
03/06/2025
Mimpi yang Menjadi Kenyataan
Di sebuah desa kecil yang bahkan tak selalu ada di peta, tinggal seorang anak bernama Nara. Ia hidup bersama ibunya yang sudah lama sakit-sakitan. Rumah mereka berdinding bambu, beratapkan seng karatan yang bernyanyi setiap kali hujan turun. Ayah Nara sudah lama pergi — bukan karena tak sayang, tapi karena dunia terlalu kejam untuk orang-orang baik seperti dia. Tertelan utang dan kehilangan harapan, ia menghilang tanpa jejak, meninggalkan Nara dan ibunya dalam sunyi yang panjang.
Setiap malam, Nara tidur di samping ibunya yang batuknya kian hari kian dalam. Ia memeluk tubuh kurus itu dan berbisik, "Suatu hari, aku akan bangun dan membuat mimpi kita jadi nyata, Bu. Aku janji."
Tapi mimpi itu mahal. Sementara hidup, lebih mahal lagi.
Nara bekerja apa saja — mencabut rumput di ladang orang, mencuci piring di warung, bahkan kadang-kadang ikut membangun rumah meski tangannya masih sekecil bambu muda. Tapi uang selalu kurang. Obat ibunya terlalu mahal. Sekolah pun akhirnya ditinggalkannya diam-diam. Ia tak pernah bilang pada ibunya. Ia tahu, kalau ibunya tahu, perempuan itu akan lebih patah lagi.
Lalu, suatu malam, ibunya memeluknya lebih erat dari biasanya.
"Kalau besok aku nggak bangun, jangan marah ya, Nak. Mimpi yang kita simpan itu... kamu teruskan sendiri, ya."
Pagi harinya, ibunya benar-benar tak bangun.
Nara tak menangis. Ia hanya diam. Dunia terasa sangat sunyi, bahkan burung pun seakan menahan nyanyiannya hari itu.
Ia mengubur ibunya sendiri. Dengan dua tangan yang kecil tapi penuh luka, ia mengubur separuh jiwanya. Tapi ia tak pernah mengubur mimpinya.
---
Tahun demi tahun berlalu. Luka itu tak pernah sembuh. Tapi dari luka yang sama, tumbuh kekuatan yang tak pernah ia tahu ia miliki. Ia belajar sendiri, mencuri waktu di perpustakaan desa, menulis surat ke kota demi beasiswa, menabung receh demi mengikuti kursus daring yang hanya bisa ia akses di warung internet.
Nara jatuh, gagal, ditipu, dan diabaikan. Tapi ia tetap bangkit. Ia tahu, di balik semua penderitaannya, ada satu janji yang belum ia tepati.
Dan pada usia ke-26, Nara berdiri di atas panggung megah, menerima penghargaan sebagai inovator sosial termuda yang membangun rumah sakit gratis di desa-desa terpencil. Ia menyebutnya: “Rumah Harapan Ibu.”
Ketika wartawan bertanya, “Apa yang membuat Anda terus maju meski hidup Anda begitu berat dulu?”
Nara tersenyum, menahan air mata.
"Karena aku pernah janji... pada seseorang yang hanya bisa kubahagiakan lewat mimpi. Dan hari ini... mimpinya menjadi kenyataan.