
17/10/2025
Di tengah dunia yang semakin sibuk dan modern, manusia sering merasa harus mengendalikan segalanya, termasuk alam. Kita menebang, membajak, menyemprot, dan menanam dengan teknologi canggih demi hasil yang cepat dan melimpah. Namun, dari Fukuoka, Jepang, kita belajar bahwa tidak semua hal yang ada di alam harus dikontrol oleh tangan manusia. Kadang, cara terbaik menjaga alam adalah dengan membiarkannya bekerja sebagaimana mestinya.
Kisah ini datang dari Masanobu Fukuoka, seorang petani dan filsuf Jepang yang dikenal lewat gagasan pertanian alami atau pertanian tanpa kerja. Dalam tulisannya yang dikutip dari salamyogyakarta.com, Fukuoka menjelaskan bahwa manusia tidak selalu harus mengatur alam secara aktif, melainkan cukup memahami dan mendukung hukum-hukum alam agar bisa berjalan sendiri. Manusia hanya perlu belajar dari alam, bukan berusaha menaklukkannya, begitu salah satu prinsip yang ia pegang dalam buku terkenalnya, Revolusi Sebatang Jerami.
Awalnya, Fukuoka dianggap aneh karena cara bercocok tanamnya berbeda dari kebanyakan petani modern. Ia memilih tidak membajak tanah, tidak menggunakan pupuk kimia, dan tidak menyemprot pestisida. Dalam laporan salamyogyakarta.com, Fukuoka bahkan pernah mengalami masa ketika lahannya tampak gagal total, banyak hama menyerang dan tanaman layu. Namun, ia tidak menyerah. Ia percaya, seperti manusia yang butuh waktu untuk pulih, tanah yang sudah lama diintervensi juga memerlukan waktu untuk menyeimbangkan dirinya kembali. Alam tidak bisa dipaksa. Ia akan menyesuaikan diri ketika diberi kesempatan, tulisnya dalam catatan refleksinya.
Dari pengalamannya, Fukuoka menemukan bahwa ketika alam dibiarkan bekerja sesuai ritmenya, hasilnya justru lebih sehat dan berkelanjutan. Tanah menjadi lebih subur tanpa harus dibajak, jerami yang biasanya dibuang justru ia biarkan menutupi tanah agar menjaga kelembapan dan mencegah erosi. Dalam Revolusi Sebatang Jerami, ia menyebut sebatang jerami kecil bisa menjadi simbol perubahan besar. Baginya, setiap jerami punya peran. Jika dibiarkan di tempatnya, ia melindungi tanah, memberi makan mikroorganisme, dan membantu tumbuhan tumbuh alami.
Pendekatan ini juga menjadi kritik terhadap sistem pertanian modern yang sering menilai keberhasilan hanya dari jumlah panen. Dalam catatan salamyogyakartacom, Fukuoka menilai bahwa pupuk kimia dan pestisida justru merusak keseimbangan ekosistem, membunuh organisme kecil yang seharusnya membantu menjaga kesuburan tanah. Ia menegaskan bahwa keseimbangan alam adalah fondasi kehidupan, bukan sekadar alat produksi.
Pelajaran dari kisah Fukuoka terasa sangat relevan hari ini, ketika dunia menghadapi krisis lingkungan, degradasi tanah, dan perubahan iklim. Banyak ahli lingkungan modern pun mulai mengakui pentingnya memberi ruang bagi alam untuk bekerja secara alami, mulai dari konsep rewilding hingga pertanian organik yang lebih ramah ekosistem. Cara berpikir Fukuoka mengingatkan kita bahwa alam tidak butuh dikendalikan berlebihan, tapi justru butuh dihormati.
Dari Fukuoka kita belajar bahwa mencintai alam bukan berarti terus campur tangan di setiap prosesnya, melainkan tahu kapan harus berhenti dan membiarkan alam melakukan tugasnya. Kadang, tindakan terbaik manusia bukanlah bekerja lebih keras, melainkan belajar lebih dalam tentang keseimbangan. Dan mungkin, di situlah letak kebijaksanaan sejati: memahami bahwa manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasanya.
Disclaimer:
Tulisan ini merupakan ulasan sederhana terkait fenomena bisnis atau industri untuk digunakan masyarakat umum sebagai bahan pelajaran atau renungan. Walaupun menggunakan berbagai referensi yang dapat dipercaya, tulisan ini bukan naskah akademik maupun karya jurnalistik. Inspirasi dari bbqmountainboys yang telah dikembangkan.