
12/08/2025
P o v Heru
*
Hari ini aku masuk kantor dengan kepala tegak seperti biasanya, tapi suasana ruang kerja terasa berbeda. Tatapan-tatapan an eh mulai kutangkap dari balik monitor dan gelas kopi. Bisik-bisik tertahan, senyuman sin is, semuanya menu suk lebih taj am dari kr itik atasan.
Sania!
Nama itu kini menggema di setiap sudut kantor. Tentu saja karena tulisan sia lan milik perempuan gem brot itu. Tulisan di blog-nya menda dak viral. Cerita tentang lu ka batin, tentang kegu guran dan tentang aku tentunya. Satu per satu temanku mulai membacanya. Mereka tidak menyebut namaku secara langsung, tapi mereka pasti tahu kemana arah tujuan dari tulisan wanita ku da nil si alan itu, pasti aku!
Aku duduk di meja, mencoba fokus pada layar
laptop, tapi suara itu terdengar jelas dari meja kerja karyawan lain.
"Gi la, te ga banget ninggalin istri habis keguguran cuma karena berat badan?" Suara Dini, salah satu analis keuangan, terdengar keras, sengaja tak ditahan.
"Nggak habis pikir ngga, sih! Kayak dia sempurna aja gitu!"
"Iya, sum pah! Kalau bukan karena tulisannya viral, mungkin kita semua masih nganggep dia suami ideal," sahut Ayu, karyawati dari divisi HR.
"Makanya, jangan pernah terke coh sama tampang manis atau gelar karyawan teladan. Dalam rumah tangga ternyata ib lis!"
"Ninggalin istri yang baru kehil angan anaknya, cuma ga ra-gara fisik? Itu bukan cuma jah at, itu sa kit ji wa namanya." Seorang pria dari tim operasional ikut menimpali dan sengaja sambil menatap ke arahku.
"Ngomongin berat badan tuh bisa ngebun uh me ntal orang, apalagi kalau udah diseling kuhin juga. Sa kit memang, nih, orang!"
Setiap kalimat yang mereka lontarkan men usuk pikiranku. Bukan karena aku merasa bersa lah, jujur saja tidak. Aku tak pernah benar-benar menye sal. Sania terlalu dra matis, terlalu lem ah, mela nkolis, tapi tetap saja, ucapan mereka menc abik-ca bik satu hal yang kuanggap penting dalam karirku, yaitu repu tasi.
Reputasi yang kubangun selama bertahun-tahun, sebagai karyawan berdedikasi, sebagai pemimpin tim yang dihormati. Sekarang semua itu seperti berka rat. Si al!
"Bro, kamu beneran nen dang istrimu keluar dari kamar?" tanya Andre, teman satu divisi, dengan wajah setengah seri us, setengah ge li.
Aku hanya mengangkat bahu, mencoba santai.
"Dia leb ay, Ndre. Emo sinya naik terus. Moodnya s**a hanc ur tanpa sebab. Dan kamu tau sendiri kan, cewek kalo udah ov erw eight gitu, sensi saja bawaannya."
Andre tertawa, tapi cang gung. Tidak seperti dulu seperti sedang memikirkan dan menilai sesuatu dan itu membuatku ri sih, tapi masih ada satu yang tak berubah, Lala, sekretarisku, sekaligus seling kuhan pelam piasan diam-diam yang selalu tahu harus berkata apa untuk membuatku merasa benar.
Dia masuk ke ruanganku tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Seperti biasa, dengan map di tangan dan ekspresi yang siap men oh ok siapa saja yang kami anggap mu suh bersama, terutama Sania.
"Aku sudah susun ulang jadwal meeting minggu depan. Sama itu, laporan yang kemarin diminta Pak Ardi," katanya sambil meletakkan map di meja.
Aku menatapnya, lalu mengalihkan pandangan ke jendela. "Makasih, ya. Tapi aku sedang mal as mengurus semua ini, Sayang. Terlalu banyak omongan manusia s *ok benar di luar sana."
Lala tertawa pendek, "Ya iyalah, Mas. Orang-orang sekarang s*o*k suci semua. Nggak tau isi rumah tangga orang, tapi ikut ngoc eh paling kencang."
Dia duduk di kursi depan mejaku, menyila ngkan kaki, lalu bersandar santai. Aku tahu, ini bukan soal laporan dalam map yang dia antarkan. Dia mau bicara seperti biasanya. Dan aku butuh itu, butuh seseorang yang bisa mendengar tanpa mengh akimi.
"Mas, saya ngerti, sih, kalau Mas pas sudah sangat mu ak. Aku pun lihat Mbak Sania itu engap, Mas." Suaranya meninggi sedikit, seperti menahan ge li.
"Maksudnya seratus kilo itu, ya, gen dutnya kebang etan. Ya ampun. Itu isinya apa saja, sih, Mas? Daging semua, atau lem ak semua?"
Aku tersenyum miring. "Jangan bikin aku ikut membayangkannya, La. Nggak enak makan siang aku nanti."
"Jangankan mikirin atau ngurusin kamu, dirinya sendiri aja nggak bisa dia jaga." Dia memutar bola matanya, lalu menambahkan, "Gustiii Gusti, kok, bisa? Masnya kayak CEO, cakep, rapi, harum. Eh... pasangannya kayak..."
"Kayak karu ng goni diisi pa sir," sambungku.
Kami tertawa. Tawa pendek yang dingin dan penuh ra cun.
"Dia bisa bikin blog panjang-panjang, nulis tentang lu ka batin, tapi nggak pernah nulis soal kenapa dia nggak bisa berhenti ngunyah," kata Lala sambil menyodorkan berkas kedua.
"Coba nulis itu, mungkin views-nya mel edak juga," lanjut Lala lagi.
Aku mengangguk pelan, rasa ke sal dan mar. ahku pada Sania sudah tak terben dung lagi.
"Kamu selalu tau cara membuatku merasa waras, La," gumamku.
"Karena saya tau Mas bukan mon ster. Mas cuma lel ah hidup bersama wanita yang hanya jadi be ban. Istri le let , tapi nuntut dilayani kayak ratu." Dia menyeringai. "Udah, Mas. Liat ke depan.Orang kayak Mbak Sania tuh... cuma bisa main drama. Tapi Mas? Mas pemimpin."
Aku menatapnya. Lala mungkin bukan penyembuh lu. ka, tapi dia selalu datang saat aku butuh pelampia san. Dan hari ini, lagi-lagi dia berhasil menenangkanku.
Aku tak pernah menyangka tulisan-tulisan Sania akan viral. Siapa sangka perempuan yang dulu kutertawakan karena tak bec us merawat tubuh bisa menulis tulisan yang kata para pembaca fan atiknya begitu menyentuh.
Sania memang berubah, tapi bukan jadi lebih menarik. Justru jadi lebih ke ras. Matanya sekarang taj am, penuh ba ra. Dulu aku bisa membung kamnya hanya dengan satu kalimat pe das. Sekarang? Dia balik menyerang, dan yang lebih par ah sekarang dia sudah punya panggung.
Tulisan-tulisannya menciptakan gelombang. Perempuan-perempuan lain pun mulai mengangkat cerita serupa. S ial, s ial, si al!
Bukan karena masih cinta yang membuatku mendatangi rumah adiknya di Jakarta, bukan juga karena rasa penye salan, tapi karena citraku yang semakin rus ak. Orang-orang tidak lagi mengagumi karena kinerjaku di kantor sebagai seorang karyawan bagian pengadaan yang berprestasi. Bahkan aku digadang-gadang akan naik jabatan beberapa bulan lagi. Namun, semuanya jadi ru sak hanya karena tulisan Sania.
Kini, sebagian besar dari orang-orang yang mengenalku, menandaiku sebagai Heru si suami breng sek yang meninggalkan istri hanya karena berat badan.
Apa mereka tahu betapa menge rikannya Sania di saat masih bersamaku? Tubuhnya membe ngkak, napasnya ber at, dan setiap hari hanya berke luh ke sah. Dia jadi pem arah, mudah mena ngis, dan jujur saja ... tidak menarik. Dulu dia memang cantik, lembut, patuh, tapi sekarang bukan istri seperti Sania yang kuinginkan.
Aku hanya ingin hidup nyaman dan damai, tapi siapa yang bisa damai dengan istri 100 kilo dan meng eluh setiap hari?
Namun, sekarang dia jadi simbol kekuatan. Dia menulis seolah akulah ib lis dalam rumah tangga kami. Dia menulis seolah semua kega galannya adalah sal ahku. Dan yang lebih menye balkan, banyak yang percaya.
Saat dia berdiri di hadapanku tadi pagi, dengan tatapan percaya diri dan sikap yang te guh, aku
sempat mengira mungkin dia akan l*l uh.. Ternyata tidak. Dia lebih ker as dari ba tu. Lebih taj am dari ingatanku tentang dirinya beberapa bulan lalu.
Dan saat dia meno lak tawaranku untuk kembali, aku merasa untuk pertama kalinya dito lak oleh perempuan yang dulu bisa kutundukkan dengan mudah.
Yang lebih menyeb alkan adalah ketika sorot mata orang-orang yang menatapku penuh sel idik dan menilai siapa sekarang Heru yang sebenarnya.
Dan malam ini, saat kuperiksa lagi tulisan-tulisan Sania yang kian viral, aku sadar jika perempuan 100 kilo itu sudah jauh lebih kuat daripada diriku sendiri. Aku baru sadar bahwa kekuasaan yang dulu kupunya sudah direb ut oleh rangkaian kata-kata indah yang disusun Sania dan tak bisa ku hen tikan.
*
Bersambung