
11/07/2025
Kupikir Aku Tak Disambut… Ternyata Mereka Sedang Berjuang
Jumat sore.
Langit kelabu, angin basah.
Aku menyetir pelan di tengah macet yang menjulur seperti ular tak sabar.
Semua orang ingin cepat pulang.
Aku juga.
Dari kantor sejak bergerak pulang sudah kubayangkan:
air hangat sudah dijerang istri,
anak-anak main di ruang tengah,
aku tinggal duduk, lepas sepatu,
dan berkata… “Akhirnya, sampai juga.”
Tapi macet panjang tak mengenal rencana.
Aku terjebak.
Tiga jam lebih.
Sementara perut kosong, tenggorokan kering,
dan lutut terasa mau patah.
Aku bersabar.
Karena aku tahu:
sebentar lagi, semua akan terbayar lunas di rumah.
Aku pulang… demi rumah.
Tapi ketika kunci kuputar dan pintu terbuka,
seluruh bayangan itu…
bubar.
Tak ada suara.
Tak ada aroma masakan.
Tak ada air hangat.
Rumah gelap dan berantakan.
Lantai basah. Jemuran basah. Hati lebih basah.
Aku berdiri diam di depan pintu.
Kepalaku menunduk.
Semua letih sepanjang minggu itu tumpah bersamaan.
Tak ada yang menyambut.
Tak ada yang tahu aku sudah sangat… sangat lelah.
“Beginikah rumah yang kutunggu-tunggu?”
“Beginikah hidup seorang ayah?”
“Apa aku terlalu berharap?”
Kupeluk tubuhku sendiri,
karena malam itu, bahkan pelukan pun tak ada.
Lalu…
sebuah kertas kecil jatuh dari sisi pintu.
Kusut, seperti sudah beberapa hari tak disentuh.
Kertas itu berisi tulisan tangan istriku.
“Ayah, maaf kami tidak menyambut hari ini.
Kami semua sedang di rumah sakit.
Anak kita demam tinggi sejak pagi.
Aku panik dan tak sempat kabari. Handphone ayah tak bisa dihubungi.
Tolong segera menyusul.
Kami butuh Ayah…”
Tanganku gemetar.
Punggungku seperti ditampar.
Air mata yang kutahan sepanjang jalan,
akhirnya tumpah di ruang tamu.
Bukan karena kecewa,
tapi karena rasa bersalah yang tak bisa dijelaskan.
Kupeluk kertas kecil itu.
Kupeluk diriku yang terlalu cepat mengeluh,
dan terlalu lambat memahami:
bahwa di balik rumah yang kosong,
ada kecemasan yang lebih dalam
daripada rasa letihku sendiri.
Aku menyusul.
Dengan hati yang hancur,
dan semangat yang tiba-tiba kembali utuh.
Karena kadang,
rumah bukan tempat yang kita tuju…
tapi tempat di mana kita dibutuhkan.
-RHA-