
09/04/2025
“Dalam Diam Aku Menjagamu”
Namanya Aira. Senyumnya seperti matahari pagi yang menembus jendela perpustakaan kampus—tenang, hangat, dan diam-diam menghidupkan sesuatu dalam dada Raka.
Mereka bukan teman dekat. Hanya dua orang yang sering berada di tempat yang sama. Raka duduk di pojok perpustakaan setiap sore, pura-pura membaca, padahal diam-diam memperhatikan Aira yang sibuk mengetik tugas atau menggambar sesuatu di bukunya.
Raka mencintai Aira—dalam diam.
Bukan karena takut ditolak. Tapi karena ia tahu, cinta tidak selalu harus dimiliki. Kadang, cukup melihat dari jauh dan memastikan dia bahagia.
Dia tahu kopi favorit Aira—latte dingin, dua gula. Pernah suatu hari, Raka diam-diam membayarkan pesanannya di kasir sebelum Aira tiba. Ia hanya duduk di meja sudut, berpura-pura tak tahu apa-apa ketika Aira terkejut mendapatkan kopinya sudah dibayar oleh "orang baik hati tanpa nama."
Dia tahu Aira s**a bunga lavender, jadi saat ulang tahunnya, Raka menitipkan buket kecil di loker Aira, tanpa kartu nama. Hanya selembar kertas kecil bertuliskan, "Untuk hari yang selalu wangi sepertimu."
Setiap hari, Raka mendoakan Aira. Dalam bisu. Dalam jarak. Tapi selalu dengan cinta.
Hingga suatu sore, hujan turun deras. Aira duduk di perpustakaan, sendirian, dan menangis diam-diam. Raka melihatnya dari kejauhan, jantungnya ingin lari, tapi langkahnya tetap tertahan.
Ia menulis sesuatu di secarik kertas, lalu menitipkannya lewat pustakawan.
Beberapa menit kemudian, Aira membuka lipatan kertas itu:
"Kalau dunia terasa berat, ingatlah, ada seseorang yang selalu berdoa untuk bahagiamu—meski kau tak tahu siapa."
Aira tersenyum samar. Menatap sekeliling, lalu kembali menunduk.
Raka berdiri di balik rak buku, memegang dadanya sendiri.
Dia tak butuh balasan. Tak perlu pengakuan. Karena kadang, cinta yang paling tulus... adalah cinta yang tetap bertahan—dalam diam.