Motivasi Kehidupan

Motivasi Kehidupan Selamat datang di Motivasi Kehidupan — tempat di mana kisah-kisah tentang keimanan, harapan, dan pengabdian menjadi kenyataan.

Kami membuat konten Islami untuk mengingatkan, menginspirasi, dan menyentuh hati di seluruh dunia.

SAKITNYA BUKAN DI BADAN, TAPI DI HATIDi pinggiran kota Yogyakarta yang tenang dan bersahaja, tinggallah sepasang suami i...
09/09/2025

SAKITNYA BUKAN DI BADAN, TAPI DI HATI

Di pinggiran kota Yogyakarta yang tenang dan bersahaja, tinggallah sepasang suami istri bernama Bagas dan Alya. Mereka bukan pasangan baru, telah menikah hampir 6 tahun. Bagas adalah seorang pengrajin kayu, mengelola bengkel kecil warisan ayahnya. Alya bekerja sebagai guru honorer di SD negeri tak jauh dari rumah.

Hari-hari mereka padat, penuh aktivitas. Alya berangkat pagi, p**ang menjelang petang. Bagas sering kali tenggelam dalam suara mesin dan bau kayu hingga maghrib menjelang. Kebersamaan mereka terbatas, hanya sebatas menyapa di meja makan, itupun jika sempat.

Mereka jarang sekali duduk berdua. Tidak ada waktu untuk sekadar menikmati teh sore atau berbincang santai. Semuanya terasa berjalan otomatis… sampai suatu hari, Bagas jatuh sakit.

Pagi itu, Alya terbangun karena suara batuk Bagas yang dalam dan berat.
“Mas, kamu kenapa? Kok batuknya parah banget?” tanya Alya cemas sambil menyentuh dahi suaminya. Panas.
Bagas memejamkan mata. “Kayaknya masuk angin aja, Al. Gak usah ke dokter, nanti juga sembuh sendiri.”

Namun tiga hari berlalu, tubuh Bagas tak kunjung membaik. Ia mulai kehilangan selera makan, matanya sayu, pekerjaannya terbengkalai. Alya tak bisa tinggal diam. Ia akhirnya membujuk suaminya ke klinik langganan mereka.
Klinik kecil itu dikelola oleh dr. Husna, seorang dokter muslimah yang dikenal ramah dan penuh perhatian.

Setelah pemeriksaan menyeluruh, dr. Husna duduk tenang menatap hasilnya. “Hmm… ini menarik.”
Alya langsung cemas. “Ada apa, Dok?”
“Secara medis, suami Ibu sehat. Tidak ada infeksi, tidak ada kelainan darah. Bahkan tekanan darahnya pun normal.”
Bagas hanya mengangkat alis. “Tapi saya merasa seperti nggak punya tenaga, Dok. Semangat kerja hilang, pengen tidur terus.”

dr. Husna tersenyum lembut. “Bapak mungkin tidak sakit secara fisik. Tapi bisa jadi hati Bapak sedang ‘dingin’. Kurang hangatnya perhatian dari orang yang paling dicintai.”
Alya terdiam. Ia merasa tertampar, seakan disadarkan sesuatu yang selama ini ia abaikan.

Hari-hari berikutnya, kondisi Bagas tak juga membaik. Alya tetap p**ang kerja dengan wajah lelah, langsung merebahkan diri di kasur. Sementara Bagas hanya duduk di beranda, memandangi langit senja sendirian.
Suatu sore, saat langit mendung tipis, Bagas berkata lirih, “Al… kamu masih ingat nggak, dulu kita s**a duduk di teras sambil minum teh?”
Alya berhenti membuka jilbabnya. Ia menoleh, dan dalam sekejap, rasa bersalah menyeruak.

“Iya, Mas… aku ingat.” Suaranya nyaris berbisik.
Malam itu, Alya bangun lebih awal dari biasanya. Ia menyiapkan dua cangkir teh hangat, dan sebungkus roti bakar yang biasa mereka beli saat masih pengantin baru. Ia keluar ke teras dan memanggil Bagas.
“Mas… ayo duduk bareng. Tehnya udah siap.”

Bagas menatap teh itu seolah tak percaya. Ia duduk perlahan, menggenggam cangkir hangat itu dengan tangan bergetar.
“Mas… maaf ya. Aku terlalu sibuk. Aku lupa bahwa kamu bukan cuma butuh istri yang rajin bekerja, tapi istri yang hadir… yang menemanimu.”
Bagas tersenyum kecil, lalu menatap langit. “Tehnya enak banget, Al. Tapi yang lebih hangat… hatiku sekarang.”

Hari-hari setelahnya perlahan berubah. Alya menyisihkan waktu untuk membuatkan teh setiap sore. Kadang hanya duduk berdua tanpa kata, kadang saling bercerita ringan. Bagas mulai bertenaga, semangatnya pulih, bahkan pekerjaan di bengkel kembali hidup.

Beberapa pekan kemudian, mereka kontrol ulang ke dr. Husna.
“Wah, wajah Pak Bagas beda banget sekarang!” ujar dr. Husna senang.
Bagas tertawa. “Alhamdulillah, Dok. Sekarang tiap sore saya dapat ‘resep’ baru: teh hangat dan obrolan ringan dari istri.”
dr. Husna ikut tertawa. “Itulah obat paling mujarab: cinta yang tulus dan perhatian yang hangat.”

🌿 Hikmah Islami:

Dalam Islam, keluarga adalah tempat pertama untuk saling menebar kasih sayang dan ketenangan. Allah berfirman dalam QS. Ar-Rum ayat 21:

“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang...”

Seringkali kita lupa, bahwa perhatian kecil bisa menjadi bentuk ibadah besar—asal niatnya karena Allah. Menyediakan waktu untuk pasangan, walau hanya secangkir teh, bisa menjadi sumber sakinah dalam rumah tangga.

💬 Sekarang giliran kamu!

Apakah kamu juga pernah merasakan hubungan yang mulai terasa hambar karena kesibukan?

Atau mungkin kamu punya cara sederhana untuk menjaga kehangatan dengan pasanganmu?

✨ Ceritakan di kolom komentar ya!

Mari saling menginspirasi lewat kisah nyata kita masing-masing. 🫶

Share kisah ini agar lebih bermanfaat bagi yang lain dan menjadi amal jariyah baik untukmu ☺️🥰

KETIKA HATI MEMILIKIH, BUKAN STATUSDi kota Gresik, ada seorang pemuda bernama Farhan Aziz. Ia adalah pemilik usaha tamba...
09/09/2025

KETIKA HATI MEMILIKIH, BUKAN STATUS

Di kota Gresik, ada seorang pemuda bernama Farhan Aziz. Ia adalah pemilik usaha tambak udang yang cukup sukses, yang dikelola bersama ibunya, Bu Salmah. Hidup mereka terlihat nyaman dan terpandang, namun di balik itu, ada luka lama yang belum sembuh, dan konflik kecil yang terus berulang.

Farhan tumbuh tanpa kehadiran ayah. Saat Salmah sedang hamil tua, suaminya pergi meninggalkan rumah tanpa kabar. Duka itu membuat Farhan tumbuh dengan jiwa penuh amarah dan kepribadian keras. Ia sering berselisih paham dengan ibunya, tak jarang hanya karena hal-hal kecil.

Namun, kehidupan mereka berubah saat datang seorang gadis sederhana dari Lamongan bernama Humaira. Anak seorang petani kecil, yang terpaksa merantau ke Gresik demi membantu keluarga yang terlilit utang. Ia bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah Bu Salmah, bukan karena miskin semata, tapi karena rasa tanggung jawab yang besar terhadap keluarganya.

Tak ada yang menduga, kehadiran Humaira akan menjadi titik balik dari semua ketegangan di rumah itu—mengubah hubungan Farhan dan ibunya, serta menyembuhkan luka batin yang selama ini tersembunyi.

Farhan dikenal sebagai sosok yang disiplin dan keras. Di Gresik, nama tambaknya terkenal, dan para pekerja menaruh hormat. Namun, banyak yang tahu bahwa di balik sosok pemuda sukses itu, tersimpan jiwa yang terluka karena kehilangan sosok ayah sejak dalam kandungan.

Setiap kali melihat anak kecil bermain dengan ayahnya, Farhan merasa iri dan hampa. Luka itu tak pernah sembuh. Dan luka itu p**a yang sering kali menjadi alasan Farhan beradu argumen dengan ibunya.
Suatu malam, Bu Salmah mengeluh dalam hati:

“Farhan itu kerja terus, p**ang malam, bicara pun ketus. Padahal, aku membesarkannya sendirian…”
Ketika Farhan p**ang, Bu Salmah menegur:
“Farhan, p**ang malam terus, jangan lupa ibumu ini sudah tua.”
Farhan menjawab ketus, “Bu, saya kerja cari uang. Kalau saya santai, siapa yang biayai semuanya?”

Percakapan seperti itu sering terjadi, dan semakin membuat rumah itu terasa dingin.
Karena merasa lelah secara fisik dan batin, Bu Salmah memutuskan untuk mencari pembantu rumah tangga. Melalui kenalan di pengajian, ia dipertemukan dengan Humaira—gadis lembut yang penuh adab.
“Namamu siapa, Nduk?” tanya Bu Salmah.
“Humaira, Bu. Saya dari Lamongan. Saya ingin bekerja, agar bisa bantu orang tua di desa.”

“Gajinya tidak besar, tapi kerjanya halal. Insya Allah berkah,” ujar Bu Salmah.
“Saya ikhlas, Bu. Asal bisa bantu,” jawab Humaira sambil menunduk.
Hari pertama bekerja, Humaira menyambut Farhan yang baru p**ang larut malam.
“Silakan minum, Mas. Saya buatkan teh jahe biar hangat.”
Farhan kaget, karena jarang ada yang menyambutnya dengan kelembutan seperti itu.

“Terima kasih,” ucapnya singkat, namun matanya tidak bisa menyembunyikan rasa heran dan kagum.
Hari demi hari, Humaira menyaksikan pertengkaran kecil antara Farhan dan ibunya. Tapi ia tidak tinggal diam. Dengan suara lembut dan sikap tenang, ia mulai meredakan suasana.

Saat Bu Salmah kecewa karena Farhan jarang makan di rumah, ia berkata:
“Mas Farhan pasti lelah. Biar saya panaskan makanannya, Bu. Nanti kalau lapar, pasti beliau makan.”
Kata-kata sederhana itu seringkali menyelamatkan rumah itu dari pertengkaran lebih besar.

Suatu malam, Bu Salmah jatuh sakit. Farhan panik, bingung harus bagaimana. Tapi justru Humaira yang sigap. Ia menyuapi obat, memijat, dan menjaga sepanjang malam.
“Mas Farhan, istirahatlah. Saya jaga Ibu.”
Farhan menatap Humaira dalam diam. Belum pernah ada orang yang sepeduli itu pada ibunya. Rasa kagum dalam hatinya tumbuh perlahan menjadi ketulusan.
“Kenapa kamu peduli sekali pada Ibu?” tanya Farhan.
“Karena beliau seperti ibu saya sendiri,” jawab Humaira.

Sejak itu, Farhan mulai berubah. Ia lebih sabar, lebih sering berbicara baik pada ibunya, dan semakin sering memperhatikan Humaira dalam diam.
Suatu malam, Farhan mengajak bicara:
“Kamu tidak lelah kerja seperti ini? Kenapa begitu sabar?”
“Kalau semua diniatkan karena Allah, Mas, lelahnya jadi ringan,” jawab Humaira.
Jawaban itu membuat Farhan terdiam, menunduk, dan mulai merenung dalam.

Akhirnya, Farhan memberanikan diri bicara pada ibunya.
“Bu, saya ingin menikah.”
“Masya Allah... sama siapa, Farhan?”
“Sama Humaira.”
Bu Salmah terdiam, lalu menangis haru.

“Ibu sudah lama merasa dia seperti anak perempuan Ibu. Kalau itu pilihanmu, Ibu restui sepenuh hati.”
Namun, saat Farhan melamar, Humaira justru menolak dengan air mata.
“Saya ini siapa, Mas? Anak petani. Kerja jadi pembantu. Tak pantas untuk jenengan.”

Farhan menggenggam tangannya dengan tegas.
“Bukan statusmu yang membuatku jatuh cinta, tapi akhlakmu. Kamu bukan pembantu. Kamu penyelamat keluarga ini.”
Air mata Humaira mengalir deras.

Akhirnya, pernikahan digelar secara sederhana di Gresik. Banyak yang mencibir, banyak p**a yang terharu.
“Farhan itu gila. Masa bos tambak nikahi pembantunya?”
Namun, Bu Salmah menegur:
“Jangan lihat statusnya. Lihat akhlaknya. Itulah calon ibu dari cucu-cucuku.”

Hikmah Islami dari Kisah Ini:
Kebaikan tidak diukur dari status, tapi dari ketulusan dan akhlak.
Berbakti kepada orang tua adalah kunci keberkahan hidup.
Allah membalas kesabaran dengan jalan yang tak disangka-sangka.
Tidak ada yang hina selama pekerjaan itu halal. Yang hina adalah hati yang sombong.

Bagaimana dengan kamu?

❓Apakah kamu pernah melihat seseorang yang sederhana, tapi hatinya begitu mulia?

❓Menurut kamu, apa yang paling penting dalam memilih pasangan hidup: status, rupa, atau akhlak?

❓Jika kamu jadi Farhan, beranikah kamu mengambil keputusan yang sama?

💬 Ceritakan pendapatmu di kolom komentar, ya!

🔁 Jangan lupa share kisah ini ke temanmu, siapa tahu bisa jadi inspirasi mereka juga.

08/09/2025

10 Kebenaran Sikologi Yang Akan Menguatkanmu

IA PULAN, TAPI BUKAN UNTUK TINGGALMalam itu, di musala kecil yang lampunya redup, seorang lelaki paruh baya bernama Pak ...
08/09/2025

IA PULAN, TAPI BUKAN UNTUK TINGGAL

Malam itu, di musala kecil yang lampunya redup, seorang lelaki paruh baya bernama Pak Anwar sedang menyapu lantai dengan pelan. Di sudut ruangan, sebuah sepatu kecil berwarna merah tergeletak rapi. Sepatu itu milik Alya, anak semata wayangnya… yang kini hanya tinggal dalam kenangan.

Pak Anwar berhenti menyapu. Ia menatap sepatu itu lama, lalu duduk bersila sambil menahan napas yang terasa berat.
Anwar (lirih):
“Dulu, setiap maghrib kamu duduk di pangkuan Ayah sambil nyanyi surat Al-Fatihah… sekarang, cuma sepi yang jawab iqamah ini…”

Tujuh tahun lalu…
Anwar adalah penjaga sekolah dasar negeri. Istrinya, Rina, seorang bidan yang sibuk di puskesmas kecamatan. Hidup mereka sederhana, tapi penuh tawa—terutama sejak kehadiran Alya, gadis kecil yang pintar dan periang.
Namun, saat usia Alya 4 tahun, hidup mereka berubah.

Suatu malam, Rina p**ang lebih larut dari biasanya. Wajahnya lelah, matanya sembab.
Rina:
“Wan… aku… aku capek. Aku ngerasa aku kehilangan diri aku. Aku pengen sekolah lagi… aku mau lanjut spesialis ke kota.”
Anwar terdiam.

“Aku dukung kamu… asal kita tetap satu keluarga. Jangan tinggalin kami.”
Tapi perlahan, Rina semakin jarang p**ang. Ia mendapat beasiswa luar negeri. Awalnya sebulan sekali menjenguk Alya, lalu dua bulan… lalu hanya mengirim video.

Sampai suatu hari, datang surat dari pengacara.
“Permohonan cerai.”
Anwar menangis semalaman. Ia tak marah. Tapi hatinya… hancur.
Ia tahu, ia tak bisa menahan Rina. Tapi ia juga tahu, Alya butuh ibu.

Setahun setelah perceraian…
Alya sakit demam berdarah. Anwar menjual motor tuanya untuk biaya rumah sakit. Ia menggendong Alya bolak-balik ke puskesmas. Tapi takdir berkata lain.
Alya wafat. Di pelukannya. Dalam dzikir yang terputus oleh isak tangis.
Jenazahnya disalatkan di musala kecil tempat Alya dulu belajar wudhu. Sepatu merah itu ditinggal di sudut, dan tak pernah lagi berpindah tempat.

Tiga tahun kemudian…
Rina kembali dari luar negeri. Ia kini dokter sukses, punya klinik sendiri. Ia datang ke musala—di malam yang sunyi. Ia bawa boneka untuk Alya… yang bahkan sudah tak ada.
Rina (menangis):
“Wan… kenapa kamu nggak kasih tahu aku? Kenapa kamu kubur anak kita tanpa aku tahu?”

Anwar menjawab lirih:
“Karena saat Alya butuh ibunya, kamu tak datang. Tapi Allah... Allah tak pernah pergi.”
Rina menangis makin keras. Ia sujud di sajadah, memeluk sepatu merah itu.

Setahun setelah pertemuan itu…
Musala kecil itu kini ramai anak-anak mengaji. Di antara mereka, seorang perempuan berseragam putih-biru, mengajar Iqra’ dengan lembut. Namanya Dokter Rina. Ia mengundurkan diri dari pekerjaannya dan kembali ke desa.

Bukan untuk menggantikan Alya. Tapi untuk membayar doa-doa yang dulu ia tinggalkan.
Anwar duduk di serambi, menatapnya.
Anwar (dalam hati):
“Mungkin ini bukan tentang kembali. Tapi tentang menebus. Dan aku tahu, taubat bukan soal cepat atau lambat… tapi tentang keberanian untuk datang p**ang.”

🌙 Hikmah Cerita

Ada luka yang tak bisa dibayar dengan permintaan maaf, tapi bisa diredam dengan kebaikan yang terus menerus.
Dalam Islam, taubat bukan hanya untuk dosa kepada Allah, tapi juga untuk luka yang kita torehkan pada sesama.

Dan orang tua sejati adalah mereka yang memilih tetap hadir, bahkan ketika dunia membisiki untuk pergi.

🙏 Pernahkah kamu menyesal karena meninggalkan seseorang terlalu lama?

Atau pernahkah kamu dimaafkan setelah menyakiti seseorang yang tulus?

💬 Tulis di komentar:

“Apa arti p**ang… menurut kamu?”

Dan tag seseorang yang masih kamu doakan dalam diam. 🤍

Share kisah ini agar lebih bermanfaat bagi yang lain dan menjadi amal jariyah baik untukmu ☺️🥰

UANG RECEH ITU UNTUK SEPATU ADIKDi sudut gang sempit sebuah kota padat, tinggal seorang anak laki-laki bernama Fajar, ke...
08/09/2025

UANG RECEH ITU UNTUK SEPATU ADIK

Di sudut gang sempit sebuah kota padat, tinggal seorang anak laki-laki bernama Fajar, kelas 3 SMP. Ia dikenal baik hati, ceria, dan selalu siap membantu teman-temannya. Tapi, tak banyak yang tahu... di balik senyum itu, ada beban besar yang dipikulnya tiap hari.

Fajar tinggal bersama ibu dan adik perempuannya, Nadia, yang masih kelas 2 SD. Ayah mereka meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan kerja, meninggalkan hutang dan tanggungan keluarga yang tak sedikit.

Sejak itu, ibunya bekerja sebagai buruh cuci keliling, dan Fajar… diam-diam ikut bekerja mengumpulkan kardus dan botol plastik setelah p**ang sekolah.
Ia lakukan itu bukan untuk jajan, tapi untuk satu tujuan mulia: membelikan sepatu baru untuk adiknya.

Sepatu Itu…
Setiap pagi, Nadia selalu tersenyum sambil memakai sepatu lamanya yang penuh tambalan.
“Masih bagus, Kak… Nanti Kak Fajar beliin yang baru, kan?” katanya lugu.

Fajar hanya mengangguk, menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. Di dalam sakunya, ada uang receh hasil kerja seminggu: Rp38.500.
Setiap malam, Fajar menghitungnya diam-diam, menyelipkan ke dalam kaleng biskuit bekas di bawah kasur.

Dia tahu… sepatu bagus paling murah pun Rp75.000. Tapi ia yakin, Allah pasti bantu.
Suatu Hari…
Di sekolah, Fajar dipanggil guru BK. Di depan meja, ada tas ransel usang miliknya yang ternyata sobek besar di bagian bawah.
“Kenapa kamu nggak bilang, Jar? Uang saku kamu cukup nggak?”
Fajar hanya menunduk, malu.

Ia p**ang hari itu dengan dada sesak, karena uang dalam kalengnya hilang. Seluruhnya. Rp54.000 yang ia kumpulkan 3 minggu terakhir… lenyap.
Ia menangis di tempat cuci piring tempat ibunya bekerja sore hari.
“Bu… Fajar nggak bisa beliin sepatu Nadia…” ucapnya gemetar.
Sang Ibu terdiam… lalu memeluknya erat sambil berbisik:

“Nak… Allah nggak akan sia-siakan niat baikmu. Kau sudah jadi laki-laki sejak Ayahmu tiada… Tapi ingat… Rezeki itu bukan kamu yang jaga. Itu hak Allah. Kalau memang untukmu, akan kembali, meski kamu tidak minta…”
Fajar hanya diam. Tapi kata-kata itu melekat di hatinya.

Pagi Hari yang Tak Terduga…
Beberapa hari setelah kejadian itu, saat upacara Senin pagi, kepala sekolah tiba-tiba memanggil nama Fajar ke depan lapangan.
Semua murid bingung. Fajar berjalan pelan, tak tahu apa yang terjadi.

Lalu… kepala sekolah menyerahkan sebuah kotak sepatu kepadanya, diikuti suara ibu guru yang berkata:

“Fajar adalah murid teladan kita bulan ini. Bukan karena nilainya, tapi karena akhlaknya. Salah satu warga melihat Fajar mengumpulkan sampah dengan sopan, dan tahu tujuannya. Hari ini, ada yang ingin membalas kebaikan itu.”
Fajar membuka kotak itu perlahan…

Sepatu anak kecil berwarna ungu, ukuran kaki adiknya.
Di dalamnya, selembar kertas kecil bertuliskan:

"Semoga bermanfaat untuk adikmu. Teruslah jadi anak yang kuat dan jujur. Allah Maha Melihat usaha hamba-Nya.”
Air mata Fajar jatuh di depan seluruh sekolah.
Ia peluk kotak itu erat-erat. Hari itu, ia p**ang dengan senyum yang berbeda.
Di rumah, Nadia menjerit senang saat melihat sepatunya.

“Masya Allah, Kak Fajar!! Sepatunya ungu!! Aku s**aaa…”
Fajar hanya menatap langit, lalu berbisik lirih:
“Terima kasih, Ya Allah… Aku tahu Kau tidak pernah tidur.”

Akhir Cerita:

Beberapa tahun kemudian, Fajar lulus dengan beasiswa penuh ke SMA unggulan berbasis pesantren. Saat ditanya dalam sebuah wawancara siapa yang paling menginspirasinya, ia menjawab:

“Adik saya, Nadia. Karena senyumnya membuat saya belajar ikhlas. Dan Ibu saya, yang tak pernah lelah bersabar…”

🌿 Hikmah Islami:

Allah tidak akan menyia-nyiakan niat baik hamba-Nya. Bahkan sekecil niat membelikan sepatu untuk adik, bisa jadi jalan turunnya berkah dari arah yang tak disangka-sangka.

Dalam Islam, ikhlas, sabar, dan berbakti kepada keluarga adalah amal yang sangat dicintai Allah. Dan siapa yang yakin pada pertolongan-Nya, maka Allah akan cukupkan, walau dunia menertawakan.

💬 Renungan untukmu:

🌙 Pernahkah kamu diam-diam berusaha membahagiakan seseorang?

👣 Apa “sepatu ungu” versi kamu—hal kecil tapi sangat berarti?

📌 Ceritakan di kolom komentar… siapa orang yang paling ingin kamu bahagiakan hari ini?

🔁 Tag mereka. Kirim cerita ini jika kamu ingin bilang: “Aku masih berjuang untukmu.”

“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan jalan keluar baginya, dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka…”
(QS. At-Talaq: 2-3)

Kalau kamu s**a cerita ini dan ingin lebih banyak kisah menyentuh seperti ini, beri ❤️ dan tulis “lanjutkan!” di kolom komentar ya..

Share kisah ini agar lebih bermanfaat bagi yang lain dan menjadi amal jariyah baik untukmu ☺️🥰

AKU GAGAL MENGUCAPKAN TERIMAKASIHPukul 3 sore. Hujan turun deras di kota Semarang. Di bawah halte tua, seorang gadis ber...
08/09/2025

AKU GAGAL MENGUCAPKAN TERIMAKASIH

Pukul 3 sore. Hujan turun deras di kota Semarang. Di bawah halte tua, seorang gadis berdiri sambil menggenggam payung kecil yang sudah usang. Namanya Laila, 22 tahun, mahasiswi semester akhir jurusan Keperawatan. Ia menunggu bus kota, bukan untuk p**ang… tapi untuk ke RSUD tempat ibunya dirawat.

Sejak ayahnya meninggal 7 tahun lalu, hanya ada dua orang dalam hidupnya: Ibunya dan mimpi ibunya.
“Laila harus jadi perawat, biar bisa nolong orang, biar bisa nolong ibu nanti kalau sakit,” begitu kata Bu Rukmini, sambil menjahit baju tetangga malam-malam, mengusir kantuk demi biaya kuliah anaknya.

Tapi beberapa bulan terakhir, semuanya berubah. Ibunya didiagnosis gagal ginjal stadium lanjut. Laila mondar-mandir dari kampus, rumah, dan rumah sakit, memikul semuanya sendiri. Tak ada keluarga lain. Tak ada dana darurat. Tak ada pilihan.

Hari itu, hujan turun seperti biasa. Tapi hati Laila terasa tidak biasa. Entah kenapa, pikirannya gelisah sejak pagi. Padahal besok ada ujian skripsi. Ujian yang sudah ia tunggu selama empat tahun.
Sesampainya di rumah sakit, ia melihat ibunya terbaring lemah dengan alat bantu napas, matanya setengah terbuka.

“Ibu… Laila datang… hujan besar tadi… Laila bawa payung…” katanya, sambil menahan tangis.
Ibunya hanya menatap, lalu perlahan berkata pelan, “Laila… maafin Ibu… Ibu nggak bisa nemenin kamu ujian besok…”
Air mata Laila pecah.

“Jangan bicara begitu, Bu. Nanti kita p**ang bareng… Ibu janji mau duduk di bangku paling depan waktu Laila presentasi, kan?”
Ibunya tersenyum lemah, menatap Laila penuh cinta… lalu berkata dengan suara nyaris tak terdengar:

“Ibu udah lihat kamu jadi perawat… dalam doa Ibu…”
Detik berikutnya… monitor jantung berbunyi panjang.
Laila menjerit. Tubuhnya ambruk di lantai rumah sakit. Ia menatap langit-langit putih yang tak menjawab apa-apa.
Ibunya pergi… tepat sehari sebelum mimpinya menjadi kenyataan.

Seminggu berlalu. Hari itu, Laila mengenakan seragam putih, berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya. Rambutnya dikuncir rapi. Di tangannya… sebuah payung kecil usang.

Ia membawanya ke kampus, lalu ke pemakaman ibunya.
Ia duduk di depan pusara itu, membuka payungnya, walau hari tidak hujan.
“Bu… hari ini Laila ujian. Laila nggak punya siapa-siapa lagi di ruangan itu. Tapi Laila bawa payung ini… yang selalu Ibu pakai antar Laila ke sekolah waktu kecil, saat hujan badai, saat Laila belum bisa lari… tapi Ibu nggak pernah lelah… payung ini yang Ibu pakai untuk lindungin Laila…”

Ia mencium payung itu, lalu menatap langit.
“Laila akan terus berjalan, Bu… Meski sendiri… Meski kadang basah oleh luka… Tapi Laila tahu, doa Ibu masih jadi payung yang nggak akan pernah bocor…”

Setahun kemudian, Laila resmi menjadi perawat. Bekerja di rumah sakit yang sama tempat ibunya wafat. Setiap kali melihat pasien tua terbaring sendirian, ia menggenggam tangan mereka… seperti ia pernah menggenggam tangan ibunya.
Di ruang kecil kosannya, ia menaruh payung usang itu di dinding, tepat di samping foto ibunya yang sedang tersenyum. Payung yang kini menjadi saksi… bahwa cinta sejati seorang ibu tidak pernah mati. Ia hanya berpindah… dari peluk ke doa.

🌿 Pesan Islami:

"Surga berada di bawah telapak kaki ibu."
— HR. An-Nasa’i
Tidak ada usaha, keringat, atau doa seorang ibu yang sia-sia. Meski mereka tiada, cinta mereka hidup dalam langkah-langkah kita. Teruslah berbakti, walau lewat doa dan amal setelah mereka pergi.

💭 Pernahkah kamu merasa kehilangan, justru di hari yang seharusnya bahagia?

📌 Tulis di kolom komentar:

Apa kenangan kecil dari orang tuamu yang masih kamu bawa hingga hari ini?

Atau…
Apa hal sederhana namun berarti yang ingin kamu lakukan untuk mereka sebelum semuanya terlambat?

Share kisah ini agar lebih bermanfaat bagi yang lain dan menjadi amal jariyah baik untukmu ☺️🥰

DARI LUKA FITNAH CAHAYA TERBITDi sebuah kota kecil yang damai, tinggal seorang pemuda bernama Yusuf, 19 tahun. Yusuf ada...
08/09/2025

DARI LUKA FITNAH CAHAYA TERBIT

Di sebuah kota kecil yang damai, tinggal seorang pemuda bernama Yusuf, 19 tahun. Yusuf adalah mahasiswa baru yang dikenal rajin dan religius, selalu memakai kopiah dan tasbih di tangan kirinya. Namun, hidupnya berubah drastis ketika sebuah foto tersebar di kampus, menudingnya terlibat dalam perkelahian pelajar.

Foto itu bukan miliknya. Tapi saat foto itu beredar, wajah Yusuf langsung menjadi sasaran cibiran dan pandangan sinis.
Di kantin kampus...

Arif (mencibir):
“Lihat tuh, si Yusuf. Kayaknya bawa masalah ke mana-mana, deh.”

Mira (ragu):
“Tapi aku enggak yakin dia orangnya begitu...”

Arif:
“Ah, masa? Foto buktinya jelas. Mau bilang gimana lagi?”

Yusuf (berusaha bicara, pelan):
“Saya tidak pernah ikut perkelahian itu. Saya mohon, jangan percaya dulu sebelum tahu faktanya...”
Namun suara Yusuf tenggelam oleh gemuruh prasangka yang semakin deras. Teman-teman satu kelompoknya mulai menghindar, dosen juga memberi jarak.

Di rumah kontrakan sederhana...
Ibu Yusuf, Bu Fatimah, memandang putranya dengan mata penuh haru dan air mata. Ia tahu, ini ujian berat.

Bu Fatimah:
“Yusuf, sabar ya Nak. Kadang orang mudah menilai tanpa tahu cerita lengkapnya. Ingat, Allah Maha Mengetahui.”

Yusuf:
“Tapi Ibu, sakit sekali rasanya, ketika yang kau panggil teman, malah jadi musuh karena sekedar gambar yang salah.”
Bu Fatimah memeluk Yusuf erat, “Tetap pegang hatimu dengan iman. Allah yang akan membersihkan namamu, bukan kata orang.”

Hari demi hari berlalu, tekanan semakin berat.
Hingga suatu sore, saat Yusuf berjalan p**ang, ia melihat seorang anak kecil yang menangis di pinggir jalan. Anak itu terjatuh dan terluka lututnya.
Yusuf tanpa pikir panjang menghampiri, membersihkan luka anak itu, dan menghiburnya.

Yusuf (tersenyum hangat):
“Tak apa, Nak. Luka memang sakit, tapi Allah akan beri kesembuhan kalau kita bersabar.”
Anak itu tersenyum, memegang tangan Yusuf erat.

Beberapa hari kemudian...
Berita tentang kebaikan Yusuf tersebar, berkat anak kecil itu yang menceritakan kebaikan seorang “pemuda kopiah” yang menolongnya.
Seorang ustadz yang juga dosen di kampus menghampiri Yusuf.

Ustadz:
“Yusuf, aku percaya padamu. Jangan putus asa. Kesabaran dan kejujuranmu akan membuka jalan. Kita akan bersama memperjuangkan kebenaran.”

Akhirnya...
Setelah penyelidikan, pelaku perkelahian yang sebenarnya tertangkap dan mengakui kesalahannya. Nama Yusuf pun dibersihkan.
Yusuf kembali diterima teman-teman, tapi ia sudah berubah.

Yusuf (dalam hati):
“Dulu aku menginginkan penerimaan mereka. Kini aku ingin agar iman dan akhlak menjadi penerang dalam hidupku, bukan sekedar pengakuan manusia.”

Pesan Penutup:

Di dunia ini, terkadang kita akan disalahpahami, dijauhi, bahkan dicap buruk tanpa sebab yang jelas. Namun Allah mengajarkan kepada kita untuk bersabar, menjaga hati, dan berbuat baik walau dunia berbalik arah.

"Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, meski itu berat dan dihinakan."
— (QS. Al-Ma'idah: 8, dikontekskan)

Pertanyaan untuk kamu yang membaca:

Pernahkah kamu merasa disalahpahami oleh lingkungan?

Bagaimana kamu menjaga iman dan kesabaran saat menghadapi cobaan sosial seperti itu?

Apa arti sebenarnya ‘penghargaan’ menurutmu: dari manusia atau dari Allah?

🕊️ Yuk, bagikan ceritamu di kolom komentar. Mungkin kisahmu bisa menjadi pelipur dan penguat bagi saudara-saudara kita yang sedang berjuang dalam kesunyian.

Share kisah ini agar lebih bermanfaat bagi yang lain dan menjadi amal jariyah baik untukmu ☺️🥰

KETIKA IBU MEMILIH LAPAR DEMI ANAKDi sebuah gang sempit di daerah Surabaya, tinggal seorang gadis SMA kelas 2 bernama Al...
08/09/2025

KETIKA IBU MEMILIH LAPAR DEMI ANAK

Di sebuah gang sempit di daerah Surabaya, tinggal seorang gadis SMA kelas 2 bernama Alya, bersama ibunya, Bu Aminah, yang berjualan gorengan di depan rumah kontrakan kecil mereka.

Ayah Alya meninggal karena kecelakaan saat bekerja sebagai sopir truk, saat Alya masih duduk di bangku SD. Sejak itu, ibunya menjadi tulang punggung satu-satunya. Meski hidup pas-pasan, Bu Aminah tak pernah sekalipun membiarkan Alya keluar rumah dengan perut kosong.

Alya tahu ibunya selalu bangun pukul 3 dini hari untuk menyiapkan dagangan. Tapi satu hal yang tak pernah Alya pahami...
Kenapa ibunya tak pernah ikut makan bersama.
Setiap kali Alya selesai makan, ia selalu bertanya,

"Bu, kok Ibu gak makan bareng aku sih?"
Dan Bu Aminah selalu menjawab sambil tersenyum,
"Ibu udah kenyang duluan, Nak. Tadi sempat nyicipin gorengan sebelum dijual."
Alya mengangguk, walau sering curiga. Karena ia tahu, ibunya jarang menyentuh makanan, bahkan saat sore hari.

Sampai suatu hari, kejadian kecil membuka segalanya...
Pagi itu hujan deras. Sekolah Alya libur karena banjir. Ia memutuskan membantu ibunya menyiapkan gorengan. Saat ibunya keluar sebentar untuk mengambil tepung di warung, Alya membuka tudung saji tempat makanan disimpan.

Ia menemukan sepotong roti tawar yang sudah keras, hanya satu potong, dan sisa air putih di gelas plastik.
Roti itu hanya digigit sedikit, lalu ditinggalkan.
Alya menangis seketika.
Itu "sarapan" ibunya.
Roti keras dan air putih.

Saat Bu Aminah kembali, Alya tak bisa menahan emosinya.
"Bu... kenapa Ibu selalu bilang udah makan? Padahal Ibu cuma makan roti kayak gini?"
Bu Aminah tersenyum, walau matanya basah.

"Maaf ya, Nak. Ibu gak tega makan enak kalau kamu belum sekolah tinggi. Ibu pikir... selama kamu masih bisa kenyang dan bisa belajar, itu sudah cukup buat Ibu."
Alya terisak, memeluk tubuh kurus ibunya yang mulai renta.
Sejak hari itu, Alya berjanji dalam hati:
“Aku akan belajar sekuat tenaga, Bu. Demi bisa membalas semua roti keras yang Ibu makan diam-diam.”

🌙 Beberapa tahun kemudian…
Alya kini menjadi dosen muda di universitas negeri. Setiap kali ia p**ang kampung ke Surabaya, hal pertama yang ia lakukan adalah memasak sendiri sarapan untuk ibunya—dan menyuapkan langsung ke tangan yang dulu selalu memberinya makan lebih dulu.

Hari pertama gajian, yang ia beli bukan baju, bukan tas, bukan liburan.
Tapi sepotong roti sobek lembut isi cokelat yang hangat—ia bawa p**ang, dan duduk berdua dengan ibunya di teras kecil rumah.
"Ibu, sekarang kita makan roti bareng, ya. Tapi kali ini... rotinya masih hangat."

🕊️ Pesan Hikmah Islami:

"Sesungguhnya surga itu di bawah telapak kaki ibu."
(QS. Luqman: 14)

Banyak ibu yang berbohong tentang rasa lapar, demi anaknya bisa kenyang. Banyak ibu yang menyimpan tangis di sujud malamnya, demi anaknya bisa tertawa di siang hari.

Jangan tunggu kaya untuk membahagiakan ibu. Cukup jadilah anak yang tak buta pada pengorbanan kecilnya yang tak pernah disebut-sebut.
Apakah kamu pernah menemukan ‘roti keras’ dalam hidupmu—momen kecil yang bikin kamu sadar, bahwa ibumu (atau ayahmu) diam-diam menahan lapar demi kamu bisa bahagia?

Tulis di kolom komentar…
“Aku pernah...” dan lanjutkan kisahmu.
Mungkin kisahmu bisa menyadarkan orang lain juga.

Share kisah ini agar lebih bermanfaat bagi yang lain dan menjadi amal jariyah baik untukmu ☺️🥰

BARU KUBUKA, IBU SUDAH TIADAJam menunjukkan pukul 04.20 pagi.Langit masih gelap. Di sebuah kamar apartemen mewah di teng...
08/09/2025

BARU KUBUKA, IBU SUDAH TIADA

Jam menunjukkan pukul 04.20 pagi.
Langit masih gelap. Di sebuah kamar apartemen mewah di tengah hiruk-pikuk kota, Nayla memandangi cermin besar di depannya. Wajahnya penuh makeup. Rambutnya disanggul elegan. Gaun pesta masih melekat di tubuhnya—belum sempat diganti sejak tadi malam.

Ia duduk diam. Tak bersuara. Air mata menetes tanpa izin.
Ponsel di tangannya baru saja memutar ulang satu voice note singkat.
“Assalamu’alaikum, Nayla sayang… Ini Bunda. Maaf ya, ganggu. Bunda cuma pengen denger suara kamu. Hari ini ulang tahun kamu, ya? Bunda cuma mau bilang… selamat ulang tahun, Nak. Maaf Bunda nggak bisa kasih apa-apa, cuma bisa doain kamu dari jauh…”

Voice note itu terkirim 5 jam yang lalu.
Dan Nayla baru membukanya sekarang.
Tepat ketika ia baru p**ang dari pesta ulang tahunnya yang megah—penuh tawa, lampu kelap-kelip, dan teman-teman yang ramai mengabadikan momen lewat Instagram.

Tapi satu hal yang tak pernah ia sadari...
Ada satu orang yang tak pernah muncul di postingan itu. Tapi diam-diam, selalu jadi penonton setia di balik layar.

💔 Flashback
Nayla adalah anak tunggal dari keluarga sederhana. Ayahnya wafat saat ia masih kecil, dan ibunya, Bu Aisyah, membesarkannya seorang diri dengan menjahit di rumah.

Dulu, Nayla sering menangis karena malu memakai seragam sekolah yang tambal-sulam.
“Kenapa nggak bisa kayak ibu temen-temen, Bun? Kenapa hidup kita susah terus?”
Bu Aisyah hanya tersenyum dan mengusap kepala putrinya.
“Karena Allah ingin kamu jadi anak kuat, Nak. Dan insyaAllah… suatu hari kamu akan jadi perempuan yang bisa membanggakan banyak orang.”
Dan ternyata benar.

Nayla tumbuh jadi wanita sukses. Cantik. Berprestasi. Menjadi model profesional, influencer terkenal, dengan followers ratusan ribu.
Tapi sejak ketenarannya meningkat… hubungannya dengan sang ibu mulai renggang.

Nayla merasa… ibunya tidak lagi “nyambung” dengan dunianya.
Pesan-pesan dari ibunya sering tidak dibalas.
Panggilan tak terjawab dibiarkan hilang begitu saja.
Setiap diajak p**ang kampung, Nayla selalu bilang:

“Bunda, nanti aja ya. Aku sibuk banget minggu ini.”
Minggu demi minggu, menjadi bulan.
Dan bulan berubah menjadi tahun.

🕯️ Kado Terakhir
Hari itu, tepat di ulang tahun Nayla yang ke-25, ia akhirnya membuka voice note dari sang ibu. Tapi belum sempat membalas…
Masuk sebuah panggilan dari nomor tak dikenal.
Suara di seberang terdengar berat.

“Maaf Mbak Nayla, saya tetangga Bu Aisyah. Beliau tadi pagi ditemukan tergeletak di ruang tamu. Sepertinya sudah berp**ang sejak Subuh…”
Dunia Nayla runtuh.
Ia jatuh terduduk, tangisnya pecah. Gaun mahal yang dipakainya kini terasa seperti kain murahan tak berguna.

Ia langsung terbang ke kampung.
Saat masuk ke rumah tua itu, aroma khas ibunya masih terasa. Tapi sosoknya… tak lagi ada.
Di atas meja kayu di ruang tamu, ada sebuah bingkisan kecil dengan pita merah. Di atasnya ada kertas bertuliskan:

"Untuk Nayla. Kado dari Bunda.”
Dengan tangan gemetar, Nayla membuka isinya.
Di dalamnya… hanya ada sebuah mukena putih sederhana, dan sepucuk surat tulisan tangan:

“Nayla sayang, kalau kamu baca surat ini, mungkin Bunda udah nggak bisa peluk kamu lagi. Tapi Bunda seneng, kamu masih inget p**ang. Ini kado ulang tahun dari Bunda. Maaf ya, cuma mukena biasa. Tapi Bunda pengen… ulang tahunmu kali ini jadi titik balik. Bunda udah terlalu sering lihat kamu menang di dunia… sekarang, Bunda ingin kamu menang juga di hadapan Allah.”

“Jangan lupakan Allah, Nak. Jangan lupakan tempat p**angmu yang sesungguhnya. Bunda udah maafin semuanya. Bunda sayang kamu... dunia akhirat.”
Nayla memeluk mukena itu. Menangis seperti anak kecil yang kehilangan dunia.

🌿 Hikmah Islami di Akhir Cerita:

Seorang ibu mungkin tak pernah menuntut apa-apa. Tapi dalam diam, ia selalu menanti.
Dalam Islam, ridha Allah tergantung pada ridha orang tua, terutama ibu. Rasulullah ﷺ bersabda tiga kali ketika ditanya siapa yang paling berhak untuk dihormati:
“Ibumu… ibumu… ibumu, lalu ayahmu.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Jangan sampai kita terlalu sibuk mengejar validasi dunia... sampai lupa bahwa ada satu panggilan sederhana yang sering kita abaikan:
“Nak, kamu sehat?”
Dan kita baru sadar pentingnya itu… saat suara itu telah hilang selamanya.

📝 Tulis di kolom komentar:

📌 Apa hal terakhir yang kamu ucapkan ke ibumu?

📌 Kalau ibumu masih ada, sudahkah kamu bilang "aku sayang Ibu" hari ini?

📌 Atau… kalau kamu adalah seorang ibu, bagaimana rasanya saat anakmu perlahan menjauh karena kesibukannya?

💬 Yuk, tulis refleksimu di komentar.
Karena bisa jadi... cerita Nayla adalah cerita kita juga.
🕊️ Jangan tunda untuk menyayangi… karena waktu tak pernah bisa kita ulang kembali.

Share kisah ini agar lebih bermanfaat bagi yang lain dan menjadi amal jariyah baik untukmu ☺️🥰

Address

Apartemen Kalibata City No. 20 CD Pancoran Jakarta Selatan
Pancoran
12740

Telephone

+628558575485

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Motivasi Kehidupan posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Motivasi Kehidupan:

Share

Category