14/07/2025
GURU NGAJI HARUS TETAP HIDUP DAN MENGHIDUPI
Di sudut-sudut kampung, di balik tembok-tembok surau yang sederhana,
Atau dari emper gubuk bambu yang sudah keropos, terdengar suara lirih lantunan ayat-ayat suci.
Bukan dari corong masjid yang mewah, tapi dari mulut-mulut mungil anak-anak kampung yang duduk bersila, menyimak seorang lelaki bersarung yang sabarnya tak pernah habis.
Dialah guru ngaji
Bukan ustadz viral dengan jutaan penonton. Bukan p**a tokoh agama yang duduk di kursi empuk.
Ia hadir tanpa tepuk tangan, bekerja tanpa sorotan kamera, dan mengabdi tanpa banyak pamrih.
Namun, siapa yang peduli saat ia p**ang dengan perut lapar? Siapa yang tahu saat anaknya sakit dan ia tak punya cukup uang untuk berobat? Siapa yang peduli ketika sarung satu-satunya itu sudah berlubang tapi tetap ia kenakan dengan senyum?
Ia mengajar bukan karena digaji, tapi karena panggilan jiwa.
Ia datang bukan karena diundang, tapi karena merasa bertanggung jawab.
Saat sebagian orang berlomba mencari panggung, guru ngaji justru memilih jalan sunyi: menanam amal, memanen pahala di akhirat.
Setiap hari, dari subuh hingga malam,
mengajar tanpa lelah,
dengan bayaran seikhlasnya — bahkan kadang tak ada.
Pulang dengan peluh dan luka yang disembunyikan.
Anaknya menunggu jajan yang tak selalu ada.
Istrinya menahan malu meminjam beras ke tetangga.
Tapi besoknya, ia tetap datang.
Dengan senyum yang ia paksa tetap ramah,
dan suara serak yang tetap lantang membimbing.
Padahal dalam hatinya ada pertanyaan:
“Ya Allah, sampai kapan begini?
Sampai kapan harus kuat sendiri?”
Karena, sebaik apa pun niat, tubuh tetap butuh makan. Anak tetap perlu sekolah. Dapur tetap perlu menyala.
Apakah keikhlasan bisa mengenyangkan perut anak-anak mereka?
Apakah pahala bisa langsung dibelikan beras di warung tetangga?
Ataukah bisa untuk membeli seragam sekolah anak anaknya.
Di saat guru lain hidup dari gaji,
guru ngaji hidup dari harap dan janji.
Janji bahwa "Allah tak akan menyia-nyiakan amal,
walau dunia seolah tak memandang."
Lalu sampai kapan mereka dibiarkan berjuang sendiri?
Kita yang Diam adalah Sebagian Masalahnya
Dan sungguh, membiarkan mereka hidup dalam kekurangan adalah kelalaian kita bersama.
Guru ngaji tak pernah menadahkan tangan,
tapi kita tahu mereka butuh dibantu.
Guru ngaji tak pernah meminta panggung,
tapi kita tahu merekalah pilar peradaban.
Guru ngaji tak pernah protes,
tapi Kita yang harusnya tahu diri.
Kita yang hidup dari ilmu yang mereka tanamkan,
tapi kita terlalu sibuk untuk tahu
“Apakah Ustadz sudah makan hari ini?”
Bantulah mereka, doakan mereka, dukung kehidupan mereka. Karena kalau mereka berhenti mengajar karena lapar, siapa lagi yang akan menanam iman di dada generasi kita?
Guru ngaji harus tetap hidup.
Bukan sekadar bernapas,
tapi hidup yang layak, yang manusiawi, yang terhormat.
Dan lebih dari itu —
mereka harus bisa menghidupi,
anak-anaknya, keluarganya,
dan masa depan ummat lewat cahaya ilmu yang mereka bawa.
Jangan tunggu mereka tiada,
baru kita sadar betapa berharganya mereka.
Karena jika guru ngaji pun tumbang,
lalu siapa yang akan menjaga anak-anak kita
dari buta huruf pada kitab suci?
Created by Kang Faruq