27/10/2025
— Di jantung Pulau Borneo, dari pusaran air Sungai Barito yang keruh dan perkasa, bangkitlah seorang putra dusun dengan jiwa membara, Panglima Batur bin Barui (1852-1905). Kisahnya bukan sekadar catatan perang, melainkan sebuah tragedi heroik yang mengoyak hati, tentang kesetiaan seorang panglima Dayak-Bakumpai kepada tanah, agama, dan pemimpinnya, hingga titik darah penghabisan di tiang gantungan.
Panglima Batur adalah ujung tombak dari Perang Barito, sebuah episode menyayat hati yang menjadi kelanjutan Perang Banjar (1859-1905). Bersama Sultan Muhammad Seman, putra Pangeran Antasari, Batur bersumpah mempertahankan kedaulatan Banjar hingga napas terakhir.
Benteng Manawing: Saksi Bisu Kesetiaan yang Hancur
Panglima Batur, seorang panglima perang yang terkenal cerdik, pemberani, dan disegani, menjadikan Benteng Manawing sebagai pertahanan terakhir. Benteng kayu ini adalah harapan terakhir rakyat melawan serbuan Kompeni Belanda, yang dipimpin Letnan Christofel dengan pasukan Marsose berpengalaman dari Perang Aceh.
Namun, takdir berkata lain. Pada Januari 1905, badai serangan yang tak seimbang menghantam Manawing. Panglima Batur, yang saat itu ditugaskan mencari bantuan mesiu ke Kesultanan Pasir, harus menelan pil pahit. Sekembalinya ia dari misi, Benteng Manawing telah musnah.
Pilu tak terperikan membekap dadanya. Di antara puing-puing, ia mendapati kabar duka yang meruntuhkan semangatnya: Sultan Muhammad Seman, sang pemimpin agung, telah gugur tertembak sebagai kusuma bangsa.
"Kesedihan yang mendalam, bukan hanya kehilangan pemimpin, tetapi rasa hampa karena pertahanan terakhir telah direnggut paksa," ujar sejarawan setempat (Sjamsuddin, Helius, Pegustian dan Temenggung, 2001).
Jebakan Licik yang Memanfaatkan Hati Nurani
Setelah gugurnya Sultan Seman, Panglima Batur menjadi satu-satunya pimpinan perjuangan yang tersisa, terlalu licin untuk ditangkap Belanda. Ia dikenal memiliki keteguhan hati baja, namun memiliki satu kelemahan fatal: mudah terharu dan bersedih melihat penderitaan orang-orang yang dicintainya, terutama keluarga dan anak buahnya.
Kelemahan inilah yang menjadi senjata paling kejam di tangan Residen Belanda, van Wear.
Belanda menyusun jebakan biadab. Mereka menangkap dan menyiksa keponakan Panglima Batur di Kampung Lemo. Pesan disampaikan: keponakan tersebut akan dibebaskan hanya jika sang Panglima bersedia datang untuk "berunding".
Hati seorang panglima sejati, yang selama ini kebal peluru dan pantang menyerah, luluh oleh tangis keponakannya. Antara tugas suci dan jeritan kasih sayang keluarga, Panglima Batur memilih yang terakhir. Dengan langkah berat dan diiringi orang-orang sekampung yang berduka, ia berangkat ke Muara Teweh pada 24 Agustus 1905.
Namun, janji "perundingan" itu hanyalah sebuah topeng penghinaan. Setibanya di sana, Panglima Batur langsung ditangkap sebagai tawanan.
Permintaan Terakhir di Tiang Gantungan
Setelah dua minggu ditawan dan diarak keliling Muara Teweh dan Banjarmasin, dipermalukan sebagai "pemberontak keras kepala," Panglima Batur dihadapkan ke pengadilan kolonial. Mahkamah Agung Batavia menjatuhkan hukuman yang paling keji: mati di tiang gantungan.
Pagi buta tanggal 15 September 1905 (versi lain: 30 Mei 1906), di halaman penjara Banjarmasin, ribuan rakyat berdatangan, namun dilarang menyaksikan. Di tengah kesunyian mencekam itu, Panglima Batur menyampaikan permintaan terakhirnya: ia meminta dibacakan Dua Kalimah Syahadat.
Permintaan seorang panglima Dayak yang teguh memeluk Islam itu disambut dengan keheningan khidmat. Ia menyambut tali gantungan dengan ketenangan luar biasa, seolah-olah tiang itu adalah pintu gerbang menuju kemuliaan abadi.
Panglima Batur gugur sebagai martir, dimakamkan pertama kali di belakang Masjid Jami Banjarmasin, dan kemudian dipindahkan ke Kompleks Makam Pangeran Antasari, menyatu kembali dengan pemimpinnya (Sumber: Koran De Preanger-Bode edisi 14 Juni 1906; Sjamsuddin, Helius, 2001).
Kisah Panglima Batur adalah epitaf abadi tentang perjuangan, pengorbanan, dan harga yang harus dibayar demi harga diri bangsa. Ia adalah pahlawan dari Barito, yang kelemahan terbesarnya justru adalah kemanusiaannya yang tulus.
SUMBER-SUMBER PENDUKUNG:
Helius Sjamsuddin, Pegustian dan Temenggung: akar sosial, politik, etnis, dan dinasti perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, 1859-1906. Balai Pustaka, 2001.
Koran De Preanger-Bode edisi 14 Juni 1906 (Dokumen Belanda).
Harto Juwono dan Yosephine H, Perang Barito 1900-1907: Perlawanan Panglima Batur. Banjar Aji, 2008.
H. Mukeri Inas, Sosok Panglima Batur di Kancah Perang Barito. Penerbit Mekar Surya, 2012.
Arsip Sejarah Lokal Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah (lisan dan tulisan).
Sc : Rapakat