Dwi Lestari Zulkarnain

Dwi Lestari Zulkarnain Kalian cari novel online? Sini merapat, banyak rekomendasi. Penulis KBM APLIKASI dan 16 judul cerbung di sana.

Bismillah ya Robb, ga sampai 1 bulan, iklan terbuka Insya Allah. Aamiin ....
30/10/2025

Bismillah ya Robb, ga sampai 1 bulan, iklan terbuka Insya Allah. Aamiin ....

Aku diam-diam menikah lagi dengan sekretaris baruku di saat istriku sedang ha mil. Alasanku melak*kan itu karena....Part...
30/10/2025

Aku diam-diam menikah lagi dengan sekretaris baruku di saat istriku sedang ha mil. Alasanku melak*kan itu karena....

Part 2

Empat bulan yang lalu...

Setelah resepsi pernikahan Dipta dan Bella, suasana yang semula penuh kebahagiaan berubah drastis. Ayah Dipta tiba-tiba pingsan. Tvbuhnya ambruk di tengah keramaian, memicu kepanikan massal.

Dipta segera membawa ayahnya ke rumah sakit, ditemani ibu tirinya yang meskipun jelas cemas, tampak berusaha lebih tenang.

Sementara itu, Bella memilih untuk pulang lebih dulu, beralasan lelah dan pusing. Saat itu, Dipta memaklumi. Hari itu memang sangat melelahkan.

Namun, ia tak menyangka, keputusan sederhana untuk meminta adik tirinya, Dika, mengantar Bella pulang justru menjadi awal dari pengkhi anatan menji jikkan yang akan ia ketahui.

Kepercayaan Dipta pada mereka, ternyata hanya ilusi. Mereka menyimpan rahasia yang mengger0goti fondasi rumah tangganya.

"Mas... kok malah ngelamun sih?" Suara Bella kembali membuyarkan lamunan kelam Dipta.

Dipta menoleh pelan, berusaha menyembunyikan gejolak di da danya. "Aku kepikiran pekerjaan. Kalau gitu, aku man di dulu," ucapnya, berusaha keras agar terdengar tenang.

Bella mengangguk, lalu melangkah ke meja rias. Dipta berjalan menuju ka mar man di, tetapi langkahnya terasa berat karena terus dibayangi kejadian malam itu.

Esok paginya, Dipta membuka mata lebih awal. Bukan karena tidur yang nyenyak, tetapi karena matanya tak benar-benar terpejam semalaman. Pikirannya berputar tanpa henti, seperti roda yang kehilangan arah.

Bella masih terlelap di sisi ran jang. Na pasnya teratur, wajahnya tenang, seolah tidak ada yang berubah.

Bella memang jarang menyiapkan bajunya, apalagi untuk membuat sarapan. Dulu, Dipta tidak pernah mempermasalahkan itu. Ia hanya ingin Bella merasa aman, nyaman, dan dicintai. Tetapi kini, rasa itu telah hilang. Ketulusannya ternyata hanya menjadi permainan. Dan ia... hanya pion yang tidak sadar sedang digerakkan.

Tanpa sarapan, Dipta melangkah keluar rumah. Hari masih terlalu pagi, tetapi ia merasa tak sanggup berlama-lama di sana. Ia tidak mengucapkan salam ataupun pamit. Dipta membiarkan Bella tetap dalam mimpinya. Ia berpikir, mungkin suatu hari nanti, Bella akan terbangun dan menghadapi kenyataan yang ada.

Sesampainya di kantor, beberapa karyawan menoleh dengan ekspresi terkejut. Mereka heran karena Dipta datang terlalu pagi, jauh sebelum jam kerja biasanya dimulai. Dipta hanya membalas dengan anggukan singkat, lalu melangkah menuju ruangannya.

Setelah membeli sarapan ringan, Dipta segera menyibukkan diri dengan berkas-berkas yang menumpuk.

Tangannya bergerak otomatis, tetapi pikirannya masih berusaha melupakan pengkhi anatan Bella. Pekerjaan menjadi pelarian yang paling masuk akal baginya.
Beberapa saat kemudian, terdengar ketukan pelan di pintu.

"Masuk," ucap Dipta tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen.

Pintu terbuka perlahan. Suara perempuan muda menyapa dengan nada sopan.

"Pagi, Pak. Perkenalkan, saya sekretaris baru Bapak, pengganti Bu Mira. Nama saya Desti Ayuningsih."

Dipta baru ingat, Mira memang sedang cuti ha mil. Ia mempercayakan sepenuhnya pada bagian HR untuk mencari penggantinya. Tetapi saat ia mend**gak, menatap perempuan itu... wajahnya terasa tak asing.

Ekspresi terkejut juga terlihat di wajah Desti. Ia tampak ragu, lalu berkata dengan suara pelan, "A... Anda..."

Dipta mengerutkan dahi, lalu tersenyum samar. "Oh, aku baru ingat. Kamu perempuan yang semalam jatuh dari motor itu, kan?"

Gadis berkulit putih itu mengangguk cepat, lalu menunduk. "Saya minta maaf kalau semalam saya kurang sopan, Pak."

"Jadi kamu sadar? Baguslah."

"Sekali lagi, saya benar-benar minta maaf."

"Kalau begitu, segera bereskan ini. Banyak yang harus diselesaikan."

"Siap, Pak!" Desti melangkah cepat, tetapi karena gugup, ia nyaris tersandung ujung meja.

Dipta menggeleng pelan. "Ck! ... rupanya kamu memang sedikit ce roboh. Pantas saja semalam kamu menolak bantuanku."
Desti hanya tersenyum canggung, lalu membawa beberapa dokumen dan keluar dari ruangan.

Saat Jam istirahat kerja tiba. Bella sudah duduk di kursi tamu ruangan Dipta, mengenakan blus pastel dan senyum yang dulu membuat Dipta luluh. Tetapi kini, senyum itu terasa asing di matanya.

"Mas, kenapa gak bangunin aku tadi pagi?" ucap Bella dengan nada manja.

"Aku gak te ga. Sepertinya kamu sedang mimpi indah," jawab Dipta datar, tanpa niat menyentvh percakapan lebih jauh.

Bella tertawa kecil, mendekat, berharap Dipta menyambutnya. Tetapi tvbuh Dipta bergerak spontan, menghindar. Bella terdiam sejenak, lalu mencoba kembali mencairkan suasana.

"Mas, kamu kan janji mau antar aku cek keha milan hari ini..."

Dipta belum sempat mencari alasan, ketika pintu terbuka. Dika sudah berdiri di sana dengan ekspresi datar yang sulit ditebak.

"Rupanya sedang ada kakak ipar," ucap Dika sambil melirik Bella.

"Kebetulan sekali kamu datang," ucap Dipta, berusaha terdengar biasa, sambil membereskan berkas-berkas di meja.

"Memangnya kenapa, apa ada yang perlu aku bantu?" Dika melangkah mendekat.

"Kalau kamu senggang, tolong antar Bella ke dokter kandvngan," ucap Dipta cepat, sebelum pikirannya berubah.

"Aku?" Dika tampak ragu.

Dipta mengangguk, pura-pura sibuk dengan dokumen. "Bisa, kan?"

"Tapi, Mas..." Bella seolah-olah keberatan.

"Kak Dipta mungkin lagi banyak kerjaan. Ya udah, biar aku yang antar," sela Dika, mengambil alih situasi.

Bella tampak kecewa, tetapi tetap berdiri dan merapikan tasnya. "Ya sudah kalau kamu sibuk, aku pergi dulu ya, Mas."

Dipta hanya tersenyum tipis. Senyum yang tak sampai ke mata.

Saat pintu tertutup dan suara langkah mereka menjauh, saat itu juga tangan Dipta bergerak tanpa kendali.

Berkas-berkas di meja terlempar hingga berserakan di lantai. Rahangnya mengeras, na pasnya memburu. Am arah yang ia tahan terlalu lama mulai mencari celah.

'L u ka ini... tidak pernah benar-benar sembuh. Ia hanya diam, mengendap, menunggu saatnya meledak.'

Judul : Balas Den dam Pernikahan Kedua
Penulis : Thienazz87
On going di KBM app

Nilam, ga dis kecil 10 tahun yang memiliki hati seluas samudra. Kesabarannya tiada batas. Ia di pak sa dewasa oleh keada...
30/10/2025

Nilam, ga dis kecil 10 tahun yang memiliki hati seluas samudra. Kesabarannya tiada batas. Ia di pak sa dewasa oleh keadaan. Sering di b u l ly di sekolah membuatnya bertemu dengan bo cah kaki-laki yang ia anggap sebagai penyelamat. Saat Nilam beranjak dewasa, ia baru menyadari ternyata bo cah laki-laki itu adalah ....

#2

Nilam hampir saja jatuh tersungkur. Ga dis kecil itu mundur beberapa langkah, diam tak melawan. Baginya, sudah biasa ia di ejek dan di bu l ly teman-teman sekolah.

Nilam kembali dilem pari gulungan kertas. Salah satu teman Nilam men do rong tu buhnya hingga ia jatuh terduduk di tanah. Ia hanya diam saat teman-teman yang lain me lem pari rambutnya dengan permen karet bekas kunyahan.

Bagi Nilam, percuma membela diri. Ia hanya sendiri, tidak akan ada yang membela dirinya. Jika ia membela diri, yang ada dirinya akan semakin tersakiti. Teman-temannya yang tak berperasaan itu akan semakin me nye rang dan mem bul ly terus tanpa ampun.

Nilam terduduk menunduk. Ia hanya diam seperti orang bo doh. Beberapa pasang ma ta a na k-an ak sekolah lainnya menatapnya iba. Namun, diantara mereka sama sekali tidak ada yang berani menolong.

"Bo cah miskin! A na k ha ram! A nak pungut!"

Te linga Nilam terasa panas. Segala um pa tan dan hinaan kerap ia dengar setiap hari. Hinaan yang ditujukan pada dirinya itu sungguh membuat hatinya sakit dan ter lu ka. Setiap hari ia menerima hinaan itu menjadi santapannya. Ia begitu pandai menyembunyikan segala duka, lu ka dan derita dari ibunya.

Bukanlah Nilam namanya. Ga dis kecil itu memiliki hati yang begitu lembut. Ia tidak ingin ibunya tahu dan turut merasakan
lu ka yang ia rasakan. Sebisa mungkin ia bersikap tenang dan selalu tersenyum setiap kali bicara dengan sang ibu.

Nilam berdiri, mengibaskan rok nya yang ko tor karena tanah. Permen karet yang menempel di ram butnya yang panjang susah untuk dilepaskan. Ia akhirnya membiarkan permen karet itu menempel dan bergegas melangkah pulang.

"Ibu! Assalamualaikum!" ucapnya mengucap salam saat tiba di rumah.

Tak ada sahutan. Nilam bergegas masuk ke dalam menuju ka mar tempat ibunya berbaring. Ga dis kecil itu menyingkap kain pintu kemudian tersenyum saat melihat ibunya tertidur pulas.

Nilam meletakkan tas dan sepatunya diatas amben bambu yang terletak di ruang tengah. Ia melangkah ke dapur untuk mengambil p i s a u kecil.

Sambil membawa p i s a u, Nilam kembali ke ruang tengah. Ia mengambil cermin berukuran telapak jari lantas mematut dirinya.

Nilam, ga dis kecil yang cantik.
Ram butnya panjang sebatas punggung, bola ma tanya bulat, hi dung bangir, memiliki lesung p**i di bagian kanan. Warna kulitnya kecoklatan, semua perpaduan yang ada pada dirinya nyaris begitu sempurna. Namun, sayang. Nasib baik ternyata tak berpihak padanya. Nilam hidup dalam kemiskinan dan tanpa Bapak sejak ia menginjak usia 3 tahun. Entah, ia pun tidak tahu kemana Bapaknya.

Meskipun begitu, Nilam tumbuh menjadi sosok ga dis kecil yang tangguh dan kuat. Walau miskin, ia tetap berdiri di kaki sendiri. Sejak tahun lalu ibunya mulai sakit-sakitan, ia rela ban ting tulang mencari makan dan merawat sang ibu.

Di depan cermin yang sedikit retak, tampak ma ta Nilam merebak. Ma tanya mengembun, menahan kesedihan yang mendalam. Ta ngan mungil itu me nyen tuh bagian rambutnya yang terkena permen karet.

"Hm, ini benar-benar sulit dilepaskan. Sebaiknya rambut ini ku p o t o n g saja," gumamnya seorang diri.

Nilam meraih p i s a u diatas amben. Ia mulai me mo tong rambutnya hingga sejajar. Tak ada lagi raut kesedihan diwajahnya. Ia ikhlas melepas ram but indah miliknya dan yakin kelak ram butnya kembali panjang.

Kini, ram but Nilam panjangnya hanya sebatas bahu. Walau po to ngannya tidak begitu rapi, akan tetapi hal itu tidak mengurangi kecantikannya.

Nilam kembali mematut diri di cermin. Ia tersenyum merasa puas dengan hasil ta ngannya. Ternyata memiliki ram but pendek tak seburuk yang ia kira.

"Lumayan. Ibu pasti terkejut melihat ini," ucapnya tertawa pelan.

Nilam gegas ke dapur menyiapkan makan siang untuk ibunya. Setelah ini ia harus pergi keluar untuk memulung, mencari u a n g untuk membeli beras.

"Nilam!"

Panggilan dari ibunya itu mengagetkan Nilam. Gegas ia membawa makanan yang sudah disiapkan itu ke ka mar sang ibu. Sambil tersenyum, Nilam duduk di sisi ran jang.

"Ibu sudah bangun? Makan dulu, Nilam suapin ya," ujarnya mengaduk bubur dalam mangkok plastik.

Minah menggeleng. "Ibu tidak lapar, Nak. Kamu ... kenapa dengan ram butmu? Kamu me mo tong nya, Nilam?" Ma ta Minah menyipit, menatap rambut putrinya yang tak seperti biasanya.

"Iya, Bu. Habis rasanya gerah banget kalo ram but panjang. Gimana menurut ibu, Nilam masih cantik 'kan?" tanya Nilam meminta pendapat sang ibu mengenai ram but baru nya.

Minah tersenyum kemudian mengangguk. "Putri ibu mau gimana pun tetap cantik kok. Ibu senang Nilam bahagia seperti ini," ujarnya mengusap pucuk kepa la Nilam penuh sa yang.

"Terimakasih, Bu. Nilam sa yang banget sama ibu," ucap Nilam langsung me me luk ibunya. Ga dis kecil itu tersenyum merasakan kehangatan pe lu kan sang ibu yang begitu menenangkan.

"Ibu juga, Nak. Maafkan ibu karena belum mampu membahagiakanmu," balas Minah dengan ma ta berkaca-kaca.

"Jangan bicara begitu, Bu. Nilam bahagia punya ibu. Nilam yang akan membahagiakan ibu. Nilam janji," tuturnya mengurai pe lu kan. Nilam tersenyum lantas men ci um p**i sang ibu. Ia tak ingin wanita yang telah melahirkannya itu selalu bersedih.

Minah mengangguk. Tanpa terasa ma tanya mulai mengembun. Ia begitu terharu dan sangat bersyukur dianugerahkan a na k perempuan seperti Nilam yang begitu taat dan berbakti. Satu-satu putri kecilnya yang sangat ia sa yangi itu begitu kuat dan tegar menjalani hidup tanpa kehadiran seorang Bapak.

Ya ... Bapak Nilam pergi merantau entah kemana sejak Nilam berusia tiga tahun. Kepergian sosok pelindung itu telah mengubah semuanya.

"Bu, ayo makan!"

Minah tersentak. Lamunannya pun seketika langsung buyar. Dilihatnya Nilam menyodorkan bubur ke arahnya. Bubur hasil olahan tangan putrinya itu selalu terasa enak di lidah meskipun hanya dicampur garam dan sedikit santan.

"Nilam makan juga ya," bujuk Minah menatap putrinya.

Tak ingin mengecewakan ibunya, Nilam pun mengangguk. "Kita makan sama-sama ya, Bu," ujar Nilam menyuapi ibunya lebih dulu.

"Terimakasih, Nak. Buburnya enak," puji Minah saat suapan bubur itu sudah berada dalam mu lutnya.

Nilam tampak senang. Ia pun menyuap bubur itu ke mu lutnya. Suasana dalam ka mar berukuran sempit itu begitu mengharu biru. Terlukis kebahagian dari wa jah an ak dan ibu itu meskipun hidup mereka serba dalam kekurangan.


Jam 2 siang saat ibunya kembali beristirahat dan tidur, Nilam pergi keluar rumah untuk memulung. Hari ini ia harus mendapatkan u a n g untuk membeli beras.

Di bawah terik matahari, Nilam melangkah menyusuri jalanan. Ia mengambil botol-botol be kas dan mengais tong sampah dari satu rumah ke rumah yang lain.

"Awas, a n ak haram lewat!"

Nilam menghentikan aktivitasnya sejenak. Teman-teman sebaya dengannya berjalan melewatinya sambil tertawa cekikikan. Ga dis itu hanya diam, memegang erat karung usang yang masih kosong.

Nilam semakin menundukkan wa jahnya dalam, merasa begitu sedih dengan apa yang ia dengar barusan. Benarkah dirinya a nak ha ram?

Baca selengkapnya di KBMApp
Judul : NILAM
Penulis : Ari puspa irma

Atau klik l i n k di kolom komentar👇

Dipaksa menikahi pemuda dingin karena urusan bisnis, aku kira pria itu akan langsung tertarik kepadaku karena aku memang...
30/10/2025

Dipaksa menikahi pemuda dingin karena urusan bisnis, aku kira pria itu akan langsung tertarik kepadaku karena aku memang cantik. Namun, tak disangka saat sudah menikah aku dikejutkan karena....

Bab 2 Pernikahan Mew-ah

Suasana pelaminan begitu mew-ah dan elegan, seluruh ruangan dipenuhi nuansa putih dan perak, menciptakan kesan romantis kepada siapa saja yang melihatnya.

Alunan lembut dari pengeras suara, berpadu dengan riuh rendah tamu undangan yang saling bertegur sapa. Aula pernikahan itu terlihat meriah dengan lampu kristal yang menggantung di langit-langit dan barisan bunga yang berjejer rapih membentuk lingkaran menjadi background pelaminan, membuat suasana tampak sempurna layaknya pernikahan seorang putri kerajaan.

Dibalik senyum Arsheen yang terlihat manis, ia sibuk berdoa dalam hati agar acara ini cepat selesai. Gaun putih yang melekat di tubu-hnya seakan menambah berat setiap langkahnya, membuat ia ingin sekali kabur dari acara yang tidak pernah ia harapkan itu. Namun tatapan banyak orang mengunci tubu-hnya di kursi pelaminan.

Disisinya, Langit duduk dengan wajah tenang dan dingin, piawai menyembunyikan ekspresi wajahnya, seolah acara ini bukan sesuatu yang berarti. Tangan Langit sesekali meremas ujung jas hitamnya, seakan ingin melampiaskan rasa jengah.

“Ck, kamu bisa nggak sih pura-pura bahagia sedikit? Senyum, gitu. Masa pengantin cowok juteknya kebangetan,” bisik Arsheen, matanya tetap terarah ke tamu.

Langit menoleh perlahan, menatap wajah Arsheen dengan tatapan datar. “Kalau aku kebanyakan senyum, kamu bisa jatuh cinta beneran nanti.”

Arsheen hampir tersedak ludahnya sendiri. Ini orang bisa-bisanya ngomong begitu di tengah acara! Wajahnya memanas, bukan karena malu, tapi karena kesal.

“Narsis!” katanya pelan, sambil tetap menebar senyum ke arah tamu yang lewat.

Belum sempat Arsheen membalas lebih panjang, suara seorang perempuan melengking terdengar dari arah depan.

“Wah, wah, wah… akhirnya ya, si Arsheen nikah juga!”

Seketika para tamu undangan menoleh ke arah sumber suara. Seorang wanita paruh baya dengan kebaya hijau menyala berjalan anggun menuju pelaminan. Arsheen mengenalnya, ia adalah Tante Mitha—si tetangga jauh yang terkenal dengan mulut pedas dan tak pernah absen mengomentari urusan orang lain.

Arsheen tersenyum kaku. “Oh, Tante Mitha… terima kasih sudah datang.”

Tante Mitha mendengus kecil. “Iya d**g, masa melewatkan momen penting gini. Tapi… hm, apa tidak terlalu cepat ya. Baru kemarin saya dengar kamu lagi sibuk ngurusin yayasan dan nggak mau nikah muda, eh sekarang udah duduk di pelaminan. Jangan-jangan…” Ia melirik Arsheen dari atas ke bawah dengan tatapan ta-jam, lalu menurunkan suaranya tapi cukup keras untuk didengar tamu sekitar. “…ada sesuatu yang dipercepat, ya?”

Beberapa tamu di dekat mereka terkesiap begitupun Pak Arman yang sedari tadi sibuk menyambut para tamu pentingnya, sebagian menutup mulut sambil menahan bisikan.

Arsheen membeku, matanya membulat. Astaga, ini orang nggak punya filter apa?

Arsheen bisa merasakan wajahnya panas dan jantungnya berdegup kencang.

Langit, yang sejak tadi hanya diam, akhirnya bergerak. Ia meraih tangan Arsheen lalu menggenggamnya erat, seolah ingin menegaskan sesuatu. Dengan suara tenang tapi cukup lantang untuk terdengar, ia berkata, “Kami menikah karena cinta, Tante. Nggak ada yang dipercepat, nggak ada yang ditutupi.”

Tatapan orang-orang langsung terarah pada mereka. Arsheen semakin panik, tangannya gemetar karena ia baru pertama kali berse-ntuh-an dengan lawan jenis.

Tapi di luar dugaan, Langit membawanya sedikit mendekat dan tersenyum tipis kearah istrinya.

“Lihat sendiri, kan? Aku rela tinggalkan semua kesibukanku hanya untuk perempuan ini,” ucap Langit, nada suaranya lembut tapi penuh penekanan.

Arsheen nyaris melongo. Apa-apaan sih dia? Kok aktingnya kaya nyata?!

Para tamu bersorak kecil, beberapa bertepuk tangan. Tante Mitha mengerjap, seolah tak percaya, lalu berusaha menutupi keterkejutannya dengan tawa kaku.

“Hehe, iya, iya… kalau begitu tante doakan langgeng deh. Jangan sampai cepat selesai, ya.” Ucapannya masih menusuk, tapi kali ini kalah telak oleh respons Langit.

Arsheen berusaha menahan tawa gugup. Di dalam hati, ia ingin sekali menepuk kepala Langit karena mendadak jadi aktor. Tapi ia juga harus mengakui, pria itu baru saja menyelamatkan harga dirinya di depan banyak orang.

Tak lama kemudian, sesi foto dimulai. Para tamu bergiliran naik ke pelaminan, berfoto bersama pengantin, lalu turun sambil membawa cenderamata. Tante Mitha masih saja melontarkan komentar-komentar kecil yang membuat Arsheen harus tersenyum paksa.

“Duh, pengantinnya manis ya… tapi kok kayaknya kaku banget?”
“Wah, ini kalau punya anak nanti pasti ganteng dan cantik banget. Eh, jangan-jangan sebentar lagi langsung dapat kabar gembira, ya?”

Arsheen sudah hampir meledak. Kenapa sih harus aku yang jadi targetnya?

Sementara Langit masih memegang tangannya erat, sesekali mengelus punggungnya diam-diam, seakan berkata: tenang, aku yang akan urus.

Ketika sesi foto berakhir, Arsheen menarik napas lega. Ia pikir semua sudah selesai. Namun, ternyata belum.

Seorang pria berusia 30an tiba-tiba bersuara keras, “Kalau benar cinta, coba buktikan d**g! Ci-um pengantinnya!”

Seketika riuh sorakan tamu-tamu memenuhi aula. “Iyaaa! Ci-um! Ci-um! Ci-um!”

Arsheen membeku. “Apa?!” suaranya tercekat. Wajahnya panas dingin, sementara pandangan semua orang tertuju pada mereka berdua.

Ia melirik ke samping dengan panik. “Jangan bilang kamu… beneran mau...” bisiknya pelan.

Langit menoleh, menatap lurus ke matanya. Tatapan itu dalam, sulit ditebak. Ia tidak menjawab, hanya bergerak perlahan mendekatkan wajahnya.

Suara sorak semakin heboh. Arsheen bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, tub-uhnya kaku, dan wajah Langit yang makin lama makin dekat.

Hanya tinggal beberapa centimeter lagi…

Penulis : Khayna
Judul: Pesona Suami Kontrak

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.

Shena berdiri di depan ruangan seorang dokter, ia menatap kosong pada hasil pemeriksaan di tangannya. Dunia rasanya berp...
30/10/2025

Shena berdiri di depan ruangan seorang dokter, ia menatap kosong pada hasil pemeriksaan di tangannya. Dunia rasanya berputar begitu cepat, dan Shena tidak tahu bagaimana harus menghadapi kenyataan ini.

"Selamat, Nyonya. Anda ha mil, tiga bulan," kata dokter tadi dengan tenang, seolah berita itu hal yang biasa.

Shena merasa lututnya lem as.

Bagaimana mungkin ini terjadi?

Bagaimana dia bisa ha mil?

Namun, tidak butuh waktu lama bagi ingatannya untuk kembali ke malam ke lam itu. Malam di mana dia menghabiskan waktu bersama Mahendra, pria yang bahkan tidak mengenalinya. Pria yang mungkin bahkan tidak ingat kejadian itu.

Keha milan ini adalah kenyataan yang tak bisa lagi ia abaikan. Ia menahan isak tangis yang berusaha keluar. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padanya?

Shena berjalan keluar dari rumah sa kit dengan langkah berat, tanpa arah yang jelas. Tangannya secara refleks menyentuh pe rutnya yang masih datar. Perasaan ta k*t dan bing ung menyelimuti pikirannya. Apa yang harus dia lak*kan sekarang? Apakah dia harus memberitahu pria itu? Tapi bagaimana jika Mahendra tidak mau bertanggungjawab? Bagaimana jika Mahendra tidak peduli? Ataukah, dia rahasiakan saja?

Tiba-tiba, sebuah sedan hitam melintas pelan di depannya. Shena terdiam sejenak, tatapannya tertuju pada sosok di dalam mobil itu-Mahendra. Mata mereka bertemu sebentar, sebelum mobil itu melaju pergi. Shena hanya bisa memandangi mobil itu menjauh, tidak tahu harus berbuat apa. Lihatlah, betapa terasingnya pria itu kala menatapnya tadi.


Di perjalanan pulang, Shena mencoba menyusun kata-kata. Haruskah ia jujur pada ibunya? Namun, setiap kali membayangkan reaksi ibunya yang sedang sa kit, tu buhnya terasa semakin be rat. Kesehatan Hera terlalu rapuh untuk menghadapi kenyataan bahwa a nak ga disnya yang terjaga kini ha mil di luar ni kah.

Sesampainya di rumah, ia disambut oleh aro ma kaldu ayam yang menenangkan. Ibunya sedang sibuk di dapur, menyiapkan makan malam sederhana.

Shena berjalan mendekati ibunya dan duduk di kursi dapur, namun rasa mu al tiba-tiba menghan tam pe rutnya. Ia menahan sekuat tenaga, namun akhirnya tak bisa lagi. "Ma, aku ke ka mar ma ndi sebentar," ucapnya buru-buru.

Hera yang melihat putrinya pu cat dan tergesa-gesa segera menyusul dengan tatapan ce mas. "Shena, kau kenapa? Kau sa kit?"

Shena sudah berada di ka mar man di, menutup pintu rapat-rapat dan merasakan air mata yang selama ini ditahan tum pah begitu saja. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini pada ibunya? Satu kebohongan sudah terlontar, dan kini kebohongan itu semakin menumpuk, seperti benang ku sut yang tak bisa diuraikan.

Sementara itu, di luar, Hera menunggu di depan pintu ka mar man di dengan kekhawatiran yang semakin be sar. Namun, suara air mengalir menandakan bahwa putrinya tidak ingin diganggu. Akhirnya, ia kembali ke dapur dengan hati yang masih penuh tanda tanya.

Tak lama kemudian, pintu depan terbuka dan Elsa, adik Shena, pulang dengan riang sambil menenteng tas belanjaan. "Ma, aku sudah pulang! Ada apa kau berdiri di sana?" tanyanya saat melihat ibunya berdiri cemas di depan ka mar man di.

"Ini, kakakmu di dalam. Tadi wajahnya pu cat sekali," jawab Hera sambil mengernyit kha watir.

Elsa mengerutkan dahi. Ia teringat sesuatu-siang tadi, secara tak sengaja ia melihat kakaknya keluar dari ru mah sa kit. Awalnya, ia tak berpikir macam-macam, namun sekarang segala kekhawatiran muncul di benaknya. Ruangan yang dilihatnya kala itu adalah ruan gan kandu ngan.

"Jangan-jangan... kakak ha mil?" Elsa terkejut oleh pikirannya sendiri, namun ia memutuskan untuk menyimpannya dulu. Ia harus memastikan kebenaran ini dari Shena sendiri.

Malam harinya, setelah makan malam bersama, Elsa berdiri di depan pintu ka mar Shena. Ia ragu-ragu untuk mengetuk, namun akhirnya ia memberanikan diri masuk tanpa menunggu jawaban. Shena terba ring mering k*k di atas tempat ti dur, wajahnya terlihat le lah.

"Kakak?" Elsa berjalan mendekat dengan hati-hati.

"Kenapa kau belum tidur?" tanya Shena le mah, jelas terlihat bahwa ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.

Elsa duduk di sisi tempat ti dur, memperhatikan kakaknya dengan cemas. "Kau sa kit, Kak? Tadi siang aku melihatmu di rumah sa kit. Kau sedang perik sa apa?"

Shena terkejut mendengar pertanyaan adiknya. Ia langsung bang kit dari tempat tidur dengan ekspresi pa nik. "K-kau melihatku di rumah sa kit?"

Elsa mengangguk. "Kau periksa apa di sana? Kakak kelihatan tidak se hat. Apa terjadi sesuatu yang tidak mau kau ceritakan?"

Shena terdiam. Pikirannya berputar-putar, mencari jawaban yang bisa ia berikan. Tapi kebohongan yang terus ia tumpuk mulai membuatnya merasa se sak. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Elsa, apalagi menghadapi ibunya. Ia hanya menatap kosong pada adiknya yang semakin curiga.

"Aku tidak bisa bilang sekarang, Elsa. Tapi tolong, jangan tanya apa-apa dulu," ucap Shena akhirnya, suaranya penuh kese dihan.

Elsa tidak puas dengan jawaban itu, tapi dia tahu tidak ada gunanya mende sak kakaknya lebih jauh. "Baiklah, Kak. Tapi kalau kau butuh seseorang untuk bicara, aku di sini."

Shena mengangguk, air ma tanya hampir ja tuh, tapi ia segera menutupinya dengan berpaling. Ia tahu Elsa tak akan berhenti sampai mendapatkan jawaban, tapi saat ini, ia belum siap untuk membuka semua.

Keesokan harinya, Shena yang harus pergi bekerja mulai bersiap-siap. Tidak seperti biasanya wanita itu berangkat tepat pukul setengah delapan pagi apabila di shift awal, sosoknya sudah sibuk di ka mar pagi-pagi sekali.

Setelah tadi malam dia diberond**g banyak pertanyaan oleh sang adik, ia tidak punya keberanian tinggal lebih lama di rumah dan bertemu dengan Elsa.

Fakta bahwa kebohongannya hampir terungkap, ia tidak bisa berlama-lama tinggal di rumah lagi.

Shena yang sibuk memasukkan pa kaiannya ke dalam tas kemudian mendengar suara notifikasi dari pesan baru masuk. Ia mengambil pon selnya di nakas, membuka kunci dan melihat isi pesan yang dikirim oleh Rafael.

"Untuk apa lagi pria itu menghubungiku?!" Shena mendengkus ben ci tatkala melihat nama Rafael lah yang terpampang di layar.

Tidak menjawab pesan itu, Shena justru memblo kir nom or Rafael untuk yang ketiga kalinya. Dalam benaknya dia berpikir sudah saatnya untuk mengganti nomor.

Setelah dia selesai bersiap-siap, ia melangkah keluar dari ka mar dengan mengendap-endap. Ruangan keluarga tampak gelap dan gorden pun belum dibuka. Menandakan bahwa ibu dan adiknya belum bangun.

Berdiri di depan ka mar sang ibu yang tertutup, Shena menempelkan dahinya di sana. Desa han lembut terdengar keluar dan gumaman maaf pun menyertai. "Tolong jaga kesehatan mama, aku akan segera kembali."

Ia sudah memutuskan masak-masak, bahwa dirinya tidak bisa tinggal lagi di rumah. Keha milannya terlalu mustahil untuk bisa disembunyikan. Meski dia belum mengambil keputusan apakah mempertahankan ba yi itu atau tidak, namun untuk sementara waktu, dia perlu menenangkan dirinya sendirian.

Selepas Shena menyatakan perpisahan singkat pada keluarganya, sosoknya kemudian menghilang dari ruang keluarga.


Di sisi lain, tepatnya di sebuah ho tel mewah di ruangan staf, seorang pria tampak frustasi dikarenakan pesan serta panggilannya diabaikan.

"Apa Shena masih mengabaikan dirimu?" Alvin yang baru saja tiba menyapa temannya yang tampak linglung.

Rafael memalingkan muka ke samping, kemudian mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan temannya.

"Apa yang harus aku lak*kan sekarang?" bisik Rafael mulai putus asa.

"Kenapa kau tidak coba bujuk lagi Elina agar mau mengakui keja hatannya yang telah membi us Shena. Jelas-jelas itu bukan kau yang melak*kannya, tapi malah kau yang disalahpahami." Alvin mencoba memberikan saran.

"Kau pikir Elina mau begitu saja mengakui kejaha tannya pada Shena?"

Alvin menggelengkan kepalanya pertanda tak yakin. Menilik sifat li cik dan gi la wanita itu, sangat mustahil bagi Elina untuk berkompromi.

Rafael yang tadinya berdiri kemudian duduk di kursi panjang. Kedua tangannya menyangga kepalanya yang menunduk saat sa kit kepa la kembali kambuh.

Dia tidak memberitahu Alvin bahwasanya Elina mau mengakui kesalahannya. Tapi dengan satu syarat. Syarat yang diminta wanita itu lah yang membuat dia ben ci sekaligus stres.

Elina mengangkat dagunya berani. Senyum nakal terbit di bi birnya yang se xy saat dia berbisik tepat di bi bir Rafael. "Ti dur denganku, dan aku janji akan menjelaskan masalah itu pada Shena."

Ge ram, ma rah, tak berda ya bercampur di dalam diri Rafael saat dia bingung mengambil keputusan. Seandainya dengan hanya penjelasan saja dapat membuat Shena percaya padanya, dia tak akan mungkin se-frustasi sekarang.

Kenyataannya, Shena malah berubah ben ci padanya akibat kesalahpahaman malam itu. Ia masih ingat dengan jelas tatapan ben ci yang dilayangkan Shena padanya ketika berusaha menjelaskan. Hingga kini, dia belum berbaikan dengan Shena, wanita yang ia cinta lama sekali.

Alvin ik*t duduk di samping Rafael, menepuk pelan bahu temannya itu sebagai tanda dukungan.

Bersambung...

Judul Novel: Bosku Jadi Suamiku
Penulis: R Sheehan

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik tautan di bawah ini :

Hanya karena mengik*ti tren di Toktok, suamiku tega memberi nafkah hanya sepuluh ri bu sehari …Saripa menghela na pas pa...
30/10/2025

Hanya karena mengik*ti tren di Toktok, suamiku tega memberi nafkah hanya sepuluh ri bu sehari …

Saripa menghela na pas panjang, menatap panci berisi air untuk membuat mie instan yang belum mendidih karena gas elpijinya sudah habis.

Ali muncul dari ruang depan sambil menenteng dompet tipis. “Dek,” katanya dengan semangat pal su, “ini uwang belanja hari ini.”

Saripa menoleh cepat. Begitu melihat selembar u wang sepuluh ri buan di tangan suaminya, ia langsung memicingkan mata. “Sepuluh ri bu lagi, Bang?”

Ali tersenyum canggung. “Iya, Dek. Lagi sepi banget dagangan Abang. Nggak ada yang beli parfum sama sekali.”

Saripa meletakkan tangannya di pinggang. “Bang, gas udah habis. Harga elpiji aja dua puluh ri bu. Beras juga udah nggak ada dan har ga beras sekilo tujuh belas ri bu. U wang sepuluh ribu itu cuma cukup buat beli gorengan, tahu nggak?”

Ali mengelus tengk*knya. “Ya udah, kamu ngu tang aja dulu di warung Bu Kokom. Nanti Abang ba yar kalau ada yang beli minyak wangi di toko Abang.”

Dengan berat hati, Saripa pun mengu tang di warung Bu Kokom. Karena memang Saripa tidak pernah berhv tang, Bu Kokom pun percaya memberikan apa yang dia butuhkan mulai dari elpiji, beras, minyak goreng, gula, kopi, bawang merah dan bawang putih, lombok, tomat, mie instan dan telur.

"Saya nggak tahu, Bang Ali dapat u wang berapa hari ini, Bu. Tapi pokoknya, begitu ada u wang saya bayar." Saripa berkata dengan menahan rasa malu, karena begitu banyak yang dia bawa sementara dia hanya memba yar 10 ri bu.

Bu Kokom tersenyum. "Nggak apa, Ripa. Emang sekarang ju walan lagi sepi. Kamu boleh ba yar kalau sudah ada u wangnya."

Saripa merasa tak enak, tetapi, mau bagaimana lagi. Dia tidak punya jalan lain. Wanita itu pun pulang setelah Bu Kokom mentotal semua barang belanjaannya.

Sore harinya, Ali tersenyum ketika istrinya menyediakan telur penyet dengan sambal terasi. "Adek emang pintar memutar u wang sepuluh ri bu," pujinya sambil melahap nasi hangat yang masih mengepul itu.

"Ngu tang ini Bang. Totalnya 76 ri bu. Tadi cuma ba yar 10 ri bu. Sisa 66 ri bu, ngu tang! Ingat, besok Abang ba yar ut angnya!" Saripa menunjukkan nota hv tang dari Bu Kokom pada suaminya.

Ali mengusap punggung istrinya. "Doakan Abang besok banyak yang be li. InshaAllah Abang ba yar semuanya."

Saripa pun mengangguk sambil tersenyum. Mereka pun makan dengan lahap, meski hanya dengan telur dan sambal.

Keesokannya, dengan santainya, Ali kembali memberi u wang 10 ri bu. "Dek, Abang cuma punya u wang 10 ri bu. U wang ini kamu buat nyi cil ke Bu Kokom. Untuk masak hari ini, kamu ngutang aja sama Pak Ji penju wal sayur!"

"Apa, Bang? Ngu tang lagi?" Saripa mengatakannya dengan nada sedikit meninggi. Dia sudah geram dengan suaminya yang terus memberinya u wang 10 ri bu.

Ali tetap dengan wajah santainya. “Iya, Dek. Kalau cuma ngu tang tempe sama tahu, palingan nggak sampai 10 ri bu, Dek. Jangan ngu tang ke Bu Kokom, karena yang kemarin belum lunas."

Ingin rasanya Saripa menggetok kepala suaminya ini. “Adek malu, Bang."

“Ngapain malu, Dek. Pak Ji juga pasti ngerti keadaan kita. Lagian, kata orang-orang di TokTok, sepuluh ri bu di tangan istri yang tepat bisa jadi berkah.”

Saripa menatap suaminya dengan ekspresi tak percaya. Dapat konsep darimana suaminya itu. “Berkah apanya, Bang? Elpiji aja nggak bisa beli, beras nggak ada, bumbu abis. Kalau kita nggak ngu tang, kita nggak bisa makan dari kemarin! Pakai gaya-gayaan ngik*tin tren TokTok?!”

Ali tertawa kecil, berusaha melucu. “Lho, justru itu! Kita ini sedang praktik. Abang pengen buktiin, istri Abang tuh istri yang tepat apa bukan? Yang bisa bikin masakan ajaib dari u wang sepuluh ri bu.”

“Yang ajaib itu bukan aku, Bang,” gerutu Saripa sambil melipat tangan di dada. “Yang ajaib itu Abang, bisa-bisanya nyuruh aku masak tapi cuma ngasih u wang sepuluh ri bu!”

Ali mendekat, mencoba membujuk dengan nada lembut. “Dek, sabar, ya. Hari ini Abang yakin banget bakal ada rezeki. Kamu belanja dulu aja, ngu tang juga gapapa. Nanti sore kalau dagangan Abang laku, Abang langsung ba yar semua u tangmu ke Bu Kokom dan juga Pak Ji.”

Saripa hanya bisa menarik na pas panjang. Ia tahu suaminya bukan orang yang malas, hanya terlalu percaya diri pada nasib. “Ya udah, Bang,” katanya akhirnya. “Tapi kalau nanti aku dimarahin dan dikatain orang kalau aku tukang ngu tang, aku bakalan bilang sama semua orang kalau Abang adalah suami yang pelit, karena tiap hari cuma ngasih belanja 10 ri bu!"

Ali tersenyum lega. “Siap, Dek. Abang yang akan ngadepin. Adek tenang aja.”
Saripa hanya menggeleng, lalu mengambil tas kainnya. “Abang tuh ya, percaya banget sama TokTok. Nanti kalau aku bikin konten ‘istri yang hampir gi la gara-gara nafkah 10 ri bu’, jangan kaget ya, Bang.”

Ali tertawa ngakak. “Nah, itu malah bagus, Dek. Siapa tahu vi ral, terus dapet en dor se. Rezeki kita makin lancar!”

Saripa mendecak pelan, tapi ingin rasanya dia marah pada sang suami. Namun, jika memang tak ada satupun yang beli parfumnya di pasar, dia bisa apa?

Di tengah teriknya panas, Saripa berjalan pelan menyusuri gang sempit dengan langkah gontai. Di tangannya, hanya ada tas kain kosong, tas yang biasanya berisi belanjaan untuk makan hari itu. Tapi kali ini, kosong, sama seperti dompetnya.

Saripa pun akhirnya terpaksa mengv tang pada Pak Ji tukang sayur. Dia membeli tahu, tempe, ikan asin, dan juga beberapa sayuran untuk 2 hari ke depan.

"Maaf ya, Pak. Ngv tang dulu. Besok, Ripa ba yar."
Pak Ji pun akhirnya mengangguk setelah Saripa menjelaskan bagaimana perilaku suaminya beberapa hari terakhir ini. Lelaki berusia setengah abad itu pun menyarankan agar Saripa mau usaha agar bisa tetap eksis meski hanya diberi u wang 10 ri bu.

"Ripa jualan apa, Pak Ji?" Tanyanya sambil memegang kangkung yang akan dia beli.

"Terserah, Ripa kan pinter masak. Bikin aja makanan apa gitu yang sekiranya cocok buat orang sarapan atau makan siang. Nanti bisa Ripa titipin ke Bapak atau warung Bu Kokom. Nanti kalau laku banyak, kan lumayan buat nambah u wang belanja Ripa!"

Saripa terdiam. Benar apa yang dikatakan oleh Pak Ji. Namun, dia tetap harus meminta izin dulu pada sang suami karena untuk berju walan, waktu yang dia butuhkan tidak sebentar. Dia pasti akan sangat sibuk nantinya.

"Iya deh, Pak. Ripa akan bilang Bang Ali dulu. Semoga aja Bang Ali ngebolehin." Kata Saripa kemudian berlalu pergi.

Saripa pun berjalan dengan pikiran yang melayang hingga membuat dia tidak fokus pada jalanan yang akan dia lewati. Saat dia hendak menyeberang, sebuah mobil menyermpetnya hingga dia pun terjatuh.

Brak!

Suara itu membuat semua orang menoleh. Tas belanja Saripa terjatuh, tempenya men tal ke tengah jalan. Saripa memegangi lututnya yang perih dan sedikit berda rah, sebelum akhirnya pandangannya tiba-tiba menggelap.

"Saripa!!" Teriak ibu-ibu yang melihat kejadian itu.

Dengan sigap, pengemudi itu pun turun dan melihat keadaan Saripa."Mbak, kamu nggak apa-apa?"

Melihat Saripa yang hanya diam membuatnya panik dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat.

"Semoga kamu nggak apa-apa, Mbak!"

Gara-Gara Nafkah 10 Ri bu - ahnafkece-SKMM

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App.

Address

Purworejo

Telephone

+6281578051081

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Dwi Lestari Zulkarnain posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Dwi Lestari Zulkarnain:

Share