09/09/2025
JANJI SETIA
Ketika kita menjalani kehidupan, tentunya pembahasan berputar pada dua hal, Sang Pencipta dan yang dicipta. Dan dengan kondisi sadar atau pun tidak, dipahami atau tidak, di lubuk hati terdalam dalam sanubari kita pasti mengakui bahwa kita berada dalam posisi yang diciptakan. Mengapa saya beranggapan demikian, karena kita seringkali mengalami kelemahan, esedihan, kekalahan, rasa putus asa, dan sebagainya yang mempertegas indikator keter-cipta-an kita. Sudah tentu tidak mungkin Yang Mencipta mengalami hal demikian, maka tegas kita adalah yang dicipta.
Selanjutnya ada materi susulan yang perlu dibahas p**a. Apa konsekuensi dari keter-cipta-an kita? Tentunya ada tujuan, ada visi misi, ada peraturan dan keharusan yang wajib kita laksanakan. Dalam buku ini saya tidak akan membahas tentang tujuan, visi misi, peraturan atau apapun itu yang berkaitan dengan kehidupan kita. Saya justru ingin menekankan alasan mengapa dari penciptaan kita ini harus ada tujuan, visi misi, peraturan dan lain sebagainya itu. Mengutip dari firman Allah dalam Al Qur’an Surat Adz- Dzaariaat ayat 56 yang artinya, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”. Dari ayat tersebut sudah pasti ada hak dan kewajiban antara pencipta dan yang dicipta. Hak Sang Pencipta adalah diakui keberadaan-Nya sebagai pencipta oleh yang dicipta, dan kewajiban yang dicipta adalah mengakui kehambaan diri sehingga mampu memantabkan hati bahwa Dia Sang Pencipta dan kita yang dicipta. Dengan kata lain ada sebuah ikrar dan janji yang berlegalitas dan sah antara hamba dan tuannya. Kontrak itulah yang kemudian akan menimbulkan banyak sekali pembahasan, entah yang berbau masalah atau kebaikan dan manfaat. Dan penjabaran dari kontrak tersebutlah buku ini dapat disusun.
Dalam Rukun Islam, kita mengenal istilah Syahadat pada poin pertama. Dan yang dinamakan rukun tentu harus berurutan dari awal hingga akhir. Sedangkan Syahadat yang berada di posisi pertama menjadi sesuatu yang sakral sebelum kita melakukan kegiatan peribadatan, bahkan aktivitas kehidupan sehari-hari. Mengapa saya mengatakan Syahadat menjadi sesuatu yang sakral sebelum kita menjalani kehidupan ini?. Hal tersebut tentu dapat dijawab setelah kita mengulas tuntas dan memahami secara utuh makna syahadat sesungguhnya.
Dalam kitab Sulam Taufiq karya Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir bin Muhammad bin Hasyim Ba’alawi dijelaskan bahwa wajibnya memahami dan mendalami Syahadat adalah sejak kita mukallaf yang dalam bahasa sederhana saya adalah orang yang sudah mampu berfikir dan membedakan mana perkara baik dan buruk. Istilah baligh dan berakal bagi saya tidak hanya terikat pada waktu dan masa, namun lebih kepada kematangan invidual dalam menjalani kehidupan yang mampu memilih dan memilah. Lantas apakah pendapat saya tersebut menyalahi syariat? Silahkan kalau Anda berpendapat demikian, namun coba sejenak kita lihat keluar. Banyak saudara kita atau bahkan mungkin diri kita sendiri belum benar-benar memahami Syahadat, namun dipaksakan untuk masuk ke dalam lingkaran agama. Secara syariat memang sudah beragama Islam, namun devinisi agama pun perlu kita jabarkan lagi.
Syahadat bagi saya bukan sekedar apa yang terdengar oleh telinga, lebih jauh lagi kepada pemahaman jati diri. Sehingga dengan ber-Syahadat kita mampu menyatakan Tuhan adalah Tuhan, hamba adalah hamba. Dalam Syahadat ada hak Tuhan untuk di-Tuhan-kan, dan terdapat p**a kewajiban kita untuk menghambakan diri. Kematangan fikiran dan nurani inilah yang bagi saya merupakan syarat dalam ber-Syahadat. Karena kalau syahadat kita hanya sebatas pemanis bibir semata, efeknya bukan hanya pada ritual keagamaan kita semata, namun lebih jauh lagi dalam aktivitas keseharian kita pun akan penuh dengan kesalahan langkah.
Berbagai berita dan kabar sudah menggambarkan, bahkan mungkin dalam keseharian kita pun banyak terlihat jelas efek dari syahadat yang hanya ada di ujung bibir semata. Kita tentu mendengar ada istilah Islam KTP, kejahatan sosial yang pelakunya adalah muslim, banyak p**a mereka yang katanya orang Islam namun tidak menjalankan aktivitas keagamaan sebagaimana sudah dianjurkan, dan terparah adalah adanya pelaku teroris meng-atas nama-kan Islam yang tentu saja hal itu semua adalah imbas dari adanya ketidak-matangan dalam ber-Syahadat.
Syaikh Abdullah menjelaskan lebih lanjut mengenai makna Syahadat Tauhid adalah ketika engkau mengetahui, yakin dan percaya serta membenarkan bahwa sesunguhnya tiada Tuhan yang patut disembah dengan hak dan kenyataan kecuali Allah Yang Maha Tunggal, Awal, Dahulu, Hidup, Berdiri sendiri, Abadi, Pencipta, Pemberi rejeki, Mengetahui, Kuasa, dan Berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.
Dari penjelasan tersebut telah dikatakan jelas oleh Syaikh Abdullah bahwa pengetahuan, keyakinan, keperyaan dan pembenaran sifat ke-Tuhan-an yang melekat pada diri Tuhan adalah mutlak untuk kita akui sebagai hamba-Nya. Disamping itu tersirat p**a bahwa menghambakan diri sehamba-hambanya pun menjadi mutlak adanya. Dengan memahami dan mendalami makna tersebut, maka kita akan dengan tegas mengatakan Tuhan tiada duanya, Tuhan Satu dalam hakikatnya, dan Tuhan adalah yang menciptakan, bukan yang diciptakan. Apa yang dikehendaki-Nya akan terjadi sekalipun mungkin bagi kita hal tersebut merupakan perkara yang mustahil dan apa yang tidak dikehendaki-Nya tidak mungkin terjadi. Tiada daya dan upaya dalam ber-nahi mungkar atau meninggalkan kemaksiatan dan tiada p**a kekuatan dalam menjalankan perintah-Nya kecuali dengan pertolongan Allah semata.
Lalu pertanyaan mendasar sebagai manusia beragama, atau setidaknya sebagai manusia yang hidup dari kehendak-Nya, sudahkah kita meng-iyakan Dia sebagai Tuhan, atau justru dengan ketidak sadaran kita akan kehambaan diri, kita menjadi dan menciptakan Tuhan-Tuhan baru? Pembahasannya ada di bab selanjutnya.
Selanjutnya untuk melengkapi Syahadat yang terdiri dari dua unsur, kita pun perlu meyakini pembawa kabar dari Tuhan adalah benar adanya. Makna dari Syahadat Rasul adalah engkau harus mengetahui, meyakini dan membenarkan serta percaya bahwa pemimpin kita Nabi Muhammad SAW bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf Al Quraisy adalah hamba dan Rasul Allah kepada seluruh makhluk. Mengetahui dan seterusnya bahwa Nabi Muhammad adalah benar dalam semua yang diberitakannya. Diantaranya mengenai siksa kubur dan nikmatnya, pertanyaan malaikan Munkar dan Nakir, dibangkitkannya kembali dari kubur, di kumpulkan di Padang Mahsyar, hari kiamat, persidangan, pahala dan siksa, timbangan amal, Neraka, syafaat, Surga, sampai kepada melihat Allah SWT di Surga.
Mengapa perlu percaya kepada Rasul?. Kembali lagi pada pembahasan di atas, bahwa penghambaan diri kita kepada sang Pencipta adalah keharusnya yang kita emban. Modal dalam menghambakan diri dan menuhankan Tuhan adalah berita dari seorang utusan. Allah SWT sudah berkehendak bahwa Muhammad SAW yang lahir di Makkah dari suku Quraisy sebagai seorang utusan. Dan hal itu tidak bisa diganggu gugat dengan pertanyaan-pertanyaan logika lainnya. Namun perlu dipahami bersama, Rasul Muhammad SAW diutus oleh-Nya untuk mempertegas penghambaan kita kepada Allah SWT dan menuhankan Dia sebagaimana mestinya, artinya beliau diutus bukan sebagai Tuhan baru yang harus disembah sebagaimana kita menaati Tuhan. Seringkali kita salah dalam mengartikan ketaatan kita kepada Rasul, baik dalam memahami ucapannya maupun perilakunya