08/11/2025
BERPIKIR VS MENGHAFAL.
:
Tulisan ini sudah pernah dipost tahun 2018. Tapi aku terlewat, tidak mencatat tanggalnya.
Lalu kurepost tanggal 29 Juni 2019.
****
Pada hari Selasa, 28 Maret 2016, 9 tahun yang lalu.... ada temanku, seorang guru, bertanya padaku :
“Na... kamu kan mendalami ilmu psikologi, critical thinking dan edukasi.... kira-kira, gimanaaaaa ya, menyiapkan generasi mendatang..?”
Aku bertanya balik :
“Lha apa yang diperlukan oleh anak-anak di masa depan?”
“Apa ya Na...?” Dia mengembalikan pertanyaanku.
Jadi kujawab:
“Menghafal ilmu pengetahuan? Buat apa ngafalin? Google sudah ada, wikipedia juga. Search engine lain juga bermunculan. Kalau mau tahu sesuatu, tinggal comot buku atau tinggal click internet. Ya kan?”
“Lha iya ya. Apalagi ilmu pengetahuan juga terus berkembang ya. Banyak temuan baru, sehingga ilmu lama jadi obsolete (obsolete artinya ‘basi’ atau sudah tidak terpakai lagi karena terbukti oleh kebenaran pengetahuan lain) ya, udah nggak berlaku lagi ya..?” jawabnya.
“Nah itulah, kan?”
“Lha njuk piye? Mosok anak-anak nggak perlu sekolah karena semua informasi dan ilmu sudah ada di internet?”
Aku ketawa. Ingat nasibku sendiri.
“Kukasih tahu ya, aku ini sebenernya kewalahan lho dengan arus informasi seperti sekarang. Rasanya seperti kena banjir bandang.”
“Lha nopo kok kaya kena banjir bandang?”
“Lha ya bayangin aja, setiap hari kita dikepung dengan berita. Aku harus TERUS-TERUSAN menganalisa data dan informasi yang ada. Lalu memilah-milahnya: mana yang benar dan mana yang hoax... belum lagi mencermati mana tulisan yang sedang satir, dan mana yang straight forward. Beberapa kali aku kecolongan, nggak sengaja upload berita dan foto hoax. Padahal sudah kupilih dari narasumber terpercaya.”
Aku diam sebentar, narik napas. Lalu kulanjut:
“Ternyata, mengandalkan narasumber yang seleb pun nggak menjamin, karena belum tentu mereka konsisten obyektif, kritis dan teliti terus-menerus. Aku harus betul-betul mencari kebenaran ke BERBAGAI SUMBER LAIN, dan kuanalisa sendiri. Aku harus mengandalkan diriku sendiri. Nggak bisa nyomot hasil olahan pikiran orang lain…”
“Lha terus?” temanku bertanya.
“Ya artinya, masalah generasi mendatang bukanlah KEKURANGAN ILMU.... tapi apakah MAMPU BERPIKIR untuk mengolah atau memproses semua informasi yang ada.....”
Lalu aku meneruskan,
“Artinya, sekolah-sekolah harus MEROMBAK KURIKULUMNYA. Harus mulai mengajarkan THINKING SKILL ke anak didik untuk memproses banyaknya info dan pengetahuan tersebut.”
Aku lalu bercerita........
*****
Beberapa tahun lalu, sekitar tahun 2010-2011, ketika anakku masih kelas 3 atau 4 SD, seorang ahli pendidikan dari Cambridge datang ke sekolah anakku. Bikin seminar singkat buat para orang tua murid.
Dia cuma mengajukan 3 pertanyaan yang bikin kami mikir njungkir-njempalik ketika itu :
1. Sambil mengacungkan HPnya ke atas, dia tanya "Dua puluh tahun lalu.... adakah yang bisa membayangkan bahwa telepon akan seperti sekarang ini? Bisa memotret, mencatat resep, berkirim surat dan dokumen, berkirim foto? Bisa menampilkan peta dan rute jalanan, bahkan bisa merekam kegiatan fisik anda sudah berjalan kaki sejauh berapa kilometer & sudah membakar berapa kalori? Sebuah telepon yang bisa dipakai membuat presentasi dan mengirimkannya ke benua lain?"
Saat itu... ruang auditorium bergemuruh dengan suara-suara ortu saling diskusi.
Iya ya..? Dulu kan telpon cuma bisa buat bicara aja ya?
Iya ya..? Dulu bisa SMSan aja udah berasa canggih ya..?
Lalu profesor dari Cambridge itu bertanya lagi :
2. “Sekarang, bisakah kita membayangkan... alat ini akan bisa apa saja dalam 10 th ke depan? Atau 20th ke depan?”
Ruang auditorium jadi senyap... Sehening kuburan di malam jumat kliwon.
Entah apa yang ada di kepala ortu lain; tapi aku berpikir jangan-jangan, 20 tahun lagi alat telpon sudah bisa jadi moda transport ke dimensi lain 😅😅😅
Sang profesor bertanya lagi :
3. “Jika kita bahkan tidak bisa membayangkan 25 th lagi kemajuan akan seperti apa... lalu bagaimana kita sebagai orang tua dan guru, bisa memberikan BEKAL kepada generasi muda? Bekal yang mana yang harus diberikan???”
Aku merasa seperti ulu hatiku ditonjok preman pelabuhan.
Aduh...!!!! Bener...!!!!
Lha wong SEKEDAR MEMBAYANGKAN masa depan saja, kita ini nggak mampu kok, terus gimana mau ngasih bekal ke anak-anak untuk menghadapi masa depan mereka????
*****
Temanku, guru itu, berseru,
“Modiarrrrr...!”
“ROMBAK ULANG SEMUA MATA PELAJARAN, d**g Na...?” Sambungnya dengan nada seru.
Betul. Sejak itu, sekolah anakku merombak sistem belajarnya:
70% waktu dipakai untuk belajar berpikir.
30% nya untuk mendalami materi.
Sebuah mata pelajaran baru diciptakan, namanya :
1. INQUIRY LEARNING.
Di pelajaran ini, anak-anak diajarkan :
—> CARA BERTANYA. Kenapa? Karena, dengan skill bertanya yang baik, seseorang akan mendapatkan banyak jawaban. Ingat para investigator...? Mereka tidak akan banyak mendapatkan informasi kalau nggak pintar bertanya.
Kita nggak perlu bekerja sebagai peneliti, polisi, penyidik dll untuk BELAJAR BERTANYA. Rakyat jelata pun tidak akan mudah tertipu hoax dan DFK (Disinformasi, Fitnah dan Kebencian) kalau mampu mengajukan pertanyaan kritis seperti ini:
- siapa/media apa yang bilang?
- seperti apa integritas dan track recordnya?
- apa latar belakang keilmuannya?
- tokoh/orang yang dibahas itu, punya track record apa?
- apakah informasi ini ‘nyambung’ dengan track record tsb?
- dia/media itu ada di kubu siapa? (Bisa dicek dengan: apakah beritanya berimbang ketika meliput atau membahas kedua kubu?)
Dst.
CARA BERTANYA ini juga sangat berguna bagi pedagang UMKM:
- apa yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat di sekitarku?
- bagaimana menyediakan (menjual) itu?
- harga pasarannya berapa?
- kelemahan apa yang ada di pedagang lain, yang mampu kuatasi?
- bagaimana psikologi pasar?
- trend-nya ke mana?
- standar kualitas mereka seperti apa?
- daya belinya gimana?
- dll
—> MENCARI JAWABAN SECARA MANDIRI. Berapa banyak orang yang punya gadget..? Hampir semua orang punya kan...? Mulai dari anak SD, ibu rumah tangga, tukang jual bakso, sampai direktur. Tapi berapa banyak yang mampu mencari jawaban dari pertanyaan-pertanyaan konstruktif mereka, lewat internet...? Lalu memilah-milah mana informasi yang valid dan yang tidak valid?
—> Jika anak dan siswa dibiasakan untuk mengajukan pertanyaan konstruktif dan kemampuan mencari jawaban secara mandiri… maka THINKING SKILLS (kemampuan berpikir kritis dan konstruktif) akan terbangun.
Berikutnya,
2. Pelajaran Matematika juga dirombak. Memakai metode baru di mana rumus tidak lagi harus baku, tapi guru memberikan kebebasan bagi murid untuk mencari jawaban dengan aneka cara, proses, dan jalan. Bahkan, guru matematika melarangku memasukkan anakku ke les matematika yang bersifat drilling. Kenapa..? Karena yang dituju saat ini adalah : terbangunnya LOGIKA MATEMATIKA pada anak didik. Bukan cepet-cepetan memberikan jawaban, sebagai hasil dari drilling.
:
Aku nggak berniat mengatakan bahwa les matematika atau kumon itu buruk ya. Tapi aku hanya menyampaikan ajuran gurunya anakku, secara apa adanya.
Mungkin, beliau (saat itu, tahun 2010-2011) melihat fakta yang harusnya ada: semua lembaga pendidikan (sekolah, kursus maupun les) mustinya mendevelop logika matematika juga. Syukur, jika sudah melatih berpikir. Bukan cuma drilling.
Lalu anak didik mulai diajak melakukan:
3. Experimental Science.
Pelajaran ini, tidak dilakukan secara ‘teoritis’ di kelas. Namun sekolah itu mengadakan acara ‘science fair’ yang terbuka untuk umum. Anak-anak berkelompok membuat eksperimen, seperti membangun gunung setinggi 30 cm dan ada letusan lava yang bisa keluar beneran. Ada juga yang membuat perangkat untuk menjelaskan erosi.
Setiap kelompok, mengisi 1 booth di pameran itu. Ortu dan masyarakat bisa datang, lalu bertanya di setiap booth. Anak-anak akan menjelaskan.
4. Riset dan presentasi.
Penjelasan mengenai ini, sudah kutulis di nomor 3. Setidaknya, itu yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri. Tetapi di kelas dan di laboratorium, kebiasaan presentasi sudah lama dilakukan, kata anakku. Pantesan, kupikir. Anak SD kok lancar banget kalau ditanya. Bukan jawab ‘Nggak tahu…’ lalu cengengesan.
5. Membaca 1 buku setiap hari. (Iya, setiap hari!)
Di sekolah anakku, kewajiban membaca ini 'dipaksakan' dari kelas 1 SD sampai kelas 4 SD. Tiap hari harus mengisi reading log/daftar bacaan yang sudah selesai dibaca, dan ortu harus ikut membaca lantas memberikan tanda tangan sebagai tanda komitmen.
Ortu harus bertanya ke anaknya:
- apa yg kamu tangkap dari bacaan ini?
Lantas ortu dan anak membangun diskusi terkait bacaan. Di sinilah kemampuan LITERASI dibangun.
Besoknya anak disuruh cerita di kelas, tentang isi bacaannya.
Meskipun awalnya diwajibkan, tapi lama-lama kebiasaan membaca terbentuk. Dan akhirnya menjadi kecintaan membaca.
Guru-guru di sekolah itu juga dituntut untuk menyemaikan thinking skills, salah satunya dengan cara membiasakan diskusi 2 arah untuk membangun keterampilan berpikir.
Topik geografi dan sejarah, tetap diajarkan, tetapi HANYA SEBAGAI MATERI BAHASAN (alias dipakai sebagai bahan diskusi) untuk mengembangkan KETERAMPILAN BERPIKIR yang tertuang di nomor 1, 3, dan 4 di atas.
Topik politik (apa ya namanya? PPKN?), agama, dan dinamika sosial juga diajarkan (dengan catatan: bukan sebagai bahan hafalan, tetapi sebagai latihan berpikir kritis dan mengembangkan nurani)
Semua pembelajaran Thinking Skills ini berlaku untuk SD dan SMP. Thinking skills digarap dengan sangat fokus di masa-masa ini.
Setelah ‘processor’ di kepalanya jadi, anak-anak akan siap memproses apa saja. Akan mampu memikirkan dan merenungkan apa saja.
Mereka akan siap menghadapi zaman, yang kita (para guru dan ortu) tidak mampu membayangkan....
********
Dulu, tahun 1970an, kakekku pernah berpesan :
banyaklah belajar. Jadilah GUDANG ilmu.
Tapi, di tahun 2025 ini aku akan menyampaikan pesan ayahku (yang pernah disampaikannya ke anakku, yang adalah cucunya): Kamu banyaklah berpikir. Jadilah PABRIK ilmu. Menciptakan ilmu dan temuan baru. Bukan cuma jadi gudang penyimpan atau penghafal ilmu.
Ya bener kan? Urusan menghafal itu biar dilakukan oleh google, AI dan semua kecerdasan buatan yang akan datang. Tugas manusia adalah: BERPIKIR, BERKREASI, MENYELESAIKAN MASALAH, MELAKUKAN TEROBOSAN BARU.
Jadi, kalau kita ingin anak-anak dan siswa-siswi kita mampu menghadapi masa depan, kita sudah tahu kan apa TUGAS KITA SEMUA sebagai ortu dan pendidik?
MEMBANGUN THINKING SKILLS!!!!!!!!!
Kisah ini, adalah kisah yang SUDAH TERJADI di tahun 2016. Artinya, ada 4 kebiasaan yang sudah terasah di diri anakku, yaitu:
1. membaca,
2. mengajukan pertanyaan konstruktif,
3. mencari jawabannya sendiri dan
4. berpikir kritis,
sudah dipraktekkan selama bertahun-tahun.
Apakah negeri ini terlambat jika pada tahun 2025 baru akan memulainya? Aku nggak bisa menyediakan jawabannya. Karena ‘urusan negara’ itu ada di luar kekuasaan kita.
Jadi???
Bagaimana jika KITA SAJA YANG MEMULAI DULUAN DARI DIRI KITA SENDIRI??? Kita mulai berpikir kritis. Lalu kita ajarkan anak-anak kita sendiri untuk terbiasa berpikir.
Karena memulai kebiasaan baik sekarang, itu selalu lebih baik dari pada memulainya nanti-nanti. Apalagi kalau tidak dimulai sama sekali.
DIDIK ANAK-ANAK KITA yuk. Anak-anak kita kan tanggung jawab kita…
Na Padmo OFC
11.09, Selasa Kliwon
22 Kalima 2936 Jawa
4 November 2025 Masehi
____
Sumber gambar: https://www.istockphoto.com/id/bot-wall?returnUrl=%2Fid%2Ffoto%2Frobot-dan-jari-manusia-menyentuh-bumi-di-latar-belakang-gm172438113-23515226