Margaretha Lestari Surupandy

Margaretha Lestari Surupandy Lebih baik teguran nyata-nyata dari pada kasih yg tersembunyi. TUHAN MEMBERKATI KITA SEMUA

Namun, tiba-tiba Angga menepuk pundak Raka. Pria itu menunjuk ke arah seorang wanita berbusana pengantin muslimah berwar...
30/06/2025

Namun, tiba-tiba Angga menepuk pundak Raka. Pria itu menunjuk ke arah seorang wanita berbusana pengantin muslimah berwarna putih. Wajahnya tertutup cadar, dan langkahnya begitu anggun, diiringi dua wanita muda yang juga mengenakan busana muslim berwarna putih—hanya saja tanpa cadar.
"Bro, kayaknya itu bini lo deh," bisik Angga pelan, tapi cukup untuk membuat dada Raka berdebar aneh.

Raka menoleh ke arah yang ditunjuk Angga. Matanya menelusuri sosok wanita itu—tinggi semampai, tubuhnya tampak proporsional, langkahnya tenang, tapi penuh wibawa. Ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Dadanya berdenyut tak karuan, seolah ada sesuatu yang menggelitik sisi terdalam hatinya. Tapi dengan cepat, ia mengusir perasaan itu.

"Raka Wijaya, sambutlah istrimu, Namira Bagaskoro. Dia adalah wanita anggun, solehah, dan akan menemanimu hingga hari tua nanti," ujar sang MC dengan suara lembut dan mendayu.

Tepuk tangan menggema. Kebahagiaan tampak jelas di wajah para tamu. Tapi tidak pada Raka.

Matanya tetap tajam, tak ada pancaran s**acita seperti yang dirasakan para undangan. Baginya, Namira hanyalah wanita asing yang bersembunyi di balik cadarnya. Perasaan kesal menyelinap dalam dadanya, terlebih saat melihat ibunya menyambut Namira dengan penuh kehangatan.

Sekar, sang ibu, langsung memeluk Namira dengan penuh kasih. Tangannya mengusap kepala menantunya dengan lembut, seakan wanita itu adalah berlian berharga yang baru saja menjadi bagian dari keluarga mereka. Ia lalu menggandeng Namira ke hadapan putranya.

"Raka, ini istrimu," ucap ibunya lembut. "kamu benar-benar pria yang beruntung, Nak."

Namira menundukkan kepala, lalu dengan gerakan anggun, ia mengulurkan tangannya.

Raka diam. Matanya hanya menatap tangan itu tanpa niat untuk meraihnya. Hingga suara dehaman keras dari ayahnya membuatnya tersadar. Dengan malas, ia menjabat tangan Namira.

Lalu, sesuatu yang tidak ia duga terjadi.

Namira membungkuk, dengan takzim mencium punggung tangannya. Gerakan itu begitu penuh penghormatan, begitu tulus. Tapi bukannya tersentuh, Raka malah menahan dengusan.

Acara berlanjut. Mahar berupa seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan berlian telah diserahkan. Dan di sinilah Raka semakin yakin—wanita ini pasti hanya mengincar hartanya.

Setelah prosesi selesai, keduanya duduk bersanding di pelaminan yang megah. Para tamu mulai berdatangan menaiki panggung untuk mengucapkan selamat. Namun ada satu hal yang menarik perhatian Raka.

Namira, istrinya, sama sekali tidak menjabat tangan pria yang ingin bersalaman dengannya.

Setiap ada tamu pria yang mengulurkan tangan, Namira hanya menangkupkan kedua tangannya di depan dada, lalu mengangguk sopan tanpa menyentuh mereka.

Raka mengerutkan kening, merasa risih.

"Ck, sok suci banget ni cewek," umpatnya dalam hati, sembari memalingkan wajah dengan kesal.

*

*

"Jangan pernah buka cadar lo!" suara Raka terdengar tajam, penuh dengan penghinaan. Matanya menatap wanita di depannya dengan sinis. "Gue yakin, wajah di balik itu pasti jelek. Makanya lo nutupin muka, kan?"

"Dan ..." Raka mendekat. "Gue juga nggak anggap lo sebagai istri. Jadi, jangan mimpi bisa jadi istri gue seutuhnya."

Ucapan itu membuat langkah Namira terhenti. Tangannya yang tadi hendak menyingkap cadarnya terhenti di udara, lalu perlahan jatuh kembali ke pangkuannya. Kedua alisnya bertaut, tetapi ia tetap diam, mencoba memahami laki-laki yang kini sah menjadi suaminya.

Melihat Namira tak merespons, Raka justru tersenyum sinis. "Benarkan? Lo pasti jelek. Makanya lo pakai cadar."

Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan. Hanya terdengar tarikan napas panjang dari Namira sebelum ia melangkah mendekati suaminya. Tidak ada amarah dalam tatapannya, hanya ketenangan yang membuat Raka semakin geram.

"Di mata Allah, kita semua sama," ujar Namira lembut, namun penuh ketegasan. "Yang membedakan kita hanyalah amal kita."

Raka tergelak, tertawa sarkastik. "Lo mau nyeramahin gue? Jangan sok alim di depan gue. Gue nggak butuh ceramah lo." Ia mendekat, suaranya semakin dingin. "Dan satu lagi, gue nggak cinta sama lo. Gue terpaksa nikah sama lo. Jadi lo ..." Raka menatapnya dengan penuh kebencian. "Jangan pernah berharap bisa dapetin apa pun dari gue."

Suaranya menggantung di udara, memenuhi ruangan dengan hawa dingin yang menusuk.

"Karena demi apa pun, gue nggak cinta sama lo. Paham?"

Namira masih diam. Hatinya mencelos, tapi ia tidak ingin menunjukkan perasaannya. Matanya yang teduh menatap dalam ke arah suaminya, mencari sesuatu di sana—mungkin secercah alasan mengapa laki-laki ini begitu penuh dengan kebencian.

Namun yang ia temukan hanyalah dinding tebal yang seolah tak bisa ditembus.

"Terserah kamu mau menganggapku apa, Mas," suara Namira begitu tenang, kontras dengan badai amarah yang terpancar dari mata Raka. "Yang jelas sekarang kamu adalah suamiku. Dan sebagai seorang istri, aku akan tetap melakukan kewajibanku."

Tidak ada kepalsuan dalam suaranya. Tidak ada tuntutan. Tidak ada paksaan. Hanya pernyataan yang terdengar begitu tegar.

Dan entah mengapa, hal itu justru semakin membuat Raka kesal. "Dan lo pikir gue percaya sama omong kosong lo itu, hah?!"

***
Baca selengkapnya di KBm App

Judul : Istri Bercadar Raja Jalanan

Raka malah tertawa kecil, menyandarkan punggung ke kursinya dengan santai. "Ya elah, Pa. Jangan pake otot napa? Bicara y...
30/06/2025

Raka malah tertawa kecil, menyandarkan punggung ke kursinya dengan santai. "Ya elah, Pa. Jangan pake otot napa? Bicara yang lembut d**g. Masa di depan calon besan masih marah-marah aja."
Wajah Wijaya memerah. Bukan hanya karena marah, tapi juga malu. Ia segera menoleh ke sahabatnya yang duduk di seberang. "Maafkan sikap anakku ini, Bagaskoro."

Bagaskoro, pria berwibawa dengan senyum tipis di bibirnya, hanya mengangguk kecil. "Tidak masalah, Wijaya. Ya, namanya juga anak muda."

Daniel, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Adikku tidak bisa ikut. Dia mendadak sakit perut, jadi tidak bisa hadir malam ini."

Raka mengangkat alis. "Sakit perut?" Nadanya terdengar meremehkan. "Kebetulan banget ya? Jangan-jangan dia sengaja ngumpet karena takut ketemu gue? Atau ... dia mungkin insecure ketemu cowok tampan kayak gue?"

Daniel hanya tersenyum, tapi sorot matanya tajam. "Lebih baik kita fokus pada inti pertemuan ini saja. Kita tentukan kapan hari pernikahan kamu dan adikku."

"Hah?" Mata Raka melebar. "Secepat ini?"

Daniel menatapnya lurus, tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun. "Iya. Untuk apa menunda kalau tujuan akhirnya tetap sama?"

Raka ingin tertawa, tapi mendapati semua orang di meja itu terlihat serius, senyumnya langsung menghilang.

Gila. Ini nggak main-main.

Pernikahan ini ... benar-benar akan terjadi.

"Oh, s**t!" umpat Raka dalam hati.

Keinginannya untuk kabur dari tempat ini semakin besar. Namun, saat ia hendak bangkit dari kursinya, sebuah tangan mencengkeram pergelangannya. Ibunya. Sorot matanya tegas, penuh peringatan. Seolah berkata, 'duduk diam dan jangan cari gara-gara!'

Dengan enggan, Raka tetap duduk, mendengarkan obrolan hangat antara kedua orang tuanya dan keluarga Namira. Mereka berbicara akrab, seolah keputusan ini hanyalah kesepakatan bisnis biasa. Hingga akhirnya, kata-kata yang paling ditakutinya meluncur dari mulut ayahnya.

"Pernikahan akan dilangsungkan bulan depan."

Darah Raka berdesir. Ia ingin marah, ingin menolak sekeras mungkin, tapi situasi tidak memungkinkan. Dengan sisa kesabaran yang dimilikinya, ia menelan kemarahan itu.

Namun, begitu mereka meninggalkan restoran, emosinya tak bisa lagi dibendung.

"Papa dan Mama benar-benar keterlaluan! Aku nggak mau nikah sama cewek yang bahkan belum aku lihat! Yang bener aja!"

Raka mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba memahami kenyataan yang terjadi. "Aku, menikah dengan wanita aneh itu? Oh, s**t!"

Wijaya menoleh dengan ekspresi dingin. "Keputusan Papa sudah bulat. Kamu tidak boleh menolak. S**a atau tidak s**a, kamu harus menikah dengan Namira bulan depan. Kalau kamu berani menolak—" Wijaya menatap putranya tajam. "Silakan angkat kaki dari rumah. Dan kamu harus ikhlas kalau semua aset yang kamu nikmati selama ini akan Papa sita."

Raka terdiam. Dadanya naik turun, tangannya mengepal. Ayahnya tahu titik kelemahannya. Lagi-lagi, ancaman itu.

Dengan nada frustrasi, Raka akhirnya berkata, "Terserah Papa aja. Karena Papa memang nggak pernah peduli, apalagi sayang sama aku."

Wijaya menatap putranya dalam. "Justru Papa melakukan ini karena Papa sayang sama kamu, Raka!"

Namun, Raka tak merespons. Ia hanya membuang pandangannya ke luar jendela, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuknya.

*

*

Hari yang ditunggu pun tiba.

Raka duduk di kursi akad, mengenakan jas putih yang membalut tubuh atletisnya. Wajahnya tampan, tapi sorot matanya kosong. Di sekelilingnya, beberapa sahabat dekatnya dan anggota geng motor Mortal duduk, ikut menyaksikan momen yang menurut mereka tak terbayangkan: Raka Wijaya menikah.

Namun, semakin lama ia duduk di sana, semakin aneh rasanya. Wanita yang akan menjadi istrinya belum juga menampakkan diri.

Salah satu temannya mencond**gkan tubuh. "Bro, calon bini lo mana?"

Raka menggeleng pelan. Bahkan dia sendiri tidak tahu. Hingga detik ijab kabul semakin dekat, dan sosok yang seharusnya duduk di sampingnya masih juga belum terlihat.

Ia akhirnya menoleh ke arah ayah Namira, nadanya datar tapi mengandung keresahan. "Di mana calon istriku?"

Bagaskoro tersenyum kecil. "Dia ada. Tapi dia akan datang setelah kalian halal."

Raka membelalakkan mata. "What?"

Jantungnya berdebar keras. Apa-apaan ini? Kenapa Namira tidak muncul? Apa dia cacat? Atau … dia benar-benar wanita yang buruk rupa?

Tapi protesnya tak ada gunanya. Ayahnya menatapnya dengan sorot tajam, memperingatkan agar ia tidak membuat keributan.

Tak ada pilihan.

Dengan rahang mengeras, ia menjabat tangan ayah Namira. Dengan satu tarikan napas, ia mengucapkan ijab kabul dengan suara lantang dan mantap.

"Sah!"

Riuh suara memenuhi aula hotel tempat acara pernikahan itu berlangsung. Semua penuh s**acita. Tawa, tepuk tangan, dan ucapan selamat saling bersahutan.

Tapi tidak dengan Raka. Ia hanya duduk diam, menatap kosong ke depan.

"Sial!" pikirnya. "Sekarang aku benar-benar sudah menikah dengan wanita misterius."

***

Baca selengkapnya di KBM App

Judul : Istri Bercadar Raja Jalanan

Raka menatap kemeja hitam formal yang tergeletak di atas sofa kamarnya dengan tatapan penuh kejengkelan. Ibunya sudah me...
30/06/2025

Raka menatap kemeja hitam formal yang tergeletak di atas sofa kamarnya dengan tatapan penuh kejengkelan. Ibunya sudah menyuruhnya bersiap sejak tadi, memastikan dia tidak punya alasan untuk menghindari pertemuan ini.

Dinner bersama keluarga Namira.

Janji sudah dibuat. Tidak ada ruang untuk penolakan, tidak ada jalan keluar.

Dengan malas, ia meraih kemeja itu dan mulai mengenakannya. Kain itu membalut tubuhnya yang tegap, menampilkan bentuk tubuhnya yang atletis. Hidung mancungnya, tindik kecil di telinganya, dan rahang tegasnya selalu menjadi daya tarik bagi banyak wanita. Tak terhitung berapa banyak yang mengejarnya, namun hatinya tetap beku.

Sejak hubungannya kandas dengan seorang model ternama dua tahun lalu, ia tak lagi percaya pada cinta. Baginya, wanita semua sama—datang dengan manis, lalu pergi begitu saja setelah mendapatkan yang mereka inginkan. Uang, popularitas, kesenangan sesaat.

Dan sekarang, dia dijodohkan dengan wanita bercadar yang ia sendiri tidak tahu bagaimana paras dari wanita itu.

Raka meraih foto yang diberikan ibunya semalam, menatapnya dengan mata menyipit. Wajahnya mungkin tersembunyi di balik kain hitam itu, tapi tatapan mata Namira dalam foto itu terlihat begitu tenang—seolah dunia tak bisa menggoyahkannya.

Raka mendengus. "Gue nggak pernah minta lo hadir dalam hidup gue. Tapi kalau lo masih ngotot buat jadi istri gue, lihat aja ... lo nggak akan pernah bahagia dalam pernikahan ini."

Senyuman tipis terukir di bibirnya. Sebuah senyum yang lebih menyerupai ejekan.

Tiba-tiba, ketukan di pintu membuyarkan pikirannya.

"Raka, ayo buruan!" suara ibunya terdengar dari luar. "Papa udah nungguin."

"Ya, Ma!" sahutnya, sebelum menatap sekilas cermin di sudut kamar yang sudah retak. Ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya dengan kasar. "Hanya ketemu doang, bukan masalah besar. Asalkan papa nggak narik semua fasilitasnya dari hidup gue."

Ia membuka pintu dan mendapati ibunya berdiri di sana dengan ekspresi tidak sabar.

"Lama banget sih kamu?"

"Lama apanya, Ma? Tuh, Raka udah selesai. Ayo, kita cabut!"

Tanpa menunggu jawaban ibunya, ia melangkah keluar. Di teras, ayahnya sudah menunggu dengan wajah datar—atau lebih tepatnya, selalu muram.

"Papa harap kamu bisa jaga sikap nanti. Jangan buat Papa malu."

Raka tersenyum miring. "Iya, Pa. Tenang aja. Papa pasti bakal bangga."

Ada nada sarkas dalam suaranya, tapi ayahnya memilih untuk tidak menanggapi. Ia hanya menghembuskan napas berat sebelum masuk ke mobil.

Hugo, sang pengemudi setia sekaligus tangan kanan ayahnya, langsung menjalankan kendaraan mewah itu dengan kecepatan stabil. Seperti biasa, pria berwajah dingin itu tidak banyak bicara.

Raka duduk di sebelahnya, sementara kedua orang tuanya berada di jok belakang. Selama perjalanan, tak ada yang bersuara. Hanya bunyi mesin mobil yang mengisi keheningan.

Sampai akhirnya, mereka tiba di depan sebuah restoran mewah. Lampu-lampu temaram menambah kesan eksklusif.

Begitu turun dari mobil, seorang pria seumuran Raka langsung menyambut mereka dengan ramah. "Malam, Om, Tante," sapanya sambil menjabat tangan kedua orang tua Raka dengan sopan.

Ayahnya menatapnya sekilas sebelum bertanya, "Daniel? Papa kamu?"

"Sudah menunggu Om di dalam. Ayo, Om, Tante, Raka," ajak Daniel, kakak Namira.

Raka mengamati pria itu dengan tatapan datar. Dari cara bicaranya, dari caranya membawa diri, Daniel terlihat seperti orang yang sopan dan berpendidikan. Seorang pria yang punya kehangatan dalam sikapnya—kebalikan dari dirinya sendiri yang cenderung sinis dan sarkastik.

Raka melangkah masuk dengan malas.

Saat tiba di meja yang sudah disiapkan, kedua orang tua Namira menyambut mereka dengan senyum ramah.

Matanya menyapu sosok mereka dengan cepat. Ayahnya terlihat berwibawa, ibunya cantik dan anggun.

"Bokap sama nyokapnya sih cakep," gumamnya dalam hati. "Penampilan nyokapnya juga sangat modis, dan nyokapnya aja nggak bercadar. Kenapa dia harus bercadar? Mungkinkah wajahnya itu cacat? Tunggu! Bagaimana kalau bibirnya sumbing?"

Ia duduk di sisi Daniel, menyandarkan punggung dengan santai, meskipun dalam hatinya ia masih menyimpan ketidaks**aan akan pertemuan ini.

Lalu, tanpa bisa dicegah, pikirannya kembali ke satu hal. "Jadi, di mana Namira? Gue penasaran secantik apa sih dia. Jangan-jangan ..." Raka berhenti sejenak, lalu menyeringai. "Dia punya wajah yang buruk rupa."

Ruangan yang sebelumnya terasa hangat mendadak menjadi sunyi. Semua orang menatapnya dengan ekspresi terkejut—atau mungkin tak percaya dengan ucapannya barusan.

"Raka!" suara ayahnya meledak, matanya melotot penuh kemarahan. "Jaga sikap kamu!"

***

Baca selengkapnya di KBM
Judul : Istri Bercadar Raja Jalanan

Suara mesin motor meraung, membelah keheningan malam yang dipenuhi hiruk-pikuk anak muda. Dua motor sport mewah sudah be...
30/06/2025

Suara mesin motor meraung, membelah keheningan malam yang dipenuhi hiruk-pikuk anak muda. Dua motor sport mewah sudah bersiap di garis start.

Di sisi kiri dan kanan jalan, para penonton bersorak heboh. Teriakan-teriakan liar menggema, menciptakan atmosfer panas penuh adrenalin.

"Raka! Raka! Raka!"

Suara itu berasal dari sekumpulan gadis berbusana minim, melambaikan tangan, beberapa bahkan menggigit bibir, menggoda pemuda yang duduk gagah di atas salah satu motor sport.

Dialah Raka.

Ketua geng motor Mortal. Ditakuti. Disegani. Raja Jalanan.

Malam ini, seorang penantang baru berdiri di sampingnya. Jorgi, ketua geng motor Rajawali, datang dengan satu misi—menghancurkan kesombongan Raka. Mata mereka bertemu. Tatapan mata keduanya tajam, penuh api persaingan.

"Sebaiknya lo urungin niat lo buat nentang gue," suara Raka terdengar dingin, senyuman penuh ejekan menghiasi wajahnya. "Karena demi apa pun, lo nggak akan menang!"

Jorgi menyeringai. Ia tak gentar. "Nggak usah banyak omong," balasnya santai. "Kita buktikan nanti, siapa yang pantas disebut Raja Jalanan!"

Raka tertawa keras. "Oke, siapa takut?" Ia menggeber gas motornya, suara knalpot menderu, menggema di antara sorakan liar penonton.

Di antara dua motor itu, seorang wanita cantik melangkah ke depan. Rambut panjangnya tergerai, tangannya menggenggam bendera start. Ia mengangkatnya tinggi, menghitung dengan suara lantang.

"Satu ... dua ... tiga!"

Bendera jatuh.

Dua motor sport itu melesat secepat kilat. Roda berdecit, membakar aspal. Angin malam menampar wajah mereka, tapi tak ada yang peduli. Yang ada hanyalah kecepatan, adrenalin, dan satu tujuan—kemenangan.

Mesin meraung beringas. Kedua motor saling bersaing, menyalip dan menghalangi satu sama lain.

Di tikungan tajam, Jorgi melihat celah. Dengan gerakan agresif, ia menukik tajam, melewati Raka.

Sorakan terdengar riuh. Semua mata tertuju pada duel ini.

Tapi Raka bukan pecundang. Setelah berpuatar arah, tatapan matanya berubah dingin. Jorgi masih memimpin dan Raka belum menyerah. Dengan satu tarikan gas yang beringas, ia melesat! Badannya cond**g ke depan, mesin motornya mengaum seperti harimau kelaparan.

Detik berikutnya—BLAAAR!

Raka melewati Jorgi.

Semua terjadi begitu cepat. Seperti bayangan, ia menyelinap dan mengambil alih posisi terdepan.

Jorgi menggigit bibir. Sial!

Garis finis semakin dekat. Jorgi berusaha menyusul, tapi terlambat. Raka melintasi garis finis lebih dulu.

Sorakan mengguncang udara.

"RAKAAAAA!"

Nama itu kembali diteriakkan. Para gadis berlarian ke arahnya, menyambut kemenangan pemuda itu dengan s**acita.

Raka menurunkan kakinya, menghentikan motornya dengan elegan. Ia melepas helm, mengibas rambutnya yang sedikit basah oleh keringat. Senyum miring terukir di bibirnya.

Raja Jalanan masih tak terkalahkan.

"Gimana?" Raka menatap Jorgi yang masih terengah-engah. Wajah pemuda itu tampak kesal, matanya menyiratkan kekalahan yang menyakitkan.

"Gue kan udah bilang," lanjut Raka. "Lo nggak akan bisa ngalahin gue. Nggak akan ada yang bisa. Karena lo dan geng lo itu cuma pecundang!"

Kata-kata itu seperti bensin yang disiram ke api.

"Brengsek lo, Raka!" teriak salah satu anggota Rajawali.

Situasi langsung memanas. Para anggota geng motor Rajawali mendekat dengan wajah garang, sementara geng Mortal juga tak tinggal diam. Suasana berubah tegang. Para gadis yang tadinya bersorak kini mulai panik, beberapa bahkan berteriak ketika dua geng motor itu baku hantam!

Braak!

Pertarungan pecah!

Tinju dan tendangan beterbangan, suara pukulan dan erangan kesakitan menggema di udara malam. Raka bukan sekadar jago balapan—dia juga petarung ulung. Sekali hantam, tinjunya mengenai dada Jorgi, membuat pemuda itu tersungkur keras di aspal.

Namun, Jorgi bukan orang yang mudah menyerah. Dengan cepat, dia bangkit dan melayangkan pukulan keras ke arah Raka. Tapi Raka sigap. Satu per satu serangan Jorgi ditangkis dengan mudah.

"Itu doang?" Raka menyeringai. Dalam hitungan detik, dia melancarkan tendangan telak ke perut Jorgi, membuat lawannya meringis kesakitan.

Sementara itu, anggota geng Mortal mulai mendesak Rajawali. Duel demi duel terjadi, tapi hasilnya sudah bisa ditebak—Mortal menang telak.

Jorgi terengah-engah. Dengan tangan gemetar, dia menyeka sudut bibirnya yang kini berdarah.

Raka berjalan mendekat, menatapnya dari atas. "Pergi lo dari sini ... sebelum gue dan anak-anak bikin lo sama geng lo jadi perkedel."

Jorgi tersenyum miring, meskipun matanya menyiratkan kekalahan. "Tunggu pembalasan gue."

Setelah berkata begitu, dia meludah ke aspal, lalu melangkah pergi bersama gengnya yang babak belur dan dipenuhi rasa malu.

Sorakan kembali terdengar, mengiringi kemenangan Raka dan geng Mortal.

"Hayo, guys! Kita senang-senang!" seru Raka, mengangkat tangannya ke udara. "Mana minum yang gue minta?"

"Ada nih!" sahut salah satu temannya, mengangkat botol minuman keras dengan senyum licik.

Tanpa pikir panjang, mereka bergerak ke sebuah bangunan kosong—tempat yang sudah menjadi markas mereka. Tempat di mana segala bentuk kebebasan bisa dirayakan tanpa batas.

Raka menjatuhkan dirinya ke sofa tua yang ada di sana, lalu meneguk minumannya dengan santai. Malam masih panjang, dan dia siap menikmati setiap momennya.

Namun tiba-tiba ...

DRRTT! DRRTT!

Ponselnya bergetar. Sebal, Raka mengambil ponselnya dan melihat nama yang tertera di layar.

"Papa? Sial!"

Dengan malas, dia menekan tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinganya. "Ya, kenapa?" tanyanya dengan nada bosan.

"Dimana kamu?!" suara berat di seberang sana terdengar dingin dan penuh kemarahan.

Raka menghela napas. "Lagi di kafe, Pa. Sama teman-teman. Ini kan malam minggu, dan ini baru jam sebelas malam."

"Jangan bohong, Raka!" bentakan itu membuat Raka terdiam sejenak. "Sekarang juga pulang, atau Papa akan minta anak buah Papa jemput kamu secara paksa di bangunan kosong itu!"

Dada Raka menegang. Matanya melirik ke arah teman-temannya yang masih tertawa dan minum dengan santai.

Sial. Ayahnya tahu. Seperti biasa, dia selalu tahu.

"Ok, Raka pulang sekarang."

***

Baca selengkapnya di KBM App

Judul : Istri Bercadar Raja Jalanan

Baca sampe habis, seru lo😅Margaretha Lestari Surupandy Sorotan Sorotan
30/06/2025

Baca sampe habis, seru lo😅
Margaretha Lestari Surupandy
Sorotan
Sorotan

Yg ini aga lain🤧🤣           🤣🤣🤣😂😂😂🤭🤭🤭🤭
23/06/2025

Yg ini aga lain🤧🤣
🤣🤣🤣😂😂😂🤭🤭🤭🤭

Baca sampe habis🤣                  🤣🤣🤣🤣😂😂😂😂😂🤣🤣🤣🤣
23/06/2025

Baca sampe habis🤣
🤣🤣🤣🤣😂😂😂😂😂🤣🤣🤣🤣

23/06/2025

Selamat pagi sayang ku, jangan lupa sarapan pagi yah.
Jaga kesehatannya, aku gak mau kamu sakit
Ilopyu sayang😂
Itu kata kata pacaran zaman sekarang 😎

Sorotan Sorotan

Iya 🤭🤭🤣🤣😭😭😭😂😂
23/06/2025

Iya 🤭🤭🤣🤣😭😭😭😂😂

???
23/06/2025

???

22/06/2025

Sorotan

Address

Perumahan Permata Klabat
Paniki Atas
95373

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Margaretha Lestari Surupandy posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Margaretha Lestari Surupandy:

Share