20/06/2025
# Jejak Langkah Nur Ainun
Nur Ainun tidak pernah menyangka bahwa sebuah sepatu usang yang ia temukan di tempat sampah pasar Semanggi akan membawanya pada sebuah perjalanan yang mengubah hidupnya. Sepatu itu—kulit cokelat yang retak di beberapa bagian, namun strukturnya masih kokoh—memicu sesuatu dalam dirinya.
"Sepatu sebagus ini dibuang begitu saja," gumamnya sambil mengamati kerajinan tangan yang masih terlihat di jahitannya yang rapi. Sebagai mahasiswi arsitektur yang hidup sederhana dengan beasiswa, Ainun memahami nilai dari barang-barang yang masih bisa diperbaiki.
Malam itu, ia membersihkan sepatu tersebut, menambal bagian yang sobek, dan mengilapnya hingga tampak hampir baru. Besoknya, ia menjualnya di pasar loak dengan harga yang cukup untuk membeli bahan makanan selama seminggu.
Ini adalah awal dari "Sepatu Kedua", proyek kecil yang Ainun mulai di kamar kosnya. Setiap akhir pekan, ia akan berkeliling mencari sepatu-sepatu bekas yang masih layak diperbaiki. Dengan keterampilan yang ia pelajari dari tutorial daring dan kesabaran yang ia warisi dari ibunya, Ainun memberi kehidupan baru pada sepatu-sepatu tersebut.
"Allah tidak menyukai pemborosan," sering ia menjawab ketika ditanya mengapa ia melakukan ini. Hijaunya melambai lembut saat ia menjelaskan tentang konsumerisme, limbah, dan tanggung jawab kita terhadap bumi.
Suatu hari, seorang dosen mendapati Ainun sedang memperbaiki sepatu di ruang bersama asrama. Tertarik, beliau mengajak Ainun berbincang. Ainun menjelaskan dengan mata berbinar tentang bagaimana ia mengajarkan keterampilan ini kepada anak-anak di panti asuhan dekat kampus.
"Mereka perlu tahu bahwa kadang yang rusak bukan berarti tidak bernilai," ujarnya sambil memperlihatkan foto-foto kegiatan bersama anak-anak tersebut.
Sang dosen, tersentuh dengan inisiatif ini, membantu Ainun mendapatkan hibah kecil dari kampus untuk mengembangkan program pelatihan. "Sepatu Kedua" berkembang menjadi sebuah workshop kecil yang mempekerjakan beberapa ibu tunggal dari lingkungan sekitar.
Tantangan datang ketika beberapa toko sepatu lokal merasa tersaingi dan mencoba menjatuhkan reputasinya. Ainun sempat terpuruk, namun ia teringat ayat yang sering dibacakan ayahnya: "Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."
Alih-alih melawan, Ainun mengundang pemilik toko-toko tersebut untuk berdialog. Ia menunjukkan bahwa misinya bukan untuk bersaing, melainkan untuk mengurangi limbah dan memberdayakan komunitas. Ia bahkan menawarkan kerja sama: Sepatu Kedua akan menangani perbaikan sepatu pelanggan mereka, memberikan layanan tambahan yang menguntungkan kedua belah pihak.
Perlahan, resistensi mereda. Ainun bahkan diundang untuk berbicara di konferensi lingkungan regional, membagikan pengalamannya menggabungkan kewirausahaan sosial dengan prinsip-prinsip Islam tentang keberlanjutan dan tanggung jawab sosial.
"Sepatu ini," katanya sambil mengangkat contoh pertamanya yang kini ia simpan sebagai pengingat, "mengajarkan saya bahwa sering kali jalan kita tidak selalu mulus. Ada retakan, ada bekas, tapi itulah yang membuat perjalanan kita unik dan bermakna."
Lima tahun kemudian, Sepatu Kedua telah berkembang menjadi social enterprise yang menginspirasi inisiatif serupa di kota-kota lain. Ainun kini mengajar paruh waktu di universitasnya, membagikan pengetahuan tentang desain berkelanjutan dan etika lingkungan dari perspektif Islam.
Ketika ditanya apa rahasia keberhasilannya, Ainun selalu tersenyum dan menjawab, "Iman, ikhtiar, dan istiqamah. Percaya pada Allah, berusaha keras, dan konsisten dalam kebaikan. Sisanya, Allah yang menentukan."
Jejak langkah Ainun mengingatkan kita bahwa perubahan besar sering dimulai dari langkah kecil dan bahwa kadang-kadang, yang kita anggap sebagai sampah, bisa menjadi awal dari sesuatu yang berharga—jika kita memiliki mata untuk melihat dan hati untuk peduli.