
30/06/2025
Namun, tiba-tiba Angga menepuk pundak Raka. Pria itu menunjuk ke arah seorang wanita berbusana pengantin muslimah berwarna putih. Wajahnya tertutup cadar, dan langkahnya begitu anggun, diiringi dua wanita muda yang juga mengenakan busana muslim berwarna putih—hanya saja tanpa cadar.
"Bro, kayaknya itu bini lo deh," bisik Angga pelan, tapi cukup untuk membuat dada Raka berdebar aneh.
Raka menoleh ke arah yang ditunjuk Angga. Matanya menelusuri sosok wanita itu—tinggi semampai, tubuhnya tampak proporsional, langkahnya tenang, tapi penuh wibawa. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Dadanya berdenyut tak karuan, seolah ada sesuatu yang menggelitik sisi terdalam hatinya. Tapi dengan cepat, ia mengusir perasaan itu.
"Raka Wijaya, sambutlah istrimu, Namira Bagaskoro. Dia adalah wanita anggun, solehah, dan akan menemanimu hingga hari tua nanti," ujar sang MC dengan suara lembut dan mendayu.
Tepuk tangan menggema. Kebahagiaan tampak jelas di wajah para tamu. Tapi tidak pada Raka.
Matanya tetap tajam, tak ada pancaran s**acita seperti yang dirasakan para undangan. Baginya, Namira hanyalah wanita asing yang bersembunyi di balik cadarnya. Perasaan kesal menyelinap dalam dadanya, terlebih saat melihat ibunya menyambut Namira dengan penuh kehangatan.
Sekar, sang ibu, langsung memeluk Namira dengan penuh kasih. Tangannya mengusap kepala menantunya dengan lembut, seakan wanita itu adalah berlian berharga yang baru saja menjadi bagian dari keluarga mereka. Ia lalu menggandeng Namira ke hadapan putranya.
"Raka, ini istrimu," ucap ibunya lembut. "kamu benar-benar pria yang beruntung, Nak."
Namira menundukkan kepala, lalu dengan gerakan anggun, ia mengulurkan tangannya.
Raka diam. Matanya hanya menatap tangan itu tanpa niat untuk meraihnya. Hingga suara dehaman keras dari ayahnya membuatnya tersadar. Dengan malas, ia menjabat tangan Namira.
Lalu, sesuatu yang tidak ia duga terjadi.
Namira membungkuk, dengan takzim mencium punggung tangannya. Gerakan itu begitu penuh penghormatan, begitu tulus. Tapi bukannya tersentuh, Raka malah menahan dengusan.
Acara berlanjut. Mahar berupa seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan berlian telah diserahkan. Dan di sinilah Raka semakin yakin—wanita ini pasti hanya mengincar hartanya.
Setelah prosesi selesai, keduanya duduk bersanding di pelaminan yang megah. Para tamu mulai berdatangan menaiki panggung untuk mengucapkan selamat. Namun ada satu hal yang menarik perhatian Raka.
Namira, istrinya, sama sekali tidak menjabat tangan pria yang ingin bersalaman dengannya.
Setiap ada tamu pria yang mengulurkan tangan, Namira hanya menangkupkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengangguk sopan tanpa menyentuh mereka.
Raka mengerutkan kening, merasa risih.
"Ck, sok suci banget ni cewek," umpatnya dalam hati, sembari memalingkan wajah dengan kesal.
*
*
"Jangan pernah buka cadar lo!" suara Raka terdengar tajam, penuh dengan penghinaan. Matanya menatap wanita di depannya dengan sinis. "Gue yakin, wajah di balik itu pasti jelek. Makanya lo nutupin muka, kan?"
"Dan ..." Raka mendekat. "Gue juga nggak anggap lo sebagai istri. Jadi, jangan mimpi bisa jadi istri gue seutuhnya."
Ucapan itu membuat langkah Namira terhenti. Tangannya yang tadi hendak menyingkap cadarnya terhenti di udara, lalu perlahan jatuh kembali ke pangkuannya. Kedua alisnya bertaut, tetapi ia tetap diam, mencoba memahami laki-laki yang kini sah menjadi suaminya.
Melihat Namira tak merespons, Raka justru tersenyum sinis. "Benarkan? Lo pasti jelek. Makanya lo pakai cadar."
Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Hanya terdengar tarikan napas panjang dari Namira sebelum ia melangkah mendekati suaminya. Tidak ada amarah dalam tatapannya, hanya ketenangan yang membuat Raka semakin geram.
"Di mata Allah, kita semua sama," ujar Namira lembut, namun penuh ketegasan. "Yang membedakan kita hanyalah amal kita."
Raka tergelak, tertawa sarkastik. "Lo mau nyeramahin gue? Jangan sok alim di depan gue. Gue nggak butuh ceramah lo." Ia mendekat, suaranya semakin dingin. "Dan satu lagi, gue nggak cinta sama lo. Gue terpaksa nikah sama lo. Jadi lo ..." Raka menatapnya dengan penuh kebencian. "Jangan pernah berharap bisa dapetin apa pun dari gue."
Suaranya menggantung di udara, memenuhi ruangan dengan hawa dingin yang menusuk.
"Karena demi apa pun, gue nggak cinta sama lo. Paham?"
Namira masih diam. Hatinya mencelos, tapi ia tidak ingin menunjukkan perasaannya. Matanya yang teduh menatap dalam ke arah suaminya, mencari sesuatu di sana—mungkin secercah alasan mengapa laki-laki ini begitu penuh dengan kebencian.
Namun yang ia temukan hanyalah dinding tebal yang seolah tak bisa ditembus.
"Terserah kamu mau menganggapku apa, Mas," suara Namira begitu tenang, kontras dengan badai amarah yang terpancar dari mata Raka. "Yang jelas sekarang kamu adalah suamiku. Dan sebagai seorang istri, aku akan tetap melakukan kewajibanku."
Tidak ada kepalsuan dalam suaranya. Tidak ada tuntutan. Tidak ada paksaan. Hanya pernyataan yang terdengar begitu tegar.
Dan entah mengapa, hal itu justru semakin membuat Raka kesal. "Dan lo pikir gue percaya sama omong kosong lo itu, hah?!"
***
Baca selengkapnya di KBm App
Judul : Istri Bercadar Raja Jalanan