Dwi Lestari Zulkarnain

Dwi Lestari Zulkarnain Bismillahirrahmanirrahim, Insya Allah berisi konten Islami berupa quote, tahsin tilawah, video Ai tilawah. Jika tidak, skip tanpa menghujat. ❤️

Semoga bermanfaat🥰 Jika suka: like, komen, share dan subscribe.

أللَّهُمَّ زَيِّنَا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَYa Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhias...
19/12/2025

أللَّهُمَّ زَيِّنَا بِزِينَةِ الْإِيمَانِ وَاجْعَلْنَا هُدَاةً مُهْتَدِيْنَ

Ya Allah, hiasilah (diri) kami dengan perhiasan (keindahan) iman, serta jadikanlah kami sebagai orang-orang yang (selalu) mendapat petunjuk (dari-Mu) dan memberi petunjuk (kepada orang lain).

Mu ak dengan tradi si keluarganya, Naya membantu orang asing dari ko ta itu untuk bebas dari kem atian yang akan menjadi...
19/12/2025

Mu ak dengan tradi si keluarganya, Naya membantu orang asing dari ko ta itu untuk bebas dari kem atian yang akan menjadikan mereka tum bal.

🌹🌹
Bab_10’ part selanjutnya hanya di KBM app. Downloadnya bisa diplaystor.

Waktu berd etak lambat, dipenuhi keheningan menc ekam. Di lu ar, penduduk desa sudah kembali ke ru mah masing-masing setelah berhasil mena ngkap kembali Tomi dan Maya, meninggalkan Balai Desa dal am kegel apan yang hanya diterangi oleh obor-obor di gerbang dan ru mah Pak Tua Gora.

Di dal am ka mar, Dani dan Lisa menatap Rendi yang kini memegang dua benda penting, botol kaca berisi Da rah Murni Naya dan buku kuno bersampul kulit tua.

“Ini dia, Ren. Ini kesempatan kita,” bisik Dani, suaranya tegang.

“Ini bukan cuma kesempatan, Dan. Ini adalah janji. Aku harus kembali untuk Naya,” jawab Rendi, mengencangkan genggamannya pada buku itu.

Lisa, yang sudah sedikit tenang, menyela. "Tapi bagaimana? Masih ada penjaga di luar. Dan di ru mah Naya pasti ada Ayahnya yang sedang menunggu untuk mengawasi Naya 'membersihkanmu' lagi."

Rendi teringat kode yang diukir Naya, Bulan Sabit (tengah ma lam) dan Ru mah Atap Curam (rum ah Naya). Dan janji Naya. “Aku akan mengalihkan perhatian Ayah di rum ahku tepat pukul satu ma lam.”

"Kita tunggu sampai pukul satu. Naya akan menciptakan celah," kata Rendi.

"Tugas kita adalah mencari cara untuk keluar dari ka mar ini tanpa suara, dan sampai ke rum ah Naya di belakang Balai Desa."

Tiba-tiba, dari lu ar terdengar suara kunci berderit. Itu adalah kunci yang berbeda dari kunci sebelumnya. Pin tu perla han terbu ka.

Bukan Naya, tetapi Ibu Naya yang ma suk. Waj ahnya tidak menunjukkan ama rah, melainkan kesedihan menda lam. Di tangannya, ia membawa sebuah baskom berisi air jernih dan kain lap baru.

“Kakek Gora memerintahkan kalian dibersihkan sebelum fajar,” ujar Ibu Naya, suaranya sangat pelan. "Dia tidak ingin ada 'no da kota' saat kalian dipertunjukkan kepada leluhur."

Rendi, Dani, dan Lisa dipaksa membersihkan diri bergantian, di baw ah pengawasan Ibu Naya yang sedih. Ibu Naya kini tidak lagi membawa cambuk, tetapi ia meme luk erat sebuah liontin giok tua di leh ernya.

Saat tiba giliran Rendi, Ibu Naya menyiram punggungnya dengan air. “Kau anak muda yang baik, Rendi. Kau tidak seharusnya di sini,” bisik Ibu Naya, matanya berkaca-kaca.

“Bibi, tolong. Bantu kami kabur. Kami tahu Naya tidak ingin melakukan ini,” pinta Rendi.

Ibu Naya menggeleng, air matanya menetes. “Aku tidak bisa. Ayah.. dia menga ncam akan mengorb ankan Naya terlebih dahulu jika aku berkhia nat. Aku harus memilih putriku, Rendi. Tugas ini terlalu berat untuk kami semua.”

Ibu Naya lalu memegang bahu Rendi. “Naya sedang menjalankan tugasnya untuk mal am ini. Dia harus memastikan semuanya bersih. Jangan kecew akan dia. Dia mempertaruhkan segalanya.”

Rendi menyadari, Naya tidak ada karena dia sedang dipersiapkan untuk ritual itu. Dia sedang menunggu Rendi di rumahnya!
Tepat pada saat itu, sebuah teriakan keras memecah keheningan malam.

Teriakan itu berasal dari Balai Desa, dari arah yang sama dengan rumah Naya.
“Tolong! Aku tidak mau! Ayah!”
Itu adalah Naya.

Ibu Naya terkejut. "Naya! Kenapa dia berteriak?!"
Rendi segera mengintip ke celah pintu. Di luar, ia melihat Bapak Naya menyeret Naya menuju Balai Desa. Bapak Naya tampak marah.

“Kau menolak! Kau selalu menolak! Kau tidak mau mela yani Kirimanmu dengan benar!” be ntak Bapak Naya.

Rendi menyadari. Ini adalah bagian dari rencana Naya. Dia sengaja berteriak dan melawan agar Bapak Naya membawanya menjauh dari rum ah.

Ibu Naya segera berlari keluar kamar. “Suamiku! Jangan sentuh dia!”
Pintu ka mar kini dibiarkan terbuka!
“Sekarang, Ren!” teriak Dani.

Rendi, Dani, dan Lisa segera berlari keluar ka mar. Mereka harus berlari cepat ke ru mah Naya.

Namun, di tengah lorong, Pak Tua Gora tiba-tiba muncul di depan mereka. Ia tidak membawa obor, hanya tongkat kayu panjang, tetapi kehadirannya memancarkan anca man yang dingin.
“Kalian mau ke mana, Anak Muda?” desis Gora, suaranya setenang ular berbi sa. “Bukankah kalian harus istirahat untuk besok?”

Gora menunjuk ke arah belakangnya. Di sana, di depan Balai Desa, tampak Bapak Naya dan Ibu Naya sedang berdebat sengit. Naya berdiri diam, menatap Rendi di kejauhan.

Rendi melihatnya. Naya menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingin Rendi datang ke Balai Desa.

Rendi tahu dia harus menuju ru mah Naya, bukan Balai Desa.
“Kami hanya ingin minum air, Pak Gora,” Rendi mencoba bersikap tenang. “Di ka mar kami tidak ada air minum.”

“Air?” Gora tertawa kecil. “Air yang kau cari ada di dalam dirimu, Rendi. Dar ah Murni itu.”

Gora lalu menunjuk tongkatnya ke arah Lisa. “Ambil mereka, penjaga. Mereka harus kembali ke kam ar. Dan Rendi, kau harus ikut aku. Kau harus melihat hasil dari perlawanan.”

Rendi, Dani, dan Lisa segera berbalik dan berlari. Mereka tidak menuju kam ar, tetapi ke arah da pur dan rum ah Naya di belakang.

Gora menjerit marah. “Tangkap mereka! Jangan biarkan Kiriman Terbaik lolos!”
Penjaga yang baru datang segera mengejar mereka. Rendi, Dani, dan Lisa berlari sekencang mungkin, hingga akhirnya mencapai pagar bambu ru mah Naya.

“Di sini! Di balik pagar ini!” seru Rendi.
Mereka melompat pagar. Rendi segera berlari ke pintu kam ar man di. Ia harus memecahkan batu di dasar bak man di dengan da rah Naya.

Saat Rendi masuk ke ka mar man di, ia dikejutkan oleh pemandangan yang membuatnya kaku, Naya sudah ada di sana.

Naya sedang berlutut di samping bak mandi, air mata membasahi waj ahnya, dan tangannya gemetar.

“Rendi! Aku tahu kau akan datang!” isak Naya. “Aku tidak bisa melakukannya! Aku tidak bisa membuat Ayah dan Ibu menjadi korb an!”

Di hadapan Naya, tergeletak par ang berka rat milik Tomi, yang entah bagaimana Naya berhasil ambil kembali dari Ayahnya. Dan di lantai, ada sebotol dar ah, bukan dara hnya, tetapi Dar ah Murni yang ia berikan pada Rendi Botol itu sudah kosong.

Naya telah menggunakan Dar ah Murni itu untuk dirinya sendiri.
Rendi terkejut. "Kau sudah menggunakan dar ah itu? Untuk apa?"

Naya menunjuk ke sebuah ceruk di dinding kam ar ma ndi, tempat kendi air itu berada. Ceruk itu kini terbuka.

"Aku melakukan apa yang harus kulakukan, Rendi. Aku tidak bisa membiarkanmu ma ti," bisik Naya, air matanya bercampur dengan da rah yang mengalir dari tangannya.

“Tapi sekarang, giliranku. Aku adalah kuncinya. Aku harus ma ti di sini agar kau bisa hidup!”

Naya meraih par ang itu, ekspresinya dipenuhi tekad yang meng erikan. Rendi melihat di dasar bak man di, batu lumut itu kini ret ak, dan di ba wahnya, ada lub ang gelap. Naya telah mengaktifkan kuncinya! Namun, sebelum Naya sempat melakukan hal yang tak terpikirkan, Tomi tiba-tiba ma suk ke ka mar ma ndi.

Waj ahnya tidak kosong lagi, tetapi dipenuhi kesedihan dan penye salan. "Aku tidak akan membiarkanmu melakukannya, Naya," bisik Tomi.

Tomi mengayunkan par ang itu, bukan ke Rendi, tetapi ke batu retak di dasar bak ma ndi. Batu itu pecah, memperlihatkan luba ng ge lap itu. "Lari! Ini jalanmu!" te riak Tomi.

Di luar, Rendi mendengar ter iakan Pak Tua Gora yang mendekat. Mereka hanya punya waktu beberapa detik!

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/169d43d7-d7c3-4142-b050-9aedb05effd5?af=d68e12de-137f-4b4c-96ce-aed22ca326f1

“Kisah selanjutnya hanya di aplikasi KBM”

Judul : TUMBAL TRADISI LELUHUR
Penulis : Lyra aulia SKMM

(6) "Kenapa kamu tega sama sua mi sendiri? Kamu sengaja mau buat ma lu aku?!" teri ak Mas Riko saat pa nik semua akses k...
19/12/2025

(6) "Kenapa kamu tega sama sua mi sendiri? Kamu sengaja mau buat ma lu aku?!" teri ak Mas Riko saat pa nik semua akses ke ua ng an dan posisi di kantor pabrik aku lepas.

"Tega?! Nggak. Aku cuma bu ang sam pah pada tempatnya!!" gertak ku membuat Mas Riko me lo tot.

________

Langit sore mulai redup ketika mobilku meluncur ke arah rumah Om Adnan. Tempat itu menjadi pelabuhan sementaraku, tempat perlindungan yang penuh ketenangan di tengah ba dai yang sedang menga muk dalam hidupku. Dan entah kenapa, baru kali ini dalam waktu lama aku merasa sedikit tenang. Tenang karena aku tahu, aku sudah mengambil langkah yang benar.

Begitu mobilku sampai di halaman rumah, aku melihat dua orang berbadan teg ap berdiri di depan pa gar. Mereka berseragam biru tua dengan badge kecil bertuliskan nama perusahaan keamanan swasta.

Satpam.

“Bu Adriana?” tanya salah satu dari mereka, sambil membungkuk kecil.

“Iya. Kalian siapa?” Aku masih bingung. Aku lupa kalau kemarin minta mencari satpam.

“Kami dikirim oleh Pak Adnan. Mulai hari ini, kami ditugaskan menjaga properti milik Ibu, termasuk rumah utama di Kemang. Kalau ada perintah pengu si ran atau pencegahan masuk, tinggal sampaikan saja pada kami," jelasnya secara singkat kepadaku. Bagus, Mas Riko akan makin kalang kabut kalau ada petugas keamanan.

Aku mengangguk dan mel em par pandangan penuh rasa hormat pada keduanya. “Terima kasih. Kalian sangat membantu.”

“Om,” sapaku sambil duduk di seberangnya.

“Semua sudah berjalan sesuai rencana. Pabrik, rumah utama, dan akses ke re ke ning sudah diamankan. Jangan khawatir, satpam yang Om pasang itu mantan mil iter. Riko nggak akan bisa seenaknya datang dan bikin ke ri but an.” Ternyata Om Adnan sangat mengerti dan memperhatikan aku.

Aku menarik napas lega. Namun, seolah semesta tahu aku belum bisa benar-benar istirahat, ponselku kembali berdering.

Mas Riko.

Aku menatap layar itu sebentar. Rasanya campur aduk antara rasa mu ak, ma rah, le lah. Mau tak mau, aku angkat juga telepon itu.

“Kenapa lagi, Mas?” tanyaku dengan jen gah.

[Adriana… sayang… aku mohon, dengar aku dulu.] Mas Riko masih tidak tahu ma lu. Masih menyebutku sayang padahal sudah terbo ngkar semua hal bu suk yang dia lakukan.

“Mas, berhenti panggil aku ‘sayang.’ Hentikan semua sandiwara ini. Aku cap ek pura-pura percaya.” Aku merasa mu ak dengan ucapannya.

[Aku ngerti kamu ma rah. Tapi ini semua cuma salah paham, Adriana. Aku... aku ke mall itu bukan buat jalan-jalan sama siapa-siapa. Aku beneran ada urusan penting.]

Aku menahan napas, mencoba tidak mele dak dulu.

“Mas, aku udah lihat sendiri siapa yang keluar dari mall. Wajahnya ku sut, seperti baru habis rib ut. Nita, kan?”

[Itu... itu bukan seperti yang kamu kira. Nita cuma kebetulan ketemu ....]

“Mas!” pot ongku. “Berhenti bikin alasan. Kamu pikir aku bo doh? Kamu pikir aku nggak tahu ua ng siapa yang kamu pakai buat bay arin makan me wah mereka, buat beliin barang-barang ma hal mereka? Kamu pikir aku nggak tahu dari mana datangnya tran sfer ke rek en ing DN itu?” Aku benar-benar em osi.

[Adriana, aku ke pabrik barusan, tapi kartu aksesku nggak bisa dipakai. Aku nggak bisa masuk! Kamu apain, sih? Itu kantor yang aku kelola!]

Aku tertawa dingin. Bukan karena lucu, tapi karena ke sal yang terlalu dalam.

“Ya, Mas. Memang nggak bisa. Karena kamu udah nggak punya hak lagi di sana. Aku ca but semua otor isasi kamu. Kamu bukan karyawan, kamu bukan manajer. Kamu bahkan bukan su amiku lagi. Kamu cuma… pengkh ianat yang udah terlalu lama aku biarkan hidup en ak pakai ua ngku.”

[Tapi... tapi aku yang bangun semua cabang itu! Aku yang kerja dari pagi sampai malam buat pabrik itu!]

“Kerja? Mas pikir aku nggak tahu kamu cuma datang ke kantor kalau lagi mood? Mas pikir aku nggak tahu kalau rapat-rapat penting kamu wakilkan? Kamu pikir bikin satu dua cabang cukup buat nutupin semua kelakuan kamu di belakangku?!”

[Semua ini nggak adil, Adriana. Kamu terlalu ker as. Semua orang bisa sal ah! Lagi p**a, kamu cuma asal nud uh, nggak ada bu kti sama sekali!]

“Mas, ini bukan tentang kesalahan. Ini tentang peng khia na tan berulang yang kamu lakukan sambil terus pasang wajah manis di depanku. Aku nggak bu ta, Mas. Aku cuma terlalu lama diam. Kamu tanya bukti? Udah banyak bukti!" Aku mencoba sabar, tetapi sabarku sudah hilang. Aku mu ak. Kenapa Mas Riko masih menganggap aku hanya asal tuduh?

[Trus kamu mau apa sekarang? Cer aiin aku? Han curin semuanya?]

Aku mengangguk meski dia tidak bisa melihat. “Iya, Mas. Itu yang akan terjadi. Kamu akan kehilangan rumah, pabrik, dan semua akses keu angan yang selama ini kamu salahgunakan. Kamu akan tahu rasanya diabaikan dan ditendang keluar seperti yang kamu lakukan padaku secara diam-diam selama dua tahun terakhir.”

[Adriana... tolong... jangan gini. Kita bisa bicara baik-baik. Aku masih sayang sama kamu. Aku...]

Klik. Aku menutup telepon tanpa satu kata lagi.

Om Adnan mengangkat alis. “Kamu nggak apa-apa?”

Aku menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Nggak apa-apa, Om. Aku cuma… akhirnya benar-benar sadar betapa jauh aku membiarkan dia melangkah melewati batas.”

“Bagus. Karena mulai sekarang, kamu harus ingat satu hal, kamu berhak untuk bahagia, tanpa diren dahkan oleh siapa pun. Termasuk su ami yang menghia nati kepercayaan.” Om Adnan pun me ne puk bahuku.

Aku mengangguk. Lelahku mulai berganti menjadi kekuatan. Pikiranku semakin jernih. Dan untuk pertama kalinya, hatiku yakin, ini bukan akhir. Ini awal.

Awal dari hidup yang tidak lagi bergantung pada seseorang yang tidak pernah tahu cara mencintaiku dengan benar.

Besok, aku akan ke pabrik. Akan ada pengumuman resmi. Biar semua orang tahu, bahwa Mas Riko bukan lagi bagian dari sistem. Dan kalau perlu, aku akan pertemukan semua simpanannya dalam satu ruang.

Biar mereka tahu... mereka bukan satu-satunya kor ban ke bo ho ng an. Mereka juga pelaku.

Dan aku? Aku bukan lagi perempuan yang bisa mereka in jak-in jak. Siap-siap aku kembalikan ke asalmu, Mas!

Mas Riko itu mahasiswa bea sis wa saat awal bertemu denganku. Dia kakak tingkat. Dua semester di atasku. Keluarganya juga pas-pasan.

Aku bersama dia mencoba untuk meraih impian. Mewujudkan kesuksesan yang dulu dia sering ucapkan. Aku yang kehilangan orang tua, jadi bergantung soal perasaan padanya.

Kami menikah setelah semua berjalan dengan baik. Tiga tahun aku urus pabrik. Setelah menikah, Mas Riko yang menggantikan semuanya.

Jadi, semua cinta, impian, dan harapan yang dibangun. Semua yang dibangun telah dihan curkan dengan menghadirkan simpanan simpanan suamiku.

Mas, aku sudah tidak mau mengenalmu. Hari ini juga para satpam akan us ir kamu dari rumah. Mem bu ang semua barang-barang milikmu, pun juga milik Nita. Lalu, aku akan urus Resya. Orang tuanya harus tahu seberapa bu suk kelakuan Resya.

Aku sudah tak mau tahu dengan semua penjelasan. Aku akan tun tut kalian semua dengan jer atan hu k*m. Tidak ada satu pun wa nita yang mau diseli ngkuhi, termasuk aku!

_______

Judul: MEMBALAS SUAMI SELINGKUH
Penulis: Rens09
Baca selengkapnya di KBM yaa

Ketika suamiku kepergok sedang berbuat me sum, aku diam. Diam-diam merekam aktivitas mereka dan kupertontonkan di hadapa...
19/12/2025

Ketika suamiku kepergok sedang berbuat me sum, aku diam. Diam-diam merekam aktivitas mereka dan kupertontonkan di hadapan semua relasi bisnisnya. Siap-siap jatuh misqueen!

***

"Marwa!" Seru Bu Salma.

Marwa yang tengah berada di dapur melirik wanita itu dengan ekor matanya. "Ouw ... ternyata kalian sudah bangun? Bagaimana tidurnya? Kelihatannya kalian semalam tidur nyenyak sekali, ya! ucap Marwa menyindir.

Bu Salma menatap nyalang. Bagaimana bisa tidur nyenyak di dalam kamar pengap tanpa pendingin ruangan, dan dengan kasur tipis begitu?

"Oya, gimana ma lam perta ma dengan istri baru kamu itu, Mas? Ups! Aku lupa. Bukankah kalian memang sudah sering melakukannya, ya? Lagip**a untuk saat ini gimana mau melakukannya, secara kondisi kamu ...." Ucapan Marwa terjeda. Ia memindai kondisi fisik suaminya yang tengah duduk di kursi roda dengan kedua kaki yang lum puh.

"Yang sabar, ya, Alena!" celetuknya menge jek.

"Cukup, Marwa! Kamu benar-benar keterlaluan. Kamu sengaja mau mempermainkan kami?" Bu Salma mulai naik pitam.

"Mas juga mau tanya, kemana semua perabotan yang ada di ka mar itu, Marwa? Bukankah itu sudah kita persiapkan untuk calon an ak-an ak kita nanti?" Ammar pun mulai protes.

"Mbak, kenapa, sih, tega banget perlakukan kita seperti ini? Aku jadi nggak enak tidur, Mbak, semalam. Kasurnya tipis banget. Badanku tambah sakit dan pegal-pegal ini," keluh Kania.

Alena yang ada di belakang kursi roda Ammar hanya menunduk. Ia tak pernah berani bersuara jika berada di hadapan Marwa. Namun, s**a berbuat culas di belakangnya.

Alih-alih merespons aksi protes mereka, Marwa mengambil beberapa bahan masakan mentah yang siap olah dari lemari pendingin, lalu meletakkannya di atas table island kitchen.

"Daripada kalian menanyakan hal-hal yang nggak penting, mendingan kalian sekarang olah bahan-bahan ini menjadi makanan yang lezat. Kalian pasti sudah lapar, kan?" ujar Marwa. "Sekalian nanti beresin rumah, ya! Terserah mau bagaimana kalian membagi tugasnya. Yang penting semua lantai dan perabotan yang ada di lantai atas dan bawah harus bersih dari debu!"

Mereka saling bertukar pandang. Semakin kesal saja dengan kelakuan Marwa yang makin semena-mena.

"Apa lagi ini, Marwa? Kamu mau jadikan kami pembantu di rumahmu? Kurang ajar sekali kamu!" berang Bu Salma. "Kamu sudah melanggar kesepakatan tau, nggak?"

"Melanggar? Bukannya Marwa sudah mengizinkan kalian tinggal di sini dan menanggung kebutuhan hidup kalian? Lalu apanya yang melanggar, Ma?"

"Iya, tapi Mbak Marwa curang! Andai saja dari awal Mbak katakan kalau nanti kita di sini akan jadi babu, kita nggak akan mau lah turuti kemauan Mbak yang semena-mena itu. Enak saja!" timpal Kania.

"Oh, jadi sekarang nyesel, nih? Ya, terserah, sih. Tinggal pilih saja, mau tinggal di sini atau di kolong jembatan!" pungkas Marwa.

"Hahaha! Marwa ... Marwa ...!" Bu Salma tergelak. "Mungkin kamu lupa, ya, kalau Mama masih punya rumah? Lebih baik kami tinggal bareng-bareng di rumah sederhana itu, daripada tinggal bersama kamu di rumah besar ini, tapi harus jadi babu kamu seperti ini. Mama nggak sudi!"

"A-apa? Jadi kalian mau kembali ke rumah itu? Jangan, d**g, Ma. Jangan tinggal di sana! Marwa mohon!" Marwa mulai bersandiwara seolah tak rela melepas mereka.

"Pokoknya kami akan tetap p**ang ke rumah Mama. Biarlah kami hidup kekurangan daripada harga diri kami diinjak-injak seperti ini!" ucap Bu Salma lagi. Lalu mereka pun bergegas pergi ke kamar masing-masing.

Tak lama mereka keluar lagi dengan membawa travel bag berisi barang-barang mereka. Dan tanpa pamit mereka melewati Marwa begitu saja.

"Jadi beneran, nih, kalian mau balik ke rumah itu?" tanya Marwa. Mereka tak memedulikan dan terus saja berlalu. "Jangan sampai kalian menyesal, karena kesepakatan bisa batal dan aku nggak akan menerima kalian lagi di rumah ini!"

Mereka masih tak menghiraukan. Menganggap ucapan Marwa hanya anca man kosong belaka.

"Terserah! Pokoknya aku sudah mengingatkan kalian, ya! Jika terjadi apa-apa, aku nggak mau tau. Jangan menyesal!" pekik Marwa.

Ia memandangi kepergian orang-orang muna fik itu dengan senyuman si nis. 'Belum tau saja mereka apa yang telah aku lakukan pada rumah itu!'

SPOILER

AIR MATA SUAMI DAN MERTUAKU - Chairatun Hisan
Eksklusif di KBMApp

Hati is tri mana yang tak nye ri, demi bisa meni kah dengan cinta pertamanya, su a miku rela berlu tut. Dia bahkan memin...
19/12/2025

Hati is tri mana yang tak nye ri, demi bisa meni kah dengan cinta pertamanya, su a miku rela berlu tut. Dia bahkan memintaku mela mar wan ita pujaannya

# #2 # #

“Dik, Akang sudah membuat keputusan.”

Pagi ini setelah diskusi dua minggu yang lalu Kang Faiz mengatakan hal yang membuatku menghentikan aktivitas membersihkan meja makan.

Me ne lan lu dah yang terasa pah it, aku berkata, “Apa pun keputusan Akang, aku ikut.” Bergegas kubawa tumpukan piring kotor be kas sarapan pagi ini ke dapur dan meletakkannya pada kitchen sink.

“Dik,” panggilnya menghentikan langkahku. “Akang, akan me lamar Lubna lusa,” ujarnya memperjelas.

“Iya.”

“Hanya iya?”

“Apa aku juga harus mempersiapkan lama ran untuknya?” sindirku.

“Enggak begitu, Dik. Bukankah Adik bilang sudah ikhlas?”

“Memang. Akang lupa bahwa aku juga bilang ikhlas adalah masalah hati?”

“Apa itu artinya sebenarnya Adik enggak ikhlas?”

“Ikhlasku bukan halangan untuk Akang agar tidak menikah lagi, kan?”

“Dik, tapi Adik sudah memberi izin!”

“Lalu? Apa Akang juga sudah memenuhi janji?”

“Janji?”

“Akang bahkan lupa pada janji Akang sendiri,” geramku.

“Janji yang mana, Dik?”

“Di mata Akang aku memang benar-benar enggak pernah ada, ya?” tanyaku sembari membalikkan ba dan. “Janji akan belajar menerima kehadiranku, janji untuk mulai belajar mencintaiku, Kang! Lupa kan?”

“Ak—“

“Apa harus menunggu perni ka han itu terjadi dulu, baru Akang akan menepati janji?”

“Deng—“

“Aku enggak yakin janji itu bisa ditepati, belum apa-apa aku merasa jarak kita makin jauh. Jadi, lakukan apa yang Akang mau, akan aku ikuti.” Aku mengayun langkah. “Satu lagi, bicaralah pada an ak-an ak, buat mereka mengerti.”

“Bantu Akang untuk bicara pada an ak-an ak, Dik,” pintanya.

“Tidak. Itu tugas Akang.”

“Tapi gimana caranya, Dik?”

“Pikirkan sendiri. An ak-an ak harus tau sebelum Akang mela mar dia.”

Tangis Dalam Doa – Adfa Al Yakub

TAMAT di K B M App. Hanya 27 bab

Aku ditugaskan mencuci dar ah nif as bekas persalinan maduku. Mereka pikir, aku akan jij ik dan terhi na. Mereka salah, ...
19/12/2025

Aku ditugaskan mencuci dar ah nif as bekas persalinan maduku. Mereka pikir, aku akan jij ik dan terhi na. Mereka salah, inilah momen yang sudah lama ku nantikan.

Bab 6

Laras melangkah pelan, suara sandalnya menyapu lantai semen yang dingin. Ia mengenakan daster batik lusuh yang agak kebesaran karena tu buh kurusnya. Namun di mata Ferdy malam itu, Laras terlihat seperti bidadari yang turun di tengah kegelapan kampung.

Aroma tu buh Laras menguar, bukan bau sabun batangan murah yang biasa dipakainya, melainkan aroma samar bunga kantil yang anehnya terasa begitu mema bukkan bagi indra penciu man Ferdy.

“Kamu gak bisa ti dur, Bang?” Laras meletakan secangkir kopi hitam pada meja di pojok bale, yang tentu saja sudah ditaburi serbuk hassrat.

“Aku gak bisa t i dur, agak bising dari k a m a r Sekar. Duduk sini, Ras,” Ferdy menepuk ruang kosong di sebelahnya pada bale-bale bambu itu.

Laras menurut. Ia duduk dengan jarak yang sopan, tetapi cukup dekat hingga Ferdy bisa melihat tu lang leher yang menon jol sekali.

“Kamu kurusan sekarang, Ras.” Ferdy menatap tak percaya, gadis secantik Larasati yang pernah banyak dikejar dan dipuja para karyawan pabrik kini kurus kerempeng.

Laras tersenyum sedikit getir. “Hidup susah bikin da gingku habis dimakan pikiran, Bang.”

Ferdy memalingkan wajahnya, tak tega. Semua ini pasti karena ulah adiknya dan penghuni rumah semi permanen ini. Ia menghela n apas panjang, menerawang ke langit gelap, berusaha mengalihkan obrolan agar wanita di sisinya tidak lantas meratapi na sib.

“Ingat nggak, Ras? Dulu tiap jam istirahat gudang, aku selalu cari alasan buat ngecek stok di pos kamu. Padahal laporannya udah beres.”

“Ingat, Bang,” sahut Laras pelan.

“Abang Kepala Gudang yang paling g alak kalau hitungan karung gula selisih satu saja. Tapi Abang juga yang paling rajin beliin es teh manis buat karyawan sepertiku.”

Ferdy meraih cangkir kopi hitam yang masih mengepul, lalu menyeruputnya dan membiarkan tangannya menenteng cangkir keramik tersebut.

“Itu masa-masa paling berkesan, Ras. Sebelum semuanya jadi rumit,” Ferdy tertawa getir.

“Rumit?” Laras melirik sesaat.

Sejak kamu mengundurkan diri, kondisi gudang seperti kehilangan nya wanya, sepi. Lebih parah lagi, beberapa bulan kemudian, pabrik itu mengalami kolaps. Kinerja operasional jauh dari kata stabil, bagian manajemen sering marah-marah, inventaris gudang mengalami penyusutan drastis secara serentak. Volume produksi gula merosot taj am hingga terpaksa menghentikan proses distribusi.”

Ferdy menghembuskan na pas lelah, merasakan kembali energi negatif di masa-masa sulit itu.

“Dan itu semua terjadi setelah kamu mengundurkan diri, Laras. Jadi, kamu di pabrik gula seperti magnet rejeki, setelah kamu pergi semua gak sama lagi.”

“Abang ini berlebihan, mungkin cuma kebetulan aja.”

“Kamu tau, aku pernah nyariin kamu ke mana-mana. Aku tanya HRD, tanya teman-teman satu line produksi yang tau tempat kontrakan kamu, tapi sayangnya nggak ada yang tahu kamu ke mana. Kamu kayak hilang ditelan bumi.”

Laras menunduk, memainkan ujung dasternya. Ia membiarkan hening menggantung sejenak, membiarkan rasa penasaran Ferdy membengkak. Di dalam hati, Laras merapal ma ntra bisu, bekerjalah serbuk hassrat, buat laki-laki ini terus memikirkan aku dan na sibku di sini ke depannya.

“Sekarang kita ketemu di sini, Bang. Sudah ditakdirkan oleh-Nya, pasti ada maksud di balik pertemuan kita ini.”

“Tapi pertemuan kita ini tidak lah menyenangkan, Ras.” Kembali pria itu memerhatikan wajah Laras yang menatap kosong ke depan.

“Bagaimana bisa adikku masuk ke rumah tangga kalian?”

Laras tersenyum, “Itu terjadi waktu aku sakit parah. Mas Rama bahkan tak pernah izin menikah lagi, tau-tau dia bawa adikmu ke rumah ini dan … menjadi yang paling diprioritaskan oleh suami dan mertuaku. Mas Rama bilang alasannya karena aku man dul, padahal aku pernah hampir ngasih mereka keturunan. Memang dasarnya mereka cuek, mereka tak peduli sampai aku kehilangan ba yiku dalam dekapanku sendiri.”

Laras menoleh, menatap manik mata Ferdy lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca, membuat hati Ferdy mencelos.

Tubuh Ferdy mene gang. Ra hangnya menge ras.

“Bajingan!” umpat Ferdy tertahan. Tangannya terkepal hingga buku-bukunya memutih.

Na pas Ferdy memburu. Ia merasa dibodohi.

“Ras, demi Tuhan ... aku nggak tau. Rama bilang ke keluarga kami kalau dia duda. Dia bilang istrinya sudah lama pergi ninggalin dia. Kalau aku tahu Rama masih punya istri, apalagi istri itu kamu.” Ferdy menggantung kalimatnya, menelan ludah yang terasa pahit.

“Aku pasti cegah pernikahan itu. Aku nggak akan biarkan adikku jadi perusak rumah tangga orang, apalagi merusak hidup kamu.”

Laras tersenyum dalam hati.

Ia menyentuh pung gung tangan Ferdy yang terkepal di atas bale-bale. Sentuhan itu dingin, tapi bagi Ferdy rasanya seperti sengatan listrik yang menjalar sampai ke ubun-ubun. E nergi pe let dari serbuk hassrat yang sudah menda rah da ging dalam tubuh Ferdy mulai bekerja lebih agresif.

“Sudahlah, Bang. Nasi sudah jadi bubur. Sekar sekarang nyonya di sini. Aku cuma numpang. Lihat kan tadi? Sekar bahkan menuduhku mera cuni makanannya. Padahal aku cuma mau berbakti.”

“Jangan ngomong gitu,” potong Ferdy cepat. Ia membalikkan tangannya, menggenggam jemari Laras erat-erat. Tatapannya berubah, bukan lagi tatapan teman lama, melainkan tatapan seorang lelaki yang terje rat obsesi.

“Mulai sekarang, nggak ada yang boleh nyakitin kamu, Ras. Nggak Sekar, nggak juga Rama. Siapapun yang bikin kamu nangis, berhadapan sama aku.”

Laras tidak menarik tangannya. Ia membiarkan lelaki itu masuk ke dalam perangkapnya. Dari dalam rumah, samar-samar terdengar suara Sekar yang merengek kesakitan meminta air, disusul hentakan Rama yang turun dari ranjangnya.

Tak membuat Ferdy peduli pada suara kegaduhan itu lagi. Fokusnya hanya pada wanita di sisinya. Wajah Laras di bawah sinar rembulan tampak begitu memikat, menyedot seluruh kewa rasannya.

“Kamu butuh apa, Ras? Bilang sama aku. U ang? Modal usaha? Atau kamu mau aku ha jar Rama sekarang juga?” tawar Ferdy memba bi buta.

Laras menggeleng pelan, senyum misterius tersungging di bi birnya.

“Aku nggak butuh u angmu sekarang, Bang. Aku cuma butuh seseorang ada di pihakku.”

Ba tin Laras melanjutkan. Aku gak bisa bekerja sendiri, aku butuh bantuanmu untuk kehancuran mereka yang pernah mengusikku, kelak saat semua den dam terbalaskan, yang pernah terenggut akan kembali padaku.

*

Subuh sekali, Laras bangun lebih dulu, dengan kaki yang masih sakit karena keram. Ia melangkah sedikit pincang menuju ka mar mandi, mencari da rah ni fas Sekar yang mungkin terdapat di celana dalam, kain lap, atau pembalut. Bagaimanapun caranya ia harus mendapatkannya untuk ia serahkan lagi pada Mbah Yumi.

“Nyari apa kamu, Ras!” Entah sejak kapan Rama berdiri di ambang pintu ka mar mandi.

“Cucian Sekar, Mas. Mumpung pagi, aku mau nyuci ke kali.”

“Ini yang kamu cari.” Rama menyerahkan satu stel baju tidur Sekar berikut celana dalam dan pembalut yang masih melekat di sana.

“Cuci baju memang harus dari subuh, karena sekarang musim hujan. Berlama-lama lah di kali, sampai Ferdy pergi dari rumah ini!”

***

On Going di KBMApp.

Judul : Pesu gihan Da rah N ifas

Penulis : AishaPena

L i n k cerita :

“Aku membawa Ayuna ke sini, karena dia adalah...”​Pintu ruang I G D tiba-tiba terbuka, dan seor ang Dokter muda keluar d...
18/12/2025

“Aku membawa Ayuna ke sini, karena dia adalah...”

​Pintu ruang I G D tiba-tiba terbuka, dan seor ang Dokter muda keluar dari sana, memo tong perkataan Kakek Jaya yang menggan tung. Semua or ang di sana, termasuk Papa dan Mama Nike yang tadinya te gang, lang sung terdiam.

​Kakek Jayadiningrat lang sung bergerak cepat, mening galkan Papa yang masih mema tung.

​“Bagaimana keadaan Ayuna, Dokter?” tanya Kakek dengan nada yang bergetar penuh harap.

​Dokter itu menghela napas, membuat hatiku mence los, begitupun Kakek, sangat terlihat dari raut wajahnya.

​“Syukurlah, pasien sudah sadar,” jawab Dokter, dan seketika itu juga Aku dan Kakek Jaya bernapas lega. “Namun, kondisinya saat ini belum stabil, beliau mengalami hipo ter mia berat karena kedinginan yang ekstrem. Kami sudah berusaha menstabilkan suhu tu buhnya. Untuk sementara, beliau harus tetap dira wat in ten sif."

​“Ya Allah, tapi alhamdulillah, Mama sudah sadar," ucapku lirih, air mataku kini kembali mengalir, kali ini air mata syukur. Melihatku menangis, Pangeran lang sung menggeng gam tanganku, berusaha memberikan keku atan.

​“Dokter, apakah saya boleh menjenguknya sekarang?” pinta Kakek Jaya tanpa ra gu, sorot matanya begitu memohon.

​“Boleh, silakan. Tapi hanya maksimal tiga o rang yang boleh masuk, untuk menjaga kondisi pasien,” ujar Dokter.

​“Terima kasih, Dok. Saya dan Lintang akan masuk duluan,” jawab Kakek Jaya antusias, sepertinya Kakek Jaya ingin segera bertemu dengan Mama.

​“Tunggu dulu!” sergah Papa dengan suara ker as, kakinya sudah melangkah maju. “Saya ini suaminya, tentu saja saya yang berhak masuk duluan. Dan kamu, Bapak tua. Kamu itu bukan siapa-siapa. Jangan mentang-mentang kamu or ang ka ya, bisa seenaknya saja."

​Kakek Jaya menoleh pada Papa dengan tatapan menghi na. “Kamu ingin masuk duluan karena mempunyai gelar suami, tapi kamu yang hampir membu nuh istrimu sendiri. Mulai sekarang kamu tidak punya hak apa pun untuk menjenguknya, Praja! Karena sebentar lagi aku pastikan, kamu akan berce rai dari Ayuna!”

​“Terserah kamu mau ngomong apa, sampai kapanpun saya tetap suaminya. Kamu itu hanya or ang asing yang sok menjadi pahlawan hanya karena merasa k aya!” Papa benar-benar emo si, wajahnya memerah.

​“Sudah, Pa, jangan ri but. Dokter bilang hanya tiga or ang, kita harus cepat!” bisik Mama Nike, mena rik lengan Papa.

​“Aku saja yang masuk duluan, Kek. Aku mau lihat Mama,” ucapku pada Kakek Jaya, memo tong perdeb atan mereka.

​Kakek Jaya mengangguk setuju. “Baik, Lintang. Kamu duluan. Kakek di belakangmu setelah ini.”

​Aku melangkah masuk dengan hati-hati. Aroma obat langs ung menyambutku. Di ran jang, Mama terbar ing lemah dengan se lang infus terpasang di tangannya. Wa jahnya masih pucat, tetapi matanya sudah terbuka.

​“Mama…” Aku lang sung merangkak ke sisi ran jang, memelu k Mama dengan isak tangis tertahan. “Ma, syukurlah Mama sudah sadar. Aku khawatir banget melihat kondisi Mama."

​“Lintang, kamu tenang saja, Mama tidak apa-apa. Kamu sendiri bagaimana, kenapa kamu jalannya sedikit pin cang begitu, dan itu, wa jahmu ada lu ka,” tanya Mama, suaranya sangat lemah. Mama malah begitu mengkhawatirkanku.

​“Aku enggak apa-apa, Ma. Jangan khawatir, yang penting sekarang Mama sudah sadar. Aku janji, setelah ini, kita akan segera keluar dari ru mah Papa yang sudah seperti ne ra ka itu, Ma. Aku tidak mau Mama sa kit lagi,” jawabku sambil mengec up kening Mama.

​Tiba-tiba, pintu terbuka. Rupanya Kakek Jayadiningrat yang masuk, langkahnya tergesa seperti tidak sabar ingin segera bertemu dengan Mama.

Namun, saat Mama melihat kedatangan Kakek Jaya, mata Mama lang sung membola, terlihat sangat kaget, dan menggeleng seperti tidak percaya.

​“Lintang, Kakek sudah datang,” bisik Mama, membuatku kaget luar biasa. Apakah Mama kenal juga dengan Kakek Jaya, atau Mama hanya sedang berhalusinasi saja, karena pengaruh ob at. suara Mama terdengar tercekat, dan air mata lang sung menetes dari sudut matanya.

​Kakek Jaya berjalan mendekat ke sisi ran jang. Ia menggeng gam tangan Mama er at -er at, air mata Kakek tum pah.

​“Ayuna ...” Kakek Jaya tak sanggup berucap. Ia hanya bisa mengec up tangan Mama berulang kali.

Air mata ​Mama bertambah deras melihat perlakuan Kakek Jaya. Aku jadi tambah bingung, mereka ada hubungan apa?

​Belum selesai keterkejutanku melihat semua ini, pintu kembali terbuka, dan munculah Papa dengan wa jah bengis.

​“Cukup dramanya! Ayuna, kamu harus segera p**ang sekarang juga!” perintah Papa tanpa basa-basi, tatapannya ta jam menatap Kakek Jaya.

​Mama lang sung menoleh ke arah Papa dengan tatapan tak percaya, bahkan Papa tidak menanyakan keadaan Mama. Aku semakin yakin, kalau aku harus secepatnya pergi dari ru mah itu. Aku juga rela, kalau Mama harus berce rai dari Papa, mungkin itu lebih baik.

​“Pulang?!” seru Kakek Jaya, bangkit berdiri, tub uhnya lang sung menghalangi Papa agar tidak mendekat. “Istrimu ini baru saja melewati masa kri tisnya, dan kamu menyuruhnya p**ang?!”

​“Memangnya kenapa? Bia ya ru mah sa kit ma hal, kondisi keua nganku sedang tidak baik-baik saja," ba las Papa a cuh.

​“Mas,” Mama akhirnya ang kat suara, terdengar sangat lem ah, dan penuh keke ce waan.

​“Kamu dengar baik-baik, Praja!” bent ak Kakek Jaya. “Aku yang akan membia yai seluruh pera watannya, bahkan sampai dia sembuh total. Jadi, kamu tidak perlu khawatir tentang ua ng pengob atan Ayuna sedikit pun!”

​Papa tertawa si nis. “Hei, Bapak Tua! Jangan sok hebat, ya. Ayuna itu istriku, dan aku yang bertanggung jawab atas dia!”

Kakek Jaya menunjuk Papa dengan jari telunjuknya, ama rahnya sudah di ubun-ubun. “Tanggung jawab apa yang kamu maksud, Praja?! Kamu membiarkan istrimu sa kit, kedinginan, dan hampir ma ti di gubuk belakang ru mahmu sendiri, dan itu semua adalah ulahmu! Itu, yang kamu sebut tanggung jawab, hah?!"

​Papa terdiam sesaat, tetapi kemudian matanya kembali menyalang.

​“Semua itu karena dia mem bang kang dan mela wanku. Aku suaminya, wajar jika aku menghu k*mnya!”

​Kakek Jaya menggelengkan kepalanya. Ia menatap Ayuna dengan tatapan lembut, lalu beralih ke Papa dengan tatapan yang penuh keben cian.

​“Aku sudah terlalu lama membiarkan Ayuna bersamamu, Praja. Aku salah besar, telah membiarkan Ayuna pergi denganmu. Itu semua karena dulu dia memohon dengan air mata, dia bilang kamu adalah cinta sejatinya, dan kamu akan menjaganya dengan baik. Tapi nyatanya, kamu telah menyik sanya selama ini.”

​Kakek Jaya mena rik napas dalam-dalam, ia maju selangkah. Jaraknya hanya beberapa inci dari waj ah Papa.

​“Sekarang kamu tahu, Praja, kenapa aku begitu peduli? Kenapa aku berani membo bol tembok ru mahmu hanya untuk menyelamatkan Ayuna? Kenapa aku bersi ke ras membia yai semuanya?” Kakek Jaya tersenyum dingin, senyum yang merun tuhkan kesom bongan Papa seketika.

​Kakek Jaya menatap Mama yang sedang menangis, kemudian menatapku yang terpaku menyaksikan drama keluarga yang belum aku pahami sedikitpun.

​Kakek Jaya kembali menoleh pada Papa, suaranya menggele gar, dan kata-katanya mengakhiri semua rasa penasaranku kenapa Kakek begitu peduli pada kami.

​“Aku membawa Ayuna ke sini karena dia adalah... Putri kan dungku! Aku adalah Ayahnya Ayuna! Dan kamu, Praja Suseno, telah berani menya kiti putriku. Setelah ini, kamu akan segera tahu akibatnya!”

Degh!!!

​Bersambung-

(10)
Judul : Du ka Sebelum Akad
Penulis : Cahaya terang
Cerita ini tayang eksklusif hanya di K B M app

Address

Purworejo

Telephone

+6281578051081

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Dwi Lestari Zulkarnain posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Dwi Lestari Zulkarnain:

Share