicampakkan oleh seorang perwira dengan alasan gak ...
13/12/2025

"Ra, Kita putus! Aku sekarang seorang perwira, kita gak selevel!"

Aku dicampakkan oleh seorang perwira dengan alasan gak selevel. Tapi sebulan kemudian aku buat dia menyesal karena ternyata aku..

4.

Begitu pintu ruangan Dika terbuka, Tiara langsung membeku. Matanya menangkap pemandangan yang membuatnya muak. Di sana, Pram dan Nada sedang duduk terlalu dekat, tertawa kecil sembari saling menyentuh seperti dunia hanya milik mereka berdua.

Kenapa harus ketemu mereka lagi, sih?! rutuknya dalam hati. Ia ingin membalikkan badan, melarikan diri sebelum mereka menyadari kehadirannya.

Namun, sayang sekali harapannya pupus. Belum sempat ia melangkah pergi, suara yang familiar menyapanya lembut dari samping.

“Tiara, kamu kok berdiri di sini? Ayo masuk,” ucap Dika sambil tersenyum ramah. Entah sejak kapan pria itu berdiri di sebelahnya.

Dengan terpaksa, Tiara melangkah masuk ke ruangan bersama Dika. Ruangan itu cukup nyaman, dinding berwarna hangat, rak-rak penuh buku medis, dan aroma khas rumah sakit yang menyatu dengan parfum Dika yang elegan. Tapi semua kenyamanan itu buyar karena keberadaan dua sosok menyebalkan itu.

Pram dan Nada yang tadinya asyik sendiri sontak menoleh ke arah pintu saat mendengar suara Dika. Mereka tampak terkejut, apalagi saat menyadari siapa yang berdiri di samping dokter muda itu.

Nada melipat tangan di dada, wajahnya berubah sinis seketika. “Dokter, ngapain bawa wanita itu ke sini?” tanyanya tajam, seperti sedang melihat sampah.

Dika menoleh ke Nada, ekspresinya masih tenang. “Oh, dia ini teman saya. Kami sudah lama tidak bertemu, jadi dia mampir ke sini.”

Nada mendengus tidak percaya.

Pram ikut menimpali, matanya menatap Tiara dari atas sampai bawah dengan pandangan merendahkan. “Dokter berteman dengan... cleaning service?” sindirnya dengan suara yang dibuat setengah tertawa.

Tiara mengepalkan tangan. Tapi ia mencoba tetap tenang, meski harga dirinya baru saja diinjak-injak oleh pria yang dulu pernah ia cintai.

Dika mengernyit. “Cleaning service?” ulangnya, bingung dengan arah percakapan.

“Iya, dia itu kan cleaning service di sini,” ujar Pram enteng, seolah yakin dengan ucapannya. Nada ikut terkekeh pelan.

Namun, senyum Dika perlahan memudar. Ia menatap Pram dengan tajam, suara yang awalnya ramah kini terdengar lebih dingin.

“Jaga ucapan Anda. Dia ini salah satu dokter terbaik yang pernah bekerja di sini.”

Sekejap ruangan menjadi sunyi. Nada tampak terkejut, Pram mematung.

“Dokter? Jangan bercanda, deh. Wanita miskin nggak punya masa depan seperti dia, Mana mungkin bisa jadi dokter? Mustahil!” Pram akhirnya bersuara lagi, tapi nada suaranya terdengar gugup.

Tiara tak tahan lagi. Ia menarik napas panjang, menahan emosi yang mendidih di dalam dada. Tatapannya tajam menusuk ke arah Pram.

“Ya, saya memang wanita miskin yang tidak punya karir dan masa depan. Tapi itu dulu, waktu saya masih bersama pria sombong dan pengecut seperti Anda,” ucapnya tegas, nada suaranya nyaris bergetar karena amarah yang ditahannya terlalu lama.

Dika menoleh, kini benar-benar penasaran. “Dia siapa, Ra?” tanyanya pelan.

Tiara menatap Dika sejenak, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke Pram. “Dia... mantan pacar saya, Dik. Pria yang pernah meremehkan saya seolah saya tak pantas untuk dicintai,” jawabnya jujur, meski kata-katanya membuat hatinya kembali perih.

Nada kini menatap Pram dengan wajah bingung dan tidak percaya. “Mas... kamu serius? Dia mantan kamu?”

Pram gelagapan. “Gak! Dia aja yang ngerasa gitu. Mana mungkin seorang Pramudya punya mantan pacar seperti dia!”

Tiara menyipitkan mata, senyum sinis tergurat di sudut bibirnya. “Bagus kalau Anda gak anggap saya mantan. Saya juga gak sudi kalau orang-orang tahu saya pernah punya pacar seperti kamu. Ganteng aja enggak, sok-nya enggak ketulungan.”

Kata-kata itu menusuk Pram seperti pisau tajam. Wajahnya merah padam, entah karena marah, malu, atau kombinasi keduanya.

Tanpa banyak bicara, ia langsung menarik tangan Nada dan bergegas keluar dari ruangan. Langkah mereka tergesa, nyaris seperti kabur.

Tiara menghela napas panjang. Ia menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu tersenyum tipis—senyum penuh kelegaan sekaligus kemenangan. Ia tak menyangka bisa berdiri setegak ini di hadapan pria yang dulu pernah menghinanya hingga ia nyaris kehilangan kepercayaan diri.

Namun, satu hal tetap mengusik pikirannya.

“Aneh,” gumamnya pelan, lalu menatap Dika.

“Aneh kenapa?” tanya Dika.

Tiara memiringkan kepala. “Mereka ngapain di ruangan kamu, Dik? Kamu kan spesialis kandungan...”

Dika tertawa kecil. “Kamu langsung mikir ke situ?”

“Ya... kamu tahu kan, Nada dan Pram bukan tipe pasangan yang... normal.”

Dika hanya mengangkat bahu, tak ingin membahas lebih jauh. Tapi benak Tiara sudah dipenuhi kemungkinan-kemungkinan yang tak ingin ia pikirkan. Pram memang bukan pria baik, dan ia sangat yakin, jika memang ada yang diperiksa Nada di ruangan Dika... pasti ada sesuatu yang mereka sembunyikan.

Tiara menghela napas untuk kesekian kalinya. Matanya menatap kosong ke depan, pikirannya melayang jauh.

Dika memperhatikan wajah Tiara yang tampak murung. Ia berjalan ke meja kerjanya, mengambil dua botol air mineral, lalu menyodorkan satu ke Tiara.

“Nih, minum dulu. Dari tadi kamu kelihatan tegang banget.”

Tiara menerima botol itu, mengucapkan terima kasih lirih sebelum meneguk airnya. Tenggorokannya yang kering terasa sedikit lega.

“Maaf ya, aku malah bikin suasana jadi nggak nyaman,” katanya pelan.

Dika menggeleng pelan. “Enggak. Justru aku salut kamu bisa ngomong sekuat itu di depan orang seperti Pram.”

Tiara menunduk. “Aku juga gak nyangka bisa setegas itu.”

“Kamu pasti sudah melalui banyak hal sampai bisa jadi sekuat ini.”

Tiara tersenyum samar. “Mungkin. Tapi tetap saja, setiap kali lihat wajah Pram, aku merasa jijik. Dulu aku terlalu cinta sampai gak bisa lihat betapa busuknya dia.”

“Sekarang kamu bisa lihat semuanya dengan jelas. Itu berarti kamu sudah sembuh,” ucap Dika, menepuk bahu Tiara pelan.

Tiara hanya mengangguk. Ada rasa hangat yang perlahan menyusup ke dalam dadanya. Dika memang bukan siapa-siapanya, tapi pria ini selalu tahu bagaimana membuatnya merasa dihargai. Tidak seperti Pram yang selalu membuatnya merasa tak berharga.

“By the way, kamu masih kerja di rumah Ny. Renata, kan?” tanya Dika, mengalihkan topik.

“Masih. Arsen... anaknya belum sadar juga. Tapi aku lihat ada perkembangan kecil. Jari-jarinya mulai bergerak. Tapi aku belum berani bilang ke siapa-siapa.”

“Bagus kalau ada perkembangan. Tapi kamu juga harus jaga dirimu. Jangan terlalu keras sama diri sendiri.”

Tiara mengangguk. “Aku tahu.”

Beberapa saat kemudian, suasana di ruangan itu menjadi lebih tenang. Mereka mengobrol santai, membahas dunia medis, masa lalu saat Tiara masih bekerja di rumah sakit itu, dan sedikit cerita lucu tentang pasien-pasien yang pernah mereka tangani bersama.

Waktu berlalu cepat. Saat matahari mulai bergeser, Tiara memutuskan untuk pamit.

“Dik, makasih ya. Udah bantu aku tadi. Aku pamit dulu. Masih ada tugas yang harus aku selesaikan.”

“Siap, Dokter Tiara,” balas Dika sambil memberi hormat main-main.

Tiara terkekeh, lalu melangkah pergi dengan perasaan sedikit lebih ringan. Ia tahu, jalan hidupnya belum selesai. Masih banyak luka yang harus sembuh, masih banyak rahasia yang harus terungkap—terutama tentang Pram dan alasan kehadirannya di ruangan dokter kandungan seperti Dika.

Kira-kira Pram sama Nada ngapain ya, nemuin Dokter Dika?

Selengkapnya di KBM app.

Judul: Dicampakkan Perwira Dinikahi Tuan Muda

Penulis: Aveline

Entang sekali dia berkata seperti itu. Lima tahun tidak bertemu, ternyata dia sama saja. Sikapnya tidak pernah berubah. ...
13/12/2025

Entang sekali dia berkata seperti itu. Lima tahun tidak bertemu, ternyata dia sama saja. Sikapnya tidak pernah berubah. S**a maksa, dan tidak pernah mau kalah.

“Aku bisa mengobatinya sendiri. Silahkan pergi.” kataku mengusir dia. Kedua mataku sama sekali tak mau melihat padanya. Semoga Ibra tidak bangun, dan keluar. Aku tidak mau dia melihat anakku yang dia buang. Meski aku tahu, dalam tubuh Ibrahim mengalir darahnya. Dan mungkin aku akan berdosa karena menjauhkan dia dengan Ayahnya. Tapi aku lebih sakit hati, jika Ibra tahu. Kalau ayahnya tak pernah menginginkan kelahirannya. Bahkan dengan entengnya menyuruhku untuk menggugurkan bayi itu. Segila itu lelaki yang pernah aku cintai.

“Permisi! Saya masuk. Dan pergi dari sini. Kita hanya kenal sebatas rekan kerja di rumah sakit.” Aku baru saja ingin membuka pintu rumah. Tapi gagang pintu itu sudah bergerak akan dibuka lebih dulu dari dalam. Aku mengerjap takut. Segera menarik kembali pintu itu dari luar.

“Ibu! Kenapa ibu tutup lagi. Bukannya Ibu mau masuk kedalam rumah?” Ujung mataku melirik pada Angkasa. Dia belum juga pergi. Dan dia masih menatap lekat tubuhku dari belakang.

“Ibra, mundur Nak. Nanti kejepit pintu. Nanti Ibu masuk,” kataku pelan, berusaha menjaga suara agar tidak terdengar panik. Aku berharap Angkasa segera pergi, menghilang seperti dia menghilang lima tahun lalu.

Namun, harapan itu sirna. Angkasa justru melangkah maju. Tangannya yang dingin dan besar itu kini berada tepat di atas tanganku, menggenggam gagang pintu yang sama. Aku refleks menarik tanganku ke belakang.

“Sorry!” katanya tidak tahu diri. Jantungku berdebar kencang, bukan karena rasa sayang. Tapi karena takut, takut dia melihat wajah Ibrahim yang mirip dengannya.

"Aku cuma mau lihat dia, Kayra. Sebentar saja. Ada sesuatu yang harus aku pastikan." pintanya memaksa, suaranya pelan dan memohon.

Aku mendongak, menatapnya dengan pandangan penuh amarah dan kesal yang tak tertahankan. Mataku yang sembab kini menantang matanya yang penuh rasa penasaran. Aku tahu, meski aku selalu menyangkal tentang diriku di depannya. Tapi dia sudah tahu. Jika aku adalah Kayra yang dulu diabaikan.

"Minggir, Dokter Angkasa!" desisku, menyebut namanya dengan nada tinggi.

"Aku bilang, sebentar saja. Hanya ingin memastikan apa yang Bian katakan benar," desaknya.

"Apa yang Bian katakan pada kamu?” tanyaku sinis.

"Ibra mirip denganku. Benar!” jawab Angkasa, tatapannya tegas menuntut jawaban dariku.

*
*
*
Judul Koas Bareng Mantan
Penulis Qasya

Ada di KBM app

Ketika Nadira sampai di mes, ia langsung mengambil handphone. Berharap ada notifikasi dari Mama nya yang menanyakan kaba...
13/12/2025

Ketika Nadira sampai di mes, ia langsung mengambil handphone. Berharap ada notifikasi dari Mama nya yang menanyakan kabarnya, namun hasilnya nihil.

"Sudahlah, mungkin kamu tidak memiliki arti apa-apa di hidup mereka." Ujar Nadira pada dirinya sendiri. Namun, saat ia meletakkan kembali handphone di atas kasur, tiba-tiba ada notifikasi grub dokter di sini yang memberitakan kalau ada 3 dokter yang harus pergi bertugas ke kamp yang baru dibangun itu selama beberapa hari.

Tanpa pikir panjang lagi Nadira langsung menyiapkan pakaiannya dan langsung ia masukkan ke dalam tas. Setelah siap ia langsung mengunci mes dan berjalan keluar menuju rumah sakit.

Setelah sampai Nadira kini ikut sibuk mengepak beberapa perlengkapan medis ke dalam ransel. Tugas kali ini terasa lebih berat dibandingkan sebelumnya. Kamp pengungsian baru yang terletak di pelosok daerah harus segera mendapatkan bantuan, dan ia, bersama dua dokter lainnya, Karin dan Rizal, ditugaskan untuk tinggal beberapa hari di sana guna menangani warga yang terluka.

“Jadi kita benar-benar harus menginap di sana?” Nadira bergumam pelan sambil memasukkan stetoskop ke dalam tasnya. Karin, yang tengah berdiri di sampingnya, terkekeh kecil.

“Tentu saja. Kamu tahu kan kondisi di sana darurat. Tidak ada yang bisa pulang-pergi setiap hari,” jawab Karin sambil menyeka kacamatanya.

Nadira hanya mengangguk, meskipun hatinya sedikit berdesir. Tinggal di kamp pengungsian selama beberapa hari jelas bukan hal yang mudah. Ia tahu itu akan melelahkan secara fisik maupun mental.

“Baiklah, ayo kita berangkat,” seru Rizal, seorang dokter muda yang selalu tampak ceria meskipun situasi tidak mendukung. Nadira melirik Rizal yang tampak santai, seolah perjalanan ini adalah hal biasa baginya.

Namun, Nadira tahu perjalanan ini tidak akan sesederhana itu. Perasaan itu semakin kuat ketika ia melihat seseorang berdiri di dekat jip yang akan membawa mereka ke kamp. Sosok tinggi dengan seragam loreng yang sudah terlalu familiar baginya: Kapten Galang.

“Tentu saja dia,” Nadira mengumpat dalam hati.

“Selamat pagi, Dokter Nadira,” sapa Galang dengan nada datar tanpa sedikit pun senyuman.

Nadira memaksakan senyum kecil. “Selamat pagi, Kapten.”

Rizal dan Karin berjalan menuju jip pertama, yang sudah penuh dengan perlengkapan logistik. Mereka terlihat santai, tidak menyadari ketegangan kecil yang terjadi antara Nadira dan Galang.

“Dokter Karin dan Rizal naik di mobil depan. Dokter Nadira, kamu ikut saya di mobil ini,” kata Galang sambil menunjuk jip kedua yang sedikit lebih kecil.

Nadira tertegun sejenak. “Tapi… mobil depan masih ada tempat, kan?”

“Saya bilang kamu ikut saya,” jawab Galang dengan nada tegas, tanpa memberikan ruang untuk perdebatan.

Nadira mendesah panjang. Tentu saja, ini bukan keputusan yang bisa ia lawan. Dengan sedikit enggan, ia melangkah ke arah jip. Di sana, seorang tentara lain, Sersan Bagas, tengah sibuk mengikat kotak-kotak peralatan medis.

“Selamat pagi, Dokter,” sapa Bagas ramah, berbeda jauh dengan Galang.

“Pagi, Sersan,” balas Nadira dengan senyum tipis.

Setelah semuanya siap, Nadira duduk di kursi belakang, sementara Galang duduk di kursi depan bersama Bagas yang bertugas menyetir.

Mesin jip menderu, dan perjalanan dimulai. Jalanan berdebu dan berlubang-lubang membuat perjalanan terasa semakin melelahkan. Nadira mencoba mengalihkan pikirannya dengan memandang ke luar jendela, tetapi kehadiran Galang di depannya membuatnya sulit untuk merasa nyaman.

Sesekali, Galang memberikan instruksi kepada Bagas dengan suara tegas. Nadira hanya diam, mencoba tidak memperhatikan. Namun, suasana sunyi di dalam mobil membuatnya merasa semakin canggung.

“Jadi, Dokter Nadira,” suara Galang tiba-tiba memecah keheningan.

Nadira menoleh. “Ya, Kapten?”

“Apa yang kamu harapkan dari tugas kali ini?” tanyanya sambil menatap lurus ke depan.

Nadira mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan itu. “Maksud kamu?”

Galang menoleh sedikit ke belakang, menatap Nadira dengan tatapan tajam. “Tugas ini bukan tempat untuk pembuktian diri. Ini soal menyelamatkan nyawa orang.”

Nadira merasakan kemarahan kecil mulai membakar dadanya. “Saya tahu itu, Kapten. Dan saya tidak perlu membuktikan apa pun. Saya hanya ingin melakukan tugas saya.”

Galang tidak menjawab. Ia hanya kembali menatap ke depan, meninggalkan Nadira dengan rasa kesal yang semakin bertambah.

Sersan Bagas, yang menyadari ketegangan di antara mereka, mencoba mencairkan suasana. “Eh, Dokter Nadira, bagaimana rasanya pertama kali tugas di sini? Sudah terbiasa dengan suasananya?”

Nadira tersenyum kecil, merasa lebih nyaman berbicara dengan Bagas. “Sejauh ini, si cukup baik. Cuma saya belum bisa saja menyesuaikan diri dengan omongan pedas seseorang saja, si, itu yang agak berat.”

Bagas tertawa kecil. “Kadang omongan orang yang pedas itu memiliki tujuan, dokter. Walaupun saat mendengarnya dokter tersinggung, sebenarnya maksudnya baik kok." Kata Sersan Bagas yang sudah mengetahui maksud dari omongan Nadira barusan.

Nadira hanya mengangguk saja, ia juga tak ingin memperpanjang masalah karena yang ia sindir juga tak peka dengan omongannya barusan.

************

Setelah beberapa jam perjalanan yang melelahkan, akhirnya mereka tiba di kamp pengungsian. Kamp itu terletak di tengah-tengah ladang luas yang dikelilingi oleh bukit kecil. Tenda-tenda darurat berdiri berjajar, dengan orang-orang bergerombol di sekitarnya.

Begitu turun dari jip, Nadira langsung merasakan suasana tegang di kamp. Banyak warga yang terluka, beberapa di antaranya tampak sangat parah. Anak-anak menangis, sementara orang dewasa tampak kebingungan.

“Kita tidak punya banyak waktu. Dokter Nadira, periksa tenda medis di sebelah barat. Bagas, bantu saya memindahkan peralatan,” perintah Galang dengan nada tegas.

Nadira hanya mengangguk. Meskipun masih kesal dengan Galang, ia tahu ini bukan saatnya untuk memikirkan ego. Ia segera berjalan menuju tenda yang dimaksud, bersiap untuk menghadapi tugas yang menantinya.

Karin dan Rizal segera bergabung dengannya di dalam tenda. Bersama-sama, mereka mulai memeriksa pasien satu per satu, memberikan perawatan yang dibutuhkan. Namun, dalam hati, Nadira tahu bahwa beberapa hari ke depan akan menjadi ujian terberat bagi dirinya.

Dan ujian itu bukan hanya soal menyelamatkan nyawa, tetapi juga soal menghadapi Kapten Galang yang sepertinya tidak pernah berhenti membuatnya kesal.

*****************

Baca selengkapnya di KBM App!
Judul: Halo, Kapten!
Penulis: Istri_V

Bab 9:​Sonia mengangguk manis, kali ini dengan senyum yang lebih halus, lebih meyakinkan. “Aku cuma mau yang terbaik bua...
13/12/2025

Bab 9:
​Sonia mengangguk manis, kali ini dengan senyum yang lebih halus, lebih meyakinkan. “Aku cuma mau yang terbaik buat Mas. Aku nggak mau Mas pusing lagi. Lagipula… dia kan istri Mas juga. Biar aku yang urus Ibu mertua, ya?”

​Rama memeluknya erat, sangat erat, seperti seorang laki-laki yang menemukan cahaya setelah gelap panjang. Air mata lega hampir saja tumpah. Dengan cara ini, ia bisa menenangkan Sonia, memantau Diana, dan tetap dekat dengan Ibu. Semua masalah selesai. Selesai!

​Begitu dilepaskannya pelukan itu, Rama langsung mengambil kunci mobil.

​“Aku ke kontrakan. Aku kabari Diana sekarang,” katanya, tidak sabar.

​Sonia hanya berdiri di ambang pintu sambil melambaikan tangan, senyumnya kini menyembunyikan rencana yang hanya dia yang tahu. Rama terlalu buta oleh rasa lega untuk memikirkan motif istri keduanya itu.

​Kontrakan Diana terasa sunyi, dingin, dan menyedihkan ketika Rama datang. Ia membencinya karena tempat itu mengingatkannya pada kemiskinannya. Rana sedang tertidur pulas di pangkuan Ibu, dan Bu Ratna duduk memijat kaki sambil menatap kosong. Diana sendiri sedang menata gorengan yang belum sempat dijual. Melihat istrinya, rasa bersalah Rama kembali mencuat. Diana terlihat begitu rapuh.

​Begitu Rama muncul di depan pintu, Diana terkejut. Matanya membulat, menatapnya dengan tatapan waspada. “Mas?”

​Rama masuk dengan wajah berseri, seolah membawa kabar gembira yang akan menyelesaikan seluruh hidupnya. “Diana, kamu nggak perlu pusing soal kontrakan lagi. Sonia sudah izinkan kamu tinggal di rumah kami. Kalian pindah hari ini.”

​Diana membeku. Ia pikir ia salah dengar. Sonia? Mengizinkan? Setelah semua yang terjadi? Setelah ia menyebut Sonia pelakor dan Sonia melabraknya?

​“Mas… serius?” suaranya lirih, penuh keraguan. Keraguan yang langsung memicu amarah Rama. Kenapa Diana tidak bisa menerima saja? Kenapa dia harus selalu meragukan segala hal yang dibawanya?

​“Kamu kenapa kayak gitu?” tanya Rama, nada suaranya langsung meninggi. “Sonia berusaha baik, dia berusaha dewasa, tapi kamu malah curiga.”

​Diana menghela napas panjang. Itu adalah napas yang panjang, lelah, dan penuh kekalahan. Ia tidak ingin berdebat. Tetapi ia tahu, Sonia bukan wanita yang murah hati, apalagi kepada dirinya.

​“Mas,” katanya pelan, mencoba tetap sopan, mencoba menjaga harga dirinya di hadapan Ibu dan Rana yang tertidur. “Kalau Mas tidak bisa bayar kontrakan, lebih baik antar kami pulang saja ke kampung. Kami bisa bangun gubuk. Di atas puing pun tak apa. Kami bisa hidup.”

​Rama mendengus frustrasi. “Kamu mau tinggal di puing-puing? Rumah itu aja sudah hampir rata dengan tanah. Kamu mau hidup kayak apa? Mau mempermalukan aku lagi?!”

​Diana menatap Rama lama. Dalam tatapannya ada luka yang tak tersembuhkan, ada kelelahan, dan ada pasrah yang mematahkan hati siapapun yang waras.

​“Itu lebih baik daripada tinggal di rumah istri kedua Mas,” ucapnya jujur, menusuk tepat di jantung Rama.

​Rama terdiam. Ia tidak bisa membantah. Tapi ia juga tidak bisa membiarkan mereka kembali. Ia tidak mau terlihat seperti pecundang yang meninggalkan keluarganya di puing-puing.

​“Baik. Tapi untuk sementara kamu tetap tinggal dulu di sana,” kata Rama, mengambil jalan tengah yang paling pengecut. “Akhir pekan ini Mas antar kalian pulang. Sementara ini… ikut saja dulu. Ambil ini sebagai tanggung jawabku yang terakhir.”

​Karena tidak ada pilihan lain, Diana mengangguk lemah. Kepatuhan itu membuat Rama merasa semakin bersalah, sekaligus semakin nyaman.

​Perjalanan menuju rumah Sonia sunyi, hanya diisi celotehan Rana. Bu Ratna duduk sambil menenangkan Rana yang terus bertanya-tanya kenapa mereka pindah lagi. Saat mobil memasuki komplek perumahan elit—komplek yang memisahkan Rama dari masa lalunya—Diana langsung merasa dadanya mengkerut. Rama bisa merasakannya.

​Rumah itu besar. Megah. Dua lantai dengan pagar besi rapi, garasi berisi mobil, dan halaman yang tertata sempurna. Kontras yang kejam dengan kontrakan sempit yang Diana tinggali.

​“Ya Allah…” Rama yakin, Diana pasti bergumam dalam hati, "Jadi selama ini Rama tinggal di rumah seperti ini?"

​Rana yang polos langsung memecah kesunyian yang memalukan.

​“Ayah! Ini rumah Ayah? Rumah Lana kecil, bocor… tapi rumah Ayah… waaah gede banget!”

​Rama menelan ludah, malu sekaligus tersengat oleh kejujuran murni anak kandungnya. Ia membuka pintu mobil, menarik napas, lalu menggandeng Rana.

​“Ayo, Nak.”

​Diana turun terakhir. Kakinya serasa gemetar ketika melangkah memasuki pekarangan rumah itu. Ada rasa asing, rasa tersisih, dan rasa tidak pantas yang tak bisa ia jelaskan.

​Sonia keluar dari pintu depan sambil tersenyum ramah—terlalu ramah, wajahnya seperti topeng.

​“Halo, Mbak Diana. Bu Ratna.” Ia mendekat sambil menundukkan kepala sopan, bermain peran dengan sempurna. “Silakan masuk.”

​Diana hanya tersenyum kaku. Bu Ratna pun menyapa seadanya, menyembunyikan rasa canggung yang sama dengan Rama.

​Saat mereka melangkah masuk, tiba-tiba seorang gadis kecil yang mengenakan gaun cantik dan rambut dikuncir dua, muncul dari ruang tengah. Itu adalah Ranti, putri Sonia.

​Ranti menatap Diana dari ujung kaki sampai ujung rambut, lalu menatap nampan gorengan yang tergeletak di tas kecil Diana.

​“Ma, ini siapa?” tanya Ranti pada Sonia, suaranya lantang dan manja. “Pembantu baru, ya? Dia bawa tas jelek banget. Dia bau, Ma.”

​Diana terkesiap. Tatapannya langsung terarah pada Rama, mencari pembelaan, mencari sedikit saja pengakuan bahwa ia bukan 'pembantu baru'. Rasa sakit karena dipermalukan oleh anak kecil itu jauh lebih menyakitkan daripada penghinaan Sonia.

​Rama melihat sorot mata Diana yang memohon. Ia bisa saja mengatakan, "Ranti, dia ini bundanya Rana, dia adalah ibumu yang lain." Tapi Rama tidak melakukannya. Rama hanya diam, membeku di tempat.

​Sonia dengan cepat merangkul Ranti. “Iya, Sayang. Jangan main-main sama Bibi ini ya, nanti kotor. Sana, ke kamar. Mama mau bicara sebentar.”

​Sonia melirik Rama dengan penuh arti, seolah memberinya isyarat untuk menjaga sikap.

​Rama memaksakan senyum kecil pada Diana, senyum yang tidak sampai ke mata. “Jangan diambil hati, namanya juga anak kecil, Na. Dia belum mengerti,” ucap Rama datar, kata-kata yang membenarkan penghinaan Ranti.

​Diana memalingkan wajahnya. Tatapan Rama yang dingin dan kata-kata pembelaan yang kosong itu menghantamnya lebih keras daripada tamparan. Di mata Diana, Rama kini benar-benar telah mati.

​Rama langsung menuju pintu kamar tamu. Ia sudah membayangkan mereka akan tinggal di kamar yang cukup layak. “Kalian tinggal di kamar ini dulu,” katanya sambil memutar gagangnya.

​Namun saat Rama memutar gagangnya, pintu itu tidak bergerak. Terkunci.

​Rama menarik lebih kuat. Tetap terkunci.

​“Kok nggak bisa dibuka?” gerutu Rama, mulai kesal dan panik.

​Sonia muncul dari belakang, melihat ke arah Rama dengan ekspresi kaget yang dibuat-buat. “Oh! Kuncinya hilang, Mas. Tadi aku cari-cari tapi nggak ketemu. Entah Bi Ina taruh di mana.”

​Nada suaranya terdengar terlalu ringan. Terlalu cepat. Rama tahu dia berbohong. Rama tahu dia merencanakan ini. Tapi ia tidak ingin membuat keributan di depan Diana. Ia tidak ingin merusak topeng ‘istri baik’ yang baru saja ia kenakan.

​“Ya sudah,” kata Rama, menekuk wajah karena kekalahan ini. “Kamar pembantu aja.”

​Rama membuka pintu kamar pembantu yang berada di bagian paling belakang rumah, tersembunyi di dekat dapur. Kamarnya kecil, lembap, dan masih ada bau pel. Di pojok terdapat kasur tipis yang sudah mulai kempes.

​“Bi Ina mana?” tanya Rama tiba-tiba. “Biasanya dia yang pakai kamar ini.”

​Sonia tersenyum sambil mengangkat bahu. “Tadi pagi dia mendadak minta cuti, Mas. Katanya mau pulang kampung sebentar.”

​Terlalu banyak kebetulan, Sonia. Rama tahu itu.

​Diana masuk pelan-pelan, memandang sekeliling kamar sempit itu. Ia tidak protes. Bahkan tidak mengeluh. Hanya mengangguk pelan. Ketenangannya itu lebih menyakitkan daripada seribu makian.

​“Terima kasih, Mas,” katanya pelan. Namun suara itu lebih terdengar seperti akhir dari sebuah perjuangan panjang yang membuatnya hampir menyerah.

​Rama mengusap tengkuknya. Ia ingin berkata sesuatu—apa saja—tentang betapa ia menyesal, tapi tidak ada kata yang keluar. Ia terlalu bingung, terlalu bersalah, terlalu takut menyinggung Sonia.

​“Mas nanti cari kuncinya kamar tamu,” kata Rama, janji kosong yang takkan ia penuhi. “Sementara ini kalian tinggal dulu di sini.”

​Diana mengangguk lagi, lalu menurunkan tas kecil berisi baju anaknya. Bu Ratna duduk di kasur tipis itu sambil mengelus rambut Rana yang sudah tampak mengantuk.

​Sonia berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan seulas senyum. Senyuman yang hanya bisa dipahami oleh dirinya sendiri.

"Diana, kena, Kau. Malam ini kamu akan aku buat hidup segan, mati pun gak mau."

Address

Lamongan

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Mas Al Rantau posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share