20/10/2025
Di tengah hiruk pikuk kebijakan pendidikan nasional yang terus berganti wajah, suara dari pelosok kecil seperti SD Katolik Naibone seringkali tenggelam. Namun dari ruang-ruang kelas sederhana, dengan papan tulis yang mulai pudar dan meja belajar yang kadang harus disandarkan agar tidak roboh, para guru di Naibone tetap berdiri tegak—mengajar dengan keyakinan bahwa Calistung (baca, tulis, hitung) bukan sekadar kompetensi dasar, tetapi fondasi martabat manusia.
Ironinya, di saat kota besar sibuk bicara tentang AI in education dan digital classroom, guru-guru di Naibone masih berjuang menuntaskan anak-anak yang belum mampu membaca satu kalimat pun di kelas atas. Perjuangan ini bukan hanya tentang metode belajar, melainkan juga tentang ketimpangan sistemik yang telah lama dibiarkan: kurikulum yang seragam untuk realitas yang tak setara, anggaran yang tidak berpihak pada akar masalah, serta kebijakan yang lebih s**a laporan indah daripada fakta getir di lapangan.
Guru-guru di Naibone tak menunggu kebijakan datang. Mereka membuat kelas tambahan tanpa bayaran, mengajar di bawah terik matahari, dan memeluk setiap kegagalan siswa dengan kesabaran luar biasa. Di balik senyum mereka, tersimpan protes sunyi terhadap negara yang sering lupa bahwa masa depan Indonesia tidak hanya dibangun di kota, tetapi juga di dusun-dusun kecil yang jauh dari sorotan.
Menuntaskan Calistung adalah langkah kecil yang berdampak besar. Ia bukan sekadar misi akademik, tetapi perlawanan terhadap ketimpangan struktural dan kemiskinan literasi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dari Naibone, suara guru menyeruak: “Kami tidak butuh pujian, kami butuh dukungan nyata agar anak-anak kami bisa membaca masa depan mereka sendiri.”
Dari Naibone untuk Indonesia: Suara Guru yang Berjuang Menuntaskan Calistung demi Masa Depan Anak Bangsa