
15/02/2025
HARI KE-15
Setelah bertahun – tahun, akhirnya aku menulis lagi. Sebelumnya menulis menjadi media menuangkan pengalaman atau kejadian yang telah atau sedang kualami. Namun itu sudah lama sekali tak lagi kulakukan.
Pekerjaanku sebelumnya telah membuatku berhenti tak lagi menulis. Ditambah lagi kekecewaan karena berkali – kali tulisanku ditolak media. Ini mungkin biasa saja bagi orang lain, tapi bagiku seperti melakukan sesuatu yang tidak ada gunanya. Aku menulis, terus menulis, tapi tak pernah ada yang mau menerimanya. Apa mungkin itu karena niat awal yang kurang tepat , atau terlalu terobsesi untuk menjadi penulis tenar dan memiliki kecukupan dari hasil menulis ?
Biasanya jenis tulisan yang ditulis adalah cerpen, puisi, dan novel. Sesekali salah satu diantaranya aku ikutsertakan di berbagai lomba. Jika berhasil mungkin saat itu aku sedang beruntung. Jika tidak, entahlah.....!. mungkin memang tulisanku tak layak. Berkali – kali tak layak, mungkin p**a memang tidak berbakat. Tidak punya kemampuan dalam menulis. Bisa jadi, aku lebih mampu di bidang lainnya.
Sementara dalam hal ini merasa lebih baik berhenti, agar tidak membuang waktu dengan melakukan hal yang sia – sia. Sebaiknya bekerja, jelas pekerjaannya, jelas gajinya, jelas jam kerjanya, dan tentu aku bisa mengumpulkan banyak rupiah agar aku bisa menabung lebih banyak lagi.
Berbulan – bulan berlalu, benar saja, aku lupakan kegiatan menulisku. Tak pernah lagi. Setiap hari hanya menghabiskan waktu dengan kerja, kerja, kerja saja.
Hingga kini, tiba – tiba ingin sekali menulis lagi. Entah ada perasaan apa. Mendadak begitu rindu bisa menuangkan sebanyak – banyaknya kata. Diantara kata yang berubah menjadi kalimat itu, ada rindu, yang tak mungkin dapat kuhilangkan, dan rindu yang tak p**a dapat kupunahkan dengan perjumpaan.
Tiba – tiba, aku ingin sekali mencatat lagi, perjalanan panjangku, meski harus larut dalam kesediahan karena merindu. Sungguh tak masalah. Andaipun jika sepanjang hidup menuliskan tentang rindu padamu juga tak apa. Biar lega hatiku, setidaknya tenang di jiwaku.
Biarlah rindu ini menjadi penghuni, dari cerita yang akan hadir dalam bagian – bagian kecil patahan kehidupan. Aku ingin menulis. Dengan atau tanpa dipublikasikan. Aku ingin mecatat perjalan hidup yang tak mungkin bisa dilewati lagi. Aku ingin mengabadikan hal yang tak mungkin terulang melalui kisah,gambar, dengan segenap rinduku padamu.
Ternyata rindu, yang membawaku kembali pada kisah.
Ternyata rindu, yang membawaku kembali pada resah.
Setiap hari, setiap kali ada kesempatan di antara waktu kerja, aku sempatkan menulis meski kadang hanya tersimpan di note Android. Setidaknya bagian – bagian dari rasaku tidak hilang. Setiap hari, selalu dengan harapan bisa melihatmu lagi. Iya, sekedar melihat saja tentu akan cukup menjadi oase di tengah gurun jiwaku. Duh, saking rindunya!.
Delapan tahun sudah sejak pertemuan terakhir denganmu. Saat itu, katamu kita mungkin tak akan pernah bertemu lagi. Ketika kutanya mau kemana, hanya senyum yang jadi jawabanmu. Kukira bercanda saja, sebagaimana biasa kamu menggodaku.
Ternyata kamu benar - benar menghilang. Nomor HP yang biasa kamu pakai pun tidak aktif. Semua temanmu dirumah kos tempat tinggalmu sebelumnya hanya bilang kamu sedang p**ang kerumah. Mana aku tahu rumahmu dimana. Tak pernah kutahu kamu berasal darimana.
Dulu, ketika kutanyakan lagi – lagi hanya senyuman yang didapat. “Kelak kamu akan tahu” selalu itu yang jadi kalimat pamungkas, disertai senyum yang hingga kini masih terasa lekat.
Lengkap sudah rasanya pencarianku saat itu. Nihil!. Aku tidak pernah mendapatkan informasi apapun. Mungkin saja semua orang saat itu sedang menutupi keberadaanmu, bisa jadi atas permintaanmu sendiri, atau mungkin ini kesengajaan mereka untuk membantuku bertahan dan menyerah untuk tidak mencarimu lagi.
Satu tahun setelah kepergianmu yang entah kemana, akhirnya kuputuskan untuk pindah kerja. Meski masih sama – sama di divisi marketing, namun berpindah tempat kerja, beda lingkungan, kupikir bisa mebantuku untuk melupakanmu. Apalagi di hari terakhir sebelum resign, managerku memanggilku secara khusus. Satu kabar yang tidak bisa kuterima namun nyata sudah kamu jalani. Bahwa kamu sudah menikah!. Seperti petir menyambar namun tiada hujan. Aku terluka! Parah!
Hingga hari ini nyatanya tak ada satupun yang aku lupakan, tentang kita. Meski sebenarnya sudah amat sangat layak dilupakan. Bagaimana pertama kali kita bertemu, kamu yang saat itu mengajariku, membimbingku di dunia kerja. Lalu aku yang pelan menyukaimu.
Masih segar dalam ingatanku, bagaimana kalimatmu saat itu mampu membuat degup jantungku lebih cepat berdetak, hatiku senang, sekaligus dilanda ketakutan yang luar biasa. Kuakui, menyukaimu adalah rasaku sendiri. Sementara kamu, ternyata bukan hanya s**a, melainkan juga ingin kita segera menikah.
Aku ? Menikah ?
Wajah pernikahan begitu menakutkan bagiku di usia itu. Khawatir akan diolok pernikahan dini oleh teman-teman. Baru juga beberapa bulan lulus SMA. Aku benar-benar masih ingin menikmati bahagianya punya pekerjaan sendiri dan tidak terikat dengan hubungan.
Rupanya, ini juga mungkin salahku. Rindu ini juga merupakan deritaku sendiri. Kamu mungkin tidak pernah merasakannya. Karena di benakmu, cukuplah menemukan pasangan hidup, soal rasa tak lagi penting. Kamu…. Mungkin juga tak pernah benar – benar menyukaiku seperti rasaku padamu. Ini hanya kesalahanku. Menyukai orang yang tak tepat di waktu yang salah.
Semua rasa ini tak bisa kutumpahkan padamu. Hanya bisa pada ketikan di layar laptoku saja. Menangis sendiri. Merasa rindu sendiri. Menyukaimu seorang diri. Masih selalu berharap kita bisa saling melihat meski jauh, dan ini mungkin juga harapanku sendiri.
Setiap hari menulis! Menulis! Tidak pernah berhenti.
Hari ini di hari ke lima belas kegiatan menulisku. Ketika pagi yang sejuk dan aku sedang tergesa untuk berangkat kerja. Tiba-tiba di belokan jalan dekat kantor, aku benar – benar melihatmu sedang berhenti di tepi jalan mengisi bensin di sebuah toko kecil.
Tangan terasa berat untuk menarik gas motor. Akhirnya aku menepi. Kamu yang sadar ada motor mendekat ke arahmu sontak menoleh, mengerutkan kening tapi kemudian tersenyum. “Apa kabar dek?” tanyamu.
Maafkan, aku tidak mampu menjawab dengan kata. Rasanya semua tangis hampir pecah. Berkali-kali menguatkan diri dan hanya membalas pertanyaanmu dengan senyum. Sungguh, aku tidak punya kata. “Kamu kerja dimana sekarang ?” tanyamu lagi.
“en…. depan sana” hampir gagap. Tuhan…… apa iya sehabis ini kata-kataku ?.
Pertemuan pagi ini, perpisahan kemudian menyadarkanku betapa hanya aku yang sendirian punyai rasa rindu sedangkan kamu tidak. Delapan tahun aku menunggu pertemuan ini, beharap di saat yang sama, kalimat yang akan terucap adalah kesediaanmu kembali padaku.
Ternyata aku keliru. Hanya aku sendiri yang dalam 15 hari ini menulis untukmu. Hanya aku yang di hari ke-15 ini kemudian kehabisan kata - kata!
_____________________________________________
Oretan lainnya cek di KBM
Linda_lin