02/12/2025
“Hingga Hujan Berhenti”
Hujan turun sejak pagi, membasahi halaman rumah kayu kecil di pinggir sawah. Di beranda, Rani duduk dengan selimut tipis, menatap jauh ke jalan tanah yang mengarah ke desa sebelah. Sudah tiga tahun Arga pergi merantau, dan sudah tiga tahun p**a ia setia menunggu tanpa tahu apakah lelaki itu akan kembali.
Setiap kali hujan turun, Rani teringat satu janji sederhana:
"Kalau hujan pertama setelah panen, aku p**ang. Apa pun yang terjadi."
Sayangnya, hujan tahun-tahun sebelumnya berlalu tanpa kabar apa pun.
Hari itu, ketika hujan makin deras, bayangan sebuah sepeda tua muncul dari balik kabut. Rani berdiri, dadanya berdebar, mencoba meyakinkan diri bahwa bayangan itu hanya halusinasi akibat rindu yang terlalu lama dipendam.
Namun langkah itu semakin dekat. Sepatu berlumpur. Jaket basah. Wajah yang ia hafal hingga ke garis senyumnya.
Arga benar-benar berdiri di depan beranda.
Rani menutup mulutnya, tak mampu berkata apa-apa. Arga tersenyum dengan mata yang basah bukan karena hujan.
“Aku p**ang, Ran,” katanya lirih. “Sekali pun dunia menahanku, aku tak mungkin lupa jalan p**ang kepadamu.”
Rani berlari memeluknya. Hangat, meski hujan mengaliri tubuh mereka. Tidak ada kata-kata yang perlu dijelaskan; rindu yang pecah memenuhi udara.
“Aku takut kamu lupa janji itu,” bisik Rani.
Arga menggeleng. “Janji yang diikat cinta tak pernah patah. Kadang hanya tertunda oleh waktu.”
Hujan akhirnya berhenti. Tapi pelukan itu tidak.
Di bawah langit sore yang mulai cerah, Rani sadar—cinta sejati bukan soal tak pernah pergi.
Cinta sejati adalah tentang siapa yang selalu menemukan jalan untuk kembali.