09/11/2025
“Gunung yang Gundul, Bencana yang Turun”
Dari lereng barat Gunung Slamet, kini hanya tersisa angin yang bernyanyi lirih di antara tunggul-tunggul pohon tua.
Daun daun telah lama pergi, batang-batang besar yang dulu meneduhi jalan desa kini tinggal arang kenangan.
Brebes Selatan, tanah yang dulu hijau, sejuk, dan penuh kehidupan, kini tampak seperti tubuh yang kehilangan kulitnya,
terbuka, gundul, dan rapuh.
Dulu, hutan di Sirampog dan Paguyangan adalah dada hijau yang menjaga napas bumi Brebes.
Dari sana, mata air mengalir, udara meneduhkan, dan tanah menahan segala beban musim.
Namun kini, 35 persen atau sekitar 2.168 hektare hutan di Brebes telah kehilangan penutupnya.
Bukan sekadar angka di laporan, tapi nyawa alam yang perlahan surut,
napas yang tersengal karena pohon-pohon telah tumbang,
akar-akar tercerabut, dan bumi kehilangan genggamannya.
Di lereng-lereng curam, sayuran musiman tumbuh di atas luka.
Setiap musim tanam, tanah dikeruk, akar penahan longsor dicabut,
dan gunung yang dulu tegar kini mulai merosot pelan-pelan, seperti tubuh tua yang kehilangan tulangnya.
Maka ketika hujan datang, tanah tak lagi bertahan. Ia pasrah.
Air membawa serta tanah, lumpur, dan batu, menggulung apa pun di bawahnya
sawah, rumah, bahkan nyawa
Kini bencana datang bukan sekali, bukan dua kali.
Setiap tahun, berita tentang longsor, tanah bergerak, dan banjir bandang
selalu dimulai dari selatan Brebes, dari tanah yang seharusnya paling kuat menahan.
Sekali banjir bandang datang, ia tak hanya membawa air,
tapi juga amarah alam yang turun bersama batang pohon dan bongkah batu dari hulu.
Dan lihatlah, Sirampog dan Bumiayu, dataran tinggi yang dulu dingin dan tenang,
kini menjadi langganan banjir tiap tahun.
Ironis, bukan?
Bahkan ketika hujan pertama baru menetes, Kota Bumiayu kemarin justru menjadi yang pertama tenggelam.
Air meluap dari Kali Keruh, Kali Erang, dan Kali Pedes yang dulu hanya berbisik,
kini mereka berteriak, menumpahkan dendam dari hulu yang telah digunduli.
Namun peringatan demi peringatan selalu tenggelam,
seperti suara kecil di tengah hiruk-pikuk pasar dan ladang.
Manusia masih menanam di tanah curam,
masih menebang di hutan lindung,
masih menganggap gunung hanyalah halaman belakang yang bisa digarap sesuka hati.
Gunung Slamet kini diam.
diam yang panjang, tapi bukan berarti lupa.
Ia telah memberi tanda lewat hujan yang menggila, lewat longsor yang tiba-tiba,
lewat banjir bandang yang datang tanpa permisi.
Dan mungkin, bila manusia tetap tuli pada tanda-tanda itu,
gunung akan berbicara lebih keras lagi.
Bencana di Brebes Selatan bukan kutukan.
Ia adalah balasan dari bumi yang tersakiti,
pesan dari hutan yang kita tebang,
dan air mata dari gunung yang kita lukai.
Sebab ketika manusia berhenti menjaga alam
Alam pun berhenti menjaga manusia.