28/11/2025
Dusun Legetang pernah berdiri di lereng tinggi Dieng, dalam wilayah Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara. Pada masa itu, wilayah ini dikenal subur dan makmur. Rumah rumah berdiri rapat di lembah sempit, dikelilingi bukit hijau dan ladang kentang. Tidak ada yang menyangka bahwa kehidupan tenang tersebut berakhir dalam satu malam yang paling kelam dalam sejarah Dataran Tinggi Dieng.
Malam 16 menuju 17 April 1955, hujan turun tanpa henti. Hujan menghantam lereng Gunung Pengamunamun, hingga tanah vulkanik jenuh air. Menjelang tengah malam, dentuman keras terdengar menggetarkan. Saksi dari desa tetangga menggambarkannya seperti bom yang meledak, atau gunung roboh. Ketika cahaya pagi muncul, pandangan semua orang membeku. Dusun Legetang menghilang. Tidak tampak lagi rumah, sawah, maupun jalan kecil yang biasa terlihat. Lembah itu berubah menjadi timbunan tanah, batu, dan batang pohon. Semua kehidupan di bawahnya lenyap.
Catatan ingatan penduduk mencatat 351 orang terkubur bersama kampung mereka. Terdiri dari 332 warga dukuh legetang dan 19 orang warga desa lain . Tidak ada proses evakuasi layak, karena alat berat tidak tersedia pada masa itu. Banyak jenazah tidak pernah ditemukan. Lokasi pemukiman kemudian ditanami kembali menjadi ladang kentang. Di tengah hamparan tanah datar, berdiri tugu peringatan beton setinggi sekitar 10 meter. Prasasti yang terpasang menyebut nama nama korban, namun banyak bagian kini memudar tergerus waktu dan hujan dingin dataran tinggi.
Sejak kejadian itu, berkembang cerita yang bercampur antara fakta geologi dan keyakinan masyarakat. Banyak warga Dieng menuturkan bahwa sebelum bencana, Legetang dikenal sebagai kampung yang gemerlap pesta dan hiburan malam. Cerita lisan menyebut bahwa warganya kerap mengadakan pesta miras, perjudian di rumah rumah tersembunyi, serta pergaulan bebas yang dianggap tidak sesuai norma. Tarian lengger dikabarkan berlangsung hingga pagi, diiringi riuh tawa dan musik keras. Versi cerita moral masyarakat menggambarkan Legetang sebagai tempat yang kehilangan arah, dan tragedi besar yang menyusul kemudian diterjemahkan sebagai adzab, hukuman yang datang dari langit ketika batas kesabaran alam telah terlampaui.
Versi legenda yang paling menegangkan menyebut bahwa puncak gunung di atas Legetang tidak hanya retak atau longsor biasa. Warga menggambarkan puncaknya seakan terpotong mendatar, seperti nasi tumpeng yang diiris dari samping menggunakan pedang raksasa. Bagian pucuk yang terpenggal itu disebut bergerak mengambang sesaat, sebelum meluncur dan menghantam lembah tempat desa berdiri. Bentuk patahan lebar memanjang yang masih terlihat hingga kini diyakini sebagai bekas sayatan raksasa, yang memulai malapetaka. Gambaran ini memperkuat keyakinan bahwa bukan hanya longsoran yang jatuh dari atas, melainkan gumpalan tanah dan batu yang dilemparkan dengan kekuatan dahsyat ke arah dusun.
Pertanyaan besar yang memicu legenda ialah jalur longsoran. Dalam ingatan warga, terdapat jurang dan aliran sungai kecil yang memisahkan lereng gunung dan dusun. Namun setelah kejadian, jurang tersebut justru masih utuh, sedangkan dusun di seberang lenyap. Hal ini dianggap mustahil menurut pandangan awam, sehingga muncul anggapan bahwa longsor melayang menyeberangi ruang sebelum menghantam Legetang. Keyakinan seperti inilah yang menjadikan tragedi tersebut semakin diliputi aura mistis dan kengerian yang diwariskan turun temurun.
Kajian ilmiah masa kini memberi gambaran berbeda. Struktur tanah Dieng mengandung endapan vulkanik tua yang rapuh, dengan kemiringan curam lebih dari 40 derajat di beberapa titik. Ketika curah hujan tinggi, tanah ini mudah meluncur sebagai longsoran besar dan membentuk gelombang dorong yang mampu melintasi ruang serta menimpa lembah seberangnya. Peneliti menyimpulkan bahwa peristiwa Legetang merupakan kombinasi kerentanan geologi, hujan ekstrem, dan tidak adanya pemantauan mitigasi.
Trauma mendalam membuat penduduk sekitar enggan membicarakan tragedi selama bertahun tahun. Minimnya dokumentasi memicu berbagai versi mitos yang berkembang tanpa batas. Pada saat yang sama, tragedi ini menjadi pengingat bahwa keindahan alam Dieng menyimpan potensi bencana sangat besar. Kini, lokasi itu kadang dikunjungi wisatawan yang penasaran dengan ladang sunyi yang diyakini menyimpan ratusan nama di bawah tanah.
Legetang merupakan pelajaran tentang rapuhnya peradaban manusia ketika berhadapan dengan alam. Dalam keheningan ladang kentang, hanya tugu yang sepi itu menyimpan kisah yang tidak pernah selesai, antara fakta geologi dan suara tak terlihat yang kembali diceritakan dari sisa ingatan yang bertahan.