KacaMata Kritis

KacaMata Kritis � Melihat dengan jernih, berbicara dengan tajam. follow akun tiktok

Papuk Gesu baru dibantu setelah viral, kepala desa selama ini tidur?Berita viral tentang Papuk Gesu di Desa Sekaroh ini ...
15/09/2025

Papuk Gesu baru dibantu setelah viral, kepala desa selama ini tidur?

Berita viral tentang Papuk Gesu di Desa Sekaroh ini ibarat tamparan keras ke wajah pemerintah desa dan dusun setempat. Bayangkan, bertahun-tahun keluarga renta itu hidup di gubuk reyot, tanpa dokumen kependudukan, tanpa bantuan sosial reguler, tanpa perhatian berkelanjutan. Baru setelah diviralkan media, semua pejabat berduyun-duyun datang: Dinas Sosial kabupaten, provinsi, hingga Baznas. Pertanyaannya: kepala desa dan kepala dusun selama ini ngapain aja?

Apakah harus menunggu kamera wartawan datang dulu baru sadar ada warganya yang kelaparan di balik gubuk? Kalau kepala desa bisa tahu detail anggaran desa, bisa urus proyek paving blok, bisa tanda tangan pencairan dana BUMDes, masak urus administrasi kependudukan dan rumah layak huni untuk warganya sendiri tidak bisa?

Lebih memalukan lagi, Kepala Desa justru mengakui bahwa kondisi itu benar adanya, sekaligus mengakui ketidakberdayaannya. Padahal fungsi utama seorang kepala desa bukan hanya hadir di rapat seremonial, bukan hanya tanda tangan proposal, tapi melindungi, memperjuangkan, dan memastikan hak-hak dasar warganya terpenuhi.

Viralnya kasus Papuk Gesu ini justru membuka borok: bahwa sistem birokrasi di tingkat desa mandul, dan kepedulian sosial kepala desa hanya sebatas formalitas. Kalau benar-benar ada niat, sejak lama bisa dibuatkan administrasi kependudukan, difasilitasi akses bansos, dan dibawa masuk ke program pemerintah.

Jadi, untuk apa seorang kepala desa ada kalau warganya sendiri harus “menjerit” dulu ke media supaya diperhatikan? Jangan hanya sibuk urus pembangunan fisik yang bisa dipotret saat peresmian, sementara gubuk reyot di depan mata dibiarkan jadi saksi bisu kelalaian.










Swasembada Bawang Putih Sembalun — Proyek Raksasa yang Ternyata Hanya Membeli AnginProyek percontohan nasional swasembad...
15/09/2025

Swasembada Bawang Putih Sembalun — Proyek Raksasa yang Ternyata Hanya Membeli Angin

Proyek percontohan nasional swasembada bawang putih di Sembalun, Lombok Timur, yang mestinya menjadi kebanggaan bangsa, justru menjelma jadi simbol kebobrokan pengelolaan anggaran negara. Rp7,2 miliar uang rakyat menguap tanpa hasil, hanya menyisakan benih busuk, lahan kosong, dan janji-janji palsu.

Bayangkan, program yang digadang-gadang mampu mengangkat harkat petani justru menjerumuskan mereka pada kerugian. Separuh dari benih yang diberikan rusak, tak bisa ditanam, bahkan dianggap lebih mirip “sampah pertanian” daripada bibit unggul. Negara benar-benar seperti membeli angin dengan harga miliaran rupiah. Kalau hitungan kerugian mencapai Rp1,9 miliar, itu bukan sekadar angka—itu darah dan keringat rakyat yang dibakar sia-sia.

Lebih parah lagi, ada dugaan kelompok tani fiktif sengaja dibuat demi menyerap dana bantuan. Praktik licik semacam ini hanya menegaskan bahwa proyek pertanian bukan lagi soal pangan, tapi ladang bancakan. Bagaimana mungkin swasembada bisa tercapai kalau bibit datang setelah musim tanam lewat? Dari target 45 hektare, hanya kurang dari dua hektare yang bisa ditanami. Sisanya? Kosong. Petani ditinggalkan dengan frustrasi, dan bibit yang terlambat datang malah dijual murah di pasar.

Kontrasnya begitu telanjang ketika dibandingkan dengan inisiatif swasta seperti HIMPUNI. Tanpa anggaran triliunan, tanpa seremoni pejabat, mereka mampu menghasilkan panen 21,6 ton per hektare—melampaui target kementerian. HIMPUNI berhasil karena mereka bekerja dengan logika, bukan birokrasi busuk. Sementara pemerintah, dengan semua sumber daya negara, hanya melahirkan kegagalan yang memalukan.

Pertanyaannya: siapa yang bertanggung jawab? Apakah Rp7,2 miliar uang rakyat akan dibiarkan lenyap begitu saja? Atau aparat penegak hukum hanya akan menutup mata, pura-pura tuli terhadap bau busuk korupsi yang menyeruak dari proyek ini?

Kalau pola busuk seperti ini dibiarkan, swasembada bawang putih tak lebih dari pepesan kosong. Sembalun dijadikan panggung drama kegagalan, sementara rakyat hanya jadi penonton yang terus-menerus dibohongi. Ini bukan sekadar gagal—ini pengkhianatan terhadap petani dan bangsa.










518 Honorer Pemprov NTB Potensi DirumahkanLagi-lagi rakyat kecil jadi tumbal kebijakan negara. Sebanyak 518 pegawai hono...
14/09/2025

518 Honorer Pemprov NTB Potensi Dirumahkan

Lagi-lagi rakyat kecil jadi tumbal kebijakan negara. Sebanyak 518 pegawai honorer di Pemprov NTB terancam dicampakkan begitu saja pada 2026, hanya karena mereka tidak masuk “database” BKN atau gagal dalam seleksi.

Pertanyaannya:
Apakah selama puluhan tahun mereka mengabdi itu dianggap tidak ada nilainya? Apakah keringat, tenaga, dan loyalitas mereka lebih rendah dari setumpuk berkas administrasi?

Inilah wajah kejam birokrasi: manusia diukur dengan kode status R2, R3, R4. Seolah-olah mereka bukan lagi pejuang pelayanan publik, tapi sekadar angka yang bisa dihapus kapan saja.

Lebih ironis lagi, pemerintah dengan santainya menyiapkan anggaran ratusan miliar rupiah untuk opsi PPPK paruh waktu. Tapi tetap saja ada ratusan pegawai yang “dibuang” ke jurang pengangguran.
⚠️ Uang ratusan miliar bisa dicari, tapi harga diri dan nasib 518 orang ini bagaimana?

Kalau ini benar terjadi, maka Pemprov NTB sedang membuka pintu bom waktu sosial. Ratusan keluarga akan kehilangan nafkah, sementara pejabat hanya sibuk menyusun tabel anggaran dan surat keputusan.

Kebijakan yang tidak manusiawi ini bukan sekadar administrasi—ini adalah pengkhianatan terhadap pengabdian.

💥 Jangan biarkan mereka jadi korban statistik! Pemerintah harus berani mencari solusi, bukan sekadar menyingkirkan masalah dengan mem-PHK rakyatnya sendiri.










Sekolah Unggulan atau Monumen Keserakahan? Pro-Kontra Pembangunan SMA Garuda Nusantara di Kebun Raya Lemor"Pembangunan S...
13/09/2025

Sekolah Unggulan atau Monumen Keserakahan? Pro-Kontra Pembangunan SMA Garuda Nusantara di Kebun Raya Lemor"

Pembangunan SMA Unggulan Garuda Nusantara di kawasan Kebun Raya Lemor bukan sekadar proyek pendidikan, tetapi menjadi cermin betapa kekuasaan seringkali lebih berpihak pada kepentingan politik ketimbang keberlanjutan lingkungan dan suara rakyat.

Pemkab Lombok Timur dengan gagah berani menyebut “kajian ilmiah” dan “AMDAL”, padahal publik sudah terlalu sering mendengar kata-kata manis itu hanya sebagai pemanis untuk menghalalkan perusakan alam. Ironinya, yang disebut sebagai aset kosong adalah hutan hidup, paru-paru desa, dan kawasan konservasi yang seharusnya dilindungi.

Pertanyaan paling mendasar:
👉 Jika benar demi pendidikan, mengapa harus merampas ruang konservasi? Bukankah masih banyak lahan tidur dan tanah nganggur di Lombok Timur yang bisa digunakan?
👉 Ataukah ada agenda tersembunyi di balik pemaksaan lokasi ini, sehingga rakyat yang menolak dianggap sekadar “pendapat dalam demokrasi” dan tidak lebih dari gangguan kecil bagi ambisi penguasa?

Ini bukan sekadar pro-kontra biasa. Membangun sekolah di atas konservasi adalah kontradiksi telanjang: di satu sisi berbicara tentang mencetak generasi unggul, tapi di sisi lain mengajari mereka bahwa merusak alam bisa dibungkus dengan narasi pendidikan dan prosedur resmi.

Sejarah sudah berulang kali membuktikan: setiap proyek besar yang dipaksakan atas nama “pembangunan” dan “kajian ilmiah” ujung-ujungnya melahirkan luka panjang — konflik lahan, kerusakan ekosistem, dan hilangnya identitas kawasan. Jika Lemor yang selama ini dikenal sebagai pusat konservasi berubah menjadi tumpukan beton, maka yang lahir bukanlah sekolah unggulan, melainkan monumen keserakahan penguasa.

⚡ Kesimpulan
Pemkab harus sadar: pendidikan sejati bukan hanya soal gedung megah, tetapi soal menjaga masa depan bumi tempat anak-anak itu hidup. Dan memaksakan sekolah di atas kawasan konservasi adalah ironi pendidikan paling kejam — karena mereka sedang mengajarkan bahwa masa depan bisa dibangun dengan menghancurkan masa depan itu sendiri.







Bapenda Lotim Main Kata: Bilang Tak Naik, Faktanya PBB-P2 Mencekik Rakyat KecilPernyataan Bapenda Lotim bahwa “tidak ada...
12/09/2025

Bapenda Lotim Main Kata: Bilang Tak Naik, Faktanya PBB-P2 Mencekik Rakyat Kecil

Pernyataan Bapenda Lotim bahwa “tidak ada kenaikan tarif PBB-P2 di 2025” jelas-jelas seperti memainkan logika rakyat kecil. Faktanya, sejak 2024 tarif PBB sudah melonjak tajam dan menghantam masyarakat pedesaan yang tanahnya justru jadi tumpuan hidup.

Dalih penyesuaian NJOP lewat Perbup Nomor 31 Tahun 2023 hanyalah bungkus manis dari sebuah kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Apa bedanya “penyesuaian” dengan “kenaikan” kalau ujung-ujungnya masyarakat harus merogoh kantong lebih dalam, bahkan berkali lipat dari tahun sebelumnya?

Lebih parah lagi, rakyat kecil seperti IRT di Jerowaru yang sebelumnya hanya bayar Rp60 ribu, kini dipaksa bayar hampir Rp200 ribu. Lantas, di mana letak keadilan ketika rakyat kecil diperas dengan dalih aturan, sementara sektor besar seperti tambak udang, perusahaan listrik, dan bisnis raksasa lain kerap diberi kelonggaran atau malah diselimuti kompromi?

Kebijakan ini bukan sekadar angka di atas kertas, tapi cambuk yang menghantam kehidupan rakyat kecil yang tanahnya dipajaki seolah mereka konglomerat. Alih-alih mengoptimalkan pajak dari korporasi besar, justru rakyat kecil yang jadi tumbal.

Lebih sadis lagi, warga didatangi Tim Opjar yang menagih tunggakan belasan tahun, padahal mereka merasa tidak pernah menunggak. Ini praktik yang mirip perampasan, bukan pelayanan publik.

Bapenda Lotim harus sadar: pajak yang adil adalah pajak yang berpihak pada rakyat kecil, bukan sebaliknya. Kalau “penyesuaian NJOP” berujung mencekik, maka itu bukan kebijakan, tapi pemerasan terselubung yang dilegalkan lewat aturan.










Pembangunan Sekolah di Kebun Raya Lemor Adalah Penghianatan Terhadap Rakyat dan LingkunganRencana pembangunan SMA Garuda...
10/09/2025

Pembangunan Sekolah di Kebun Raya Lemor Adalah Penghianatan Terhadap Rakyat dan Lingkungan

Rencana pembangunan SMA Garuda Taruna Nusantara di kawasan Kebun Raya Lemor bukan sekadar salah langkah, tetapi sebuah penghianatan telanjang terhadap rakyat, hukum, dan lingkungan hidup.

Bagaimana mungkin pemerintah yang seharusnya menjadi penjaga aset ekologis justru berubah menjadi eksekutor penghancuran? SK Menteri Kehutanan No. 22/2012 dan Perbup No. 188.45/714/LHK/2017 dengan jelas menetapkan kawasan itu sebagai Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) untuk konservasi, penelitian, dan wisata ekologi. Jika aturan hukum yang sudah mengikat saja bisa ditabrak dengan alasan “proyek strategis nasional,” maka jelas yang kita hadapi bukan pembangunan, melainkan perampokan legal atas ruang hidup masyarakat.

Kebun Raya Lemor bukan hanya kumpulan pohon dan tanah. Ia adalah paru-paru Lombok Timur, sumber kehidupan air, dan warisan sosial budaya. Mengorbankannya demi proyek sekolah “unggulan nasional” sama saja dengan menukar oksigen dengan beton, dan menukar masa depan rakyat dengan gengsi sesaat.

Pemerintah daerah dan DPRD seharusnya menjadi tameng rakyat, bukan broker lahan konservasi untuk kepentingan politik dan proyek pusat. Dukungan Sekda dan OPD terkait justru memperlihatkan wajah asli birokrasi: lebih tunduk pada kepentingan proyek ketimbang mempertahankan warisan ekologis yang tak tergantikan.

Solusi yang ditawarkan warga sangat masuk akal: gunakan lahan tidak produktif, tanah pecatu, atau aset pemerintah lainnya. Tapi pemerintah memilih jalan pintas: merampas paru-paru hijau demi membangun menara gading.

Ini bukan sekadar soal sekolah. Ini soal keadilan ekologis, keberlangsungan hidup, dan harga diri masyarakat. Jika pembangunan sekolah ini dipaksakan, maka generasi yang lahir dari sekolah itu akan menjadi saksi bisu bagaimana sebuah kebijakan yang mengaku “mencerdaskan kehidupan bangsa” justru menghancurkan ruang hidup bangsanya sendiri.
Pembangunan sekolah unggulan bisa dilakukan di banyak tempat, tapi Kebun Raya Lemor hanya ada satu. Sekali hancur, tak akan pernah kembali.

Maka, menolak pembangunan di Kebun Raya Lemor bukan sekadar pilihan, tetapi sebuah kewajiban moral. Siapa pun yang mendukung perampasan ini layak dicatat dalam sejarah sebagai pengkhianat rakyat dan penjagal lingkungan.










Sekolah Unggulan atau Proyek Pemusnah Alam? Kebun Raya Lemor Jadi Tumbal AmbisiRencana pembangunan SMA Unggulan Garuda N...
10/09/2025

Sekolah Unggulan atau Proyek Pemusnah Alam? Kebun Raya Lemor Jadi Tumbal Ambisi

Rencana pembangunan SMA Unggulan Garuda Nusantara di kawasan Kebun Raya Lemor bukan sekadar proyek pendidikan, tapi ancaman nyata terhadap paru-paru hijau Lombok Timur. Dalih “lahan kosong milik Pemda” yang dipakai Sekda hanyalah tameng untuk menutupi fakta bahwa setiap jengkal tanah Kebun Raya Lemor adalah kawasan konservasi yang tidak boleh dikorbankan demi ambisi politik dan proyek mercusuar.

Bukankah Pemkab Lombok Timur selalu berkoar soal krisis air, perubahan iklim, dan bencana alam? Ironisnya, justru mereka yang membuka jalan bagi perusakan ekosistem dengan alasan sekolah unggulan. Apa artinya sekolah megah jika generasi mendatang tumbuh dalam bencana ekologis akibat hancurnya daerah resapan air?

Lebih kejam lagi, pemerintah berdalih semua akan “dikaji lewat AMDAL”. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa AMDAL di negeri ini sering kali hanyalah stempel formalitas untuk melegalkan perampasan ruang hidup rakyat. Apakah kita harus menunggu banjir bandang, longsor, atau kekeringan parah dulu baru sadar bahwa hutan Lemor bukan tanah kosong, melainkan sumber kehidupan ribuan warga?

Warga yang melayangkan petisi penolakan jelas melihat bahaya besar di depan mata. Tetapi suara mereka dipinggirkan dengan alasan “ini demokrasi, semua boleh berpendapat”. Demokrasi macam apa yang membungkam aspirasi rakyat demi memuaskan syahwat pembangunan elitis?

Pemerintah boleh menjanjikan “fungsi konservasi tidak akan hilang”, tapi sejarah pembangunan di negeri ini sudah terlalu sering membuktikan bahwa janji hanyalah ilusi. Hari ini hutan dijanjikan akan dijaga, besok pohon ditebang, tanah digusur, air mengering, dan rakyat yang menanggung azabnya.

SMA Unggulan Garuda Nusantara di Lemor bukanlah simbol pendidikan, melainkan simbol keserakahan dan kebutaan penguasa terhadap nilai ekologis. Jika benar peduli pendidikan, bangunlah sekolah di tempat yang aman tanpa mengorbankan ruang hidup rakyat. Jangan jadikan generasi muda Lombok Timur “unggul” dalam gedung sekolah megah, tapi “hancur” karena kehilangan air bersih, udara segar, dan lingkungan hidup yang lestari.








Tragedi Puskesmas Montong Betok: Ruangan Penuh, Hati Kosong, Nyawa Pasien MelayangBerita duka yang menimpa Sukmin (60) d...
09/09/2025

Tragedi Puskesmas Montong Betok: Ruangan Penuh, Hati Kosong, Nyawa Pasien Melayang

Berita duka yang menimpa Sukmin (60) di Puskesmas Montong Betok ini adalah tamparan keras bagi wajah pelayanan kesehatan di Lombok Timur. Setelah kasus di Puskesmas Sukaraja yang menuai sorotan publik, kini kembali terulang tragedi yang sama—menunjukkan pola kelalaian yang bukan lagi sekadar insiden, melainkan indikasi sistem rusak dan budaya abai dalam pelayanan kesehatan.

Bagaimana mungkin sebuah puskesmas yang disebut sebagai fasilitas kesehatan tingkat pertama justru menutup mata terhadap pasien dalam kondisi gawat darurat? Dalih “ruangan penuh” tidak bisa diterima akal sehat. Pasien sekarat bukan untuk ditimbang-timbang, apalagi untuk diajak berdebat. Oksigen, tindakan awal, dan rujukan cepat adalah prosedur standar. Namun yang ditunjukkan justru dinginnya birokrasi dan mental petugas yang lebih pandai beralasan ketimbang menolong.

Ironisnya, alih-alih memberi solusi, keluarga pasien malah dipermalukan dengan ucapan tidak pantas: “pakai mobil bak terbuka saja kalau mau cepat”. Ucapan ini tidak hanya mencerminkan rendahnya empati, tetapi juga menelanjangi betapa pelayanan kesehatan telah kehilangan rasa kemanusiaan.

Fakta bahwa sopir ambulans tidak ada di tempat, tenaga medis bergerak lambat, dan bahkan cerita lain tentang infus pasien yang sengaja dimatikan karena perawat malas—adalah bukti nyata betapa puskesmas bukan lagi tempat mencari pertolongan, tetapi arena mempertaruhkan nyawa dengan pelayanan setengah hati.

Kematian Sukmin memang bisa dikaitkan dengan riwayat penyakit jantungnya. Tetapi, nyawa manusia tidak boleh diperlakukan seperti angka statistik. Jika penanganan awal cepat dan tepat dilakukan, mungkin ceritanya berbeda. Dan jika benar tragedi ini hanyalah satu dari sekian banyak keluhan warga, maka Lombok Timur sedang menghadapi krisis kemanusiaan dalam layanan kesehatan.

Pertanyaannya:

Apakah kita harus terus menunggu korban berikutnya untuk sadar bahwa sistem kesehatan kita bocor parah?

Di mana tanggung jawab moral dan hukum para kepala puskesmas yang membiarkan jajarannya abai?

Sampai kapan rakyat kecil hanya menjadi korban birokrasi yang membunuh pelan-pelan?

Inilah wajah gelap pelayanan kesehatan Lombok Timur: ruangan penuh, hati kosong, nyawa melayang. Dan tragedi seperti ini akan terus berulang jika pemerintah daerah hanya sibuk dengan laporan indah di atas kertas, tetapi menutup mata pada fakta busuk di lapangan.










"Bayi 3 Bulan Meninggal di Sukaraja: Nyawa Rakyat Kecil Tergadai di Puskesmas"Berita ini adalah tamparan keras bagi waja...
08/09/2025

"Bayi 3 Bulan Meninggal di Sukaraja: Nyawa Rakyat Kecil Tergadai di Puskesmas"

Berita ini adalah tamparan keras bagi wajah layanan kesehatan di Lombok Timur. Seorang bayi mungil, Ahmad Al Farizi Arham, harus meregang nyawa di usia 3 bulan 20 hari, bukan karena takdir semata, tetapi karena sistem yang gagal memberi jaminan dasar: hak atas pelayanan kesehatan yang layak.

Bagaimana mungkin sebuah puskesmas—garda terdepan pelayanan kesehatan rakyat— bisa berdalih tidak ada obat sirup dan tidak ada dokter jaga? Apakah nyawa bayi bisa ditunda hanya karena "dokter tidak ada" atau "obat sirup kosong"? Di manakah tanggung jawab profesional tenaga medis yang seharusnya menyelamatkan, bukan membiarkan pasien pulang tanpa kepastian?

Keterangan Kepala Puskesmas Sukaraja yang mengatakan keluarga disarankan langsung ke rumah sakit justru membuka luka lebih dalam. Jika benar disarankan, kenapa tidak ada rujukan resmi? Kenapa pasien dibiarkan pergi begitu saja tanpa pengawalan medis? Inilah bukti nyata bahwa sistem kesehatan kita bukan hanya rapuh, tapi juga abai.

Musibah ini bukan sekadar cerita duka satu keluarga, melainkan cermin retak wajah pelayanan kesehatan di Lombok Timur. Bayi Ahmad menjadi simbol betapa nyawa rakyat kecil bisa melayang hanya karena birokrasi kaku, ketiadaan fasilitas, dan minimnya empati tenaga medis.

Jika hari ini bayi Ahmad meninggal di Sukaraja, siapa yang bisa menjamin besok tidak ada lagi bayi, ibu hamil, atau pasien miskin lain yang bernasib sama? Apakah kita harus terus mengubur anak-anak bangsa karena puskesmas gagal menjalankan fungsinya?

👉 Puskesmas bukan sekadar gedung dan papan nama. Ia adalah benteng terakhir rakyat kecil mencari pertolongan. Bila benteng ini rapuh, maka negara sedang mengkhianati warganya.










07/09/2025

PBB-P2 Lotim: Rakyat Dicekik, Elit Dibiarkan Bernapas Lega!

Kenaikan PBB-P2 di Lombok Timur adalah bukti betapa kebijakan pemerintah lebih sering menghantam perut rakyat daripada menyasar kantong-kantong besar pengusaha tambang, tambak, dan cukong-cukong tanah. Bupati boleh saja berkilah bahwa kenaikan tarif itu sudah ditetapkan sebelum ia terpilih, tetapi fakta di lapangan jauh lebih telanjang: rakyat kecil dicekik, rumah sederhana yang dulu bayar Rp15 ribu kini melonjak menjadi Rp64 ribu, bahkan ada yang dari Rp18 ribu tiba-tiba meledak jadi Rp109 ribu.

Ini bukan sekadar angka, ini adalah bentuk perampasan terselubung lewat dalih pajak. Ironisnya, Bupati malah menyarankan rakyat membuat surat jika merasa keberatan. Pertanyaan paling mendasar: kenapa rakyat yang harus pontang-panting bikin surat, sementara pemerintah yang membuat kebijakan ngawur malah duduk manis di kursi empuk?

Lebih parah lagi, tidak ada sosialisasi, tidak ada transparansi, rakyat langsung dihantam tagihan. Seakan rakyat adalah sapi perah yang hanya tahu diam dan diperas tanpa suara. Kalau ada tanah salah ukur, objek pajak berlipat, rakyat lagi yang disuruh memperbaiki. Pemerintah seperti ini sama saja melembagakan ketidakadilan.

Kenaikan tarif PBB-P2 ini bukan hanya masalah angka, tapi masalah moral. Di satu sisi rakyat harus bayar mahal, di sisi lain, tambak-tambak besar, kendaraan dinas, dan aset elit pejabat justru dibiarkan lolos dari sorotan pajak. Ini adalah politik pajak yang busuk, memeras keringat rakyat kecil untuk menutupi kebobrokan tata kelola daerah.

Jika Bupati benar-benar punya nurani, jangan hanya janji “turunkan kalau ketinggian”, tapi cabut kebijakan PBB-P2 yang memberatkan rakyat miskin. Jangan jadikan rakyat sebagai tumbal pembangunan, sementara kaum berduit tetap dilindungi. Karena kalau terus dibiarkan, pajak bukan lagi kewajiban warga, tapi berubah menjadi alat penindasan yang dilegalkan negara.








semua orang

SPAM Selatan Mangkrak: Warga Sekaroh Beli Air Rp350 Ribu per Tangki, Pemerintah DiamAir adalah hak hidup paling dasar, b...
06/09/2025

SPAM Selatan Mangkrak: Warga Sekaroh Beli Air Rp350 Ribu per Tangki, Pemerintah Diam

Air adalah hak hidup paling dasar, bukan barang mewah yang hanya bisa dibeli dengan harga mencekik. Tetapi di Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur, ironi pahit sedang terjadi: warga harus merogoh hingga Rp350 ribu hanya untuk satu tangki air—sementara di sisi lain, proyek water meter SPAM yang digembar-gemborkan sejak empat tahun lalu masih mandek, tidak pernah mengalirkan setetes pun ke keran warga.

Inilah wajah nyata dari pembangunan yang gagal, proyek yang mangkrak, dan birokrasi yang hanya pandai membuat janji kosong. Apa gunanya memasang ribuan water meter jika tidak ada air yang mengalir? Itu bukan program pelayanan publik, melainkan monumen kebohongan yang dipasang di depan mata rakyat.

Krisis air bersih di Sekaroh bukan sekadar masalah teknis “tekanan air lemah”, melainkan simbol kegagalan negara dalam menjamin hak asasi warganya. Rakyat dipaksa membeli air dengan harga selangit, sementara pemerintah sibuk dengan uji coba, rapat, dan wacana tanpa solusi nyata.

Bagaimana mungkin RSUD harus turun tangan menyuplai tangki air untuk warga desa, sementara miliaran rupiah sudah digelontorkan untuk program SPAM? Bukankah itu bukti bahwa proyek tersebut hanya menjadi ladang bancakan anggaran, bukan solusi rakyat?

Kepala desa boleh saja berharap, warga boleh terus menunggu, tetapi penundaan demi penundaan sama saja membiarkan rakyat mati perlahan karena kehausan.

Pemerintah Lombok Timur harus berhenti menjadikan air sebagai komoditas dagangan dan mulai menjalankan kewajibannya: menjamin akses air bersih yang layak, murah, dan berkelanjutan. Jika tidak, SPAM Selatan hanyalah proyek gagal yang menambah daftar panjang pengkhianatan terhadap rakyat kecil.






Pilkada Bukan Lagi Milik Rakyat, Tapi Milik Para Pemilik KuasaUsulan PKB agar Pilkada tidak lagi dipilih langsung oleh r...
05/09/2025

Pilkada Bukan Lagi Milik Rakyat, Tapi Milik Para Pemilik Kuasa

Usulan PKB agar Pilkada tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD atau pemerintah pusat, adalah pengkhianatan terang-terangan terhadap demokrasi!
Itu bukan sekadar ide, tapi tamparan keras bagi jutaan rakyat yang sudah berdarah-darah memperjuangkan hak suara sejak reformasi 1998.

Jika kepala daerah ditentukan hanya oleh DPRD atau pusat, maka rakyat akan kembali menjadi penonton, sementara elite politik pesta pora bagi-bagi kursi. Apa bedanya dengan zaman Orde Baru, ketika rakyat hanya dijadikan objek, bukan subjek?

Rakyat membayar pajak, tapi tidak boleh memilih pemimpinnya. Itu artinya demokrasi dipreteli, kedaulatan diperkosa, dan suara rakyat dipasung demi kenyamanan politikus.
Pilkada langsung memang penuh masalah: mahal, rawan politik uang, dan konflik. Tapi solusinya bukan dengan mencabut hak rakyat, melainkan membersihkan sistemnya!

Mengembalikan Pilkada ke tangan DPRD justru membuka ruang lebih besar bagi korupsi, transaksi gelap, dan oligarki. Rakyat tidak lagi bisa menghukum pemimpin busuk dengan tidak memilihnya.

Kalau usulan ini lolos, maka kepala daerah bukan lagi "dipilih rakyat untuk rakyat", tapi "ditunjuk elite untuk kepentingan elite".
Ini jalan pintas menuju kematian demokrasi.
Dan jika suara rakyat dibungkam, jangan salahkan jika perlawanan akan kembali menggema dari jalanan!










Address

Jalan Selong
Selong
83672

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when KacaMata Kritis posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share