12/08/2025
Pagi itu aku baru saja selesai mandi dan akan bersiap berangkat ke toko, tiba-tiba ponselku berdering menandakan panggilan masuk, gegas aku meraihnya di atas nakas, kemudian menerima panggilan dari teman lamaku sewaktu tinggal di desa, Asep.
"Halo?" sapaku.
"Halo, To! Cipto!" serunya dengan keras, aku sampai harus menjauhkan ponsel dari telinga, suara Asep terdengar bersamaan dengan riuh ramai suara banyak orang.
"Tenang, Sep! Bisa kamu menjauh dulu, berisik banget soalnya, aku nggak bisa dengar suaramu." Aku coba menginterupsi Asep agar pembicaraan kami lebih jelas, jarang sekali sahabatku itu menelepon, pasti ada sesuatu yang penting.
Terdengar suara napas Asep terengah-engah, sepertinya ia berjalan tergesa, sesaat kemudian ia memanggilku lagi, kali ini sudah tidak berisik lagi, aku bisa mendengarnya dengan jelas.
"Cipto, kamu harus ke sini sekarang juga! Tragedi berdarah baru saja terjadi!" Dadaku mengembang mendengar ucapannya.
"Ada apa, Sep? Tolong bicara yang jelas! Tragedi apa?" Terdengar suara Asep bergetar, seperti orang yang akan menangis, lalu berita duka itu sampai juga ke telingaku, membuat seluruh tubuh mati rasa.
"Pulang, To! Endang, Endang dan anakmu, meninggal!"
Tubuhku merosot, jatuh terduduk di bibir ranjang.
"A– apa katamu?" Aku menggeleng, "Cepat katakan kalau ini tidak benar, Sep!" seruku lantang, kedua mata ini sudah memanas. Namun Asep tetap diam hanya isakan yang terdengar.
"Cepat pulang, To! Jenazah akan dimakamkan hari ini juga, aku ingin memberitahumu sesuatu, tapi tidak di telepon, ini menyangkut kematian mereka." Telepon diputus sepihak, aku menatap layar ponsel yang sudah mati, seketika bayangan putraku yang baru berusia 10 tahun melintas di pelupuk mata, juga ... senyum Endang, mantan istriku.
"Aaargh! Tidaaak!" teriakku tak terima.
"Ada apa, Mas?" Naima istri yang baru kunikahi dua tahun lalu datang menghampiri, ia tampak khawatir melihatku bersimbah air mata.
"Anakku ... anakku dan ibunya, Dek—" ucapanku tercekat, rasanya tidak bisa berkata-kata lagi.
"Kenapa lagi mereka? Minta uang? Dasar nggak tau ma—"
"Cukup, Naima! Jangan kau cela lagi mereka!" Dia tersentak mundur, mungkin terkejut dengan bentakanku barusan, wajar selama ini aku selalu diam saat ia memprotes ketika aku mengirimkan uang untuk Rehan, anakku. Ia keberatan sebab ada Endang, juga tampak tak rela aku menafkahi anak semata wayangku itu.
"Mas, kamu bentak aku gara-gara mereka? Demi mantan istrimu yang kucel itu, iya?" Aku mengurut pelipis yang berdenyut nyeri, gegas kutarik Naima dalam pelukan.
"Sayang, maaf. Tapi hari ini aja, tahan ego kamu, anakku dan ibunya meninggal!" Kataku, Naima melotot sesaat, lalu wajahnya kembali datar.
"Oh, jadi gara-gara itu kamu nangis? Udah, sih Mas, mungkin udah ajalnya mereka." Aku hanya mengangguk samar, mungkin iya ini sudah ajal mereka tapi aku masih sangat syok dengan kejadian ini, kenapa Naima seolah tak bersimpati, padahal anakku adalah anaknya juga.
Gegas aku bangkit, menarik kaos dan celana jins dari lemari, tergesa aku mengenakannya.
"Mas, kamu mau ke mana?" tanyanya, aku meraih kunci mobil, helaan napas kecewaku terbit, Naima benar-benar tak peduli.
"Aku mau ke desa, Nai. Aku ingin lihat anakku untuk terakhir kali," ucapku kemudian bergegas, tapi istri mudaku yang cantik itu menahan lengan ini.
"Jangan pergi, Mas! Aku nggak mau ditinggal sendiri!" serunya, aku melepas pegangan tangannya, "Maaf Naima, tolong mengerti Mas." Aku pun melangkah pergi.
"Tunggu!" Seru Naima, aku menoleh dengan malas, kenapa dia menghalangiku begini. "Aku ikut," ucapnya setengah hati, wanitaku itu pun mengambil barang-barangnya kemudian kami berangkat ke desa di mana aku dan Endang tinggal saat masih bersama dulu. Tepatnya saat aku belum sesukses sekarang.
Kami bercerai saat usia Reihan masih 5 tahun, sebelumnya aku merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai pelayan toko, setiap bulan aku mengirimkan pada Endang untuk disimpan, harus kuakui Almarhumah mantan istriku itu sangat pandai berhemat, jika bukan karena kehebatannya dalam mengatur keuangan, mungkin aku tidak sesukses sekarang.
Saat usia Reihan delapan tahun aku pulang, saat itu seorang teman memberi pinjaman untuk membuka usaha di kota, kuambil uang yang disimpan Endang dan mengajaknya ke kota, tapi dia menolak dengan alasan ingin menjaga ibunya yang sudah sakit-sakitan.
Aku pun tak keberatan, di kota aku membuka warung makan dengan menu khas desaku, sejak saat itu usahaku berkembang pesat, dua tahun kemudian aku berhasil membuka cabang di mana-mana. Hingga pertemuan dengan Naima tak terelakkan, aku jatuh cinta melihat kecantikannya, dia sangat jauh berbeda dengan Endang yang berkulit coklat, kurus dan penampilan yang tak terurus.
Diam-diam kami menikah, aku tak pernah lagi berkunjung ke desa, bahkan saat kematian ibu mertua, aku beralasan banyak pekerjaan, hingga suatu hari Endang datang tanpa kuduga, entah bagaimana dia bisa menemukanku, parahnya lagi saat itu aku bersama Naima.
Hari itu juga dia minta cerai, aku pun sama sekali tak keberatan, lekas kujatuhkan talak atasnya, dia berbalik pergi membawa air mata, sejak hari itu aku tak pernah melihatnya lagi, dia pulang ke desa dan tinggal di rumah warisan ibunya, begitu yang kudengar dari Asep dua tahun lalu.
"Mas, ingat ya! Aku nggak mau lama-lama di sini!" ucap Naima penuh penekanan saat mobil sudah terparkir di halaman rumah Endang. Aku mengangguk samar, entah kenapa begitu tunduk pada pesonanya.
Gegas kami turun, seketika semua mata tertuju pada kami, seluruh warga melihat dengan tatapan mencemooh, sinis dan geram. Aku tahu, mungkin akulah ayah paling bajing*n di dunia.
Dari dalam, Asep tergopoh menghampiri kami, matanya bengkak, kenapa dia menangisi sedemikian rupa? Apa yang salah?
"Masuk, To. Jenazah sudah dikafani," ucapnya, aku mengangguk kemudian bergegas menarik tangan Naima masuk, coba mengabaikan tatapan benci yang dilayangkan warga secara terang-terangan.
Begitu tiba di dalam, aku jatuh berlutut di samping mayat Endang dan Reihan. Di sekeliling mereka tampak orang-orang mengelilingi membacakan surah Yasin, mataku kembali memanas, Asep menepuk bahuku.
"Yang kuat, To. Lihat wajah anakmu untuk terakhir kali." Perlahan kain penutup wajah anakku dibukanya.
"Akh!" pekikku terjungkal ke belakang. Mataku melotot, rasa takut dan amarah mencuat memenuhi kepala, terlebih saat penutup wajah Endang ikut terbuka, tenggorokanku tercekat saat melihat bekas gorok masih mengucurkan darah dari leher anakku, sedangkan Endang wajahnya pucat dengan kedua lubang hidung disumpal kapas, sebagian wajahnya hancur seperti dihantam benda tajam berkali-kali.
"Kami dibunuh Bang ...."
Degh! Bisikan apa itu ?Kenapa terdengar mirip suara ... Endang?
Bersambung.
Baca di KBM App
Judul KEMATIAN MANTAN ISTRI DAN ANAKKU
Penulis Nurhayati Yahya
Jangan lupa follow akunku, sudah upp lebih banyak bab.