
26/09/2025
Bab 1
"Panggil aku Mama, Zayn!" Pinta Zahra.
"Nggak mau, sampai kapanpun gue nggak akan pernah mau manggil lo dengan sebutan Mama."
"Kenapa?"
"Bagi gue lo cuma cewek gila harta, yang bisa-bisanya mau menikah sama pria tua yang sudah bau tanah kayak Bokap gue." Bicara dengan nada ketus.
Zahra spontan mengerutkan keningnya heran. "Tolong jaga bicaramu, pria yang kamu bicarakan itu adalah suamiku. Pria yang kamu bilang bau tanah itu adalah Papa kamu sendiri." Kata Zahra yang merespon dengan tenang dan bijaksana, dirinya sudah bisa menebak bahwa Zayn Altair anak pertama dari suaminya, tidak akan mudah untuk menyukainya sebagai ibu sambung.
Zayn terkekeh lalu meneguk segelas air yang ada dalam genggamannya, setelah itu menatap kedua bola mata Zahra yang wajahnya tertutup dengan kain cadar berwarna putih.
"Nggak usah so perhatian sama Bokap gue! jijik gue dengernya."
Zahra gelengkan kepalanya, tidak terima dengan ucapan yang keluar dari mulut pria tampan yang jadi anak sambungnya. Walau usia Zayn 3 tahun lebih tua darinya, tapi sekarang statusnya adalah anak dari suaminya. Itu berarti anak Zahra juga.
"Tolong jaga bicara kamu! aku cuma ...," Zahra menjeda ucapannya saat melihat Zayn melangkahkan kaki mendekat ke arahnya. Seketika tercium aroma rokok dan parfum maskulin yang dikenakan Zayn, Zahra pun menutup mata hingga tubuhnya bergetar merasa takut.
"Ya Allah ..., tolong lindungi hamba!" kata Zahra dalam hati.
Zahra mengira Zayn akan macam-macam. Namun, perkiraannya salah besar. Ternyata Zayn hanya menyimpan gelas di meja yang ada di belakangnya.
Tok!
Terdengar suara gelas yang di simpan di atas meja, Zayn menaruh gelas yang ada di tangannya itu perlahan di atas meja kayu. Suara benturannya singkat, tapi cukup memecah keheningan di ruangan itu. Sisa embun di permukaan gelas meninggalkan jejak basah yang mengalir pelan di meja.
Zahra pun membuka mata, gadis itu melihat Zayn melangkah pergi dengan langkah tergesa, tanpa menoleh sedikitpun ke arahnya yang masih berdiri di samping meja makan.
"Astaghfirullah, maaf aku sudah berburuk sangka," kata Zahra dalam hati.
Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam, Zahra mengedarkan pandangannya ke sekeliling area rumah mewah luas tapi sayangnya begitu sepi. Matanya berhenti di dinding terbuat dari cermin yang memperlihatkan dirinya, sontak matanya berkaca-kaca melihat dirinya memakai pakaian pengantin dengan tangan yang di hiasi warna hena.
"Aku sama sekali tidak menyangka, sekarang aku benar-benar sudah menjadi istrinya Pak Arhan," kata Zahra sambil terisak. "Pantas saja, Zayn bilang kalau aku itu gadis gila harta. Ya sepertinya memang begitu, aku menikah dengan Pak Arhan tidak lain hanya karena hartanya, kalau dia nggak punya harta mana mungkin pernikahan ini bisa terjadi."
Zahra berdiri sambil menyandarkan punggungnya di meja makan yang tak bertuan, lalu menepuk dadanya kuat-kuat. "Setelah kesulitan pasti ada kemudahan, Ya Allah tolong kuatkan aku." Kata Zahra dengan suara yang bergetar lalu menangis sejadi-jadinya.
Dalam benak Zahra terus teringat bagaimana Bibinya sudah menipunya, bahkan dia memaksa untuk menerima pernikahan dengan Pak Arhan yang usianya sudah 60 tahun.
"Tolong bantu Bibi untuk yang terakhir kalinya, Zahra!" seru Bi Asri sambil sujud di kaki Zahra.
"Ada apa ini, Bi? tanya Zahra keheranan lalu meraih tubuh wanita paruh baya yang selama ini sudah merawatnya dari kecil.
"Pamanmu terlilit hutang, dia meminjam banyak uang dari rentenir dan juga pinjol."
"Berapa nominalnya? Insya Allah aku akan bantu." Zahra bicara dengan sangat percaya diri karena yakin bisa membantu, gadis bercadar itu punya saldo di rekeningnya sekitar 10 juta.
Bi Asri menatap mata Zahra lekat-lekat, bibirnya bergerak tapi tak kunjung keluar jawaban yang diinginkan oleh Zahra.
"Hutangnya Paman berapa, Bi? kebetulan aku punya tabungan sedikit dari hasil kerja di restoran selama 2 tahun belakangan ini."
"Emz hutangnya itu ...," Bi Asri menjeda ucapannya.
"5 juta, ya?"
"Enggak, Ra."
"8 juta?"
"Enggak juga."
"Oh 10 juta, ya?"
"Enggak Ra."
"Lantas berapa, Bi?" Zahra mulai panik.
"Hutang Pamanmu itu 500 juta."
"Apa?" Zahra mundur beberapa langkah dari hadapan bibinya, mulutnya mengangga dan matanya membola. Dia geleng-geleng kepala lalu bersua. "Maaf kalau segitu aku tidak bisa bantu, Bi. Aku bahkan tidak pernah membayangkan bisa punya uang sebanyak itu, Bi."
"Kamu bisa bantu, sangat bisa."
"Caranya?"
"Kamu harus menikah dengan Pak Arhan, cuma dia satu-satunya orang yang mau mengeluarkan banyak uang untuk Paman kamu."
"Maaf aku belum mau menikah, apalagi dengan pria nggak jelas kayak Pak Arhan, emangnya siapa Pak Arhan?"
"Pria tua yang sering kesini menemui Pamanmu, Ra. Dia seorang pengusaha sukses, dia punya banyak uang."
Zahra gelengkan kepalanya, mengingat wajah tua yang sering berkunjung ke rumahnya beberapa hari yang lalu. "Nggak mau, Bi. Aku nggak mau menikah sama kakek-kakek."
BI Asri menyeringai lebar, lalu memegang erat pergelangan tangan Zahra. "Kamu harus mau, Zahra. Kalau enggak, Paman kamu akan mati, rentenir itu bilang kalau uangnya tidak kembali, dia akan mengambil semua organ dalam Paman kamu. Apa kamu tega membiarkan Kakak kandung dari Bapak kamu mati?"
Zahra tak kuat menahan tangisannya. "Bibi punya anak gadis yang seumuran sama aku, kan? kenapa nggak dia aja yang di nikahin sama Pak Arhan, kenapa harus aku?"
Plak ...
Satu tamparan keras mendarat di wajah Zahra, hingga membuat sudut bibirnya terluka. "Dasar anak nggak tahu terima kasih, percuma kamu Bibi urus dari kecil tapi nggak bisa bantu apa-apa saat keluarga ini sedang kesulitan. Kalau Pak Arhan mau sama anak Bibi, sudah dari dulu Bibi nikahin dia sama Pak Arhan. Masalahnya Pak arhan maunya sama kamu, bukan sama anak Bibi."
Zahra menggigit bibirnya menahan tangis. "Bi, selama ini aku sudah banyak bantu keluarga ini, Bi. Aku kerja dari pagi ketemu pagi, aku harus membagi waktu antara kerja dan kuliahku. Bahkan aku telah menjual tanah warisan dari Ayah untuk biaya kuliah anaknya Bibi, jadi tolong jangan meminta hal yang lebih dari itu. Aku hanya akan menikah dengan orang yang aku cintai, Bi."
"Kalau kamu nggak mau menikah dengan Pak Arhan, kamu akan melihat Bibimu ini mati di hadapan kamu sekarang juga." Jelas Bi Asri sambil menyayat pergelangan tangan dengan pisau.
Kepray ...
Gelas kaca yang disimpan oleh Zayn diatas meja, tidak sengaja mengenai sikut Zahra. Seketika ingatan menyakitkan dengan Bibinya itu buyar, gelas kaca itu jatuh menghantam lantai dengan suara pecah yang nyaring, serpihan kaca beterbangan menyebar di seluruh permukaan keramik. Zahra terkejut, matanya membelalak melihat pemandangan itu, dada terasa sesak oleh campuran marah dan kecewa. Tanpa pikir panjang, Zahra segera berjongkok untuk memunguti pecahan kaca tersebut, berharap agar lantai kembali bersih sebelum ada yang datang. Namun, saat ia meraih sepotong pecahan tajam, jarinya malah tersayat.
"Akh ...," Zahra mendesah menahan rasa sakit, "aku memang sudah terbiasa dengan rasa sakit, tapi kenapa sekarang rasanya jauh berkali-kali lipat dari cobaan hidupku sebelumnya." Gumam Zahra sambil mengusap dadanya kuat-kuat.
To be continued
Baca selengkapnya di KBM
Judul : Mama Muda Vs Badboy Tampan
Penulis : Kh 91