11/12/2025
Pagi itu, langit Kalibaru masih abu-abu, seperti enggan menampakkan matahari. Di depan SDN Kalibaru, anak-anak duduk berjejer, sebagian mencoret halaman buku, sebagian merapikan seragam. Tak ada yang tahu, hanya beberapa langkah dari gerbang sekolah, takdir sudah menunggu dalam suara mesin yang meraung cepat.
Mobil berpelat Nama MBG melintas, entah terburu waktu atau sekadar lengah sesaat. Dalam kecepatan itu, dua puluh satu siswa dan seorang guru tersambar. Tubuh-tubuh mungil itu terhempas ke aspal halaman sekolah, buku-buku berjatuhan, dan jeritan menggema lebih keras dari klakson kendaraan lain di sekelilingnya.
Semua berhamburan. Namun di antara semua suara itu, ada kesunyian yang lebih menusuk: diamnya dunia setelah tragedi.
Beberapa jam setelahnya, muncul siaran pers pendek, rapi, profesional: “Kami turut prihatin, meminta maaf atas kejadian ini. Kami akan berkoordinasi dengan pihak terkait.”
Dan seperti itulah semuanya berakhir.
Satu pernyataan, satu kalimat maaf, satu kepastian tanpa kehilangan apa pun selain mereka yang terluka. Tidak ada yang berubah di kantor besar berlogo MBG itu. Tidak ada sanksi, tidak ada wajah muram di ruang kerja mereka.
Mirip cerita lama tentang keracunan di sekolah: riuh sehari, lalu sepi. Begitu mudah kita melupakan luka ketika bukan badan kita yang berdarah. Malam ini, di rumah-rumah Kalibaru, para orang tua masih menatap seragam anak mereka yang belum sempat dicuci, masih tercium bau tanah di ujungnya. Bagi mereka, peristiwa ini bukan sekadar berita. Ini adalah kehilangan dan kecerobohan yang tidak bisa diselesaikan oleh kata maaf.
Kadang-kadang, tragedi bukan terjadi karena mobil yang melaju terlalu cepat, tapi karena hati yang sudah terbiasa tidak peduli.