18/12/2025
“Aku membawa Ayuna ke sini, karena dia adalah...”
Pintu ruang I G D tiba-tiba terbuka, dan seor ang Dokter muda keluar dari sana, memo tong perkataan Kakek Jaya yang menggan tung. Semua or ang di sana, termasuk Papa dan Mama Nike yang tadinya te gang, lang sung terdiam.
Kakek Jayadiningrat lang sung bergerak cepat, mening galkan Papa yang masih mema tung.
“Bagaimana keadaan Ayuna, Dokter?” tanya Kakek dengan nada yang bergetar penuh harap.
Dokter itu menghela napas, membuat hatiku mence los, begitupun Kakek, sangat terlihat dari raut wajahnya.
“Syukurlah, pasien sudah sadar,” jawab Dokter, dan seketika itu juga Aku dan Kakek Jaya bernapas lega. “Namun, kondisinya saat ini belum stabil, beliau mengalami hipo ter mia berat karena kedinginan yang ekstrem. Kami sudah berusaha menstabilkan suhu tu buhnya. Untuk sementara, beliau harus tetap dira wat in ten sif."
“Ya Allah, tapi alhamdulillah, Mama sudah sadar," ucapku lirih, air mataku kini kembali mengalir, kali ini air mata syukur. Melihatku menangis, Pangeran lang sung menggeng gam tanganku, berusaha memberikan keku atan.
“Dokter, apakah saya boleh menjenguknya sekarang?” pinta Kakek Jaya tanpa ra gu, sorot matanya begitu memohon.
“Boleh, silakan. Tapi hanya maksimal tiga o rang yang boleh masuk, untuk menjaga kondisi pasien,” ujar Dokter.
“Terima kasih, Dok. Saya dan Lintang akan masuk duluan,” jawab Kakek Jaya antusias, sepertinya Kakek Jaya ingin segera bertemu dengan Mama.
“Tunggu dulu!” sergah Papa dengan suara ker as, kakinya sudah melangkah maju. “Saya ini suaminya, tentu saja saya yang berhak masuk duluan. Dan kamu, Bapak tua. Kamu itu bukan siapa-siapa. Jangan mentang-mentang kamu or ang ka ya, bisa seenaknya saja."
Kakek Jaya menoleh pada Papa dengan tatapan menghi na. “Kamu ingin masuk duluan karena mempunyai gelar suami, tapi kamu yang hampir membu nuh istrimu sendiri. Mulai sekarang kamu tidak punya hak apa pun untuk menjenguknya, Praja! Karena sebentar lagi aku pastikan, kamu akan berce rai dari Ayuna!”
“Terserah kamu mau ngomong apa, sampai kapanpun saya tetap suaminya. Kamu itu hanya or ang asing yang sok menjadi pahlawan hanya karena merasa k aya!” Papa benar-benar emo si, wajahnya memerah.
“Sudah, Pa, jangan ri but. Dokter bilang hanya tiga or ang, kita harus cepat!” bisik Mama Nike, mena rik lengan Papa.
“Aku saja yang masuk duluan, Kek. Aku mau lihat Mama,” ucapku pada Kakek Jaya, memo tong perdeb atan mereka.
Kakek Jaya mengangguk setuju. “Baik, Lintang. Kamu duluan. Kakek di belakangmu setelah ini.”
Aku melangkah masuk dengan hati-hati. Aroma obat langs ung menyambutku. Di ran jang, Mama terbar ing lemah dengan se lang infus terpasang di tangannya. Wa jahnya masih pucat, tetapi matanya sudah terbuka.
“Mama…” Aku lang sung merangkak ke sisi ran jang, memelu k Mama dengan isak tangis tertahan. “Ma, syukurlah Mama sudah sadar. Aku khawatir banget melihat kondisi Mama."
“Lintang, kamu tenang saja, Mama tidak apa-apa. Kamu sendiri bagaimana, kenapa kamu jalannya sedikit pin cang begitu, dan itu, wa jahmu ada lu ka,” tanya Mama, suaranya sangat lemah. Mama malah begitu mengkhawatirkanku.
“Aku enggak apa-apa, Ma. Jangan khawatir, yang penting sekarang Mama sudah sadar. Aku janji, setelah ini, kita akan segera keluar dari ru mah Papa yang sudah seperti ne ra ka itu, Ma. Aku tidak mau Mama sa kit lagi,” jawabku sambil mengec up kening Mama.
Tiba-tiba, pintu terbuka. Rupanya Kakek Jayadiningrat yang masuk, langkahnya tergesa seperti tidak sabar ingin segera bertemu dengan Mama.
Namun, saat Mama melihat kedatangan Kakek Jaya, mata Mama lang sung membola, terlihat sangat kaget, dan menggeleng seperti tidak percaya.
“Lintang, Kakek sudah datang,” bisik Mama, membuatku kaget luar biasa. Apakah Mama kenal juga dengan Kakek Jaya, atau Mama hanya sedang berhalusinasi saja, karena pengaruh ob at. suara Mama terdengar tercekat, dan air mata lang sung menetes dari sudut matanya.
Kakek Jaya berjalan mendekat ke sisi ran jang. Ia menggeng gam tangan Mama er at -er at, air mata Kakek tum pah.
“Ayuna ...” Kakek Jaya tak sanggup berucap. Ia hanya bisa mengec up tangan Mama berulang kali.
Air mata Mama bertambah deras melihat perlakuan Kakek Jaya. Aku jadi tambah bingung, mereka ada hubungan apa?
Belum selesai keterkejutanku melihat semua ini, pintu kembali terbuka, dan munculah Papa dengan wa jah bengis.
“Cukup dramanya! Ayuna, kamu harus segera p**ang sekarang juga!” perintah Papa tanpa basa-basi, tatapannya ta jam menatap Kakek Jaya.
Mama lang sung menoleh ke arah Papa dengan tatapan tak percaya, bahkan Papa tidak menanyakan keadaan Mama. Aku semakin yakin, kalau aku harus secepatnya pergi dari ru mah itu. Aku juga rela, kalau Mama harus berce rai dari Papa, mungkin itu lebih baik.
“Pulang?!” seru Kakek Jaya, bangkit berdiri, tub uhnya lang sung menghalangi Papa agar tidak mendekat. “Istrimu ini baru saja melewati masa kri tisnya, dan kamu menyuruhnya p**ang?!”
“Memangnya kenapa? Bia ya ru mah sa kit ma hal, kondisi keua nganku sedang tidak baik-baik saja," ba las Papa a cuh.
“Mas,” Mama akhirnya ang kat suara, terdengar sangat lem ah, dan penuh keke ce waan.
“Kamu dengar baik-baik, Praja!” bent ak Kakek Jaya. “Aku yang akan membia yai seluruh pera watannya, bahkan sampai dia sembuh total. Jadi, kamu tidak perlu khawatir tentang ua ng pengob atan Ayuna sedikit pun!”
Papa tertawa si nis. “Hei, Bapak Tua! Jangan sok hebat, ya. Ayuna itu istriku, dan aku yang bertanggung jawab atas dia!”
Kakek Jaya menunjuk Papa dengan jari telunjuknya, ama rahnya sudah di ubun-ubun. “Tanggung jawab apa yang kamu maksud, Praja?! Kamu membiarkan istrimu sa kit, kedinginan, dan hampir ma ti di gubuk belakang ru mahmu sendiri, dan itu semua adalah ulahmu! Itu, yang kamu sebut tanggung jawab, hah?!"
Papa terdiam sesaat, tetapi kemudian matanya kembali menyalang.
“Semua itu karena dia mem bang kang dan mela wanku. Aku suaminya, wajar jika aku menghu k*mnya!”
Kakek Jaya menggelengkan kepalanya. Ia menatap Ayuna dengan tatapan lembut, lalu beralih ke Papa dengan tatapan yang penuh keben cian.
“Aku sudah terlalu lama membiarkan Ayuna bersamamu, Praja. Aku salah besar, telah membiarkan Ayuna pergi denganmu. Itu semua karena dulu dia memohon dengan air mata, dia bilang kamu adalah cinta sejatinya, dan kamu akan menjaganya dengan baik. Tapi nyatanya, kamu telah menyik sanya selama ini.”
Kakek Jaya mena rik napas dalam-dalam, ia maju selangkah. Jaraknya hanya beberapa inci dari waj ah Papa.
“Sekarang kamu tahu, Praja, kenapa aku begitu peduli? Kenapa aku berani membo bol tembok ru mahmu hanya untuk menyelamatkan Ayuna? Kenapa aku bersi ke ras membia yai semuanya?” Kakek Jaya tersenyum dingin, senyum yang merun tuhkan kesom bongan Papa seketika.
Kakek Jaya menatap Mama yang sedang menangis, kemudian menatapku yang terpaku menyaksikan drama keluarga yang belum aku pahami sedikitpun.
Kakek Jaya kembali menoleh pada Papa, suaranya menggele gar, dan kata-katanya mengakhiri semua rasa penasaranku kenapa Kakek begitu peduli pada kami.
“Aku membawa Ayuna ke sini karena dia adalah... Putri kan dungku! Aku adalah Ayahnya Ayuna! Dan kamu, Praja Suseno, telah berani menya kiti putriku. Setelah ini, kamu akan segera tahu akibatnya!”
Degh!!!
Bersambung-
(10)
Judul : Du ka Sebelum Akad
Penulis : Cahaya terang
Cerita ini tayang eksklusif hanya di K B M app