Lyla Vlog,hobi

Merayakan tahun ke-5 saya di Facebook. Terima kasih atas dukungan berkelanjutan. Saya tidak mungkin berhasil tanpa Anda ...
16/04/2025

Merayakan tahun ke-5 saya di Facebook. Terima kasih atas dukungan berkelanjutan. Saya tidak mungkin berhasil tanpa Anda semua. 🙏🤗🎉

11/04/2025

---

Waktu berputar pelan. Pertemuan tak lagi diukur oleh detak rindu yang terburu, tapi oleh kedalaman yang lebih sunyi. Hari itu langit mendung tipis. Tak hujan, tak juga cerah. Hening seperti jeda antara dua bait puisi.

SG (menatapku, kali ini tanpa ragu):
"Dulu aku ingin kau membaca isi hatiku tanpa aku perlu berkata apa-apa. Tapi ternyata, kamu juga sedang menunggu aku bicara lebih dulu."

Aku (tersenyum lembut):
"Karena aku takut kalau aku terlalu dekat, kamu akan menjauh. Jadi aku memilih diam. Tapi diamku bukan karena tidak peduli."

SG:
"Aku tahu sekarang. Dulu aku terlalu banyak menghitung logika... seakan cinta harus tepat jumlah dan pas ukuran. Padahal, kamu sudah cukup, hanya saja aku belum siap menerimamu apa adanya."

Aku:
"Dan aku menuntut kamu paham sepenuhnya, padahal aku sendiri belum selesai memahami diriku waktu itu."

Angin berhembus pelan. Tak ada genggam tangan. Tak ada peluk. Hanya dua jiwa yang duduk dengan hati yang kini lebih dewasa. Saling memaafkan. Saling menerima bahwa perasaan tak harus selalu menjadi kepemilikan.

SG (melirik teh yang sudah tak hangat):
"Kamu tahu? Ada bagian dariku yang... masih mengingat caramu menatapku. Tapi sekarang, aku tak lagi ingin memilikimu. Aku hanya ingin kamu tahu—aku pernah sangat ingin kamu tinggal."

Aku:
"Dan sekarang aku tahu... itu cukup. Aku tak perlu lagi bertanya kenapa kita tak bersama. Karena aku menemukan bagian dari diriku dalam dirimu. Dan itu sudah menenangkan."

Hening. Tapi hangat. Kami tak berjanji bertemu lagi, tak menyusun rencana. Tapi hati kami tidak lagi menyimpan sesal.

SG (berdiri, tersenyum dalam damai):
"Kalau satu hari nanti kamu berjalan dengan seseorang di sisimu, semoga dia cukup sabar mencintaimu seperti aku dulu ingin."

Aku (memandang SG berjalan menjauh):
"Dan semoga hatimu, akhirnya menemukan pulang. Meski bukan padaku."

---

11/04/2025

---

Tempatnya bukan lagi bangku kayu dan jendela senja, tapi sebuah taman kecil di pagi hari. Udara sejuk. Langit masih malu-malu biru. Burung-burung berisik, tapi tak mengganggu. Di tengah taman itu, dua cangkir teh tersaji.

SG:
“Lucu ya... dulu kita saling menghindar karena takut salah langkah. Sekarang kita bertemu lagi, tapi bukan untuk bertanya ‘kenapa dulu gagal’...”

Kamu:
“Tapi untuk bilang… ‘aku akhirnya tahu kenapa kita tak bisa saling mengerti saat itu’.”

SG:
“Apa kamu bahagia sekarang?”

Kamu (menatap jauh):
“Aku belajar bahagia. Tapi ada bagian dalam diriku… yang baru bisa damai setelah tahu kamu juga baik-baik saja. Kamu gimana?”

SG (menghela napas):
“Aku mencoba. Tapi… kadang bahagia itu bentuknya tak seperti yang dulu kupikirkan. Mungkin karena dulu aku terlalu berharap rasa itu tumbuh dari tempat yang salah.”

Kamu:
“Mungkin bukan tempatnya yang salah, tapi hatimu sudah penuh oleh rasa yang belum selesai.”

SG:
“Dan kamu bagian dari rasa itu.”

Hening sejenak. Tak canggung. Tapi penuh makna. Waktu tak bisa diputar, tapi kini kalian tahu—dulu kalian bicara dalam bahasa yang berbeda. Dan sekarang… kalian baru mulai belajar mendengarkan.

SG (tersenyum tipis):
“Kalau dulu kamu lebih sabar, kamu akan tinggal?”

Kamu:
“Kalau dulu kamu lebih jujur dengan perasaanmu, aku tak akan pernah pergi.”

SG menunduk. Tanganmu tak lagi ragu. Kamu menyentuh tangannya—bukan untuk memiliki, tapi untuk menyampaikan bahwa luka itu sudah bukan luka lagi. Hanya bekas. Yang kini jadi pelajaran.

SG:
“Terima kasih… karena meski kita tak sempat saling memiliki, kita sempat saling mengerti… sekarang.”

---

11/04/2025

---

SG duduk di bangku kayu, dekat jendela. Cahaya senja menyapu wajahnya yang dulu pernah kamu hapal dalam diam. Kamu melangkah perlahan, tak membawa kata, hanya niat yang tak pernah sempat disampaikan.

Kamu:
“Aku datang bukan untuk membuka luka. Aku hanya ingin menenangkan badai yang dulu ku tinggalkan di matamu.”

SG menoleh. Tak ada kata. Tapi matanya berkaca. Bukan karena benci. Tapi karena ada sesuatu yang dulu tertinggal dan belum pernah dimengerti.

SG:
“Kenapa baru sekarang?”

Kamu:
“Mungkin karena baru sekarang aku benar-benar mengerti... bahwa kamu bukan ingin dimiliki. Tapi dipahami.”

Diam. Sunyi. Tapi justru di dalam sunyi itu, jiwanya bicara lebih lantang.

SG:
“Dulu aku hanya ingin kau tetap tinggal, meski aku tak tahu bagaimana cara meminta. Aku kira, cukup dengan diamku, kamu akan mengerti…”

Kamu:
“Dan aku... justru merasa harus pergi, karena diam mu kubaca sebagai keraguan. Kita saling baca, tapi salah tafsir.”

SG menunduk. Tanganmu terulur, tak memaksa, hanya menawarkan ruang. Dia menyentuhnya perlahan. Ada getar, tapi juga tenang.

SG:
“Hidupku berjalan… Tapi hatiku tak pernah benar-benar sampai. Mungkin karena ada bagian dari aku yang masih tertinggal padamu.”

Kamu:
“Kalau begitu, biar kupungut pelan-pelan. Tak untuk diambil. Tapi untuk disembuhkan.”

SG tersenyum kecil. Tangisnya jatuh. Bukan karena sedih. Tapi karena akhirnya… ia bisa bernapas sebagai dirinya sendiri.

--

11/04/2025

---

Teruntuk SGQu

Ada banyak hal yang tak pernah sempat aku katakan, bukan karena tak ingin, tapi karena waktu dan keadaan membuat segalanya tak bisa selesai. Kita pernah saling hadir—dengan cara yang unik, tak biasa, dan entah sejak kapan aku merasa cukup hanya dengan duduk diam di sisimu.

Aku ingat betul, awalnya kamu hanya butuh teman bicara. Tapi diam-diam aku ikut tenggelam dalam luka yang belum sembuh itu. Mungkin itu salahku. Aku terlalu yakin bahwa kehangatan bisa menyembuhkan segalanya. Bahwa ketulusan bisa menggantikan segala kehilangan.

Tapi kamu tak benar-benar hadir,SGQu.Hatimu masih menyimpan banyak bayang, dan kepalamu dipenuhi hitung-hitungan tentang masa depan. Aku tahu kamu takut. Takut salah pilih. Takut hidup dalam ketidakpastian. Dan pada akhirnya, kamu memilih jalan yang terlihat lebih pasti—meskipun tanpa getaran yang pernah kita rasakan bersama.

Kamu pergi dengan banyak tanya yang tak pernah kamu jawab. Dan aku, perlahan belajar melepaskan. Tapi tak sekali pun aku menyimpan dendam. Hanya waktu itu, ada luka yang tak bisa kujelaskan. Bukan karena kehilanganmu, tapi karena aku sadar… aku hanya seperti hujan yang jatuh di daun talas—menyentuh, tapi tak berbekas.

Kini kamu sudah menjalani hidup barumu. Mungkin tampak lengkap: suami, anak, rumah. Tapi entah kenapa… aku kadang merasa, jiwamu belum juga benar-benar sampai di sana. Kau pernah berharap cinta akan tumbuh setelah semuanya lengkap. Tapi mungkin, yang tumbuh justru hampa itu.

Aku tidak ingin kamu menyesal. Aku hanya ingin kamu bahagia… dengan cara yang sungguh-sungguh menyentuh hatimu.

Dan andai hari itu kita sama-sama lebih sabar, lebih jujur, dan lebih berani… mungkin ceritanya akan berbeda.

Tapi tak apa. Mungkin cerita ini memang hanya ditakdirkan untuk dikenang, bukan dijalani.

Salam tenang dari ku, yang pernah ingin menetap di hatimu.

---

Address

Pontianak

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Lyla posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share

Category