BAKSO DAN MIE AYAM

BAKSO DAN MIE AYAM kita Melang Lang buana dan berimajinasi dalam petualangan yg seru, sedih, lucu, menegangkan bersama Doraemon. dalam cerpen, novel, dan film..

“Inget setelah KKN kita akan bercerai. Jangan baper karena kita satu kelompok.Gue tau gue tampan. Semua orang juga s**a ...
23/08/2025

“Inget setelah KKN kita akan bercerai. Jangan baper karena kita satu kelompok.Gue tau gue tampan. Semua orang juga s**a sama gue, Lo juga salah satunya pasti. Lo harus tahu diri kita akan berpisah.”

Dia pikir aku akan jatuh cinta padanya hanya karena satu kelompok KKN. Lihat saja siapa yang akan menjilat ludahnya sendiri. Selama ini dia tak pernah melihat wajah dibalik cadarku, akan aku buktikan padanya kalau aku ..

Part 6

Aku merasa kasihan melihat Aisyah begitu. Dia masih memejamkan matanya dan meringkuk panik sambil mencoba mengibas-ngibas kerudungnya dengan buku yang dia pegang. Tapi karena dia panik dan gak bisa lihat dengan jelas, malah makin grogi itu ulat malah jalan-jalan ses**a hatinya.

“Rey lo ambil Rey. Gue geli.” Darma ikut lari dengan keempat perempuan yang tadi duduk didekat Aisyah.

“Payah lo Dar.”

“Alah lo sendiri ngapain disini Surya!”

“Gue refleks aja, gara-gara lo tadi kabur juga.

Keduanya malah berdebat tidak jelas. Aisyah makin meringis ketakutan. Masih berusaha sendiri untuk mengibaskannya sendiri. Sedang Zayyan dia sudah berdiri tegak. Tapi kayanya masih sungkan buat nolongin. Haha! Iyalah, pasti orang kayak dia anti deketin cewek.

Aku berdiri, berasa kayak pahlawan kesiangan. Kayanya emang cuman aku yang bisa ngambil itu. Entahlah gerakan tubuhku juga refleks. Padahal hati membencinya setengah mati. Mataku mulai tajam melihat padanya. Tanganku terangkat dan perlahan mendekat padanya.

“Tenang... tenang dulu Syah, jangan gerak yah.” suara Zayyan terdengar pelan. Dia langsung bergerak dari tempat berdirinya dan dengan hati-hati menyingkirkan ulat bulu itu dari pet kerudung Aisyah dengan sebuah tisu.

S**t!

Br3ngsek!

Entahlah mendadak aku kesal sendiri lagi.Kupikir dia gak akan berani mendekat. Ternyata aku salah. Dia malah jadi pahlawan kesiangannya Aisyah.

“Wahhh keren Zayyan. Pantas dia jadi ketua kelompok ini. Dari pada yang ngakunya paling ganteng tapi cuman berdiri kayak patung. Ngomong aja lo juga takut Rey.”

Aih … punya dendam apa Dewi sama aku. Dia kayak memendam kesal kalau ngomong sama aku.

Aisyah membuka matanya perlahan, masih tampak tegang. Tapi begitu melihat ulat itu sudah tidak ada, dia langsung menghela nafas panjang. Matanya mengerjap, aku tidak sengaja begitu lekat melihat itu. Cukup lama, sampai tiba-tiba.

“Indah yah matanya! Katanya wanita bercadar emang matanya indah-indah.” kata Darma berbisik pelan di telingaku.

“Biasa saja. Lebih cantik mata cewek gue lah.” jawabku santai. Langsung aku memalingkan wajah ke arah yang lain. Takut yang di depan keburu geer kalau aku lihatin dia.

“Udah, aman. Gak usah takut.” Zayyan tersenyum kecil, tangannya masih memegang ujung tisu yang tadi dia pakai buat nyopot ulatnya. Darma menatap dengan senyuman di wajahnya. Sudah penuh sepertinya otak dia itu ingin meledek Asiyah dan Zayyan yang terlihat canggung saat ini.

“Adegan tadi bikin gue baper tahu Syah. Kalian ini memang cocok. Ya Allah semoga nanti kalian berjodoh menikah jadi suami istri.” Celetuk Darma yang kini sudah duduk di sampingku.

“Ngomong apaan lo, kampr3t bener,” celetukku yang tidak bisa nahan untuk mengumpat padanya.

“Kenapa lo yang sewot?”

“Enek gue denger lo ngomong Dar.”

“ Ya udah gue jauh-jauh deh dari lo.” Darma malah langsung geser jauhin aku.

Aku langsung diam, wajahku pasti terlihat aneh. Karena aku juga bingung. Kenapa aku merasa tidak s**a dengan ucapan Darma tadi. Padahal Aisyah. dia tak pernah aku anggap siapa-siapa. Kami menikah hanya formalitas saja.
Diskusi kami dilanjutkan kembali. Hari ini memang waktunya untuk menyelesaikan semua keputusan, karena besok sudah dijadwalkan untuk survey lokasi. Dan kalau semuanya berjalan lancar, minggu depan kami akan langsung berangkat ke sana.

“Besok siapa yang kosong, ikut survey. Yang benar-benar gak ada kegiatan ya,” kata Zayyan yang sejak tadi cukup aktif dalam diskusi. “Karena pasti bakal seharian penuh.”

“Yang cowok-cowok sajalah. Kita yang cewek, langsung berangkat saja nanti,” ujar Syifa sambil bersandar santai ke kursi. “Ribet gak sih kalau harus ikut survey segala…”

“Setuju. Besok gue ada kuliah juga,” timpal Nesa, mengangkat tangan setengah malas.

“Ya udah, besok aku kosong,” kata Rafi yang duduk di seberangku.

“Yang laki-laki kalau kosong ikut semua ya.”

Aku hanya duduk diam dari tadi. Tidak banyak berkomentar lagi, hanya memperhatikan jalannya diskusi sambil sesekali mengangguk. Pandanganku mengikuti alur obrolan mereka, tapi sesekali juga teralihkan—entah kenapa— sejak melihat Zayyan jadi pahlawan untuk Aisyah tadi. Aku jadi malas bicara lagi.

Diam-diam mataku justru sering terpaku ke arah Zayyan... dan Aisyah.

Entah kenapa, beberapa kali aku menangkap momen ketika Zayyan memperhatikan Aisyah. Atau mungkin aku saja yang terlalu memperhatikan? Tapi yang jelas, bukan hanya pandangan. Mereka juga sering saling beradu argumen di tengah diskusi. Bukan debat panas, tapi diskusi yang nyambung dan asyik. Terkadang mereka malah seperti punya bahasa sendiri, yang hanya mereka berdua mengerti. Dan... mereka terlihat sangat cocok. Tapi terlihat menggelikan di mataku.

"Beneran cocok!"

Tiba-tiba saja hatiku berisik sendiri. Apaan coba? Sejak kapan aku jadi begini?

Rasanya aneh. Kayak ada yang mengganggu, tapi aku juga tidak tahu apa yang mengganggu pikiranku. Makin lama melihat mereka berdua, makin pengen tutup mata. Pengen pura-pura gak lihat. Bahkan... pengen teriak. Muak lihatnya!

Adzan ashar berkumandang, dan akhirnya kami bubar juga. Udah panas dada dari tadi pengen cepet pulang. Semua sudah diputuskan. Tinggal dijalani saja: besok survey, minggu depan berangkat.

"Duluan yah!" Zayyan melengos, saat Aisyah sudah berjalan dengan kedua temannya. Dia malah menyusul dari belakang.

Arg... lagi-lagi, mataku sepet saat tanpa sengaja menangkap mereka. Aisyah dan Zayyan. Berjalan beriringan. Memang di sisi Aisyah ada Syifa dan Dewi juga, tapi tetap saja, kenapa harus ada Zayyan di antara mereka?

Kenapa harus dia yang nyempil di sana?

Aku masih duduk dan terpaku di tempatku. Tanganku mengambil ponsel dari dalam tas kecil. Puluhan pesan dari Sherin masuk, tapi entah kenapa tak satu pun kubuka. Bukannya membalas, aku malah cari-cari nomor Aisyah.
Si4l!
Apa yang sebenarnya aku lakukan? Rasanya hatiku panas, sesak. Ingin marah, tapi bingung harus ke siapa. Pada Aisyah? Pada Zayyan? Atau justru pada diriku sendiri?

Ku temukan nomor Aisyah. Tanganku dengan cepat mengetik pesan untuknya.

[Tunggu di gerbang. Lo pulang bareng gue. Papah nunggu di rumah.]

tbc
Baca lebih panjang di KBM app
Judulnya: Jadi Cerai Gak?
Penulis Qasya

ISTRI KECIL OM MAFIAEpisode 2Keusilan ArunaRumah besar itu kini porak-poranda. Api sudah berhasil dipadamkan, tapi bau a...
22/08/2025

ISTRI KECIL OM MAFIA
Episode 2
Keusilan Aruna

Rumah besar itu kini porak-poranda. Api sudah berhasil dipadamkan, tapi bau asap dan darah masih menusuk di udara. Sementara itu, anak buah Kenzo masih sibuk membersihkan sisa-sisa serangan.

Di ruang kerja, Kenzo duduk di balik meja kayu jati, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Sedangkan jemarinya sibuk merapikan senjata, matanya yang tajam tak lepas dari simbol naga merah yang kini tergeletak di atas meja.

Aruna, yang sejak tadi mondar-mandir seperti anak ayam kehilangan induk, akhirnya mendekat.

“Om ... boleh aku duduk di sini?” tanyanya, menunjuk kursi di seberang meja.

Kenzo mendongak sekilas, lalu kembali fokus pada senjatanya.
“Lakukan apa yang kau mau. Asal jangan sentuh barang di meja ini.”

Aruna langsung duduk dengan gaya seenaknya, kakinya digoyang-goyang. Namun pandangan matanya justru tertuju pada pistol hitam yang sedang dibersihkan Kenzo.

“Wih, keren banget pistolnya. Itu G***k ya? Sama kayak di film-film Hollywood!” ucapnya kagum.

Kenzo berhenti sejenak, lalu menatap Aruna dengan sorot tajam.
“Dari mana kau tahu G***k?”

Aruna tersenyum lebar.
“Ya dari nonton film lah. Om pikir aku nggak update gitu? Aku ini Gen Z, Om. Beda sama Om yang Gen Tua.”

Kenzo mendengus pelan.
“Gen Tua?” ulangnya datar.

“Iya,” Aruna mengangguk mantap. “Umur kita beda jauh, Om. Aku masih 19 tahun, Om udah 30 tahun. Jadi jelas lah aku panggilnya Om. Lagian ... lucu, kan?”

Kenzo tidak menanggapi. Ia kembali merakit pistolnya dengan cepat dan presisi. Namun dalam hati, ia merasa gadis itu benar-benar tidak tahu takut. Semalam baru saja melihat orang mati, sekarang sudah bisa bercanda seenaknya.

Aruna kembali memperhatikan gerakan tangan Kenzo dengan serius. “Om ... ajarin aku nembak, dong.”

Seketika Kenzo menoleh, alisnya terangkat. “Tidak.”

“Kenapa? Aku kan harus bisa jaga diri. Kalau ada yang nyulik aku, kan aku bisa ‘DOR! DOR!’ gitu.” Aruna menirukan gaya menembak sambil berpose konyol.

Kenzo mendengus, menahan senyum yang hampir muncul. Ia memalingkan wajah.
“Kau tidak perlu belajar menembak. Karena tugasku melindungimu.”

Aruna mendekat, mencondongkan tubuh ke meja. “Om ini terlalu protektif. Aku tuh bukan boneka, Om. Aku bisa belajar. Lagian ... aku kan sekarang istri mafia. Masa istri mafia nggak bisa pegang pistol? Malu-maluin dong!”

Kenzo mengangkat pistolnya, lalu menodongkannya ke arah Aruna.

“Berani pegang?” suaranya berat, dingin.

Aruna terkejut, tapi bukannya mundur, ia justru mengulurkan tangan gemetar dan menyentuh senjata itu.
“T-tentu berani ... Walaupun agak deg-degan.”

Kenzo menatap dalam, lalu tiba-tiba meletakkan pistol itu di tangan Aruna. Beratnya membuat gadis itu hampir menjatuhkan senjata.

“Ya ampun! Berat banget! Kirain enteng kayak di film,” keluhnya.

“Karena hidup di dunia nyata tidak sama dengan film, Aruna,” ujar Kenzo, nada suaranya dingin tapi entah kenapa membuat Aruna merinding sekaligus terpesona.

***

Suasana hening beberapa saat, hingga akhirnya pintu tiba-tiba dibuka.

BRUKK!!!
Suara keras dari luar ruangan membuat Aruna kaget. Ia langsung menodongkan pistol ke arah pintu dengan gaya ala-ala film aksi di film.

Ketika pintu terbuka, terlihat Raka, tangan kanan Kenzo, yang masuk dengan membawa map tebal. Begitu melihat Aruna menodongkan pistol, Raka sampai terbelalak.

“ASTAGA, NONA!!!”

Aruna panik. Jemarinya refleks menarik pelatuk.
DOR!!!

Peluru melesat, nyaris mengenai kepala Raka, beruntung hanya menembus dinding kayu di belakangnya.

“YA TUHAN!!!” Raka langsung jongkok, wajahnya pucat pasi.

“Bos! Istri Bos hampir saja membunuh saya!”

Kenzo menutup wajah dengan tangan, sekaligus menahan amarah dan tawa. Ia bangkit, merebut pistol dari tangan Aruna.

“Kau benar-benar berbahaya kalau memegang senjata,” katanya dingin.

Aruna cengengesan. “Hehe ... salah pencet, Om.”

Raka menatapnya ngeri. “Nona, kalau salah pencet di dunia mafia itu artinya nyawa melayang!”

Kenzo menepuk bahu Raka, lalu berkata datar, “Keluar. Sekarang.”

Raka buru-buru pergi, dengan menggerutu ketakutan.

***

Begitu pintu tertutup, Aruna mendekat pada Kenzo dengan wajah polos.

“Om ... Barusan aku keren nggak?” tanya Aruna dengan begitu percaya diri.

Kenzo menatapnya dengan sorot tajam.
“Kau hampir membunuh orang.”

“Tapi nggak kena, kan?” Aruna menyengir. “Itu artinya aku punya bakat jadi penembak jitu.”

Kenzo menghela napas panjang. Ia ingin marah, tapi entah kenapa bibirnya justru hampir saja tersenyum. Gadis itu benar-benar seperti badai kecil yang bisa menghancurkan dinding es di hatinya.

Namun belum sempat suasana mencair, ponsel Kenzo berdering. Saat melihat layar ponselnya, wajahnya mendadak menegang.

Aruna memperhatikan perubahan ekspresi itu. “Kenapa, Om? Siapa yang nelpon?”

Kenzo menjawab dengan suara berat,
“Pesan dari mereka. Malam ini ... mereka akan datang lagi.”

Aruna tercekat. “Mereka? Maksudnya… musuh semalam?”

Kenzo menatapnya lama, lalu menaruh tangan di bahunya.
“Bersiaplah, Aruna. Dunia yang kau masuki ... tidak ada jalan kembali.”

Aruna menelan ludah, sorot matanya bergetar. “Om ... serius? Mereka nggak kapok juga setelah semalam porak-poranda begitu.”

Kenzo menyalakan rokok, menarik isapan panjang, lalu menghembuskan asap ke udara. “Musuh tidak pernah kapok, Aruna. Mereka hanya tahu dua hal, menyerang sampai menang ... atau mati.”

Aruna menatapnya lekat-lekat. Ada sesuatu dalam suara berat Kenzo yang membuat bulu kuduknya meremang. Tapi di sisi lain, ia merasa aneh, ada rasa aman yang justru muncul di balik ancaman itu.

“Terus ... aku gimana, Om? Aku nggak mau jadi beban,” katanya pelan.

Kenzo mengarahkan pandangannya pada gadis itu. Untuk pertama kalinya, sorot matanya sedikit melunak. “Kau sudah menjadi beban sejak awal aku menerima amanah dari mendiang ayahmu."

Aruna manyun, wajahnya merengut. “Om jahat.”

Kenzo menghela napas, mematikan rokok di a***k kristal. “Dengar, Aruna. Kau tidak perlu menjadi apa pun selain dirimu sendiri. Tugasmu hanya satu ... tetap hidup.”

Aruna terdiam, dada mungilnya naik-turun menahan emosi. Kata-kata itu sederhana, tapi entah kenapa membuatnya hangat sekaligus takut.

Baca selengkapnya kisah ini hanya di Kbm App
Judul : ISTRI KECIL OM MAFIA
Penulis : Pemilik_Hati94

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/0e27d0be-fac1-4d55-a3a6-8642056acbed?af=335835f4-972a-aedc-1bf6-928530e93dc1

"Aku akan menikahi Nada," ucap Manggala suatu malam, suaranya datar tapi serasa mengge legar di pendengaran Kiara.Wanita...
22/08/2025

"Aku akan menikahi Nada," ucap Manggala suatu malam, suaranya datar tapi serasa mengge legar di pendengaran Kiara.

Wanita itu membeku. Sejenak napasnya tercekat. Matanya menatap ke arah sang suami, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Dipikir setelah Manggala tidak membahas nama gadis itu lagi, semua sudah selesai. Ternyata diam-diam mereka masih tetap menjalin hubungan.

"Nada masih menungguku. Dia rela aku mempertanggungjawabkan kesalahan kakakku, tapi dia juga tidak meninggalkanku. Kami sudah merencanakan pernikahan waktu itu."

Seolah Kiara merasakan seluruh isi ruangan runtuh menimpanya. Ucapan Manggala terasa seperti pu kulan telak. Ia menarik napas dalam. Sadar, Kiara. Kamu ini bukan siapa-siapa. Masih untung Manggala mau bertanggungjawab atas apa yang tidak dilakukannya.

"Kapan?" pertanyaannya nyaris tak terdengar.

"Bulan depan. Aku bicara baik-baik denganmu. Aku tidak ingin diam-diam melakukannya, Kiara."

"Jadi aku harus menandatangani surat izin poli gami?"

"Kami nikah siri dulu. Sebab Nada juga sibuk. Terdesak juga karena adik perempuan Nada akan menikah. Orang tuanya tidak ingin Nada dilangkahi adiknya." Selesai bicara, Manggala beranjak pergi ke ruang kerjanya.

Kepalanya terasa berat. Kiara menunduk, menatap jemari yang bertaut di pangkuannya. Ingin berkata tidak, ingin menolak, ingin marah. Tapi Kiara justru mengangguk. Dia bisa apa? Telah berhu tang budi pada Manggala dan lelaki itu berhak bahagia. Namun ini menyakitinya.

Ia tidak menolak ijab qobul ulang setelah selesai nifas saat itu. Sebab dipikirnya akan bahagia. Bisa menjalani pernikahan dengan Manggala sebagaimana mestinya. Apalagi setelah ijab kabul usai persalinan, ia dan Manggala juga menjalani pernikahan seperti pada umumnya. Berhubungan sebagaimana mestinya. Kiara tersenyum getir. Ah, ternyata bahagia itu hanya mimpinya saja. Pada kenyataannya dia terluka oleh dua lelaki yang notabene bersaudara.

Hari-hari berikutnya menjadi mimpi buruk. Kiara meski han cur, berusaha berdiri tegak. Ia menahan luka, menahan tangis, dan ikut terlibat dalam persiapan pernikahan Manggala dengan perempuan lain.

Ia yang memilihkan cincin, yang membeli perhiasan untuk Nada karena Manggala sangat sibuk kala itu.

"Apa aku bo doh, Ya Allah," ucapnya lirih sambil menunduk. Ya, dirinya memang seb0doh-bod0hnya perempuan. Kalau pintar, tentu tidak akan menyerahkan kehormatannya pada lelaki yang belum menjadi suaminya. Kiara tersenyum pahit.

Ketika hari pernikahan itu tiba, Kiara kembali sibuk menyiapkan jas Manggala, menyetrika baju, bahkan memastikan parfum kes**aan suaminya telah masuk ke koper. Manggala tidak memintanya menyiapkan hal itu, tapi Kiara dengan s**arela melakukannya.

"Terima kasih," ucap Manggala singkat sambil menerima koper. Sejenak pria itu memandangnya begitu dalam dan berbeda. Namun Kiara buru-buru berbalik dan sibuk membereskan seprai.

Hari-hari berikutnya berjalan lambat. Hati Kiara seperti perahu yang kehilangan jangkar. Terombang-ambing meski tetap menjalani perannya seperti biasa, mengurus ru mah, menjaga anak, dan melayani suami. Sambil menutupi luka yang tak kasat mata.

Orang-orang melihatnya sangat bahagia. Siapa yang tidak bahagia dinikahi putra orang terka-ya di daerah mereka. Pemilik peru sahaan furniture dan pemilik armada bis, travel, dan penyewaan alat berat. Tak ada yang tahu bahwa di balik senyum Kiara, tersimpan badai di dadanya.

Kiara beranjak dan duduk di dekat putranya. Mengusap lembut p**i anaknya. "Maafin ibu, Arsha. Kita cuma punya satu sama lain, Nak."

Hatinya kian pedih, tiga bulan terakhir yang amat berat. Dalam hati ingin berteriak. Ingin berkata bahwa ia tidak bisa lagi menjalani ini. Tapi ke mana akan pergi setelah itu? Janda dengan satu anak yang masih kecil. Tanpa pekerjaan, tanpa keluarga. Setelah Manggala menikah lagi, dunia seolah mengecil, menyempit, ru mah itu makin terasa sesak. Bagaimana akhir dari kisah ini?

Diraihnya ponsel dan mengecek sal do yang tersimpan di i-b4king-nya. Dengan t4bungan sekian, apa mungkin bisa membuatnya hidup bersama sang anak di luar sana. Bisa bertahan berapa lama?

Kiara menghela nafas panjang. Berapa kira-kira u ang yang bisa ia kumpulkan dalam beberapa waktu ke depan?

🖤LS🖤

"Kenapa nggak menghubungiku kalau Pak Syarifuddin datang?" Manggala bicara dengan wajah memerah. Siang itu ia baru saja sampai dari Surabaya. Pulang lebih cepat karena mendapatkan telepon dari ayahnya yang marah-marah.

Kiara yang tengah membuatkan minum, menyelesaikan pekerjaannya sebelum menjawab. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri dan Arsha, bahwa dia harus kuat. Dibawanya secangkir kopi dan diletakkan di hadapan suaminya.

"Aku menuruti keinginanmu, Mas. Kalau aku nggak boleh menelepon atau mengirim pesan saat Mas sedang di sana." Kiara berusaha menjawab dengan tegar.

"Tapi kamu tahu kalau ini penting, kan?"

"Iya, aku tahu. Tapi lebih penting aku menuruti perintah suamiku."

Manggala terdiam.

"Aku tahu diri, Mas. Makanya aku menghubungimu nggak lewat Whats App. Aku menelepon ke messenger tapi nggak Mas jawab. Akhirnya kukirimkan pesan. Tapi ada balasan kalau Mas nggak bisa diganggu."

Manggala terkejut lalu mengambil ponsel di saku celananya. Membuka messenger. Tidak ada pesan yang dimaksud oleh Kiara. Dia menunjukkan ponselnya pada sang istri. Kiara kaget, tapi dengan cepat ia mengambil ponselnya di sisi meja yang lain. Kemudian menunjukkan pada sang suami. "Pesannya sudah dihapus, Mas. Ini jejaknya ada."

Mereka saling pandang. Kiara membuka galeri foto. Ditunjukkannya screenshot yang sempat ia ambil sebelum dihapus oleh Nada. Manggala tidak bisa bicara lagi. Pasti Nada yang melakukannya.

Ketika tengah menyeruput kopi, ponselnya kembali berdering.

"Halo, Bu."

"Kamu sudah sampai ru mah?"

"Sudah."

"Datang ke sini, ditunggu ayah. Ajak Arsha, kakeknya kangen."

"Iya."

Sebelum beranjak, Manggala menghabiskan kopinya. Kemudian menoleh pada Kiara yang sedang mengeluarkan ayam ungkep dari dalam kulkas. Dia tidak masak, karena tidak tahu suaminya akan pulang lebih cepat. Makanya itu hendak membuat lauk untuk makan siang.

"Kamu nggak masak?" tanya Manggala mendekat.

Kiara menggeleng.

"Kalau nggak masak kamu dan Arsha makan apa?"

"Goreng telur pun bisa atau mie instan."

Manggala berdecak lirih. "Lain kali jangan begitu. Mana ada gizinya mie instan untuk Arsha untuk kamu."

Mendengar kalimat Manggala, Kiara menelan saliva. Tersentuh dengan perhatian lelaki itu pada anaknya. Walaupun bukan anak kandung.

"Ganti baju dan pakai hijabmu, kita ke ru mah ayah."

"Arsha masih tidur, Mas."

"Bisa digendong."

Kiara kembali menyimpan wadah ke dalam kulkas. Tergesa ia masuk kamar untuk berganti pakaian. Kemudian pelan-pelan mengendong Arsha yang sedang tidur nyenyak. Perintah Manggala tidak bisa dibantah.

Dibalik segala luka, tapi Kiara bersyukur. Sebab kedua mertuanya sangat sayang pada Arsha. Tidak perlu tes DN A, wajah anak itu 95% persis seperti Narendra dan Manggala.

Arsha nangis sejenak, lalu kembali terlelap setelah ditenangkan di dalam mobil.

Tidak ada percakapan hingga mereka sampai di ru mah Pak Gatot. Kiara yang menggendong Arsha melangkah melewati teras samping, sedangkan Manggala masih bicara dengan orang kepercayaan ayahnya di dekat carport.

Ketika melewati jendela ruang kerja mertuanya, tanpa sengaja dia mendengar sang mertua menelepon seseorang.

"Kamu belum dapat kabarnya Rendra?"

Next ....

Bab 3 Perhatian

Selamat membaca 🫶🏻

Judul : AKU DI ANTARA KALIAN
Penulis : Lis Susanawati
KBM App

  Kubuat su4miku menyes4l seumur hidvp. Dia mengira aku mengizinkannya mendua dengan alasan cinta tanpa rencana? Dia sal...
18/08/2025


Kubuat su4miku menyes4l seumur hidvp. Dia mengira aku mengizinkannya mendua dengan alasan cinta tanpa rencana? Dia salah karena ...

***Silakan Mendua Atas Nama Cinta 8

Tari tak habis pikir. Bagaimana bisa Danis bisa berubah menjadi seb0doh itu dalam waktu singkat hingga u4ng untuk membeli beras pun dia tak punya. Padahal, dia memiliki toko sembako besar. Bahkan, bisa dikatakan terbesar di kota ini. Jika hanya sekadar beras, jelas tak sulit.

Dulu, untuk bahan makanan pokok yang kering, rumah mereka tak pernah kekurangan. Semua disuport oleh toko milik Danis. Hingga u4ng yang tiga juta lebih pemberian Danis, bisa lebih optimal pemanfaatannya oleh Tari.

Danis memang perhitungan soal u4ng. Penghasilan tokonya yang lumayan, disimpannya sendiri. Akan tetapi untuk kewajibannya sebagai suami boleh dikatakan standar. Tari tak mempermasalahkan itu karena dia berpikir rumah tangga adalah berbagi, bukan menguasai. Tari lebih dari mapan untuk sekadar kebutuhan u4ng.

Hingga pukul sepuluh malam, Danis baru pulang. Dia membawa sekarung beras ukuran lima belas kilo. Hanya itu.

"Cuma beras, Mas?"

"Kamu masih saja tak bersyukur, Tari! Cukuplah beras ini dulu. Asal kamu dan Alka tak kelaparan."

Tari tergelak. "Kamu ini lucu, Mas. Kamu bukan orang miskin, loh. Tapi baru menikah lagi satu minggu, cuma bisa kasih istri dan anak beras sekarung tanpa lauk. Aneh."

"Cukup, Tari. Aku lapar. Pergilah memasak!"

Tari berpikir keras. Dia bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi pada suaminya itu? Punya toko tapi kelaparan. Punya toko tapi memikul beras sendiri sementara ada karyawan. Satu minggu menikah, Danis berubah drastis. Kewibawaannya hilang. Tari bertanya-tanya, sehebat apa Tiara istri baru Danis itu.

Danis bermain bersama Alka. Tari melihat Danis kehilangan keceriaan. Meski begitu, Tari tak mau bertanya. Dia ke dapur dan memasak. Dia sendiri dan Alka sudah makan setelah tadi saat Danis pergi, dia memesan makanan restoran.

Tari hanya memasak sesuai dengan apa yang diberikan Danis. Hanya nasi. Bahan lauk dan sayur sudah tak ada. Jadi, setelah nasi matang, Tari hanya membuat nasi goreng.

"Makanlah, Mas."

Danis dengan cepat ke dapur. Namun, lagi-lagi dia mengeluh. "Kenapa hanya nasi goreng, Tari?"

"Loh, memangnya tadi kamu bawa apa, Mas? Cuma beras, kan? Masih syukur kita punya bumbu dapur. Beras bisa jadi nasi goreng."

"Kamu keterlaluan, Tari. U4ngmu banyak, tapi pelit sekali." Danis menggerutu.

"Mas, jangan mulai. U4ngku banyak, tapi itu bukan u4ngmu. Selama ini aku tak perhitungan karena kamu baik. Sekarang kamu punya dua istri. Masa masih harus aku yang menutupi kekurangan? Seharusnya kamu bisa lebih mapan. Tokomu besar."

Danis tak bicara lagi. Dia makan dengan lahap masakan Tari tanpa menawari istrinya itu makan.

"Kasihan kamu, Mas. Tapi itu akibatnya kalau mempermainkan aku," batin Tari.

Tari membuka ponselnya. Ada pesan dari Tania. Pesan yang membuat Tari curiga.

[Bagaimana keadaanmu setelah Danis menikah lagi, Tari?]

Pesan itu memberi kesan ejekan. Itu bukan gaya Tania yang dikenal Tari. Mereka sudah bersahabat sejak lama. Sekalipun beberapa kali ada konflik kecil karena mereka terlalu dekat, tapi semua berjalan baik-baik saja.

Karena bingung untuk menjawab, Tari membiarkan pesan itu hingga masuk pesan berikutnya.

[Tari? Kamu baik-baik saja? Pasti sekarang kamu sedang menangis dan meratap, kan? Itulah, jangan terlalu membanggakan suami di depan orang lain. Sekarang setelah direbut orang, barulah kamu tau.]

Tari tetap tak membalas. Dia masih terus mencerna kata-kata Tania. Tari masih tak percaya jika Tania bisa menulis seperti itu.

[Bales, Tari.]

Tari memfoto Danis yang baru selesai makan dan mengirimkannya pada Tania, tanpa kata-kata.

Namun, balasan dari Tania semakin menyakitkan. Jelas saja itu juga membuat Tari semakin heran.

[Lusuh sekali suamimu itu sekarang, Tar? Atau kamu sudah tak bisa mengurusnya? Pantas kalau dia menikah lagi.]

Tari berpikir keras. Entah apa kesalahannya pada Tania hingga sahabatnya itu terkesan ketus.

Tari memang sering membanggakan Danis baik di sosial media maupun di lingkungan teman-temannya. Semua orang memujinya karena memiliki suami baik dan penyayang seperti Danis. Setiap ada momen kebersamaan dan kebahagiaan, Tari membagikannya. Sekarang, mengingat itu semua, Tari merasa sangat malu. Danis tak sebaik yang dia ceritakan.

"Aku mau tidur." Danis beranjak lebih dulu meninggalkan Tari yang masih kebingungan dengan sikap Tania yang tiba-tiba saja menjadi aneh.

Sambil terus melihat pesan Tania, Tari mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu. Untuk menduga bahwa Tania s**a atas kes4kitan yang dirasakannya, Tari tak bisa. Tania adalah sahabat terbaiknya. Namun, untuk tak berprasangka bvruk pun, Tari kesulitan. Ucapan Tania terasa seperti memojokkan. Untuk membela diri, Tari sudah tak bisa. Kenyataannya, Danis seburvk itu.

Tania hampir setiap hari datang menemui Tari. Setelah syuting, Tania menyempatkan datang. Namun, sejak peringatannya diabaikan Tari, sejak itu juga Tania tak muncul. Mereka juga tak pernah berkomunikasi. Tari menduga Tania kesal padanya.

Tari menyusul Danis ke k4mar. Dia melihat suaminya itu seperti orang kelelahan. Tidurnya mengorok tapi gelisah.

"Sekarang, kamu juga milik orang lain, Mas. Kamu juga curang dengan memfitn4h aku macam-macam. Terima sendiri resikonya. Aku tenang tapi kamu usik. Aku sabar dan membanggakanmu tapi kamu merus4knya dan mengecewakan. Nikmati perbuatanmu sendiri."

***

Dua hari terlewati. Jatah hari untuk Tari berakhir. Saatnya Danis pergi ke rumah istri mudanya. Tari sendiri bersiap-siap kembali ke rumah pribadinya.

"Kenapa kamu dan Alka rapi sekali, Tari? Selama aku di sini, pakaian kalian lusuh. Tapi setelah aku akan pergi, kalian keren sekali. Mau ke mana kalian?" tanya Danis. Penampilan istri dan anaknya itu membuatnya heran.

"Jelas saja kami rapi, Mas. Aku akan mengajak Alka ke mall. Ini hari Minggu, masih sempat bermain-main."

"Kenapa tidak kemarin? Aku bisa menemani kalian."

"Kamu tidak punya u4ng, Mas. Aku tak mau merepotkanmu. Biar kami berdua saja."

"Tari? Bisa ya, kamu bicara seperti itu? Apa bedanya aku punya u4ng atau tidak? Buktinya sekarang kalian bisa pergi."

Tari mendengkus. "Keadaan sudah berbeda, Mas. Kita pernah harmonis dan romantis. Hanya pernah, karena sekarang kamu sibuk dengan istri barumu."

Danis memandang ke arah lain lalu berjalan mendekati Alka. Setelah bermain sebentar dengan anaknya itu, Danis keluar dan menuju mobilnya. Tari mengikuti.

"Mobil pemberian ayahmu dibawa Ibu, Mas. Kamu tau?"

"Tau."

"Baguslah."

Tari masih ingin bicara, tapi tak dilakukannya karena ada sebuah mobil datang lalu pergi setelah menurunkan seorang perempuan cantik yang sedang h4mil tujuh bulan.

Jantung Tari berp4cu dengan sangat cepat.

"Mas! Tunggu!" seru perempuan itu.

"Tiara? Untuk apa ke sini, Sayang?" Danis menyambut perempuan itu.

Tari hampir muntah mendengar kata sayang dari mulut Danis untuk perempuan itu.

"Oh, jadi ini yang bernama Tiara," gumam Tari.

Tari tak bicara apa-apa. Dia hanya memperhatikan perempuan bernama Tiara itu.

"Loh, Mas? Kok begitu? Ini kan jatah waktu untukku?" Tiara merajuk. Dia langsung mer4ngkul lengan Danis sambil melirik ke arah Tari.

"Ini kan baru mau pulang, Sayang."

"Kata kamu kemarin akan mengeluarkan Mbak Tari dari sini dan kita yang akan tinggal di sini. Bagaimana, sih?"

Tari emosi. Ucapan Tiara itu meny4kiti hatinya. "Hei, perempuan tak jelas! Jangan sembarangan. Ini tempat tinggalku. Harusnya kamu malu datang ke sini!"

"Kok malu, Mbak. Aku ini istri Mas Danis. Wajar kalau aku tinggal di rumahnya! Mas Danis sendiri yang bilang mau keluarkan Mbak dari sini karena lebih mencintai aku." Tiara menjawab dengan ketus.

Tari tertawa. "Istri? Tapi kok kesannya kamu itu seperti pengem1s!"

***

Hanya di KBM App
Judul : Silakan Mendua Atas Nama Cinta
Username : Shadam_Adivio
Penulis Bintang Gerhana Bilal Zeilan
Kubuat su4miku menyes4l seumur hidvp. Dia mengira aku mengizinkannya mendua dengan alasan cinta tanpa rencana? Dia salah karena ...

***Silakan Mendua Atas Nama Cinta 8

Tari tak habis pikir. Bagaimana bisa Danis bisa berubah menjadi seb0doh itu dalam waktu singkat hingga u4ng untuk membeli beras pun dia tak punya. Padahal, dia memiliki toko sembako besar. Bahkan, bisa dikatakan terbesar di kota ini. Jika hanya sekadar beras, jelas tak sulit.

Dulu, untuk bahan makanan pokok yang kering, rumah mereka tak pernah kekurangan. Semua disuport oleh toko milik Danis. Hingga u4ng yang tiga juta lebih pemberian Danis, bisa lebih optimal pemanfaatannya oleh Tari.

Danis memang perhitungan soal u4ng. Penghasilan tokonya yang lumayan, disimpannya sendiri. Akan tetapi untuk kewajibannya sebagai suami boleh dikatakan standar. Tari tak mempermasalahkan itu karena dia berpikir rumah tangga adalah berbagi, bukan menguasai. Tari lebih dari mapan untuk sekadar kebutuhan u4ng.

Hingga pukul sepuluh malam, Danis baru pulang. Dia membawa sekarung beras ukuran lima belas kilo. Hanya itu.

"Cuma beras, Mas?"

"Kamu masih saja tak bersyukur, Tari! Cukuplah beras ini dulu. Asal kamu dan Alka tak kelaparan."

Tari tergelak. "Kamu ini lucu, Mas. Kamu bukan orang miskin, loh. Tapi baru menikah lagi satu minggu, cuma bisa kasih istri dan anak beras sekarung tanpa lauk. Aneh."

"Cukup, Tari. Aku lapar. Pergilah memasak!"

Tari berpikir keras. Dia bingung. Sebenarnya, apa yang terjadi pada suaminya itu? Punya toko tapi kelaparan. Punya toko tapi memikul beras sendiri sementara ada karyawan. Satu minggu menikah, Danis berubah drastis. Kewibawaannya hilang. Tari bertanya-tanya, sehebat apa Tiara istri baru Danis itu.

Danis bermain bersama Alka. Tari melihat Danis kehilangan keceriaan. Meski begitu, Tari tak mau bertanya. Dia ke dapur dan memasak. Dia sendiri dan Alka sudah makan setelah tadi saat Danis pergi, dia memesan makanan restoran.

Tari hanya memasak sesuai dengan apa yang diberikan Danis. Hanya nasi. Bahan lauk dan sayur sudah tak ada. Jadi, setelah nasi matang, Tari hanya membuat nasi goreng.

"Makanlah, Mas."

Danis dengan cepat ke dapur. Namun, lagi-lagi dia mengeluh. "Kenapa hanya nasi goreng, Tari?"

"Loh, memangnya tadi kamu bawa apa, Mas? Cuma beras, kan? Masih syukur kita punya bumbu dapur. Beras bisa jadi nasi goreng."

"Kamu keterlaluan, Tari. U4ngmu banyak, tapi pelit sekali." Danis menggerutu.

"Mas, jangan mulai. U4ngku banyak, tapi itu bukan u4ngmu. Selama ini aku tak perhitungan karena kamu baik. Sekarang kamu punya dua istri. Masa masih harus aku yang menutupi kekurangan? Seharusnya kamu bisa lebih mapan. Tokomu besar."

Danis tak bicara lagi. Dia makan dengan lahap masakan Tari tanpa menawari istrinya itu makan.

"Kasihan kamu, Mas. Tapi itu akibatnya kalau mempermainkan aku," batin Tari.

Tari membuka ponselnya. Ada pesan dari Tania. Pesan yang membuat Tari curiga.

[Bagaimana keadaanmu setelah Danis menikah lagi, Tari?]

Pesan itu memberi kesan ejekan. Itu bukan gaya Tania yang dikenal Tari. Mereka sudah bersahabat sejak lama. Sekalipun beberapa kali ada konflik kecil karena mereka terlalu dekat, tapi semua berjalan baik-baik saja.

Karena bingung untuk menjawab, Tari membiarkan pesan itu hingga masuk pesan berikutnya.

[Tari? Kamu baik-baik saja? Pasti sekarang kamu sedang menangis dan meratap, kan? Itulah, jangan terlalu membanggakan suami di depan orang lain. Sekarang setelah direbut orang, barulah kamu tau.]

Tari tetap tak membalas. Dia masih terus mencerna kata-kata Tania. Tari masih tak percaya jika Tania bisa menulis seperti itu.

[Bales, Tari.]

Tari memfoto Danis yang baru selesai makan dan mengirimkannya pada Tania, tanpa kata-kata.

Namun, balasan dari Tania semakin menyakitkan. Jelas saja itu juga membuat Tari semakin heran.

[Lusuh sekali suamimu itu sekarang, Tar? Atau kamu sudah tak bisa mengurusnya? Pantas kalau dia menikah lagi.]

Tari berpikir keras. Entah apa kesalahannya pada Tania hingga sahabatnya itu terkesan ketus.

Tari memang sering membanggakan Danis baik di sosial media maupun di lingkungan teman-temannya. Semua orang memujinya karena memiliki suami baik dan penyayang seperti Danis. Setiap ada momen kebersamaan dan kebahagiaan, Tari membagikannya. Sekarang, mengingat itu semua, Tari merasa sangat malu. Danis tak sebaik yang dia ceritakan.

"Aku mau tidur." Danis beranjak lebih dulu meninggalkan Tari yang masih kebingungan dengan sikap Tania yang tiba-tiba saja menjadi aneh.

Sambil terus melihat pesan Tania, Tari mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi pada sahabatnya itu. Untuk menduga bahwa Tania s**a atas kes4kitan yang dirasakannya, Tari tak bisa. Tania adalah sahabat terbaiknya. Namun, untuk tak berprasangka bvruk pun, Tari kesulitan. Ucapan Tania terasa seperti memojokkan. Untuk membela diri, Tari sudah tak bisa. Kenyataannya, Danis seburvk itu.

Tania hampir setiap hari datang menemui Tari. Setelah syuting, Tania menyempatkan datang. Namun, sejak peringatannya diabaikan Tari, sejak itu juga Tania tak muncul. Mereka juga tak pernah berkomunikasi. Tari menduga Tania kesal padanya.

Tari menyusul Danis ke k4mar. Dia melihat suaminya itu seperti orang kelelahan. Tidurnya mengorok tapi gelisah.

"Sekarang, kamu juga milik orang lain, Mas. Kamu juga curang dengan memfitn4h aku macam-macam. Terima sendiri resikonya. Aku tenang tapi kamu usik. Aku sabar dan membanggakanmu tapi kamu merus4knya dan mengecewakan. Nikmati perbuatanmu sendiri."

***

Dua hari terlewati. Jatah hari untuk Tari berakhir. Saatnya Danis pergi ke rumah istri mudanya. Tari sendiri bersiap-siap kembali ke rumah pribadinya.

"Kenapa kamu dan Alka rapi sekali, Tari? Selama aku di sini, pakaian kalian lusuh. Tapi setelah aku akan pergi, kalian keren sekali. Mau ke mana kalian?" tanya Danis. Penampilan istri dan anaknya itu membuatnya heran.

"Jelas saja kami rapi, Mas. Aku akan mengajak Alka ke mall. Ini hari Minggu, masih sempat bermain-main."

"Kenapa tidak kemarin? Aku bisa menemani kalian."

"Kamu tidak punya u4ng, Mas. Aku tak mau merepotkanmu. Biar kami berdua saja."

"Tari? Bisa ya, kamu bicara seperti itu? Apa bedanya aku punya u4ng atau tidak? Buktinya sekarang kalian bisa pergi."

Tari mendengkus. "Keadaan sudah berbeda, Mas. Kita pernah harmonis dan romantis. Hanya pernah, karena sekarang kamu sibuk dengan istri barumu."

Danis memandang ke arah lain lalu berjalan mendekati Alka. Setelah bermain sebentar dengan anaknya itu, Danis keluar dan menuju mobilnya. Tari mengikuti.

"Mobil pemberian ayahmu dibawa Ibu, Mas. Kamu tau?"

"Tau."

"Baguslah."

Tari masih ingin bicara, tapi tak dilakukannya karena ada sebuah mobil datang lalu pergi setelah menurunkan seorang perempuan cantik yang sedang h4mil tujuh bulan.

Jantung Tari berp4cu dengan sangat cepat.

"Mas! Tunggu!" seru perempuan itu.

"Tiara? Untuk apa ke sini, Sayang?" Danis menyambut perempuan itu.

Tari hampir muntah mendengar kata sayang dari mulut Danis untuk perempuan itu.

"Oh, jadi ini yang bernama Tiara," gumam Tari.

Tari tak bicara apa-apa. Dia hanya memperhatikan perempuan bernama Tiara itu.

"Loh, Mas? Kok begitu? Ini kan jatah waktu untukku?" Tiara merajuk. Dia langsung mer4ngkul lengan Danis sambil melirik ke arah Tari.

"Ini kan baru mau pulang, Sayang."

"Kata kamu kemarin akan mengeluarkan Mbak Tari dari sini dan kita yang akan tinggal di sini. Bagaimana, sih?"

Tari emosi. Ucapan Tiara itu meny4kiti hatinya. "Hei, perempuan tak jelas! Jangan sembarangan. Ini tempat tinggalku. Harusnya kamu malu datang ke sini!"

"Kok malu, Mbak. Aku ini istri Mas Danis. Wajar kalau aku tinggal di rumahnya! Mas Danis sendiri yang bilang mau keluarkan Mbak dari sini karena lebih mencintai aku." Tiara menjawab dengan ketus.

Tari tertawa. "Istri? Tapi kok kesannya kamu itu seperti pengem1s!"

***

Hanya di KBM App
Judul : Silakan Mendua Atas Nama Cinta
Username : Shadam_Adivio
Penulis Bintang Gerhana Bilal Zeilan

Address

Jalan Raya Palka, Pertigaan Ciomas Kec Ciomas
Serang
42164

Telephone

+6283137434061

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when BAKSO DAN MIE AYAM posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share