19/07/2025
*Pesta Kuburan Rakyat*
_A. Zaki Mubarak_
Harusnya, ini berjudul "Pesta Hiburan Rakyat" atau Pesta Syukuran Rakyat. Hibur dan syukur jadi "kubur" karena acaranya menewaskan tiga korban. Gadis belia, nenek-nenek dan seorang polisi muda. Mereka harus dikubur gegara pesta yang diselenggarakan ménak untuk rakyat jelatanya. Mungkin tujuannya sangat baik. Ingin menghibur, melayani dan memberikan sedikit hidangan sebagai rasa syukur dan selanjutnya malamnya akan digelar seni yang menghibur. Namun, tragedi itu hadir dalam kebahagiaan. Nyawa jadi taruhan demi membahagiakan kaum bangsawan.
Kang Dedi Mulyadi (KDM) telah konfirmasi dengan 3 poin. Mendoakan korban, Meminta maaf dan akan mengevaluasi. Walau di awal cerita KDM tidak tahu bakal ada acara syukuran model ini. Entah benar atau pembenaran. Terhembus kabar bahwa penyelenggara acara model ini adalah Pemprov Jabar. Itu normal mengingat makanan yang disajikan adalah kuliner khas di Jabar, yang nikah anaknya Gubernur Jabar, Mempelai lelaki anggota DPR Jabar, Mempelai wanita Wagub Garut bagian Jabar dan orang tuanya adalah Kapolda Metrojaya yang dekat Jabar. Fix semua komponen adalah kaum ménak Jabar dan dalam era feodal sering mereka menggunakan rakyat jelata sebagai objek keramaian. Di jabar ménak adalah instrumen pokok feodalisme.
Feodal memang konotasi negatif yang diusahakan untuk hilang di alam demokrasi. Namun, alam bawah sadar sulit membuangnya. Banyak kelompok ménak memposisikan sebagai patron dan jelata adalah klien-nya. Ménak sering mengklaim jadi kelompok yang berhak dan otoritas atas jelata, sedang jelata adalah objek yang s**a tidak s**a harus manut dan taat pada ménak. Dalam struktur politik, kelompok penyelenggara negara dan wakil rakyat memposisikan dirinya jadi ménak sedang dalam dimensi ekonomi, para pemegang modal dan asset sering hadir di bawah kaum ménak. Satu strip di bawah dengan "kekuasaan" yang sama. Keduanya kaum elit dan antitesanya adalah rakyat dengan kategori kaum sulit.
Sejatinya tidak sesegregasi demikian saat ini, tapi itu faktanya. Begitu menyedihkan jelata ini jadi objek feodal menak dengan menampilkan sayatan hati mendalam bagi bangsa. Ternyata rakyat kita miskin memprihatinkan. Menukar nyawa demi tiga jenis makan. Ternyata jelata kita tak sabaran, demi perut rela menginjak kepala hingga pingsan. Mengumpul, saling sikut, saling adu kekuatan demi sesuap makanan. Ternyata pengelolaan kita amburadul hingga kendali massa tak dipikirkan hingga ruh keluar dari jasadnya. Ternyata niat baik kita tak selamanya berakhir baik karena takaran cara pikir ménak yang ingin populis belum tentu sama dengan ukuran pola pikir jelata yang lapar akan gratisan.
Itulah fakta. Itulah kita. Memang feodalisme harus pergi dari kita, tapi faktanya tak bisa. Harusnya kita jadi bangsa besar, kaya dan bermartabat, tapi faktanya demikian memprihatinkan. Mungkin salah pendidikannya. Mungkin salah cara tafsir agamanya. Mungkin salah cara mengelola rakyatnya. Mungkin rakyatnya yang sulit dikelola. Atau jangan-jangan mental kita saja yang merasa miskin, inferior dan merasa di level miskin-forever. Karena, jika saja perut kosong apapun akan ditempuh. Logika tanpa logistik, ya jadi anarkis. Semoga ini jadi ibrah bagi kita, wahai kaum ménak dan bagi kita yang jelata. Cag, ulah deui deui!