KacaMata Kritis

KacaMata Kritis � Melihat dengan jernih, berbicara dengan tajam. follow akun tiktok

Negara Serakah Berkedok Penertiban?Pemerintah berteriak soal "fungsi sosial tanah", tapi lupa satu hal penting: fungsi s...
20/07/2025

Negara Serakah Berkedok Penertiban?

Pemerintah berteriak soal "fungsi sosial tanah", tapi lupa satu hal penting: fungsi sosial negara itu sendiri! Ketika tanah yang sah dimiliki oleh rakyat, hanya karena tidak dipagari atau tidak ditanami dalam dua tahun, langsung dicap “telantar” dan dirampas oleh negara. Ini bukan lagi soal penertiban, tapi perampasan yang dilegalkan!

❗ Negara Jadi Mafia Tanah Berseragam
Apa bedanya negara dengan mafia tanah jika bisa seenaknya mengambil lahan milik rakyat hanya karena tidak ada pagar bambu atau pohon pisang di atasnya? Ini bukan penegakan hukum—ini pemanfaatan kelemahan rakyat untuk memperluas kekuasaan atas nama aturan!

Sertifikat Hak Milik (SHM) pun tak lagi menjamin kepemilikan tanah. Jadi, buat apa bayar pajak, buat apa urus sertifikat mati-matian, kalau akhirnya bisa digusur juga cuma karena dianggap "nganggur"? Ironisnya, di saat yang sama, tanah ribuan hektar yang dikuasai korporasi dan oligarki dibiarkan tidur p**as tanpa sentuhan hukum.

🎭 Kepentingan Siapa yang Dijaga?
Kita harus bertanya: siapa yang sebenarnya diuntungkan oleh kebijakan ini? Rakyat kecil? Tentu tidak. Mereka justru akan jadi korban paling awal. Tanah warisan yang belum dibangun, tanah hasil kerja keras TKI, tanah simpanan masa depan—semuanya terancam dirampas karena dianggap "tidak produktif".

Apakah setelah tanah diambil akan langsung diberikan kepada masyarakat miskin? Tidak! Tanah akan masuk bank tanah, lalu bisa dilego ke investor, korporasi tambang, atau proyek strategis nasional yang tak pernah jelas urgensinya. Negara menjelma menjadi makelar tanah, bukan pelindung hak milik rakyat!

💀 Dua Tahun Telantar, Tanah Disita — Tapi Bagaimana dengan Tanah Negara yang Telantar Puluhan Tahun?
Ayo kita balik pertanyaan: berapa banyak tanah negara yang telantar? Berapa banyak bangunan pemerintah mangkrak? Lahan kosong BUMN yang dibiarkan terbengkalai? Kenapa tak ada penertiban di situ? Kenapa standar “produktif atau tidak” hanya berlaku untuk rakyat, tapi tidak untuk negara dan elitnya?

📢 Rakyat Jangan Diam!
Jangan biarkan hak atas tanah jadi alat permainan kekuasaan. Jangan anggap sepele aturan ini—karena hari ini mungkin tanah orang lain yang disita, besok tanahmu sendiri.

Tanah bukan cuma soal ekonomi. Tanah adalah identitas, warisan, dan harapan. Jika negara bisa seenaknya mengambilnya, lalu apa yang tersisa dari makna “kemerdekaan” itu sendiri?

"Aturan tanpa keadilan hanya akan jadi alat kekuasaan. Hukum tanpa nurani hanya akan jadi senjata perampasan."










“Kematian Brigadir Nurhadi dan Skandal di Balik Seragam: Keadilan yang Dikorbankan di Kolam Vila Tekek”“Jika hukum hanya...
19/07/2025

“Kematian Brigadir Nurhadi dan Skandal di Balik Seragam: Keadilan yang Dikorbankan di Kolam Vila Tekek”

“Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka kita tak lagi bicara keadilan, tapi sekadar sandiwara kekuasaan.”

Kematian Brigadir Muhammad Nurhadi di kolam sebuah vila mewah di Gili Trawangan bukanlah sekadar tragedi—ia adalah tamparan keras bagi wajah hukum di NTB, dan lebih luas lagi, bagi institusi Polri. Fakta-fakta medis menyebut ada indikasi kuat kekerasan. Tapi entah bagaimana, para tersangka hanya dikenakan Pasal 351 ayat (3) tentang penganiayaan yang menyebabkan kematian—seolah nyawa seorang polisi hanya layak dihargai sebagai “kecelakaan biasa”.

Ini bukan kelalaian. Ini pembunuhan yang terbungkus rapi dalam aroma pelindungan institusional.

TKP yang tertutup? Dugaan obstruction of justice? Tiga tersangka yang meliputi perwira? Jika ini bukan sinyal kejahatan berencana, lalu apa? Kita sedang menyaksikan upaya sistematis menenggelamkan kebenaran, seperti jasad Nurhadi yang dibenamkan di kolam, hanya saja kali ini, dengan alat berat bernama kekuasaan.

Pertanyaannya: kenapa lambat?

Apakah karena korban adalah anggota internal?

Ataukah karena tersangka juga orang dalam, yang terlalu tinggi pangkatnya untuk disentuh?

Ini bukan lagi sekadar kasus hukum. Ini adalah pertarungan moral dan nyali aparat penegak hukum.

Surat permohonan dari keluarga korban untuk mengganti pasal ke 338 atau bahkan 340 KUHP adalah bentuk perlawanan terhadap pembus**an keadilan yang sedang terjadi. Tapi apakah Polda NTB siap membuka borok sendiri? Atau akan memilih jalan sunyi kompromi dan menenggelamkan kebenaran demi menjaga citra?

Jika Nurhadi bisa mati dalam institusinya sendiri dan keadilannya nyaris dikhianati, maka rakyat biasa seperti kita tidak lebih dari angka statistik yang bisa dibungkam kapan saja. Jangan pernah bilang hukum kita adil jika dalam kasus begini pun, kejelasan pasal masih harus diperjuangkan lewat surat terbuka.

Kapolda NTB, rakyat sedang menatapmu. Jangan jadi pemadam keadilan. Jadilah pejuang kebenaran.

“Ketika aparat penegak hukum justru terlibat dalam kekerasan dan pelanggaran, maka keadilan tidak mati karena penjahat, tapi dibunuh oleh orang-orang yang seharusnya menjaganya.”
















"Kematian Brigadir Nurhadi: Luka yang Menganga, dan Polda NTB yang Masih Sibuk Merapikan Berkas"Apa yang lebih menakutka...
17/07/2025

"Kematian Brigadir Nurhadi: Luka yang Menganga, dan Polda NTB yang Masih Sibuk Merapikan Berkas"

Apa yang lebih menakutkan dari kejahatan itu sendiri? Jawabannya: ketika kejahatan diduga dilakukan oleh mereka yang diberi kuasa untuk menegakkan hukum, namun proses pengungkapannya malah diselimuti kabut birokrasi dan 'keseksamaan prosedur' yang tak kunjung selesai. Itulah yang tengah terjadi di NTB.

Berkas kasus kematian Brigadir Nurhadi dikembalikan oleh Kejaksaan Tinggi NTB karena belum memenuhi unsur formil dan materiil. Artinya, penyidikan cacat. Celakanya, dua dari tiga tersangka adalah anggota Polri aktif. Di sinilah publik mulai bertanya: Apakah Polda NTB benar-benar ingin menuntaskan kasus ini, atau sedang memainkan waktu agar keadilan perlahan mati perlahan?

Polda NTB berdalih mereka sedang "belajar ulang", mempelajari "petunjuk jaksa", dan "tidak akan gegabah". Pertanyaannya, berapa lama lagi waktu dibutuhkan untuk memahami bahwa seseorang telah terbunuh dan nyawa telah hilang? Ini bukan perkara mencocokkan format dokumen, ini soal kematian manusia—rekan mereka sendiri.

Kematian di vila Gili Trawangan itu bukan rumor. Itu fakta yang terbungkus dalam tumpukan prosedur dan kehati-hatian yang justru tampak seperti bentuk perlindungan. Saat pelaku utama pun belum dipastikan, muncul kecurigaan bahwa penegakan hukum telah berubah menjadi panggung sandiwara—di mana pelaku bisa disembunyikan di balik seragam.

Kombes Kholid menegaskan "penegakan hukum harus logis dan berbasis alat bukti." Lalu, apakah penahanan tiga orang (termasuk dua polisi) itu dilakukan tanpa dasar? Atau justru dilakukan hanya untuk menenangkan publik sementara otak kasusnya dibiarkan lolos karena embel-embel pangkat dan jabatan?

Dan satu fakta yang mengiris logika: Kompol IMY hanya ditangguhkan dari pendidikan kepolisian, bukan langsung dicopot atau dipecat. Apakah institusi ini masih berharap tersangka pembunuhan bisa kembali 'bersekolah' sebagai calon pimpinan?

Polda NTB boleh berkata "tidak akan gegabah". Tapi publik juga berhak berkata: keterlambatan adalah kejahatan kedua setelah pembunuhan itu sendiri. Dan jika berkas ini berulang kali dikembalikan, mungkin yang perlu dikaji bukan hanya alat bukti, tapi niat dari para penyidiknya.

Keadilan tidak akan hadir jika disusun dalam ruangan yang sama dengan kepentingan institusi. Brigadir Nurhadi sudah mati. Tapi jangan biarkan keadilan ikut dikubur dalam kelambanan yang disengaja.










“Berkas yang Gagal Mengungkap Kebenaran: Kematian Brigadir Nurhadi Seperti Dibunuh Dua Kali!”Apakah ini wajah penegakan ...
15/07/2025

“Berkas yang Gagal Mengungkap Kebenaran: Kematian Brigadir Nurhadi Seperti Dibunuh Dua Kali!”

Apakah ini wajah penegakan hukum di NTB? Ketika seorang aparat, penjaga moral internal kepolisian sendiri—Brigadir Muhammad Nurhadi—tewas dengan tanda-tanda kekerasan yang nyata, termasuk patah tulang di bagian lidah, aparat penegak hukum justru saling lempar berkas dan menyusun puzzle tanpa gambar!

Kejaksaan Tinggi NTB benar: berkasnya JAUH dari kata sempurna. Tapi yang lebih JAUH lagi adalah rasa keadilan yang sedang dicekik pelan-pelan. Bayangkan, sudah ada tiga tersangka, sudah ada visum, sudah ada TKP, tapi motif dan pelaku utama belum tergambar? Ini perkara kriminal atau sinetron sandiwara yang disutradarai oleh kekuasaan?

Pasal 351 dan 359 yang digunakan? Itu untuk penganiayaan dan kelalaian. Padahal, alat vital seperti tulang lidah patah hanya bisa terjadi jika seseorang dicekik atau ditekan paksa. Apakah penyidik buta atau sedang pura-pura tak paham cara manusia mati? Apakah mereka menyusun berkas untuk menghukum pelaku, atau untuk melindungi pelaku sebenarnya?

Kenapa motif belum tergambar? Apakah karena pelaku adalah bagian dari sistem yang sedang menyusun berkas itu sendiri? Ini bukan sekadar kelalaian administratif, ini adalah indikasi kuat bahwa kebenaran sedang dikubur hidup-hidup.

Berkas perkara ini bukan “belum sempurna”—ia cacat sejak lahir. Dan setiap hari yang dilewati tanpa kejelasan hanya menambah luka dan penghinaan terhadap korban dan keluarga. Penegakan hukum yang seperti ini bukan cuma tumpul ke atas, tapi seperti pisau berkarat yang ditancapkan ke dada publik.

Apakah kematian Brigadir Nurhadi akan jadi satu lagi “kasus mati”? Atau kita akan melihat nyali Kejaksaan dan Penyidik untuk melawan arus pembungkaman dan mencabut akar busuknya, meski itu berarti menggigit tangan yang memberi makan?

Karena kalau tidak… maka benar kata orang:

“Di negeri ini, kebenaran bisa mati di meja penyidikan, dan keadilan bisa bunuh diri di depan CCTV yang sengaja dimatikan.”










JANGAN JADIKAN KEMATIAN NURHADI SEBAGAI PANGGUNG SANDIWARA!Apa yang lebih ngeri dari kematian? Keadilan yang dipals**an....
13/07/2025

JANGAN JADIKAN KEMATIAN NURHADI SEBAGAI PANGGUNG SANDIWARA!

Apa yang lebih ngeri dari kematian? Keadilan yang dipals**an.

Mabes Polri lewat Bareskrim buru-buru memamerkan hasil “pengungkapan” kasus kematian Brigadir Nurhadi, seolah publik ini mudah dibodohi oleh narasi dangkal dan proses cacat. Sementara tubuh Nurhadi berbicara lewat luka parah dari kepala sampai kaki, polisi justru ingin publik percaya: ia hanya tenggelam. Serius? Ini pen*staan terhadap nalar!

Apa yang dilakukan Polri sejak awal adalah bencana prosedural. Polres Lombok Utara dan Polda NTB diduga lalai, bahkan terkesan hendak menutupi luka dengan kain formalitas. Alih-alih membongkar kejahatan, mereka memoles tragedi ini jadi cerita versi institusi. Pertanyaannya: siapa yang mereka lindungi?

Mengapa dua atasan Nurhadi yang terakhir bersamanya belum disentuh serius? Mengapa Misri dan Putri—perempuan dalam lingkar kasus—diperiksa tanpa pendamping hukum? Apakah karena mereka paling lemah sehingga paling mudah dikorbankan? Jika begitu, Polri bukan menegakkan hukum, tapi memelihara ketidakadilan.

Kunjungan diam-diam tiga anggota Bareskrim ke tahanan tanpa sepengetahuan penasihat hukum adalah alarm keras: ini institusi yang sedang bermain api dalam gelap. Apakah hukum masih punya wajah? Ataukah kita sudah masuk ke babak di mana kebenaran hanya diukur dari jabatan dan seragam?

Jika Polri benar ingin menjaga wibawa, bentuklah tim independen! Libatkan pihak eksternal: Kompolnas, Komnas Perempuan, akademisi, jaksa, sampai Kemenkominfo. Biarkan rekaman dan data bicara, bukan hanya pengakuan hasil poligraf yang bisa dipelintir.

Jangan salah: publik tidak bodoh. Dan publik tidak akan lupa.

Jika kasus ini ditutup secara serampangan, jangan salahkan siapa pun ketika masyarakat menganggap Polri adalah bagian dari kejahatan yang sedang diselidiki.














“Negara Diam, Alam Menangis: Rinjani Bukan Taman Bermain Elit”Di tengah kepungan krisis iklim dan kehancuran ekologis, n...
12/07/2025

“Negara Diam, Alam Menangis: Rinjani Bukan Taman Bermain Elit”

Di tengah kepungan krisis iklim dan kehancuran ekologis, negara justru mengamini proyek absurd yang akan menancapkan kuku komersialisasi di jantung Rinjani. Seaplane dan Glamping di Danau Segara Anak bukan hanya bentuk pengkhianatan ekologis, tapi juga pen*staan terhadap warisan spiritual Suku Sasak.

Bagaimana mungkin kawasan zona inti taman nasional, yang seharusnya steril dari aktivitas komersial, justru dijadikan landasan pesawat dan panggung kemewahan? Ini bukan pengembangan wisata — ini kolonialisasi baru yang menyaru dalam jargon investasi.

Rinjani bukan properti yang bisa dijual ke pemilik modal. Ia adalah ibu dari air, ruang sakral, dan sistem kehidupan ribuan makhluk.

Balai TNGR: Pelayan Konservasi atau Agen Bisnis?
Ketika ratusan massa menyuarakan jeritan gunung yang tak bisa berbicara, apa yang dilakukan oleh TNGR? Merespons dengan “komitmen dialog”? Sudah terlalu banyak “dialog” yang menjelma formalitas kosong — saat hutan ditebas, suara masyarakat ditenggelamkan.

Di balik rencana megah bernama “SeaGlamping”, tersembunyi skema uang, relasi kuasa, dan pengkhianatan terhadap prinsip konservasi. Audit total terhadap TNGR bukan tuntutan — tapi keharusan. Sudah saatnya publik mengetahui ke mana aliran dana wisata mengalir, siapa yang diuntungkan, dan siapa yang dikorbankan.

Danau Segara Anak: Bukan Kolam Jetset, Tapi Jantung Spiritual Bangsa
Membawa seaplane ke Segara Anak ibarat mendaratkan kapitalisme brutal ke altar suci. Tidak ada kearifan lokal, tidak ada pendekatan ilmiah, hanya ambisi sektoral yang rakus dan tuli.

Apa selanjutnya? Helipad di puncak Rinjani? Diskotik bawah tanah di bawah kawah Gunung Barujari?

Rinjani tidak perlu glamor, ia hanya butuh dihormati. Jika pembangunan terus dipaksakan, maka kehancuran ekologis yang irreversible bukan sekadar ancaman, tapi kepastian.

Proyek Ini Adalah Kejahatan Ekologis yang Diinstitusikan
Kami menyebutnya apa adanya: proyek ini adalah kejahatan terhadap lingkungan yang dilakukan secara legal dan sistematis.

Jika negara tak bisa melindungi warisan hayati dan spiritualnya sendiri, maka rakyat harus mengambil alih suara. Dan aksi “Rinjani Memanggil” adalah peringatan awal — jika suara rakyat diabaikan, maka suara alam akan lebih kejam: banjir, longsor, kehilangan sumber air, dan krisis kehidupan.

Stop proyek gila ini, atau bersiaplah menerima kutukan dari gunung yang kalian eksploitasi.










Ketika Hukum Dihisap Bersama Asap Tequila dan InexKasus kematian Brigadir Nurhadi bukan sekadar tragedi, ini adalah potr...
11/07/2025

Ketika Hukum Dihisap Bersama Asap Tequila dan Inex
Kasus kematian Brigadir Nurhadi bukan sekadar tragedi, ini adalah potret mengerikan dari wajah institusi yang seharusnya menjaga moral dan hukum—namun justru membakarnya dengan pil, alkohol, dan prostitusi.

Kompol Y, seorang perwira polisi, secara terang-terangan memperdagangkan kekuasaan dan uang untuk memuaskan nafsunya, mengundang wanita bayaran seharga Rp10 juta ke tempat wisata mewah, bukan untuk bertugas, tapi untuk berpesta narkoba dan seks. Pertanyaannya: berapa banyak pesta serupa yang telah terjadi tapi tak pernah terungkap? Jika satu malam bisa dibayar Rp10 juta, berapa nilai rusaknya integritas seorang Kompol?

Lalu muncul kesaksian M, wanita bayaran dalam lingkaran pesta itu, yang justru menjadi tersangka bersama dua polisi aktif. Di sinilah absurditas hukum menganga: korban sistem dijadikan pelaku, padahal posisinya sangat jelas—ia dibayar, ia tidak punya kuasa, ia tidak punya motif, bahkan ia yang menyaksikan detik-detik terakhir Nurhadi di kolam.

Brigadir Nurhadi bukan hanya tewas di dasar kolam—ia ditenggelamkan oleh institusi yang telah lama busuk. Seorang sopir dinas dijadikan pelayan pesta narkoba. Seorang perempuan bayaran dijadikan kambing hitam. Dua polisi dengan pangkat tinggi? Baru ditahan seminggu kemudian, setelah publik gaduh.

Lebih sadis lagi, proses evakuasi jenazah dilakukan pakai cidomo, seolah ini hanya perkara turis mabuk di p**au wisata. Padahal yang tewas adalah anggota kepolisian. Dimana SOP-nya? Di mana penyelamatan nyawa? Di mana rasa malu seorang aparat? Semua ini seperti sandiwara buruk—dan rakyat dipaksa menontonnya sambil memuntahkan rasa muak.

Dan kini, jaksa meneliti berkas perkara. Tapi publik tahu, jika akar busuk tak dicabut dari pangkalnya, proses hukum ini hanya akan menjadi panggung pengalihan. Kompol Y dan Ipda HC adalah simbol kegagalan total sistem disiplin internal Polri. Mereka tidak hanya melanggar kode etik—mereka memperkosa kepercayaan publik.

Jika negara ini tidak mampu mengadili penjahat berseragam, maka kita tak lagi hidup di bawah hukum—melainkan di bawah kuasa mereka yang bisa membeli malam, pil, dan kematian, lalu tidur nyenyak di atas tumpukan jenazah dan uang rakyat.










"HUKUM MASIH MENGENAL "JENDERAL PRIVILEGE"?Foto penahanan Kompol I Made Yogi dan IPDA Haris tanpa baju tahanan, tanpa bo...
09/07/2025

"HUKUM MASIH MENGENAL "JENDERAL PRIVILEGE"?

Foto penahanan Kompol I Made Yogi dan IPDA Haris tanpa baju tahanan, tanpa borgol, dalam kasus kematian sadis Brigadir Muhammad Nurhadi, adalah tamparan keras bagi rasa keadilan publik. Sementara rakyat kecil dilempar ke sel dengan tangan terborgol dan tubuh dibalut baju oranye sejak menit pertama jadi tersangka, dua perwira ini tampak seperti tamu VIP yang baru datang ke hotel — bukan tersangka kasus pembunuhan yang penuh darah dan kejanggalan.

Dirtahti boleh berkilah soal SOP, tapi publik bukan bodoh! Klarifikasi normatif justru memperjelas: bahwa hukum kita masih s**a menunduk di depan pangkat, masih bisa berkompromi di bawah seragam.

Brigadir Nurhadi mati dengan luka memar, darah dari mata dan hidung, dan tubuh penuh jejak kekerasan. Tapi saat dua tersangka utamanya diserahkan ke Rutan, mereka justru disambut dengan perlakuan manusiawi yang sering tak didapat rakyat biasa untuk kasus jauh lebih ringan.

Apakah perlakuan ini bentuk hormat terhadap pangkat, atau bentuk nyata bahwa nyawa polisi rendahan tak lebih berharga dari status senior?

Kalau benar mereka diperlakukan setara, tunjukkan! Jangan hanya prosedur di atas kertas. Karena selama publik melihat ada yang “istimewa” di hadapan hukum, maka kepercayaan pada institusi akan terus membusuk, sedikit demi sedikit, sampai tak ada lagi yang tersisa.

📣 Ini bukan soal baju tahanan — ini soal keadilan. Dan keadilan yang bisa dibeli, ditunda, atau dipermak demi gengsi pangkat, bukanlah keadilan. Itu adalah parodi sistem hukum, dan tragedi bagi korban.










"Dibunuh Atasan, Dilindungi Institusi: Nurhadi Mati Dua Kali"Kematian Brigadir Muhammad Nurhadi bukan sekadar tragedi pe...
08/07/2025

"Dibunuh Atasan, Dilindungi Institusi: Nurhadi Mati Dua Kali"

Kematian Brigadir Muhammad Nurhadi bukan sekadar tragedi personal—ini adalah potret telanjang wajah kelam institusi yang seharusnya melindungi. Nurhadi mati dicekik di kolam renang oleh komandannya sendiri, tapi lebih mengerikan lagi: keadilan untuknya nyaris dicekik hidup-hidup p**a oleh sistem.

Apa yang lebih keji dari seorang atasan membunuh bawahannya? Jawabannya: Negara yang membiarkan pelakunya bebas berkeliaran tanpa diborgol, tanpa rasa malu. Dua polisi yang sudah ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan—Kompol YG dan Ipda HC—tidak ditahan. Alasannya? Karena mereka “kooperatif”. Apakah ini hukum? Atau ini klub elite tempat pelaku bisa mengatur skenario atas nama loyalitas institusi?

Coba bayangkan jika Nurhadi adalah warga sipil biasa, dan pembunuhnya bukan polisi. Apakah pelaku akan dibiarkan bebas demi "kooperatif"? Sudah pasti dijebloskan ke sel, diseret ke publik seperti binatang buas. Tapi karena ini melibatkan aparat, sistem memilih bungkam sambil menyusun alasan demi alasan.

Autopsi sudah membuktikan: leher patah, lidah rusak, mati bukan karena tenggelam tapi karena dicekik. Tapi mengapa narasi awal adalah “kecelakaan”? Siapa yang mencoba menutupinya? Siapa yang berperan mengemas pembunuhan ini jadi tragedi biasa?

Ini bukan hanya tentang Nurhadi. Ini tentang institusi yang busuk dari dalam. Ketika anggota Propam—yang seharusnya mengawasi pelanggaran polisi—justru menjadi pembunuh, lalu siapa lagi yang bisa kita percaya? Propam yang kita anggap pagar, ternyata serigala.

Dan publik harus terus bertanya:

Siapa yang memberi perlindungan hukum tak terlihat kepada pembunuh berseragam?

Apa sebenarnya yang terjadi di vila itu hingga satu orang tewas, dan tiga lainnya berbohong?

Mengapa orang-orang yang terindikasi menutup-nutupi tidak juga diusut sebagai bagian dari konspirasi?

Pemecatan tanpa penahanan bukan keadilan. Itu kosmetik murahan. Hanya menenangkan publik, tanpa menyentuh inti boroknya. Keluarga Nurhadi menuntut keadilan yang murni. Tapi pertanyaannya: Mampukah negara menegakkan hukum saat pelakunya adalah bagian dari jantung kekuasaannya sendiri?

Nurhadi sudah dibunuh secara fisik. Jangan biarkan dia dibunuh sekali lagi oleh sistem yang pura-pura peduli.











UANG RAKYAT 305 JUTA MELAYANG, OKNUM AMAN, BANK DIAMBank Rakyat Indonesia? Atau Bank Rampok Indonesia?Kasus hilangnya de...
05/07/2025

UANG RAKYAT 305 JUTA MELAYANG, OKNUM AMAN, BANK DIAM

Bank Rakyat Indonesia? Atau Bank Rampok Indonesia?
Kasus hilangnya deposito Rp305 juta milik Masrup, warga Rambitan, adalah tamparan keras bagi wajah perbankan nasional, dan khususnya bagi BRI yang selama ini berlindung di balik jargon “Melayani dengan Setulus Hati.” Nyatanya, uang rakyat hilang begitu saja, yang tersisa hanya janji, alasan, dan wajah-wajah dingin yang penuh dusta di balik meja customer service.

Bagaimana bisa uang ratusan juta hilang di dalam gedung resmi BRI, di tangan karyawan resmi, di meja pelayanan resmi—tapi bank cuci tangan dan bilang itu "bukan tanggung jawab kami"? Kalau begini cara kerjanya, BRI bukan tempat menyimpan uang, tapi tempat uang dikubur hidup-hidup.

Yang lebih kejam, oknum pelaku yang disebut-sebut karyawan bank malah dipindah tugas ke BRI Selong. Bukan dipecat, bukan diproses hukum. Dipindah, seperti hanya ganti baju. Ini jelas menunjukkan bahwa bukan cuma satu orang yang busuk—tapi sistemnya ikut membusuk. Dan kalau sistem membusuk, maka institusi pun ikut membusuk.

Apakah uang rakyat sekarang hanya angka di layar? Apakah bank bisa semena-mena menunda, mengulur, menghindar, lalu lari dari tanggung jawab hanya dengan modal "silakan bersurat"? Ini bukan sekadar salah prosedur. Ini perampokan berseragam, pencurian yang berlindung di balik logo dan AC kantor.

BRI harus menjawab:

Di mana uang Masrup disimpan selama dua tahun?

Siapa oknum yang bermain?

Kenapa tidak ada tindakan hukum?

Kenapa uang tidak dikembalikan penuh, dengan bunga?

Dan yang paling penting: Apakah BRI pantas dipercaya lagi oleh rakyat kecil yang hanya ingin menyimpan uang dengan tenang?

Kalau satu Masrup bisa hilang 305 juta, berapa banyak Masrup-Masrup lain yang belum bersuara?
BRI, dengarlah: rakyat tidak butuh janji, rakyat butuh keadilan.
Kembalikan uang Masrup! Dan bersihkan tubuhmu dari para maling berdasi.










Terus Apa yang Boleh?" — Saat Pemimpin Tak Lagi Paham Mana yang Merusak dan Mana yang MenyelamatkanKetika seorang Bupati...
04/07/2025

Terus Apa yang Boleh?" — Saat Pemimpin Tak Lagi Paham Mana yang Merusak dan Mana yang Menyelamatkan
Ketika seorang Bupati berkata “Terus apa yang boleh?” saat dikritik soal legalisasi tambang emas di Sekotong, kita patut cemas — bukan hanya pada kebijakan, tapi pada cara berpikir seorang pemimpin.

Kalimat itu bukan argumen, tapi sinyal bahaya. Sinyal bahwa kerusakan bisa dibenarkan, asal dibungkus diskusi dan koperasi. Padahal yang ditantang itu bukan sekadar opini, tapi suara dari fakta: Sekotong rusak, hutannya terkoyak, airnya tercemar, dan rakyatnya dijadikan tameng investasi.

Bupati bicara soal "tambang ramah lingkungan" — frasa kosong yang hanya laku di pidato, bukan di lapangan. Tidak ada yang namanya tambang emas yang benar-benar “ramah lingkungan” di kawasan hutan. Yang ada hanya legalisasi perusakan atas nama "pengentasan kemiskinan", padahal yang miskin tetap miskin, dan yang kaya tetap korporasi dan kroni.

LAZ menyebut, "Ketimbang liar-liar, ya kita atur." Tapi apakah artinya melegalkan tambang di hutan yang dilindungi oleh hukum dan alam adalah solusi bijak? Ini bukan pengaturan. Ini penyerahan. Penyerahan kepada logika eksploitasi.

Dan ketika WALHI dan KPK sudah mengingatkan bahwa wilayah itu tak boleh ditambang karena status kawasan hutannya, apa responsnya? Sebuah tantangan retoris: “Terus apa yang boleh?”

Kami balikkan pertanyaannya:

Terus, apa yang tidak boleh bagi Anda, Pak Bupati? Kalau tambang di kawasan rusak 60% saja Anda legalkan, atas nama diskusi dan koperasi, lalu apa batas moral dan ekologis Anda?

Jangan jadikan kunjungan pejabat pusat sebagai dalih mempercepat kehancuran. Jangan sembunyikan kegagalan menegakkan hukum dengan dalih “mengatur yang liar”.

Legalisasi bukan solusi. Itu hanya menukar satu bentuk kehancuran dengan bentuk lain yang lebih terorganisir dan lebih menguntungkan para elite.

Kalau Bupati bilang "mari kita diskusikan", maka ini suara dari masyarakat dan lingkungan:
Hentikan! Hutan bukan lahan bisnis. Tambang bukan obat kemiskinan. Dan pemimpin tak boleh berdiri di atas puing-puing kehancuran dengan bangga.











"Pajak UMKM Online: Negara Lagi Bokek atau Cuma Nggak Punya Nurani?"Apa negara ini sudah sebegitu putus asanya sampai ha...
29/06/2025

"Pajak UMKM Online: Negara Lagi Bokek atau Cuma Nggak Punya Nurani?"

Apa negara ini sudah sebegitu putus asanya sampai harus mengeruk receh dari kantong pedagang kecil di e-commerce? Pedagang yang hidup dari jualan online—yang siang malam banting tulang, berjuang dari kamar kos dan rumah petak, sekarang dijadikan target empuk pemungutan pajak. Ini bukan kebijakan fiskal. Ini pemalakan terselubung, dibungkus jargon 'keadilan administrasi'.

Pemerintah berkoar soal kesetaraan antara UMKM offline dan online. Padahal bedanya langit dan neraka: UMKM online sudah dicekik oleh potongan platform 13-20%, ongkir subsidi silang, iklan berbayar, dan promo-promo yang harus ditanggung sendiri demi bertahan. Belum lagi algoritma yang terus berubah seenaknya. Lalu sekarang negara datang seperti lintah: “Sini setor pajakmu juga!”

0,5% dari omzet? Bukan dari laba? Serius? Ini bukan pajak, ini perampokan berkedok regulasi. Omzet bukan berarti untung. Pedagang bisa saja beromzet ratusan juta tapi tak punya sisa sepeser pun karena ongkos produksi, pengiriman, promosi, dan potongan platform. Tapi negara tak peduli. Yang penting setor. Rakyat urusan belakangan.

Sri Mulyani dan para teknokrat di Menkeu mungkin lupa: UMKM online bukan korporasi besar. Mereka bukan konglomerat atau pengemplang pajak kelas kakap. Mereka adalah rakyat biasa yang mencoba bertahan hidup saat negara gagal memberi lapangan kerja. Dan sekarang, setelah rakyat berusaha hidup mandiri, malah dicegat di tengah jalan, disuruh bayar pajak atas keringatnya sendiri.

Kalau ini bukan kezaliman, lalu apa namanya?

Berhentilah menekan yang lemah. Kalau benar negara butuh uang, kejar yang besar-besar: koruptor, pengemplang pajak raksasa, dan perusahaan-perusahaan besar yang main licik di celah hukum. Jangan rakyat kecil terus yang disuruh berkorban, sementara pejabat sibuk berpose di Instagram seolah semuanya baik-baik saja.










Address

Lombok

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when KacaMata Kritis posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share