KacaMata Kritis

KacaMata Kritis � Melihat dengan jernih, berbicara dengan tajam. follow akun tiktok

PAD SERET, TANDA MESIN PEMERINTAH TAK BERJALAN!Pendapatan Asli Daerah Lombok Timur yang cuma mentok di 60% untuk PBB buk...
05/11/2025

PAD SERET, TANDA MESIN PEMERINTAH TAK BERJALAN!

Pendapatan Asli Daerah Lombok Timur yang cuma mentok di 60% untuk PBB bukan sekadar soal angka — ini cermin betapa lemahnya sistem pengelolaan dan kepatuhan pajak yang dibiarkan bertahun-tahun. Pemerintah baru sadar ketika kas mulai seret dan tahun anggaran hampir tutup.

Bebas denda PBB memang terdengar manis, tapi justru menyisakan pertanyaan tajam:
Kenapa baru sekarang dikejar, setelah bertahun-tahun tunggakan dibiarkan menumpuk dari 2014–2023?
Selama hampir satu dekade, siapa yang tidur di atas tumpukan piutang pajak rakyat?

Dengan PAD cuma 12,6% dari total APBD Rp 3,4 triliun, Lombok Timur seperti daerah yang hidup dari belas kasihan transfer pusat. Padahal potensi ekonomi daerah besar — tapi bocor di perencanaan, lemah di pengawasan, dan mandul dalam eksekusi.

Sekda boleh dorong percepatan, tapi rakyat juga pantas bertanya:

Kenapa sistem penagihan masih manual dan tidak berbasis digital penuh?

Kenapa camat dan desa tidak diberi porsi insentif yang transparan dalam pungutan PBB?

Dan yang paling penting: ke mana saja Bapenda selama ini?

Pemerintah jangan hanya menuntut rakyat bayar pajak, sementara uang pajak sering tidak kembali dalam bentuk pelayanan publik yang layak. Jalan rusak, air macet, dan pelayanan dasar amburadul — rakyat jadi apatis, bukan karena tak mau bayar, tapi karena tak percaya pada cara pemerintah mengelola.

Jika PAD terus seret, bukan rakyat yang harus disalahkan.
Yang perlu diadili adalah mental birokrasi yang nyaman dengan ketergantungan dan alergi terhadap evaluasi.

KacaMata Kritis menilai:
PAD seret bukan soal kurangnya uang, tapi kurangnya nyali menertibkan kebocoran dan keberanian menindak yang bermain di balik sistem pajak.

SERIWE, DESA YANG TERPUTUS OLEH JANJI PEMERINTAH! Di ujung selatan Lombok Timur, tepat di Desa Seriwe, rakyat masih bert...
04/11/2025

SERIWE, DESA YANG TERPUTUS OLEH JANJI PEMERINTAH!

Di ujung selatan Lombok Timur, tepat di Desa Seriwe, rakyat masih bertarung dengan arus laut demi kehidupan.
Bukan karena bencana, tapi karena pemerintah abai.

Setiap hari, warga Dusun Penyonggok harus menyeberangi muara yang langsung menuju Samudra Hindia — bukan dengan jembatan, tapi dengan sampan reyot atau tubuh mereka sendiri.
Anak-anak sekolah berenang sambil mengangkat tas di atas kepala.
Orang dewasa menggotong jenazah di atas sampan, hanya agar bisa dimakamkan di kampung induk.
Dan semua ini terjadi di bawah hidung pemerintah daerah yang sibuk beretorika “pembangunan merata”.

Kepala Desa Seriwe sudah berusaha sekuat tenaga — bahkan membangun jembatan bambu dari APBDes seadanya. Tapi jembatan itu roboh, diterjang angin dan ketidakpedulian Pemda.
Ia sudah melapor langsung kepada bupati, dan jawaban yang keluar hanya:

“InsyaAllah nanti Pemda yang akan bangun.”

Nanti. Selalu nanti.
Sementara itu, masyarakat Seriwe terus menantang maut, setiap hari.
Anak-anak mereka tumbuh dalam ketakutan setiap kali air pasang datang, karena sekolah bisa berarti taruh nyawa.

Sampai kapan pemerintah Lombok Timur menunggu viral dulu baru bertindak?
Apakah harus ada korban tenggelam dulu baru anggaran darurat muncul?

Jangan bicara visi misi, jika realitasnya jembatan pun tak mampu dibangun.
Jangan bangga dengan proyek mercusuar di kota, sementara warga di pesisir masih menyeberangi kematian untuk sekolah dan beribadah.

SERIWE tidak butuh janji baru.
Yang mereka butuhkan adalah jembatan nyata, bukan jembatan kata-kata.

Dan selama jembatan itu belum berdiri, yang benar-benar roboh bukan hanya bambu, tapi wibawa dan nurani pemerintah Lombok Timur itu sendiri.






JANJI BUPATI YANG BERBUAH LUMPUR DAN DEBU!Sudah terlalu sering rakyat dijanjikan, tapi tak pernah ditepati. Kini, warga ...
03/11/2025

JANJI BUPATI YANG BERBUAH LUMPUR DAN DEBU!

Sudah terlalu sering rakyat dijanjikan, tapi tak pernah ditepati. Kini, warga Kalijaga Timur tak lagi bicara dengan kata-kata — mereka bicara dengan cangkul dan batang pisang di tengah jalan rusak yang sudah lama mereka tempuh dengan sabar. Janji manis Bupati Lombok Timur ternyata hanya menjadi hiasan pidato dan kabar media, sementara aspal di Kalijaga Timur terus mengelupas bersama kepercayaan rakyatnya.

Bayangkan, jalan yang menjadi urat nadi ekonomi — dilalui petani, penambang, dan pengangkut hasil bumi — justru dibiarkan membusuk. Ironisnya, desa ini justru penyumbang PAD melalui tambang galian C yang setiap hari dikeruk truk-truk besar, tapi hasilnya tak kembali ke rakyat yang tanahnya dikuras dan jalannya hancur.

Apa gunanya galian C kalau rakyat yang digali sabarnya?
Apa artinya PAD kalau yang ditambang justru kepercayaan publik?

Janji perbaikan jalan bukan hanya soal proyek, tapi soal harga diri pemimpin. Bila Bupati berani berjanji, maka harus berani p**a menepati. Karena ketika janji dikhianati, rakyat akan belajar bersuara — bukan dengan spanduk, tapi dengan aksi nyata di jalan berdebu.

Aksi menanam pohon pisang dan kelapa itu bukan sekadar simbol protes. Itu sindiran paling telanjang bagi pemerintah yang tuli dan birokrasi yang bebal. Warga menanam karena mereka tahu, tanaman lebih cepat tumbuh daripada janji pemerintah.

Kalijaga Timur telah memberi pelajaran keras:
Jika penguasa abai, rakyat akan menanam kecewa di tengah jalan, dan yang tumbuh bukan lagi pohon pisang — tapi perlawanan.

Mutiara, Modus, dan Mafia Laut: 13 Tahun Permainan di Blok DKacaMata Kritis – Lombok Timur.Selama 13 tahun penuh, laut L...
02/11/2025

Mutiara, Modus, dan Mafia Laut: 13 Tahun Permainan di Blok D

KacaMata Kritis – Lombok Timur.
Selama 13 tahun penuh, laut Lombok Timur menjadi saksi bisu dari drama paling ironis dalam sejarah investasi di NTB: PT Autore Pearl Culture, perusahaan asing yang mengaku “ramah lingkungan” dan “patuh pajak”, ternyata beroperasi tanpa izin.

Bukan setahun. Bukan dua tahun.
Tapi TIGA BELAS TAHUN.

“REKOMENDASI BUSUK” YANG JADI TAMENG HUKUM

Autore menjalankan bisnisnya di Blok D, Desa Sekaroh, hanya bermodal selembar surat rekomendasi tahun 2011—dokumen yang bahkan telah dinyatakan tidak sah oleh Pemerintah Provinsi NTB sendiri.

Surat itu bukan izin, melainkan rekomendasi administratif yang secara hukum tidak memiliki kekuatan untuk menjalankan kegiatan usaha. Namun entah karena kelengahan, kelicikan, atau kolusi—surat itu disulap menjadi “tameng sakti” bagi perusahaan asing untuk menguasai laut Lombok Timur.

Lebih parah lagi, ketika Pemprov NTB mengeluarkan tiga kali surat peringatan resmi pada 2021 yang menegaskan aktivitas mereka ilegal, perusahaan ini tetap beroperasi.
Mereka menantang negara di wilayah kedaulatan Indonesia.

PAJAK SEBAGAI TAMENG, ILEGALITAS SEBAGAI FAKTA

PT Autore mengaku telah membayar pajak miliaran rupiah—Rp 20 Miliar untuk PPh 25 dan Rp 800 Juta untuk PBB sektor Blok D.
Tapi mari kita buka mata:
Membayar pajak dari hasil kegiatan ilegal bukan pembenaran, itu justru bukti bahwa negara gagal menegakkan hukum.

Inilah wajah investasi yang sesungguhnya:
Uang mengalir ke kas negara, tapi kedaulatan hukum terkubur di dasar laut.

13 TAHUN DI KAWASAN TERLARANG

Fakta yang lebih ngeri lagi—Blok D bukan sembarang lokasi.
Wilayah ini termasuk zona pariwisata dan kawasan ekosistem terlindungi berdasarkan Perda RTRW NTB Nomor 5 Tahun 2024.
Artinya, selain tidak punya izin, aktivitas mereka juga melanggar tata ruang.

Bagaimana mungkin sebuah perusahaan asing bisa bercokol selama 13 tahun di kawasan larangan, sementara nelayan kecil diusir hanya karena jaringnya menembus “zona perusahaan”?

KETIKA NEGARA DIAM, MODAL ASING BERKUASA

Ironinya, pejabat di tingkat daerah dan provinsi saling lempar kewenangan.
DKP bilang itu urusan pusat.
Pusat bilang masih dikaji.
Sementara Autore tertawa di atas laut, memanen mutiara, dan menulis laporan keuangan dengan tinta emas.

Inilah potret klasik kolonialisme gaya baru: ketika modal menggenggam hukum, dan pemerintah hanya menjadi penonton di tepi pantai.

SEKOTONG DAN KEHUTANAN: JEJAK GELAP LAINNYA

Bukan cuma di Lombok Timur, Autore juga tertangkap beroperasi tanpa izin di Sekotong.
Lebih parah, selama 15 tahun perusahaan ini menduduki lahan kehutanan di sekitar Blok D—dan baru hengkang setelah surat peringatan keras dari Dinas Kehutanan tahun 2022.

Bayangkan, sebuah perusahaan asing bisa menguasai kawasan hutan dan laut, tanpa izin resmi, selama lebih dari satu dekade—sementara nelayan lokal dipaksa menepi dengan dalih konservasi.

KACAMATA KRITIS: SIAPA YANG BERMAIN DI BALIK DIAMNYA NEGARA?

Kasus ini bukan sekadar soal izin mutiara.
Ini soal kedaulatan negara yang dilelang diam-diam.
Soal pemerintah yang tahu tapi membisu.
Soal perusahaan asing yang paham celah hukum lebih dari pejabatnya sendiri.

Autore mungkin membayar pajak.
Tapi di balik setiap mutiara yang mereka panen, ada hak nelayan yang dirampas, ruang laut yang dijarah, dan hukum yang dibungkam.

PENUTUP:

13 tahun sudah cukup.
Negara ini tidak butuh investor yang menyamar sebagai penyelamat laut tapi bertindak seperti bajak laut.

Jika hukum masih punya harga di negeri ini,
maka PT Autore harus segera ditindak, bukan didengar.

KacaMata Kritis
Karena diam di tengah ketidakadilan adalah kejahatan yang lebih besar dari pelanggaran itu sendiri.









SEKOLAH GARUDA  DIBATALKAN DI LEMOR, HIDUP LAGI DI TEMPAT YANG SAMA?Lucu tapi miris  itulah wajah kebijakan yang tak pun...
31/10/2025

SEKOLAH GARUDA DIBATALKAN DI LEMOR, HIDUP LAGI DI TEMPAT YANG SAMA?

Lucu tapi miris itulah wajah kebijakan yang tak punya ingatan dan tak belajar dari suara rakyatnya sendiri.
Baru kemarin publik mendengar kabar pembatalan pembangunan Sekolah Garuda di Lemor, karena lokasinya bersebelahan dengan kawasan mata air dan hutan konservasi Kebun Raya Lemor (KRL) simbol paru-paru Lombok Timur yang seharusnya dijaga, bukan digali atau dipagar beton.

Tapi kini, apa yang terjadi?
Nama Lemor kembali muncul di daftar usulan resmi yang disodorkan ke Dirjen Sains dan Teknologi.
Pertanyaannya sederhana tapi menohok:
Apakah pemerintah ini pura-pura lupa, atau memang sengaja menantang akal sehat masyarakatnya sendiri?

Bukankah Bupati sendiri yang beberapa minggu lalu mengumumkan pembatalan rencana pembangunan itu karena “mendengar suara rakyat, menghargai penolakan mahasiswa dan tokoh masyarakat”?
Sekarang, kenapa nama lokasi yang sudah ditolak publik kembali disodorkan dalam daftar resmi seolah-olah tidak pernah ada konflik ekologis dan penolakan sosial di sana?

Ini bukan sekadar soal sekolah, tapi soal logika publik dan integritas kebijakan.
Apa artinya pemerintah “mendengar rakyat” kalau ujungnya tetap memutar arah ke tempat yang sama dengan baju narasi baru?
Apakah semua hasil kajian ekologis, kritik mahasiswa, dan pernyataan bupati tempo hari cuma jadi formalitas untuk menenangkan gejolak sementara?

Sekolah Garuda memang membawa label “unggulan”, tapi unggul itu bukan karena bangunannya berdiri di atas sumber air rakyat,
melainkan karena kejujuran dan nalar pemimpinnya berdiri tegak di atas prinsip lingkungan dan partisipasi publik.

Jangan jadikan nama Garuda sekadar simbol kemegahan proyek, tapi hancur di sayap yang penuh kompromi.
Kalau benar pendidikan itu untuk mencerdaskan bangsa, maka proyek ini seharusnya dimulai dari kecerdasan moral pemerintah sendiri.

Karena sekolah unggulan tak akan lahir dari lahan yang rakyatnya dipaksa diam, lingkungannya dikorbankan, dan keputusannya dibalik-balik demi pencitraan.
Jangan lupa — rakyat Lombok Timur masih ingat janji pembatalan itu.
Dan ketika janji berubah menjadi dagelan, sejarah yang akan menulis siapa sebenarnya yang paling gagal memahami arti “pendidikan”.















Dari Meja Rapat ke Perut RakyatMendagri Tito mengajak masyarakat di daerah untuk meninggalkan konsumsi beras putih dan k...
30/10/2025

Dari Meja Rapat ke Perut Rakyat

Mendagri Tito mengajak masyarakat di daerah untuk meninggalkan konsumsi beras putih dan kembali ke pangan lokal seperti keladi, talas, dan petatas.
Tapi, sebelum rakyat disuruh ubah selera makan apakah negara sudah ubah sistemnya?

Lucu.
Dari ruang ber-AC di Jatinangor, pejabat berbicara soal “pangan lokal”, sementara petani di desa masih berjuang dengan pupuk langka, harga panen jatuh, dan tengkulak yang rakus.
Dari kursi empuk kekuasaan, mudah sekali bilang “tinggalkan beras”, tapi rakyat di dapur justru meninggalkan makan karena harga semua bahan pokok naik.

Kalau benar ingin mendorong pangan lokal, jangan cuma ceramah moral soal “gula dalam nasi”.
Bangun jalur distribusi, perkuat ekonomi petani lokal, dan pastikan hasil bumi dari Papua, Sumba, hingga Lombok bisa sampai ke pasar tanpa dimakan rantai mafia logistik.

Negara ini bukan kekurangan sumber pangan, tapi kelebihan pejabat yang pandai bicara tanpa merasakan lapar rakyatnya.

Beras memang mengandung gula,
tapi kata-kata pejabat yang manis tanpa kerja nyata itu yang paling bikin rakyat diabetes harapan.













Tambang Ilegal Dekat Mandalika, Gubernur: Itu Jauh dari Kawasan WisataLucu juga. Setiap kali rakyat bicara soal tambang ...
29/10/2025

Tambang Ilegal Dekat Mandalika, Gubernur: Itu Jauh dari Kawasan Wisata

Lucu juga. Setiap kali rakyat bicara soal tambang ilegal, pejabat sibuk mengukur jarak, bukan mengukur kerusakan.
Katanya “itu jauh dari Mandalika” — seolah pencemaran air, rusaknya tanah, dan kerak keserakahan bisa dihentikan oleh kilometer.

Padahal masalahnya bukan seberapa jauh dari Mandalika, tapi seberapa dalam pembiarannya.
Kalau tambang ilegal bisa beroperasi sampai menghasilkan kilogram emas per hari, lalu pemerintah baru “menunggu laporan lengkap”, itu bukan sekadar lamban — itu tanda tumpulnya nurani dan tumpang tindihnya kepentingan.

Mereka sibuk meluruskan persepsi, bukan fakta di lapangan. Sibuk memperbaiki citra, bukan memperbaiki nasib warga yang tanahnya dikupas, sungainya diracuni, dan hutannya hilang.
Tambang ilegal bukan sekadar soal hukum, tapi soal moral. Karena ketika pejabat lebih takut framing buruk ketimbang kenyataan busuk, maka sesungguhnya negara sedang kehilangan rasa malu.

Tim terpadu?
Itu istilah lama yang sering berakhir di meja rapat, bukan di lokasi tambang.
Garis polisi?
Itu hanya pita plastik kalau para pelaku masih bebas dan hasil tambang masih laku dijual.

Dan kalau alasan klasiknya “tidak bisa setiap hari dikontrol”, maka apa gunanya jabatan, wewenang, dan anggaran pengawasan?
Negara ini tidak kekurangan regulasi, tapi kekurangan keberanian menegakkan keadilan di atas tambang-tambang busuk yang diselubungi kekuasaan.

“Jarak tambang mungkin jauh dari Mandalika, tapi kedok kemunafikan justru makin dekat dengan mata rakyat.”














Kapolres Lotim di Ujung Kritik: Saat Rakyat Mulai Muak dengan Hukum yang Mati RasaKapolres Lombok Timur kini bukan sekad...
28/10/2025

Kapolres Lotim di Ujung Kritik: Saat Rakyat Mulai Muak dengan Hukum yang Mati Rasa

Kapolres Lombok Timur kini bukan sekadar dikritik—tapi ditelanjangi secara moral oleh suara rakyat yang mulai muak dengan “komunikasi satu arah” dan hukum yang pincang di atas kertas keadilan.
LSM dan aktivis bersuara bukan karena ingin jadi musuh, tapi karena yang seharusnya menjaga keadilan justru tampak nyaman di balik kursi kekuasaan.

Kalau aparat tak mampu membangun sinergi dengan masyarakat sipil, maka yang rusak bukan cuma citra institusi—tapi juga kepercayaan publik yang makin menipis seperti cat di dinding kantor Polres yang mulai mengelupas.
Kapolres seharusnya jadi simbol keadilan, bukan simbol kesunyian dalam menghadapi kritik.

Jangan alergi terhadap suara lantang, karena dari kritiklah wajah asli kepemimpinan diuji.
Dan bila benar banyak kasus mandek di meja penyidik, maka keheningan Polres bukan lagi bentuk ketenangan—melainkan tanda mati rasa terhadap tanggung jawab.

KacaMata Kritis menegaskan:
Jika keadilan hanya dipertontonkan saat konferensi pers, tapi lumpuh di lapangan,
maka tuntutan pencopotan bukanlah ancaman—melainkan peringatan keras dari rakyat yang mulai sadar siapa yang mereka layani, dan siapa yang hanya bermain peran.



Tambang Ilegal Dekat Mandalika: Antara Bantahan, Fakta, dan Bau Emas yang Tak Bisa Ditutup Debu!Lucu tapi miris — Kepala...
25/10/2025

Tambang Ilegal Dekat Mandalika: Antara Bantahan, Fakta, dan Bau Emas yang Tak Bisa Ditutup Debu!

Lucu tapi miris — Kepala Dinas ESDM NTB, Samsudin, dengan enteng membantah ada tambang ilegal di sekitar Mandalika, padahal KPK sudah bicara dengan data dan hasil lapangan: produksi emas 3 kilogram per hari! Kalau benar sudah ditertibkan, siapa yang menambang sampai bisa menghasilkan 3 kilogram emas itu setiap hari, hantu kah?

Pernyataan “tidak ada tambang ilegal di sekitar Mandalika” terdengar seperti menutup mata sambil menolak realitas. Padahal bau merkuri, suara mesin dompeng, dan jalan-jalan tanah yang bolong oleh alat berat bukan mitos! Kalau jarak tambang itu “hanya satu jam dari Mandalika”, apakah jarak itu tidak termasuk “sekitar”? Atau memang konsep “sekitar” versi pejabat berbeda dengan konsep geografi rakyat biasa?

Kita tahu Sekotong memang ladang emas lama, tapi justru itu menambah tanda tanya besar: apakah jaringan tambang ilegal ini telah merambat, sementara pejabat sibuk berdebat soal batas administratif? KPK tidak mungkin berspekulasi tanpa bukti, apalagi menyebut angka produksi yang luar biasa: 3 kilogram per hari! Itu bukan tambang rakyat kecil, itu bisnis besar yang berjalan dengan mata banyak pihak pura-pura buta.

Jika benar Pemprov NTB sudah “razia dan tutup” tambang-tambang ilegal itu, mengapa KPK masih menemukan aktivitasnya berjalan? Artinya dua kemungkinan:
1️⃣ Razia hanya seremonial, tambang tetap hidup.
2️⃣ Ada “pembiaran beraroma izin tak tertulis” dari pihak-pihak tertentu.

Ingat, emas bukan hanya soal sumber daya — ini soal moral pejabat publik. Ketika pejabat membantah fakta yang ditemukan lembaga sebesar KPK, yang dipertaruhkan bukan sekadar reputasi, tapi kepercayaan publik terhadap pemerintahan daerah.

KPK sudah mencium bau emas, tapi Pemprov masih pura-pura mencium wangi bunga.
Dan ketika pejabat sibuk membantah, rakyat justru tahu — yang paling keras membantah, biasanya yang paling tahu di mana lubang emasnya.




Jenazah Tertahan 5 Jam, Nurani Pemerintah NTB di Mana?Di tanah yang katanya “gemilang dan berdaya saing”, jenazah seoran...
25/10/2025

Jenazah Tertahan 5 Jam, Nurani Pemerintah NTB di Mana?

Di tanah yang katanya “gemilang dan berdaya saing”, jenazah seorang warga miskin harus tertahan lima jam hanya karena tak punya uang untuk p**ang ke kampung halaman. Ironis bukan? Di saat pejabat sibuk bicara visi kemanusiaan dan pembangunan berkeadilan, di ruang jenazah RSUP NTB justru tergambar potret paling telanjang dari kegagalan pemerintah menjalankan tanggung jawab sosialnya.

Pemprov NTB dan DPRD seolah hidup di dua dunia yang berbeda dari rakyatnya. Di satu sisi, tunjangan kinerja naik, gedung DPRD megah dibangun, rapat-rapat “strategis” digelar di hotel berbintang. Sementara di sisi lain, rakyat miskin bahkan tak mampu memulangkan jenazah keluarganya. Ini bukan sekadar tragedi, ini adalah tamparan keras terhadap nurani kekuasaan.

Apakah rasa kemanusiaan sudah semahal proyek mercusuar?
Apakah harus viral dulu baru pejabat bergerak?
Atau jangan-jangan, selama ini kata “peduli” hanya hidup di baliho, bukan di hati para penguasa?

Selama ini publik tahu, sering kali Dirut RSUP dr. Jack turun tangan merogoh kocek pribadi demi memulangkan jenazah rakyat miskin. Tapi apakah sistem pemerintahan harus bergantung pada belas kasihan individu? Lalu ke mana fungsi negara yang katanya hadir melindungi rakyat dari lahir sampai mati?

Kisah seperti ini sudah terlalu sering terjadi — tapi pemerintah selalu menutup mata dan telinga. Warga miskin yang meninggal di RSUP NTB sering kali menjadi “mayat terdampar”, bukan karena kelalaian medis, tapi karena kelalaian moral pemerintah.

NTBCare yang dulu aktif di masa Gubernur Bang Zul kini sudah tak punya daya. Program kemanusiaan dipangkas, tapi dana seremonial jalan terus. DPRD pun diam, sibuk memperjuangkan renovasi ruang sidang ketimbang renovasi moral.
Sungguh tragis — ketika rakyat mati, yang hidup justru kehilangan rasa.

Kalau para pejabat di Pemprov dan DPRD NTB masih punya nurani, maka inilah saatnya berhenti bicara soal “pembangunan besar”, dan mulai menata pembangunan hati.
Karena rakyat tidak butuh gedung tinggi, tapi kehadiran yang berarti.

“Mati saja rakyat harus menunggu izin dan biaya dari negara yang katanya miliknya sendiri. Lalu, untuk siapa sebenarnya NTB dibangun?”






Membina atau Menyalahkan?Surat pernyataan yang dikeluarkan oleh Asosiasi Kecimol Nusa Tenggara Barat (AK-NTB) tentang “p...
25/10/2025

Membina atau Menyalahkan?

Surat pernyataan yang dikeluarkan oleh Asosiasi Kecimol Nusa Tenggara Barat (AK-NTB) tentang “penari berkualitas tanpa erotis” terdengar seperti niat baik,
tapi jika dibaca dengan teliti, ada nada kesalahan arah yang serius.

Pertama, isi surat lebih banyak berisi larangan dan ancaman sanksi daripada arah pembinaan yang mendidik.
Larangan pakai rok mini, celana pendek, ambil saweran dengan mulut, sampai larangan bergoyang sambil pegangan tangan — itu semua memang perlu batas etik.
Tapi ketika surat pembinaan berubah jadi daftar dosa, di mana letak ruang seninya?
Pembinaan mestinya memberi pemahaman, bukan menanam rasa takut.

Kedua, pernyataan Ketua AK-NTB bahwa “yang viral itu kebanyakan dilakukan oleh oknum di luar kami” menunjukkan sikap cuci tangan elegan.
Kalimat itu terdengar seperti pembelaan lembaga, bukan tanggung jawab moral sebagai asosiasi seni.
Padahal kalau mau jujur, masalah Kecimol bukan cuma soal oknum, tapi juga karena lemahnya pembinaan internal dan kurangnya arah artistik yang jelas selama ini.
Kalau mau berubah, jangan mulai dengan menyangkal — tapi dengan berbenah secara terbuka.

Ketiga, AK-NTB menyebut siap “berkomitmen membenahi kekurangan sesuai tujuan awal terbentuknya wadah ini.”
Namun yang tertulis dan disampaikan masih berhenti di pembenahan moral, bukan kualitas seni.
Kualitas penari tidak diukur dari panjang rok, tapi dari penguasaan teknik gerak, tata koreografi, dan nilai budaya yang ditampilkan.
Jadi kalau memang ingin mencetak penari berkualitas, tolong ubah fokusnya: dari menutup tubuh menjadi membuka wawasan.

Keempat, ancaman sanksi denda dan pencabutan hak tampil sampai pemecatan permanen terdengar lebih seperti aturan perusahaan daripada pendekatan pembinaan seni.
Seni itu tidak bisa dibina dengan ketakutan, tapi dengan pendidikan.
Kalau pembinaan cuma memunculkan rasa takut, maka yang tumbuh bukan kualitas, tapi kepatuhan tanpa makna.

KacaMata Kritis melihat:
Surat dan pembinaan ini masih setengah hati — kelihatan religius, tapi kehilangan ruh artistik.
Kalimat “membenahi kesalahan” yang diulang-ulang justru membuat kesenian Kecimol seperti sedang diadili, bukan dibina.

Kalau benar-benar ingin memperbaiki citra Kecimol, maka AK-NTB harus berani melangkah lebih jauh:
Buat kurikulum seni, pelatihan tari, etika panggung, dan literasi budaya.
Bukan sekadar aturan berpakaian yang mudah viral tapi miskin arah.

KacaMata Kritis menegaskan:
“Jangan hanya mendidik penari untuk menutup tubuh, tapi didik juga masyarakat untuk membuka pikiran.
Karena moral tidak diukur dari kain, tapi dari cara menghargai seni.”





Kritkan tajam dan ngeri HWR “Buku Bodoh dari Dinas yang Mengaku Cerdas”Kasus dugaan korupsi pengadaan buku muatan lokal ...
24/10/2025

Kritkan tajam dan ngeri HWR “Buku Bodoh dari Dinas yang Mengaku Cerdas”

Kasus dugaan korupsi pengadaan buku muatan lokal di Dikbud Lombok Timur ini bukan sekadar soal buku — ini soal mental pejabat yang sudah rusak di halaman pertama akalnya. Bayangkan, dana BOS yang seharusnya jadi “Bantuan Operasional Sekolah” malah disulap jadi “Bantuan Operasional Saku”. Uang anak-anak sekolah, uang untuk pendidikan, dipaksa belanja buku yang mungkin isinya tentang moral — tapi dicetak oleh tangan-tangan yang tak bermoral.

Ironis, bukan? Di saat murid-murid disuruh jujur dalam ujian, justru para pejabatnya berlomba jadi juara menipu. Kepala sekolah dipaksa membeli buku tertentu, seolah-olah dunia pendidikan ini milik segelintir “penguasa proyek” yang lebih paham cara mencetak keuntungan daripada mencerdaskan bangsa.

Dinas yang seharusnya melindungi guru dan murid, kini justru jadi “pabrik akal busuk”. Mereka bicara “literasi”, tapi yang mereka tulis adalah bab pertama dari buku korupsi.
Dan ketika kasus ini naik ke tahap penyidikan, publik hanya bisa bertanya:
Apakah hukum di negeri ini akan membaca kasus ini sampai tamat, atau berhenti di halaman pembelaan pejabat?

Jangan heran kalau nanti ada yang pura-pura lupa, pura-pura tidak tahu, atau pura-pura sibuk urus “kegiatan kebudayaan”. Karena budaya yang paling kuat di Dinas semacam ini bukan budaya literasi, tapi budaya licik dan nepotisme.

Jika benar Kejaksaan serius menelusuri kasus ini, maka jangan hanya berhenti di Ketua KKKS — selidiki siapa dalang di balik meja, siapa yang merancang proyek, siapa yang mencicipi kue sebelum dibagikan. Karena setiap rupiah yang dikorupsi di sektor pendidikan, sama saja dengan merampok masa depan anak-anak Lombok Timur.

Pendidikan tanpa kejujuran hanyalah tipu daya berlabel moral.
Dan buku yang dicetak dari hasil korupsi, adalah kitab kebodohan paling sempurna.















Address

Jalan Selong
Selong
83672

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when KacaMata Kritis posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share