06/12/2025
Autisme bukanlah kutukan, bukan karma, bukan juga karena salah asuh. Ini bukan cerita sedih yang perlu ditangisi seumur hidup, tapi juga bukan hal sepele yang bisa kamu komentari dengan enteng seperti, “anaknya nggak bisa diem ya?” atau “kok gak nyambung sih diajak ngobrol?”. Kadang orang yang merasa paling normal itu justru yang paling butuh pemahaman ulang soal empati dan adab bicara.
Bahasan kali ini akan sedikit panjang, jika kamu malas baca, skip aja. Ya.. kadang belajar itu memang tidak menyenangkan. Padahal kamu hanya baca, mimin yang menulis, mimin yang riset kecil-kecilan dan mimin juga yang memilih diksinya agar mudah kamu cerna. Dan perhatikan foto profil yang bertanya, gambarnya penuh makna. Untuk yg lanjut.. silahkan dibaca.
Autisme, atau dalam istilah kerennya Autism Spectrum Disorder (ASD), adalah kondisi neurologis yang memengaruhi cara seseorang berkomunikasi, berperilaku, dan merespon dunia. Tapi bukan berarti mereka rusak atau kurang. Mereka hanya terhubung ke dunia dengan kabel yang jalurnya beda. Kalau kita pakai Wi-Fi, mereka kadang pakai Bluetooth, lebih lambat nyambung, tapi tetap bisa terhubung.
Banyak anak autis mengalami kesulitan dalam hal interaksi sosial, memahami isyarat sosial, atau ekspresi emosi. Tapi jangan salah, mereka punya cara sendiri dalam memahami dunia, kadang lebih jujur dari kita yang terlalu pandai menyembunyikan rasa. Ada yang jago matematika, hafal rute peta kayak Google Maps, atau punya telinga musik yang bisa bikin musisi profesional iri. Yang jadi masalah kadang bukan mereka… tapi dunia yang terlalu sempit untuk menerima perbedaan.
Nah, buat para orang tua yang dikasih hadiah istimewa bernama anak autis, izinkan kami tepuk tangan dulu. Serius. Bukan karena kalian harus kuat, tapi karena kalian sudah luar biasa. Kami tahu, perjalanan ini bukan jalan tol lurus tanpa hambatan. Ini seperti naik roller coaster pakai mata tertutup, ada tangis, tawa, bingung, bahkan kadang overthinking, Aku ini orang tua gagal, ya?
Jawabannya tidak. Sama sekali tidak. Anak autis bukan hukuman. Bukan takdir suram. Mereka adalah anak-anak yang diciptakan dengan versi firmware berbeda dan itu berarti, kita juga harus belajar ulang cara memegang remote-nya.
Gejalanya bisa macam-macam. Ada yang bicara terlambat, ada yang susah kontak mata, ada yang cenderung mengulang kata atau gerakan tertentu. Tapi satu hal yang perlu dipahami, mereka bukan aneh. Mereka hanya hidup dalam dunia yang tak selalu cocok dengan standar sempit kita. Dunia yang sering menilai segalanya dari kecepatan, suara keras, dan tatapan tajam.
Kadang yang menyakitkan bukan diagnosisnya, tapi tatapan orang-orang yang merasa paling waras. Komentar receh dari kerabat yang belum baca satu pun artikel soal autisme, tapi sudah berani kasih label. “Anaknya kurang diajak ngobrol kali.” “Coba dididik lebih tegas.” Onde mande… amboooii… Hei, mbak, pakde, kalau nggak ngerti, cukup diam. Diam itu kadang lebih mulia daripada ikut nyinyir dengan mulut yang gak didukung literasi.
Buat para orang tua yang anaknya dalam spektrum autisme, kalian luar biasa. Kalian adalah guru sabar yang tak dapat gaji, tak libur hari Minggu, tapi tetap berdiri kokoh meski kadang air mata jatuh diam-diam. Kalian bukan gagal. Kalian sedang membesarkan anak dengan bahasa cinta yang tidak semua orang mengerti. Mungkin progres anakmu tidak secepat anak orang. Tapi percayalah, setiap langkah kecil yang dia capai, duduk diam lima menit, melirik saat namanya dipanggil, tersenyum ketika disentuh, itu bukan hal kecil. Itu kemenangan. Itu bukti bahwa usahamu tidak sia-sia.
Solusinya? Bukan menyembuhkan, karena autisme bukan penyakit. Tapi mendampingi, memahami, dan mencintai. Terapi bisa membantu, lingkungan suportif bisa menyuburkan potensi, dan sabar adalah fondasi. Di rumah, di sekolah, bahkan di tempat umum, orang tua dan guru perlu kerja sama seperti tim sepak bola yang paham taktik dan tahu kapan harus sabar nunggu peluang. Jangan buru-buru menyuruh mereka jadi seperti anak normal. Bukan karena mereka tak bisa, tapi karena mereka sudah luar biasa dengan caranya sendiri.
Dan untuk kita semua, masyarakat yang kadang terlalu cepat menilai, yuk belajar menahan lidah. Belajar membuka hati. Anak autis bukan hanya milik keluarganya, tapi juga bagian dari komunitas kita. Kalau kita bisa paham bahwa kucing punya cara sendiri untuk menunjukkan sayang, kenapa kita nggak bisa sedikit belajar memahami manusia yang caranya mencintai dan berinteraksi juga beda?
Anak autis bukan butuh dikasihani. Mereka butuh dimengerti. Dan orang tua mereka, bukan butuh dikritik, mereka butuh dipeluk, meski hanya dengan kalimat.
Dan buat semua orang tua yang sedang berjuang… mungkin dunia belum tahu cara terbaik memperlakukan anakmu. Tapi kamu sudah membuktikan bahwa cinta sejati tak butuh validasi. Kamu cukupkan pelukan saat anakmu tantrum, kamu setia duduk menemani saat terapi, dan kamu memilih percaya meski tidak semua orang mengerti.
Kamu tidak sendiri. Dan anakmu bukan satu-satunya yang sedang belajar. Kita semua, yang merasa paling normal ini, justru yang paling harus banyak-banyak belajar.
----
Now I Know
Nb. Sedikit film rekomendasi dari mimin yang layak kamu tonton, film India "Taare Zameen Par" (2007), yang dibintangi dan disutradarai oleh Aamir Khan. (Film ini sebenarnya bukan tentang autis, tapi paling tidak bisa membuka mata kita untuk memahami keistimewaan seseorang)