09/06/2025
Minyak Bernoda: Ketika Kuasa dan Serakah Menodai Hajat Hidup Rakyat
Oleh: Kamaruzzaman,M.Ag
Tiadalah yang lebih mengiris rasa keadilan publik dibandingkan pengkhianatan atas amanah. Lebih-lebih jika pengkhianatan itu dilakukan oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga kesejahteraan rakyat. Maka ketika kabar pecahnya skandal korupsi di tubuh Pertamina mencuat ke permukaan, rakyat pun tertegun. Bukan karena kaget—sebab terlalu sering kita disuguhi berita tentang pejabat yang tergelincir—melainkan karena besarnya luka yang ditimbulkan.
Bayangkan, dalam rentang lima tahun terakhir, negeri ini ternyata telah dirampok secara sistematis. Minyak yang mestinya menjadi urat nadi ekonomi rakyat—yang dijual di setiap p***a bensin dengan wajah senyum petugasnya—ternyata hanyalah hasil dari tipu daya tingkat tinggi. Bahan bakar beroktan rendah dijual seolah beroktan tinggi. Kualitas dicampur, kejujuran dibuang.
Lebih dari Rp 193 triliun kerugian negara ditaksir dari praktik culas ini. Angka itu bukan sekadar barisan nol dalam laporan keuangan. Itu adalah pupusnya harapan anak-anak bangsa yang butuh sekolah. Hilangnya jaminan kesehatan. Pudarnya mimpi untuk hidup layak di negeri sendiri.
Pertamina, perusahaan negara yang lahir dari semangat nasionalisme dan kemandirian energi, kini justru menjadi panggung bagi persekongkolan busuk antara pejabat dan makelar. Mereka menari di atas penderitaan rakyat, mengimpor minyak mahal saat kita bisa memproduksi sendiri, menaikkan biaya pengapalan secara fiktif, dan menumpuk keuntungan pribadi dari darah bangsa sendiri.
Di manakah kontrol negara? Di manakah pengawasan internal yang digembar-gemborkan setiap tahun anggaran? Apakah kita selama ini hanya percaya pada wajah-wajah direksi yang lihai berbicara dalam konferensi pers, tapi diam-diam merobek martabat bangsa?
Publik tentu tak bisa diam. Lebih dari sekadar menyaksikan, rakyat berhak menuntut: proses hukum harus dijalankan secara terbuka dan tuntas. Tak boleh ada impunitas. Tak ada tempat bagi "orang besar" yang dilindungi kekuasaan. Jika hukum masih layak disebut panglima, maka inilah saatnya ia bicara lantang.
Lebih penting lagi, skandal ini seharusnya menjadi cermin: bahwa reformasi tata kelola BUMN bukanlah opsi, melainkan keharusan. Struktur yang rumit, subholding yang berlapis-lapis, dan keputusan yang sarat konflik kepentingan adalah ladang subur bagi korupsi. Negara harus berani memangkas birokrasi yang tidak perlu, dan memberi ruang lebih besar pada transparansi serta keterlibatan publik.
Jangan sampai, seperti biasa, kita hanya marah sebentar lalu lupa. Bangsa yang besar bukan hanya karena bisa memaafkan, tapi juga karena tak jemu menuntut pertanggungjawaban.
Negeri ini berdiri di atas cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan cita-cita itu kini tercoreng oleh setetes minyak yang bernoda serakah.