09/07/2025
Kaleng Roti di Lemari Ayah
Lia menemukan kaleng roti itu saat sedang merapikan lemari ayahnya. Sebuah kaleng biskuit bekas yang sudah berkarat di pinggirannya, dengan lubang kecil di atas tutupnya. Saat digoyang, terdengar bunyi recehan yang menari.
Ia membuka perlahan. Isinya: uang receh logam dan pecahan lima ribuan yang dilipat rapi. Di antara uang itu, terselip secarik kertas kecil, ditulis dengan huruf tangan ayahnya:
"Untuk Lia. Uang les, sepatu baru, atau jajanan. Terserah. Ayah sisihkan sedikit-sedikit."
Lia menatap kaleng itu lama. Ia tak tahu kapan Ayah mulai mengisinya. Tapi ia tahu betul: ayahnya jarang membeli sesuatu untuk diri sendiri.
Lia ingat, beberapa bulan lalu ia pernah iseng bilang,
“Pengen les gambar, Yah. Tapi mahal.”
Ayahnya hanya senyum dan berkata,
“Nanti kalau ada lebih, ya.”
Ternyata "lebih" itu bukan sisa gaji. Tapi sisa makan siang. Sisa ongkos. Sisa ngopi.
Dan semua itu, perlahan, ia kumpulkan dalam diam.
Mata Lia mulai basah. Tangannya masih menggenggam kertas kecil itu, ketika tiba-tiba terdengar suara motor tua masuk ke halaman.
"Braaak... brak-brak..."
Suara yang tak asing, khas motor ayahnya yang sudah tua tapi tetap setia.
Dengan cepat Lia menghapus air matanya, menutup kembali kaleng itu dengan hati-hati, dan menyelipkannya ke tempat semula di pojok lemari.
Sesaat kemudian, pintu rumah terbuka. Suara langkah kaki mendekat.
Lia berdiri tegak, tersenyum kecil, dan menyambut dengan suara ceria,
“Ayah… capek ya?”
Ayah mengangguk, mengelus rambutnya.
“Sedikit. Tapi lihat kamu senyum begini, capeknya ilang.”
Lia hanya tersenyum. Dalam hatinya, ada sesuatu yang berubah.
Hari itu, ia tahu… ia tak akan pernah lagi menyepelekan uang receh.
Karena di rumah ini, cinta pun dikumpulkan sedikit demi sedikit…
dan disimpan rapi dalam kaleng tua — oleh seorang ayah yang tak pernah meminta balasan apa pun.