02/11/2025
Mutiara, Modus, dan Mafia Laut: 13 Tahun Permainan di Blok D
KacaMata Kritis – Lombok Timur.
Selama 13 tahun penuh, laut Lombok Timur menjadi saksi bisu dari drama paling ironis dalam sejarah investasi di NTB: PT Autore Pearl Culture, perusahaan asing yang mengaku “ramah lingkungan” dan “patuh pajak”, ternyata beroperasi tanpa izin.
Bukan setahun. Bukan dua tahun.
Tapi TIGA BELAS TAHUN.
“REKOMENDASI BUSUK” YANG JADI TAMENG HUKUM
Autore menjalankan bisnisnya di Blok D, Desa Sekaroh, hanya bermodal selembar surat rekomendasi tahun 2011—dokumen yang bahkan telah dinyatakan tidak sah oleh Pemerintah Provinsi NTB sendiri.
Surat itu bukan izin, melainkan rekomendasi administratif yang secara hukum tidak memiliki kekuatan untuk menjalankan kegiatan usaha. Namun entah karena kelengahan, kelicikan, atau kolusi—surat itu disulap menjadi “tameng sakti” bagi perusahaan asing untuk menguasai laut Lombok Timur.
Lebih parah lagi, ketika Pemprov NTB mengeluarkan tiga kali surat peringatan resmi pada 2021 yang menegaskan aktivitas mereka ilegal, perusahaan ini tetap beroperasi.
Mereka menantang negara di wilayah kedaulatan Indonesia.
PAJAK SEBAGAI TAMENG, ILEGALITAS SEBAGAI FAKTA
PT Autore mengaku telah membayar pajak miliaran rupiah—Rp 20 Miliar untuk PPh 25 dan Rp 800 Juta untuk PBB sektor Blok D.
Tapi mari kita buka mata:
Membayar pajak dari hasil kegiatan ilegal bukan pembenaran, itu justru bukti bahwa negara gagal menegakkan hukum.
Inilah wajah investasi yang sesungguhnya:
Uang mengalir ke kas negara, tapi kedaulatan hukum terkubur di dasar laut.
13 TAHUN DI KAWASAN TERLARANG
Fakta yang lebih ngeri lagi—Blok D bukan sembarang lokasi.
Wilayah ini termasuk zona pariwisata dan kawasan ekosistem terlindungi berdasarkan Perda RTRW NTB Nomor 5 Tahun 2024.
Artinya, selain tidak punya izin, aktivitas mereka juga melanggar tata ruang.
Bagaimana mungkin sebuah perusahaan asing bisa bercokol selama 13 tahun di kawasan larangan, sementara nelayan kecil diusir hanya karena jaringnya menembus “zona perusahaan”?
KETIKA NEGARA DIAM, MODAL ASING BERKUASA
Ironinya, pejabat di tingkat daerah dan provinsi saling lempar kewenangan.
DKP bilang itu urusan pusat.
Pusat bilang masih dikaji.
Sementara Autore tertawa di atas laut, memanen mutiara, dan menulis laporan keuangan dengan tinta emas.
Inilah potret klasik kolonialisme gaya baru: ketika modal menggenggam hukum, dan pemerintah hanya menjadi penonton di tepi pantai.
SEKOTONG DAN KEHUTANAN: JEJAK GELAP LAINNYA
Bukan cuma di Lombok Timur, Autore juga tertangkap beroperasi tanpa izin di Sekotong.
Lebih parah, selama 15 tahun perusahaan ini menduduki lahan kehutanan di sekitar Blok D—dan baru hengkang setelah surat peringatan keras dari Dinas Kehutanan tahun 2022.
Bayangkan, sebuah perusahaan asing bisa menguasai kawasan hutan dan laut, tanpa izin resmi, selama lebih dari satu dekade—sementara nelayan lokal dipaksa menepi dengan dalih konservasi.
KACAMATA KRITIS: SIAPA YANG BERMAIN DI BALIK DIAMNYA NEGARA?
Kasus ini bukan sekadar soal izin mutiara.
Ini soal kedaulatan negara yang dilelang diam-diam.
Soal pemerintah yang tahu tapi membisu.
Soal perusahaan asing yang paham celah hukum lebih dari pejabatnya sendiri.
Autore mungkin membayar pajak.
Tapi di balik setiap mutiara yang mereka panen, ada hak nelayan yang dirampas, ruang laut yang dijarah, dan hukum yang dibungkam.
PENUTUP:
13 tahun sudah cukup.
Negara ini tidak butuh investor yang menyamar sebagai penyelamat laut tapi bertindak seperti bajak laut.
Jika hukum masih punya harga di negeri ini,
maka PT Autore harus segera ditindak, bukan didengar.
KacaMata Kritis
Karena diam di tengah ketidakadilan adalah kejahatan yang lebih besar dari pelanggaran itu sendiri.