05/12/2025
PART II
RAMUAN KOPI PENAMBAH STAMINA
# # # Part 2: Pagi yang Masih Panas
Subuh baru saja berkumandang. Hujan sudah reda, hanya tinggal rintik-rintik kecil yang menetes dari atap. Di dalam kamar kayu yang masih bau keringat dan nafsu, Amel terbangun pelan karena ada sesuatu yang hangat dan keras menggesek paha bagian dalamnya.
Matanya masih setengah terpejam, tapi ia langsung tersenyum nakal. Ardi belum tidur sama sekali. Lelaki itu hanya berbaring di sampingnya, tangan kanannya sudah merayap lagi ke buah dada Amel, jempolnya mengelus puting yang masih sensitif dari malam tadi.
“Mas… masih belum puas ya?” bisik Amel serak, suaranya habis karena terlalu banyak mengerang semalam.
Ardi tak menjawab dengan kata. Ia hanya menatap mata Amel dengan pandangan lapar, lalu menarik selimut yang menutupi tubuh telanjang mereka berdua. Cahaya pagi yang samar menyelinap dari celah jendela, membuat kulit Amel tampak semakin putih dan bekas-bekas merah di leher, dada, dan pahanya terlihat jelas.
Ardi menunduk, mencium pelan bibir Amel yang masih bengkak. Ciumannya lembut dulu, seperti minta maaf karena terlalu ganas semalam. Tapi tak lama kemudian lidahnya sudah menyelinap masuk, bertarung lagi dengan lidah Amel yang langsung menyambut.
Sambil berciuman, tangan Ardi turun ke bawah selimut, langsung menemukan tempat yang masih basah dari sisa-sisa malam. Jari tengahnya menyelinap masuk dengan mudah, disambut dinding yang langsung mengencang.
“Mas… aku masih pegel semua…” keluh Amel di sela ciuman, tapi pinggulnya malah menggerakkan sendiri mengikuti irama jari Ardi.
“Pegel tapi masih mau, kan?” goda Ardi, menambah satu jari lagi, menggerakkannya lebih cepat.
Amel hanya bisa mengangguk lemah, matanya sudah berkaca-kaca karena nikmat yang kembali membanjir.
Tiba-tiba Ardi menarik jarinya, membuat Amel mengeluh kecewa. Tapi sebelum ia protes, Ardi sudah membalikkan tubuhnya, menarik pinggul Amel tinggi-tinggi hingga posisi doggy. Amel menoleh ke belakang, rambutnya yang lepas dari ikatan menutupi sebagian wajahnya.
“Mas… pelan ya, aku masih lemes…” pintanya manja.
Ardi hanya mengangguk, lalu menunduk dulu. Ia mencium punggung Amel dari atas ke bawah, lidahnya menelusuri tulang belakang istrinya hingga ke bawah. Saat lidahnya menyentuh bagian paling belakang, Amel langsung menjerit kecil dan tubuhnya bergetar.
“Mas! Jangan di situ… malu…”
Tapi Ardi malah semakin nakal. Ia menahan pinggul Amel yang mencoba kabur, lalu lidahnya bermain di sana, menjilat pelan, memutar, bahkan menyelinap masuk sedikit. Amel langsung lemas, lututnya gemetar, tangannya mencengkeram sprei hingga putih.
Setelah puas menggoda, Ardi baru bangun, memposisikan diri di belakang. Ia menggosok-gosokkan ujung miliknya di bagian depan Amel dulu, menggoda hingga Amel menggeliat dan memohon.
“Mas… masukin… aku udah nggak tahan…”
Dengan satu dorongan pelan tapi dalam, Ardi masuk sepenuhnya. Amel langsung mendesah panjang, kepalanya terdongak ke atas. Ardi mulai bergerak pelan dulu, menikmati setiap gesekan, setiap kontraksi dinding Amel yang masih sensitif.
Tapi tak lama kemudian ritmenya semakin cepat. Tangan Ardi meraih rambut panjang Amel, menariknya pelan ke belakang seperti tali kekang. Amel semakin liar, pinggulnya membalas setiap dorongan dengan gerakan maju-mundur yang ganas.
“Mas… lebih keras… aku mau lagi…” erang Amel tanpa malu lagi.
Ardi melepaskan rambutnya, lalu meraih kedua tangan Amel, menariknya ke belakang hingga tubuh Amel melengkung indah. Ia menghantam lebih dalam, lebih cepat, suara benturan kulit terdengar keras di kamar yang sunyi.
Amel mencapai puncak pertama pagi itu dengan jeritan yang tertahan di bantal. Tubuhnya bergetar hebat, cairan hangat membasahi paha Ardi. Tapi Ardi belum selesai. Ia terus bergerak, bahkan setelah Amel lemas dan hanya bisa pasrah digoyang.
Baru setelah Amel klimaks untuk ketiga kalinya pagi itu, Ardi akhirnya melepaskan segalanya di dalam. Ia ambruk di atas punggung Amel, napas mereka sama-sama tersengal.
Beberapa menit mereka diam begitu saja, hanya saling mendengar detak jantung yang masih kencang.
Amel akhirnya berbalik pelan, memeluk Ardi erat-erat, wajahnya berseri-seri meski badannya pegal semua.
“Mas… kopi Mbok Samin itu aku beli banyak. Satu kilo,” bisiknya sambil tertawa kecil.
Ardi mencium kening Amel, lalu tertawa pelan.
“Mending kita buka warung kopi aja, Mel. Namanya ‘Kopi Stamina Mas Ardi’. Pasti laris manis.”
Amel mencubit perut suaminya manja.
“Enggak boleh! Kopi itu cuma buat aku seorang.”
Di luar, matahari mulai terbit. Di dalam, mereka berdua masih saling peluk, tahu bahwa hari ini (dan mungkin beberapa hari ke depan) mereka takkan keluar dari kamar terlalu sering.
Kopi Mbok Samin memang benar-benar mujarab.