11/06/2025
Langkah di Bawah Hujan
Di suatu pagi yang kelabu, hujan turun perlahan, membasahi atap seng rumah-rumah sempit di gang kecil tempat Lila tinggal. Wanita berusia tiga puluh dua tahun itu berdiri di depan cermin retak di kamarnya, menyisir rambutnya yang mulai mengering setelah semalaman menangis. Di balik matanya yang sembab, tersimpan kekuatan yang bahkan ia sendiri kadang lupa ia miliki.
Lila bukan wanita yang tumbuh dalam pelukan hangat dunia. Sejak kecil, ia terbiasa bangun lebih pagi dari matahari, mencuci piring di warung tetangga demi uang jajan yang tidak pernah cukup. Setelah menikah, hidupnya tak juga membaik. Suaminya pergi dengan wanita lain, meninggalkan Lila dan anak semata wayangnya, Dara, tanpa sepatah kata pun. Sejak itu, hidup Lila adalah rangkaian hari yang penuh kerja keras dan doa.
Pagi itu, ia hendak kembali bekerja sebagai buruh cuci. Tangannya yang kapalan menggenggam erat payung tua. Dara masih tertidur, menggenggam boneka lusuh yang mereka temukan di tempat sampah beberapa bulan lalu. Lila mengecup kening anaknya lalu menyelinap keluar.
Di jalan, hujan turun makin deras. Beberapa orang berteduh, tapi Lila terus melangkah. Sepatunya basah, tapi ia tidak peduli. Baginya, setiap langkah adalah janji pada anaknya, bahwa meskipun hidup pahit, ia akan tetap berdiri, tetap berjuang.
Di rumah tempat ia bekerja, ia disambut dengan ucapan sinis dari nyonya rumah. Namun Lila menunduk, tersenyum tipis, lalu mulai bekerja. Ia tahu harga dirinya bukan dinilai dari pekerjaan atau hinaan, tapi dari keberaniannya untuk tetap berjalan.
Malamnya, saat Lila pulang, Dara menyambutnya di pintu dengan selembar gambar. Di atas kertas itu, terlihat gambar seorang wanita dengan payung, berdiri di bawah hujan, tersenyum.
βItu Ibu,β kata Dara polos.
Lila menatap gambar itu lama. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, air mata jatuh bukan karena lelah, tapi karena bahagia. Ia sadar, meski hidup belum sempurna, ia telah menjadi pelindung. Payung bagi anaknya. Dan itu sudah lebih dari cukup.