Vha Homebase

Vha Homebase Contact information, map and directions, contact form, opening hours, services, ratings, photos, videos and announcements from Vha Homebase, Digital creator, Cisalak, Subang.

❤️ Owner Vha Beauties Vha Fashion, Vha desainstudio
❤️ Atomy and Cake and Cookies
❤️ Berbagai tips dan Informasi yang menarik
❤️ Horor dan Romance
❤️ Edukasi dan Kelas Online

"Mama kenapa tiba-tiba kerja? Bukannya selama ini Mama di rumah aja?" selidik Fanya penasaran."Mama hanya mau bantu Papa...
09/11/2025

"Mama kenapa tiba-tiba kerja? Bukannya selama ini Mama di rumah aja?" selidik Fanya penasaran.

"Mama hanya mau bantu Papa. Saat ini di kantor, Papa sedang banyak kerjaan."

"Kerjaan apa, Ma?"

"Ya kerjaan kantor. Macam-macam."

"Kerjaan itu dikerjakan di kantor atau di luar, Ma?"

"Ya di kantor lah, memang ada apa?"

Aku melihat dua mata Fanya menatap tak biasa. Seperti ada amarah yang berusaha dia pendam.

"Tadi Santy ketemu Papa di mall."

"Santy itu teman kamu yang biasanya main kemari 'kan?"

Fanya menganggukkan kepala, dia kini duduk di sisiku di atas ranjang.

"Kata Santy Papa di mall sama perempuan."

Deg.

Meski sangat terkejut, aku mencoba bersikap tenang.

"Iya Nak, tadi Papa memang keluar untuk bertemu sama rekan bisnisnya."

"Perempuan?"

Fanya masih belum puas.

"Iya, rekan kerja Papa itu ada perempuan dan ada laki-laki."

Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya kembali.

"Kalau sama rekan kerja boleh saling pegangan tangan ya, Ma?"

Seketika dada ini menyentak kuat, apa yang ditanyakan Fanya? Siapa wanita yang dimaksud anakku, apa Mimi?

"Harusnya tidak boleh."

"Tapi kenapa Papa pegangan tangan sama rekan kerjanya itu?"

Aku tak tahu harus menjawab apa, hingga bibir ini terasa bergetar.

"Ma, Mama harus tanyakan ke Papa. Jangan sampai Papa jatuh cinta sama perempuan lain seperti Papanya Keisya. Yang meninggalkan Keisya dan mamanya demi hidup dengan wanita lain."

Aku menelan ludah yang terasa sangat pahit, perkataan Fanya sangat penuh makna. Diri benar-benar tak paham ternyata di usianya yang dua belas tahun, dia sudah paham akan hal itu.

"Iya Nak, nanti Mama akan tanyakan sama Papa."

Kupeluk tubuh anak gadisku yang terasa terguncang, mungkin dia merasa takut, marah atau kecewa. Aku tak tahu persis.

"Sudah jangan khawatir. Papa pasti bisa menjaga cintanya hanya untuk kita."

Terlihat Fanya menghela napas berat.

"Udah makan belum?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.

Fanya menggeleng.

"Yaudah kalau gitu, ayo kita makan. Mama juga udah lapar."

"Nggak mau nunggu Papa, Ma?"

"Papa barusan udah nelpon Mama, katanya malam ini pulang terlambat. Masih ada acara makan malam sama investor yang ketemuan tadi siang."

Fanya kembali menatapku.

"Bisakah kita percaya sama Papa, Ma?"

"Tentu bisa Sayang, selama ini Papa sudah berusaha melakukan yang terbaik. Sebab itu kita harus percaya padanya."

"Oke," jawab Fanya pasrah. Lau aku menggandeng tangannya dan mengajak untuk makan malam bersama. Tepat jam sepuluh selepas menonton televisi sebentar, aku mengantar Fanya tidur. Kubacakan doa di ubun-ubunnya, meski sudah menjadi gadis dewasa, ritual ini terus kulakukan.

"Selamat tidur, Nak."

Fanya tersenyum.

"Selamat tidur, Mama."

Ucapanku mengalir bersama dengan air mata yang membasahi kedua p**i. Tidak pernah selama lima belas tahun pernikahan aku merasakan sakit yang seperti ini.

Dimana kamu, Mas? Cepatlah pulang.

*

Tanpa sengaja dua netraku terpejam dan kembali terbuka saat terdengar suara pintu kamar berderit.

"Mas Gala?"

Lelaki yang sudah masuk ke kamar itu berhenti melangkah saat mendengar suaraku.

"Mas baru pulang jam segini? Makan malam apa sampai jam dua tengah malam Mas?"

"Tadi aku sudah beritahu, makan malam sama investor," ucapnya tampak panik dan memilih langsung ke kamar mandi. Aku hanya bisa menunduk seraya mengurut kening. Kulangkahkan jua kaki ini untuk mengambil segelas air hangat untuknya. Sekitar sepuluh menit kemudian, suamiku keluar dan mengganti pakaian.

"Bisa kita bicara sebentar, Mas?"

"Bicara apa, ini sudah malam. Apa tidak bisa besok?"

"Tadi siang, Mas bilang malam. Sekarang sudah malam, Mas bilang besok lagi. Kapan sih kita bisa bicara?"

Suaraku yang meninggi membuatnya urung tertidur, dia kini duduk dan menatap diri ini.

"Mau bicara apa?" ucap Mas Gala dengan suara berat. Aku menarik napas dalam, meredakan gemuruh yang semakin menjadi di dalam dada. Ya

"Tadi pagi saat kamu keluar, aku membutuhkan gunting yang tidak kutemukan di mejaku. Jadi kuputuskan untuk mencari di laci kerja Mas."

Wajah Mas Gala langsung menegang.

"Aku menemukan sebuah cincin berlian di sana. Awalnya sangat bahagia karena kupikir cincin itu untukku tapi seketika perasaanku hancur ketika sore harinya aku melihat cincin itu ada di tangan Mimi. Katakan Mas, benarkah kamu yang memberi cincin itu kepada Mimi?"

Mas Gala membuang napas kasar.

"Hanya cincin, tolong jangan dipermasalahkan. Kamu mau cincin yang seperti apa, besok akan Mas belikan."

"Aku tak butuh cincin Mas, aku hanya butuh jawaban, apa benar kamu yang memberi cincin berlian kepada Mimi?"

Mas Gala masih terdiam.

"Jawab Mas, jangan diam."

"Iya."

"Tapi untuk apa, Mas? bukankah tidak pantas seorang bos memberi cincin kepada karyawannya seharga puluhan juta? Lalu apa alasan memberi cincin itu kepada Mimi?"

Karena Mas Gala tetap diam, emosikupun tersulut. Dengan kedua tangan aku menggoyang-goyangkan kedua bahu suamiku itu.

"Jawab, Mas."

"Cukup Naya, jangan berteriak."

"Aku berteriak karena kamu diam, Mas!"

"Sudah kukatakan hanta cincin, kenapa kamu marah?"

"Aku tidak akan marah jika kamu memberi cincin itu untuk Mama atau adik-adikmu. Tapi jika untuk wanita lain, aku cemburu. Aku marah. Aku ini istri kamu Mas, apakah salah jika aku hanya ingin kamu mencintai dan memerhatikanku?"

Ucapanku mengalir bersama dengan air mata yang membasahi kedua p**i. Tidak pernah selama lima belas tahun pernikahan aku merasakan sakit yang seperti ini.

"Aku mencintaimu, Mas. Aku tak ingin kamu salah menempatkan rasamu untuk wanita lain. Ingat Mas kamu pernah mengatakan, kita berjuang bersama dari nol. Kamu juga pernah berkata, akulah istri yang sudah menemanimu dari kamu bukan siapa-siapa sampai punya perusahaan dan punya harta seperti ini. Ingat Mas bahwa kamu juga yang berkata bahwa kamu akan setia seperti apapun badai menerpa rumah tangga kita kelak. Lalu ada apa dengan semua ini, Mas? Apa benar kamu sudah melupakan semua janjimu hanya kareba wanita itu?"

Sejenak hening, bahkan suara angin pun tak terdengar.

"Maafkan Papa, Ma. Papa khilaf."

Deg.

***

Bersambung

Baca kisah ini selengkapnya di aplikasi KBM app, judul cerita Akhir Sebuah P3ngkhian4tan Penulis : wahyunisst.

Terima kasih. Utamakan baca Al-Quran.

3“Zahra! Kamu sudah lihat pasar saham? Buka sekarang juga!” serunya, nadanya campuran antara p a n i k, e u f o r i a, d...
09/11/2025

3

“Zahra! Kamu sudah lihat pasar saham? Buka sekarang juga!” serunya, nadanya campuran antara p a n i k, e u f o r i a, dan k e k a f i r a n total.

Dengan kening berkerut, aku membuka aplikasi pasar modal. Mataku terpaku pada kode saham perusahaanku, Z.A. Group. Dan untuk sesaat, aku pikir aku masih bermimpi.

Angka-angka di sana tidak berwarna merah, tidak juga hijau. Warnanya biru, auto-rejection atas. Harga sahamku melonjak 25% dalam semalam, sebuah a n o m a l i brutal yang mengguncang seluruh lantai bursa.

“Apa yang terjadi, Adrian?” tanyaku, suaraku yang biasanya tegas kini b e r g e t a r. “Apakah ini hostile takeover? Siapa yang sedang mencoba membeli perusahaan kita secara paksa?”

“Bukan, Zahra, ini … ini di luar l o g i k a,” kata Adrian. “Semalam, ada suntikan dana Seri B yang masuk. Dari sebuah venture capital yang berbasis di Hong Kong, namanya ‘Apex Horizon Ventures’. Zahra, mereka bahkan tidak melakukan due diligence yang mendalam. Seolah-olah mereka sudah hafal setiap seluk beluk detak jantung perusahaan kita. Ini seperti ... seperti seorang d e w a yang tiba-tiba turun tangan dan memberimu amunisi tak terbatas.”

“Tidak ada d e w a di dunia bisnis, Adrian,” balasku, otakku mulai berputar. “Apa tuntutan mereka?”

“Itulah yang membuatku m e r i n d i n g, Zahra. Tidak ada. Mereka hanya ingin kita terus melakukan apa yang kita lakukan, tapi dengan skala yang lebih besar. Mereka percaya penuh pada visimu.”

Belum sempat aku mencerna informasi g i l a itu, asistenku masuk dengan wajah p u c a t dan mata terbelalak.

“Ibu Zahra, mohon maaf. Ada permintaan rapat mendadak yang sangat u r g e n. Dari kantor pusat Wiryawan Group.” Ia menelan l u d a h. “Dari tim Global Strategic Alliances, Bu. Tim yang biasanya hanya menangani akuisisi bernilai t r i l i u n a n. Dan … mereka bersikeras ingin datang ke kantor kita. Pagi ini juga.”

Aku bersandar di kursiku, menatap kosong ke luar jendela di mana f a j a r mulai merekah, melukis langit kelabu dengan semburat e m a s. Kartu logam abu-abu. Panggilan ‘Tuan Muda’. Keluarga yang memancarkan aura kekaisaran.

Dan sekarang, dua k e a j a i b a n korporat dalam satu pagi. Semua benang misterius itu sepertinya ditarik oleh satu tangan yang tak terlihat. Tangan Raka. Entah kenapa, aku merasa ini semua ada hubungannya dengan Raka. Aku merasakan gelombang kebahagiaan yang luar biasa, namun di bawahnya, ada arus bawah k e g e l i s a h a n yang dingin.

---

Sudah T A M A T di KBM App.
Baca selengkapnya di KBM App.
Judul : K u t u k a r L u k a d e n g a n M a h k o t a (K u u s i r S u a m i k u s e t e l a h M e m e c a t n y a)
Penulis : rahmalaa

KISAH CINTA RADEN SANCAKA 6 (GRATIS di KBM)_________________ Lastri menjawab pertanyaan itu dengan mengajak sang raden u...
09/11/2025

KISAH CINTA RADEN SANCAKA 6 (GRATIS di KBM)
_________________

Lastri menjawab pertanyaan itu dengan mengajak sang raden untuk datang ke rumah Mbah Jiwo pada malam Jumat selepas sembahyang magrib.

Tentu saja, di rumah itu hanya Lastri dan Mbah Jiwo saja yang dapat melihat wujud nyata dari Raden Sancaka. Jadi istri Mbah Jiwo hanya membuatkan satu cangkir suguhan berupa teh hangat di meja tamu rumahnya dan kembali ke belakang tanpa menunjukkan rasa ketertarikan untuk mengetahui urusan si tamu, sebab dia sudah paham kalau setiap tamu yang datang ke rumahnya pasti memiliki tujuan untuk bertemu suaminya saja.

"Raden Sancaka?" suara Mbah Jiwo mengulangi gelar dan nama yang baru saja disebutkan tamunya saat berkenalan dengannya. "Melihat dari nama dan pakaian yang kamu kenakan, sepertinya kamu bukan bangsa jin kelas biasa?"

"Aku salah satu raja dari tujuh raja yang menguasai Alas Wiwitan."

"Tujuh raja?" Mbah Jiwo kembali mengulang. "Berarti selama ini aku salah mengira kalau di sana hanya ada satu raja?"

"Ayahku mewariskan takhta tertingginya untuk kami para putranya yang berjumlah tujuh. Jika raja yang kamu ketahui itu bernama Prabu Jaya Wilangin, maka dia adalah ayahku."

"Tepat, sekali!" Mbah Jiwo yang sebelumnya masih asyik menyesap rokok kelobotnya, seketika mematikan batang itu dengan menancapkannya ke mulut a***k kayu guna memberikan atensi penuh kepada sang tamu gaib.

"Aku pernah bertemu dengannya saat masih mengasah ilmu dan sangat menghormati beliau sebagai penguasa gaib Alas Wiwitan." Mbah Jiwo manggut-manggut.

Sepasang netra tuanya setengah menerawang ke awang-awang saat teringat masa mudanya dulu, ketika dirinya masih senang keluar masuk hutan demi bisa mendapatkan pencerahan yang ingin dicapainya.

"Tapi ... Apakah keputusan yang akan Raden ambil ini sudah Raden pikirkan baik-baik untuk menikahi wanita dari bangsa manusia?" Mbah Jiwo kembali bertanya saat pikirannya kembali ke masa sekarang.

"Jika aku bersedia datang ke sini, maka bukankah semestinya kamu sudah tahu apa jawaban dari pertanyaanmu barusan?"

Mbah Jiwo mengangguk-angguk mengerti. "Jika begitu, bagaimana kalau tanggal lima belas di malam purnama bulan ini?"

Raden Sancaka dan Lastri saling berpandangan usai mendengar saran itu dan mengangguk sepakat dengan senyum yang merekah dari bibir satu sama lain.

Maka di tanggal lima belas bulan itu, Mbah Jiwo mendatangi rumah Lastri bersama satu saksi yang merupakan keponakannya sendiri, yakni Samut, putra dari sang adik yang merupakan seorang guru ngaji yang diustazkan di Desa Genuk Watu.

Berbeda dari ayahnya yang gemar mempelajari ilmu agama dari negara Timur Tengah dan banyak dianut oleh masyarakat di desanya, Samut lebih memilih mengikuti jejak sang paman untuk mempelajari Kejawen dan hidup sebagai penganut Kejawen serupa Mbah Jiwo.

Samut bisa melihat wujud nyata Raden Sancaka. Itu sebabnya, dia diminta menjadi saksi atas penyatuan cinta dua dunia antara Lastri dan Raden Sancaka.

Tidak terjadi peristiwa mengerikan apa pun pada malam yang sakral bagi kedua makhluk Tuhan itu. Kecuali kabut yang menjadi lebih pekat dari malam-malam biasanya dan binatang menjadi begitu tenang seakan ikut menghormati prosesi pernikahan tak biasa itu.

Berbeda dari pernikahan sesama manusia, pernikahan dengan bangsa jin dilakukan dengan adat dan tata cara yang mengikuti aturan bangsa jin. Mereka hanya perlu mengucapkan janji untuk menerima satu sama lain sebagai pasangan di hadapan Mbah Jiwo dan Samut.

Lalu, Raden Sancaka menyerahkan mas kawin berupa selendang hijau miliknya beserta tumpukan emas batangan yang ditariknya dari dunia gaib, dan mereka berdua telah resmi menjadi suami istri.

Aturan yang perlu ditaati keduanya hanya satu, yakni mereka tak bisa bercerai selamanya.

"Suamimu bukan jin sembarangan." Mbah Jiwo berujar ketika Lastri mengantarnya keluar usai membantu menikahkannya. "Karena dia pasti memiliki ilmu yang sakti, maka jangan heran jika nanti saat kehamilanmu, orang-orang biasa sekalipun, akan menyadarinya karena kamu akan terlihat hamil seperti wanita lain yang menikahi manusia biasa."

Seketika Lastri membatu. Bodohnya lagi, dia tidak pernah memikirkan sampai jauh ke sana, padahal salah satu konsekuensi dari pernikahan adalah terjadinya pembuahan dan bukan tidak mungkin dirinya akan hamil meski suaminya itu bukan manusia.

"Melihat mimik wajahmu ini, jangan bilang, kamu juga tidak memikirkan soal itu?"

Lastri menggeleng sebagai respons. Membuat Mbah Jiwo seketika ikut menggeleng tak habis pikir. "Bagaimana bisa kamu menikah tanpa memikirkan apa pun sama sekali seperti ini?"

"Saya akan bertanggung jawab atas apa pun yang nanti akan terjadi," pungkas Lastri demi tak diomeli oleh Mbah Jiwo.

"Kalau begitu, pastikan kamu mempersiapkan nasib anakmu nanti, yang mungkin juga akan terlahir berbeda dari manusia normal lainnya."

Lastri hanya mengangguk dan menatap kepergian Mbah Jiwo bersama Samut yang setia mengikutinya.

Setelah kembali ditinggalkan berdua saja bersama Raden Sancaka, barulah Lastri menyadari kalau apa yang sudah dia lakukan benar-benar serasa seperti sebuah kecerobohan fatal.

Bagaimana bisa dia menikahi raja dari bangsa jin itu tanpa memikirkan apa pun sebelumnya? Apa yang sebenarnya sudah merasuki pikirannya?

"Kita bahkan belum melakukan apa pun sebagai pasangan suami istri, tetapi wajahmu sudah terlihat sangat menyesali pernikahan kita. Apa yang kupikirkan ini benar?" terka Raden Sancaka sembari duduk di kursi njalin panjang menyebelahi Lastri di ruang tamu rumah sederhana itu.

Lastri dengan segera langsung menggelengi pertanyaan menusuk itu meski mimik mukanya tak berubah sedikit pun dari raut kekhawatiran. "Saya hanya bertanya-tanya, apakah raden akan membuat saya mengandung anak keturunan Raden di masa mendatang?"

"Kamu tidak mengharapkan berketurunan denganku?" Raden Sancaka balik bertanya tanpa kesan menuntut.

Lastri menggeleng lagi dengan panik. "Bukan seperti itu maksud saya. Tolong, jangan salah paham," sangkal Lastri karena memang bukan seperti itu yang dia maksudkan. "Saya hanya penasaran. Apakah saya bisa mengandung keturunan raden atau tidak."

"Jika kamu ingin tahu, mengapa kita tidak mencoba mencari tahu sendiri?"

Lastri terjebak permainan katanya sendiri. Sekarang, tak ada yang bisa dilakukannya selain menunduk dengan senyum terkulum dan menggigit bibir gugup. Dengan malu-malu, dia lalu mengangguk. Dan pasrah saat kemudian dirangkul berjalan ke kamarnya untuk melakukan ritual suami istri yang sudah lama tidak pernah Lastri lakukan.

Malam itu menjadi malam yang begitu hebat dan luar biasa bagi keduanya, hingga mengguncang sampai ke alam seberang tempat di mana Raden Sancaka berasal dan selama ini tinggal.

Prabu Jaya Wilangin yang senantiasa bersemedi di dalam kamar khusus di istananya dan merasa terusik dengan aktivitas salah satu putranya yang tak biasa itu, membuka mata dan turun dari batu pertapaannya untuk bertemu dengan istrinya, Dewi Ningrum, yang sudah sangat lama tidak pernah disapanya.

"Apa Nyimas merasakan kegiatan tidak biasa yang dilakukan oleh salah satu putra pewaris kita?'

Ratu lelembut yang akrab disapa Dewi Ningrum itu berpaling menghindari tatap penuh selidik sang suami. Sudah menjadi kebiasaan yang s**ar dihilangkan, Dewi Ningrum akan selalu berlagak seperti itu jika dia benar-benar merahasiakan sesuatu dari suaminya.

Prabu Jaya Wilangin tak ingin buang waktu, lantas berdiri menyebelahi sang istri yang tadi berdiri menatap rembulan purnama melalui jendela kamarnya yang terbuka lebar. "Apa ada yang Nyimas rahasiakan dariku?"

"Maafkan saya, Kang Mas Prabu." Dewi Ningrum memberanikan diri memberikan perhatian penuh kepada suaminya yang kini tengah menatap lekat padanya. "Sebenarnya, menurut abdi utusan saya, Raden Sancaka telah menikah dengan seorang wanita dari bangsa manusia tepat pada malam ini."

"Bagaimana dia bisa melakukan itu tanpa meminta izin kepada kita terlebih dahulu? Apa dia sudah merasa menjadi raja diraja hanya karena aku memberinya kuasa atas sebagian kecil wilayah kerajaanku?"

Judul: Kisah Cinta Raden Sancaka
Penulis: Ayuwangi

KEMBALINYA SANG GUNDIK Penulis: Seruni Baskoro Sarah menatap sekeliling ruangan rumah kampung itu, bibirnya cemberut tam...
08/11/2025

KEMBALINYA SANG GUNDIK

Penulis: Seruni Baskoro

Sarah menatap sekeliling ruangan rumah kampung itu, bibirnya cemberut tampak tak s**a. Rumah Mbah Suryo memang sederhana, dinding kayu, lantai tanah yang dipadatkan, dan penerangan seadanya dari lampu listrik yang tak begitu besar. Jauh berbeda dari kenyamanan rumahnya di Jakarta yang mewah, apalagi dengan kondisi kakinya yang lumpuh. Bagaimana bisa dia bertahan di tempat seperti itu.

"Mbah, kami sangat berterima kasih atas tawarannya. Tapi kami tidak ingin merepotkan," ucap Soraya sambil tersenyum.

"Merepotkan apanya. Anggap saja rumah sendiri. Kalian butuh tempat aman, kan? Di sini aman, tidak ada yang tahu kalian di sini," ucap Mbah Suliyem pun tersenyum pada Soraya.

Sarah melirik Soraya, tatapan matanya penuh isyarat, seolah berkata jika dia tak ingin tinggal di tempat seperti itu. Namun, Soraya mengabaikannya. Dia tahu, saat ini mereka tidak punya pilihan lain. Perjalanan panjang telah menguras tenaga mereka, apabila untuk balik ke kota pun belum tentu bisa, mengingat susah cari kendaraan di desa yang belum mereka kenal itu.

"Kami akan tinggal untuk sementara waktu ya, Mbah," ucap Soraya, membuat Sarah terbelalak.

"Untuk sementara saja, sampai kami bisa memikirkan langkah selanjutnya," timpal Soraya sambil tersenyum, lalu melirik sang ibu.

"Bagus kalau begitu. Sekarang, kalian pasti lapar. Biar tak siapkan makanan dulu. Kalau kalian mau ke kolah atau tempat mandi, ada di belakang rumah," ucap Mbah Suliyem mengangguk puas. Sebab kini dia punya teman berbicara setelah hampir setahun hidup berdua dengan Mbah Suryo yang bagaikan mayat itu.

Saat Mbah Suliyem beranjak ke dapur, Sarah langsung memelototi Soraya.

"Apa-apaan kamu? Aku nggak mau tinggal di sini! Ini tempat apa? Nggak ada kamar mandi, apalagi toilet duduk! Bagaimana aku mau buang air? Kita cari losmen atau penginapan saja!" bisik Sarah begitu kesal.

"Ma, kita nggak punya pilihan. Kita sudah sampai sejauh ini, dan kita juga nggak punya kendaraan. Lagipula, Mbah Suliyem benar, tempat ini aman. Bu Rianti dan orang-orangnya tidak akan menemukan kita di sini," ucap Soraya berupaya menenangkan sang ibu.

"Besok, aku akan cari penginapan yang nyaman di sekitar sini. Untuk sekarang kita istirahat dulu di sini ya, Ma," ucap Soraya sambil mengelus tangan Sarah.

Sementara sore harinya, Darmawan yang sedari pagi banyak kunjungan dan blus**an untuk sembunyi-sembunyi mencuri start kampanye, akhirnya sampai juga di Bogor, di vila milik istrinya, tempat kejadian pemb*nuhan berencana terhadap istri simpanannya itu.

Entah kenapa pikirannya selalu teringat mimpi buruknya yang melihat kuburan Sarah digali oleh si bisu dan Sarah masih hidup.

"Wisman, apa setan perempuan itu masih gentayangan mengganggu kalian?" tanya Darmawan pada dua orang anak buahnya yang masih berjaga di vila.

"Tidak ada lagi, Pak, hanya sekali itu saja, Pak!" jawab Wisman tampak serius.

"Kamu ikut ngubur perempuan itu, kan?" tanya Darmawan sambil berjalan masuk ke dalam vila diikuti Wisman, sedangkan Wahyu masih berjaga di depan gerbang.

"Ikut, Pak. Aku sama Beni yang melempar perempuan itu ke dalam lubang kuburan dan menimbunnya. Memang kuburan itu dalamnya hanya semeter lebih dikit lah, si bisu itu nggak paham disuruh gali tanah buat apa, jadi galiannya gak begitu dalam," ucap Wisman sambil berjalan di belakang Darmawan.

"Kamu yakin perempuan itu benar-benar sudah mati?" tanya Darmawan sambil berhenti dan menatap Wisman.

"Sudah lah, Pak. Kan punggungnya ditembak dua kali dalam jarak dekat, mana ada yang selamat kalau ditembak dalam jarak dekat. Di sini pun darah banyak banget. Apalagi saat sebelum dikubur, kedua kakinya dipatahkan, mungkin lututnya hancur diinjak-injak Beni dengan sepatu safety yang tebal gitu! Memangnya kenapa, tho, Pak? Apa Bapak tak yakin perempuan itu sudah mati?" tanya Wisman sambil mengerutkan dahi.

"Masalahnya, aku mimpi si bisu membongkar kuburan itu dan Sarah keluar dari kuburan masih hidup! Aku selalu kepikiran hal itu!" tegas Darmawan lalu bergegas ke belakang vila.

"Itu cuma mimpi, Pak. Mungkin Bapak ketakutan perempuan itu belum mati saat dikuburkan, jadi terbawa mimpi!" ucap Wisman sambil mengikuti Darmawan hingga ke belakang vila.

Namun sesampainya di belakang vila, mereka berhenti, terdiam melihat si bisu sedang duduk melamun sambil merokok di dekat bekas kuburan Sarah yang kini ditimbun lagi seperti kuburan.

"Sedang apa dia di sana?" bisik Darmawan pada Wisman.

Wisman tak menjawab, hanya menggelengkan kepala. Dia juga merasa ada sesuatu yang aneh. Si bisu, yang biasanya selalu patuh dan tak banyak tingkah, kini terlihat berbeda. Ada aura muram yang menyelimuti.

Sudah dua hari, si bisu selalu ingat Soraya dan Sarah yang sudah dia tolong, apalagi dia tak tahu Sarah benar-benar selamat atau malah sudah mati di luar sana.

Darmawan melangkah maju, perlahan mendekati si bisu. Wisman mengikuti dengan raut judes karena dia memang menganggap rendah si bisu.

"Hei!" panggil Darmawan sambil menepuk pundak si bisu hingga si bisu tersentak, menoleh. Matanya membulat kaget melihat Darmawan dan Wisman berdiri di belakangnya. Ia buru-buru membuang rokoknya.

"Kenapa kamu di sini? Apa yang kamu lakukan?" tanya Darmawan sambil memakai bahasa isyarat karena si bisu selain tak bisa bicara juga tuli.

Mata Darmawan tertuju pada gundukan tanah di samping si bisu. Ada bekas galian yang terlihat samar, seolah baru saja ditimbun.
Si bisu menunduk, tak berani menatap Darmawan. Dia hanya menggelengkan kepala, tangannya gemetar.

"Jawab! Apa yang kamu lakukan di kuburan itu?" desak Darmawan, nadanya semakin tinggi. Kecurigaan terhadap si bisu telah membongkar kuburan Sarah makin besar.

Si bisu memperlihatkan cangkul dan sabit sambil memberi isyarat jika dia sedang membersihkan rumput liar di tempat itu.

"Jangan-jangan kamu gali kuburan ini ya?" tanya Darmawan sambil melotot.

Si bisu pun menggelengkan kepala dan memberi isyarat jika duduk di tempat itu untuk istirahat dan merokok.

"Wisman, gali lagi tanah ini!" perintah Darmawan tiba-tiba, menunjuk gundukan tanah bekas kuburan Sarah itu.

"Gali lagi, Pak? Tapi..."

"Gali!" bentak Darmawan tegas, tak terbantahkan. Dia harus memastikan jasad Sarah masih di dalam kuburan itu agar pikirannya tenang.

Wisman menghela napas, lalu mulai mengambil cangkul yang ada di samping si bisu.

Si bisu, melihat itu, sontak beranjak dan mencoba menghalangi Wisman dengan isyarat bau sambil menutupi hidung, memberitahu jika ada bau bangkai. Namun, Darmawan dengan sigap menariknya menjauh.

"Kamu mau menghalangi? Berarti benar ada yang kamu sembunyikan!" bentak Darmawan, sambil mencengkeram lengan si bisu.

Si bisu meronta dan membela diri, tapi tak berdaya. Dia hanya bisa menatap Wisman yang mulai menggali tanah dengan tatapan putus asa dan ketakutan yang jelas.

Tak lama mencangkul, tiba-tiba tercium bau b*ngkai yang menyengat hingga Wisman hampir muntah. Darmawan pun menutup hidungnya dengan sapu tangan. Lalu si bisu buru-buru mendorong Wisman dan merebut cangkulnya, lalu menimbun lagi kuburan itu.

Memang si bisu mengubur anjing liar yang sengaja dia b*nuh dan dia kubur di tempat itu untuk meyakinkan jika sewaktu-waktu Darmawan hendak membongkar kuburan itu.

Si bisu tahu betapa jahatnya para majikannya yang di depan umum terlihat baik dan mengayomi itu. Makanya dia takut jika sewaktu-waktu mereka menggali kuburan itu dan tak menemukan jasad Sarah, maka dialah yang akan dib*nuh. Namun dengan ide memb*nuh anjing liar dan dia kubur di bekas kuburan Sarah, setidaknya setelah mencium bau b*ngkai, mereka percaya jika Sarah benar-benar mati dan masih dikubur, hingga mereka tak jadi menggali lagi.

"Perempuan itu sudah jadi b*ngkai, Pak, bau banget loh, jadi nggak usah digali lagi. Nggak kuat aku dengan baunya, apalagi nanti kalau lihat bangkainya, hih...!" ucap Wisman sambil bergidik ngeri.

"Bener juga sih. Kalau Sarah masih hidup, ndak mungkin ada bau b*ngkai di kuburan ini. Ya sudahlah, mungkin benar aku harus melupakan mimpi itu, mungkin karena aku terlalu cemas jika Sarah masih hidup, jadi sampai terbawa mimpi!" batin Darmawan lalu segera dia balik ke arah dalam vila.

"Bapak ngapain di sini?" tanya Luna seketika, mengejutkan Darmawan yang mau masuk pintu belakang vila itu. Dia tak menyangka putri bungsunya ada di vila itu, karena Luna memang baru datang.

"Luna... kamu sendiri ngapain ke sini? Kamu sama ibumu?" balas Darmawan balik bertanya.

"Ndak lah, aku sendiri... ih, aku tiap malam dan tiap tidur selalu mimpi perempuan sialan itu keluar dari kuburan dan masih hidup loh, Pak. Aku mimpi si bisu itu gali kuburannya dan dia keluar dari kuburan dalam kondisi masih hidup. Aku ke sini mau buktiin sendiri perempuan itu masih di dalam kubur atau nggak, biar aku tenang!" ucap Luna membuat Darmawan melotot.

"Kok mimpimu sama seperti mimpi Bapak, Lun. Bapak juga mimpi seperti itu, makanya Bapak ke sini mau lihat kuburannya!" tegas Darmawan membuat Luna balik melotot.

"Yang bener, Pak? Terus gimana, apa kuburannya sudah digali dan mayatnya gimana, masih ada nggak?" cecar Luna dengan antusias.

"Kuburannya sudah digali, Non. Mayat perempuan itu sudah jadi b*ngkai, menyengat banget baunya!" ucap Wisman sambil bergidik.

"Berarti perempuan itu benar-benar mati ya!" gumam Luna sambil melongok ke belakang vila.

"Beneran sudah jadi b*ngkai perempuan itu, Pak?" tanya Luna masih ragu.

"Sudah... bau b*ngkainya bikin muntah. Sudahlah, tenang saja. Jika sudah bau b*ngkai gitu, pastinya dia masih di sana, nggak mungkin hidup lagi. Mungkin mimpi itu karena pikiran kita cemas saja," ucap Darmawan, mencoba menenangkan sang putri lalu pergi ke ruang santai.

Luna menghela napas, namun matanya masih mengawasi gundukan tanah yang kembali ditimbun si bisu itu sebelum akhirnya dia menyusul sang bapak.

"Yang jadi masalah sekarang, adiknya Sarah itu menghilang entah ke mana dan kemungkinan dia tahu tentang kematian kakaknya, Lun. Bapak takut jika bocah itu menemui Hidayat Wicaksono saingan politik Bapak itu, maka kacau semuanya! Hidayat Wicaksono pasti akan memfasilitasi bocah itu mempublikasikan kasus kematian Sarah!" ucap Darmawan dengan raut muram.

"Hah... adiknya yang sering ikut di video kontennya itu? Masa dia tahu kematian kakaknya? Tapi bisa juga sih, bisa saja sebelum perempuan itu pergi ke vila ini, dia pamitan pada adiknya itu! Atau jangan-jangan pas kejadian, sebenarnya adiknya itu ikut ke sini, Pak? Bisa saja dia sembunyi saat kejadian!" ucap Luna, membuat Darmawan melotot dengan raut takut. Dia takut apa yang diucapkan anaknya itu benar adanya.

"CCTV... Kita harus cek CCTV vila ini, Pak!" ucap Luna sambil beranjak dari duduknya.

"CCTV vila ini rusak sudah lama, loh, Non. Katanya konslet di pusat. Itulah kenapa Ibu menyuruhku jaga vila ini agar tak ada yang keluar masuk. Tapi memang nggak ada yang keluar masuk vila ini selain si bisu itu, Non. Kalau adiknya perempuan itu ada di vila ini pas kejadian, dia nggak mungkin bisa keluar tanpa melewatiku di gerbang!" jelas Wisman, membuat Luna kembali duduk, namun dia tampak cemas dan langsung mengutak-atik HP-nya untuk menelepon pacarnya yang juga anak pejabat dan menyuruh para preman anak buah pacarnya untuk mencari Soraya sampai ketemu, lalu memb*n*hnya.
Apakah akhirnya Soraya dan Sarah ditemukan setelah orang-orang Darmawan dan para preman suruhan Luna bergerak mencarinya? Baca kelanjutannya di KBM App
Naskah ini jadi juara KLI-10 apresiasi platinum dan sudah tamat di KBM App
Penulis: Seruni Baskoro
Username KBM: serunibaskoro (huruf kecil semua)
Link ada di kolom komentar 👇

AKU MEMBUANG ISTRIKU YANG KAMPUNGAN, TAPI DI SAAT ACARA BESAR DI PENUHI ORANG PENTING. IA BERDIRI DI SANA YABG TERNYATA ...
08/11/2025

AKU MEMBUANG ISTRIKU YANG KAMPUNGAN, TAPI DI SAAT ACARA BESAR DI PENUHI ORANG PENTING. IA BERDIRI DI SANA YABG TERNYATA DIA... (3)

Setelah menyiapkan apa yang di pinta Revan, dan melihat bagimana mereka memperlakukan Laras.
Tangisnya pecah di dalam kamar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan isak yang ingin meledak. Bahunya berguncang hebat. Namun di sela isakannya, ponselnya kembali bergetar di meja rias.

Dengan tangan gemetar, ia meraihnya.

“Nyonya Mahendra, ini saya dari tim pengama nan. Kami sudah tiba di depan rumah Anda.”

Tubuh Aurelia menegang. Ia menatap wajahnya di cermin. Mata sembab, p**i basah air mata, rambut acak-acakan.

Perlahan ia menarik napas dalam-dalam. Tidak. Ia tidak boleh terlihat lemah. Buru-buru ia menghapus air matanya, merapikan rambutnya, lalu mengambil tas kecil yang sudah ia siapkan tadi.

Dengan langkah mantap, ia membuka pintu kamarnya.

Dari bawah terdengar suara riuh. Suara ibu mertuanya, Sinta, dan Laras bercampur. Ia turun perlahan, menapaki anak tangga satu per satu.

“Wah, Kak Laras, mobil jemputan kamu udah datang ya?” suara Sinta terdengar kagum.

Aurelia menatap ke arah halaman depan. Di depan pagar rumah, tiga mobil hitam mewah terparkir rapi. Dua sedan Mercedes terbaru, dan satu Alphard hitam mengilap di tengah. Beberapa pria berjas hitam berdiri di samping mobil dengan kepala sedikit menunduk, menunggu dengan sikap hormat.

“Ya ampun Laras, ini supir pribadi kamu ya?” tanya Puan mariam sambil menepuk bahu Laras penuh bangga. “Nggak salah Mama s**a kamu dari dulu. Kamu memang pantas sama Revan.”

Laras tersenyum kecil, meski tatapannya menunjukkan kebingungan. “Aku, aku nggak pesan jemputan kok, Tante.”

Revan mengernyit. “Bukan jemputan kamu? Terus siapa?”

Saat itu, Aurelia sudah sampai di anak tangga terakhir. Ia berdiri di sana, menatap pemandangan di depannya dengan mata berkilat basah.

Salah satu pria berjas hitam berjalan mendekat ke pintu. Ia menunduk sopan ke arah Aurelia.

“Selamat siang, Nyonya Mahendra. Kami diutus langsung oleh Tuan Bagas untuk menjemput Anda. Mobil sudah siap.”

Semua mata menoleh padanya. Ruang tamu itu hening beberapa detik. Revan menatapnya dengan alis terangkat, Laras terpaku, ibu mertua menatapnya tidak percaya, sementara Sinta menutup mulutnya menahan teriakan kecil.

Aurelia menghela napas perlahan. Ia menatap pria itu dan mengangguk kecil.

“Baik, terima kasih.”

Ia melangkah pelan ke arah pintu. Namun sebelum sempat melewati ruang tamu, suara ibu mertuanya menahan langkahnya.

“Hei, tunggu!” Puan mariam berjalan cepat mendekat, menatap pria berjas hitam itu dengan tatapan tajam penuh curiga. “Apa yang kalian bicarakan barusan? Menjemput? Siapa yang kalian jemput?”

Pria itu menatap Puan mariam datar. “Kami menjemput Nyonya Mahendra.”

Puan mariam tertawa sinis. “Nyonya? Hah, kalian salah orang. Dia ini,” ujarnya sambil menunjuk wajah Aurelia dengan hinaan terbuka, “cuma menantu nggak berguna. Sampah. Mana mungkin orang seperti dia dijemput mobil mewah begini. Pasti kalian salah alamat.”

“Iya." Revan ikut mendekat dengan wajah mencibir. "kalian ini siapa sih? Jangan buang waktu kami dengan drama murahan.”

Sinta menimpali cepat, “Iya Kak, mana mungkin Kak Aurelia dijemput mobil kayak gini. Dia kan nggak punya apa-apa.”

Laras maju setengah langkah, tangannya melingkar di lengan Revan dengan elegan. Tatapannya menelusuri tubuh Aurelia dari atas hingga bawah dengan jijik. “Pak, saya Laras Adiningrat. Kalau Anda butuh konfirmasi siapa yang layak dijemput dengan mobil seperti ini, saya bisa bantu hubungi ayah saya sekarang. Supaya kalian tidak salah orang.”

Pria berjas itu menatap Laras dengan dingin, sama sekali tak terpengaruh oleh nama besar yang disebutnya.

“Silakan saja, Nona,” jawabnya datar.

Puan mariam menatap Aurelia dengan mata melotot penuh kebencian bercampur ketakutan. “Kamu! siapa kamu sebenarnya?!”

Aurelia menatapnya pelan, matanya sendu namun menusuk. Bibirnya tertarik membentuk senyum kecil, senyum yang tak lagi penuh kesedihan seperti biasa – melainkan senyum kosong yang menimbulkan rasa takut.

“Siapa aku …?” ia berbisik pelan. “Kalian tidak perlu tahu.”

Hatinya sebenarnya bergetar, tapi wajahnya tetap dingin saat ia melanjutkan langkah. Namun tiba-tiba, tangan ibu mertuanya terjulur cepat, hendak menampar p**inya.

“Dasar perempuan tak tahu diri—”

BRUK.

Tangan itu terhenti di udara, dicengkeram kuat oleh pria berjas hitam yang sedari tadi berdiri di samping Aurelia.

“Sentuh satu helai rambut Nyonya Mahendra, dan hidup Anda akan berakhir di sini juga, Bu,” ucapnya datar, suaranya pelan namun dingin seperti kabut pagi.

Puan mariam, menatap pria itu dengan wajah ketakutan. Laras melangkah maju lagi, berusaha menegakkan kepalanya.

“Kalian tidak tahu siapa aku. Keluarga Adiningrat bisa menuntut kalian atas pelecehan ini—”

Pria itu menatap Laras tajam. “Silakan, Nona. Namun Mahendra Group akan siap membalas kapan saja. Mahendra Group bisa menghancurkan siapapun yang berani menghalangi langkah Nyonya Mahendra.”

Deg.

Ucapan itu menampar telinga semua orang di ruang tamu. Laras menegang, wajahnya pucat seketika. Nama Mahendra Group bukan nama main-main. Konglomerat raksasa yang menguasai banyak sektor bisnis inti di Indonesia. Bahkan ayahnya sendiri harus menunduk di hadapan pemilik nama itu
Laras menutup mulutnya, matanya membelalak. Ia mundur satu langkah dengan wajah pucat pasi.

Aurelia menghela napas pelan. Ia menatap mereka semua, matanya lembut namun terasa begitu jauh.
“Terima kasih untuk semua penghinaan kalian,” ujarnya lirih. “Karena itu yang membuatku ingat siapa aku sebenarnya.”

Ia melangkah keluar, menuruni anak tangga perlahan. Pria berjas hitam menahan payung hitam di atas kepalanya. Begitu pintu Alphard dibuka, ia sempat menoleh sekilas. Mata mereka bertemu dengan tatapan terakhirnya.

Lalu pintu ditutup. Mobil melaju pelan meninggalkan rumah itu, meninggalkan empat orang yang masih berdiri kaku, dengan tatapan kosong penuh tanda tanya.

Siapa sebenarnya Aurelia?
Mengapa ia dipanggil Nyonya Mahendra?

Hujan turun semakin deras. Namun bagi Aurelia, untuk pertama kalinya, hujan itu terasa menenangkan.

“Ayah. Aku akan pulang.”

Baca selengkapnya di KBM app
Judul : Istri Yang Ku Buang Ternyata Sultan
A Story' La Tahzan

Address

Cisalak
Subang
41283

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Vha Homebase posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share