18/11/2025
Beberapa hari terakhir, anak saya sering bercerita tentang menu MBG yang disajikan di sekolah. Anak saya tipenya cukup sensitif soal rasa—kalau masakan kurang pas di lidah, biasanya langsung kehilangan selera. Padahal di rumah, kami sudah membiasakan mereka dengan menu sederhana dan apa adanya. Tidak perlu mewah, yang penting rasanya enak dan cocok: orek tempe, telur dadar, atau sayur tumis sederhana pun mereka lahap karena sudah terbiasa sejak kecil.
Sebelum ada program MBG, anak saya selalu membawa bekal dari rumah. Sesederhana oseng wortel, jamur, bunga kol, ditemani bakwan tahu, tetap dinikmati dengan senang hati. Memang secara gizi belum bisa disebut empat sehat lima sempurna, tapi cukup untuk energi dan kenyamanan mereka hingga pulang sekolah.
Foto menu MBG yang saya terima dari sekolah ini hanyalah sebagian contoh. Jujur, saya sangat menghormati kerja keras tim dapur SPPG. Mereka bangun dini hari, menyiapkan ratusan porsi, dan baru bisa beristirahat menjelang siang. Tidak ada niat untuk menyalahkan mereka, karena mereka bekerja sesuai instruksi dan sistem yang ada.
Namun, sebagai orang tua, saya hanya ingin memastikan: apakah menu yang disajikan memang sudah memenuhi standar gizi yang dianjurkan oleh Presiden Prabowo Subianto? Karena kenyataannya, beberapa kali anak-anak mendapat lauk seperti ayam goreng yang keras digigit, telur rebus dengan sedikit kuah bumbu, atau bahkan batagor/siomay yang rasanya kurang pas dijadikan menu makan siang anak sekolah.
Bukan soal tidak bersyukur. Kami tahu, banyak anak-anak di pelosok Indonesia yang bahkan tidak seberuntung ini. Tetapi kalau program ini sudah berjalan dengan anggaran besar dan konsep besar, rasanya wajar bila kita sebagai orang tua berharap makanan yang disajikan benar-benar layak, bergizi, dan enak dimakan.
Kadang saya berpikir—mungkin kalau dibandingkan, pesan paket nasi Padang 8.000 di Warung Ranah Pesisir Jalan Gatotkaca Ponorogo saja rasanya lebih terjamin dan anak-anak lebih semangat makan. Hehe… tapi tentu itu hanya candaan orang tua yang sedang capek memikirkan anaknya.
Pada akhirnya, saya hanya ingin makan sego pecel saja. Yuk, mari.