09/11/2025
"Mama kenapa tiba-tiba kerja? Bukannya selama ini Mama di rumah aja?" selidik Fanya penasaran.
"Mama hanya mau bantu Papa. Saat ini di kantor, Papa sedang banyak kerjaan."
"Kerjaan apa, Ma?"
"Ya kerjaan kantor. Macam-macam."
"Kerjaan itu dikerjakan di kantor atau di luar, Ma?"
"Ya di kantor lah, memang ada apa?"
Aku melihat dua mata Fanya menatap tak biasa. Seperti ada amarah yang berusaha dia pendam.
"Tadi Santy ketemu Papa di mall."
"Santy itu teman kamu yang biasanya main kemari 'kan?"
Fanya menganggukkan kepala, dia kini duduk di sisiku di atas ranjang.
"Kata Santy Papa di mall sama perempuan."
Deg.
Meski sangat terkejut, aku mencoba bersikap tenang.
"Iya Nak, tadi Papa memang keluar untuk bertemu sama rekan bisnisnya."
"Perempuan?"
Fanya masih belum puas.
"Iya, rekan kerja Papa itu ada perempuan dan ada laki-laki."
Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya bertanya kembali.
"Kalau sama rekan kerja boleh saling pegangan tangan ya, Ma?"
Seketika dada ini menyentak kuat, apa yang ditanyakan Fanya? Siapa wanita yang dimaksud anakku, apa Mimi?
"Harusnya tidak boleh."
"Tapi kenapa Papa pegangan tangan sama rekan kerjanya itu?"
Aku tak tahu harus menjawab apa, hingga bibir ini terasa bergetar.
"Ma, Mama harus tanyakan ke Papa. Jangan sampai Papa jatuh cinta sama perempuan lain seperti Papanya Keisya. Yang meninggalkan Keisya dan mamanya demi hidup dengan wanita lain."
Aku menelan ludah yang terasa sangat pahit, perkataan Fanya sangat penuh makna. Diri benar-benar tak paham ternyata di usianya yang dua belas tahun, dia sudah paham akan hal itu.
"Iya Nak, nanti Mama akan tanyakan sama Papa."
Kupeluk tubuh anak gadisku yang terasa terguncang, mungkin dia merasa takut, marah atau kecewa. Aku tak tahu persis.
"Sudah jangan khawatir. Papa pasti bisa menjaga cintanya hanya untuk kita."
Terlihat Fanya menghela napas berat.
"Udah makan belum?" tanyaku mengalihkan topik pembicaraan.
Fanya menggeleng.
"Yaudah kalau gitu, ayo kita makan. Mama juga udah lapar."
"Nggak mau nunggu Papa, Ma?"
"Papa barusan udah nelpon Mama, katanya malam ini pulang terlambat. Masih ada acara makan malam sama investor yang ketemuan tadi siang."
Fanya kembali menatapku.
"Bisakah kita percaya sama Papa, Ma?"
"Tentu bisa Sayang, selama ini Papa sudah berusaha melakukan yang terbaik. Sebab itu kita harus percaya padanya."
"Oke," jawab Fanya pasrah. Lau aku menggandeng tangannya dan mengajak untuk makan malam bersama. Tepat jam sepuluh selepas menonton televisi sebentar, aku mengantar Fanya tidur. Kubacakan doa di ubun-ubunnya, meski sudah menjadi gadis dewasa, ritual ini terus kulakukan.
"Selamat tidur, Nak."
Fanya tersenyum.
"Selamat tidur, Mama."
Ucapanku mengalir bersama dengan air mata yang membasahi kedua p**i. Tidak pernah selama lima belas tahun pernikahan aku merasakan sakit yang seperti ini.
Dimana kamu, Mas? Cepatlah pulang.
*
Tanpa sengaja dua netraku terpejam dan kembali terbuka saat terdengar suara pintu kamar berderit.
"Mas Gala?"
Lelaki yang sudah masuk ke kamar itu berhenti melangkah saat mendengar suaraku.
"Mas baru pulang jam segini? Makan malam apa sampai jam dua tengah malam Mas?"
"Tadi aku sudah beritahu, makan malam sama investor," ucapnya tampak panik dan memilih langsung ke kamar mandi. Aku hanya bisa menunduk seraya mengurut kening. Kulangkahkan jua kaki ini untuk mengambil segelas air hangat untuknya. Sekitar sepuluh menit kemudian, suamiku keluar dan mengganti pakaian.
"Bisa kita bicara sebentar, Mas?"
"Bicara apa, ini sudah malam. Apa tidak bisa besok?"
"Tadi siang, Mas bilang malam. Sekarang sudah malam, Mas bilang besok lagi. Kapan sih kita bisa bicara?"
Suaraku yang meninggi membuatnya urung tertidur, dia kini duduk dan menatap diri ini.
"Mau bicara apa?" ucap Mas Gala dengan suara berat. Aku menarik napas dalam, meredakan gemuruh yang semakin menjadi di dalam dada. Ya
"Tadi pagi saat kamu keluar, aku membutuhkan gunting yang tidak kutemukan di mejaku. Jadi kuputuskan untuk mencari di laci kerja Mas."
Wajah Mas Gala langsung menegang.
"Aku menemukan sebuah cincin berlian di sana. Awalnya sangat bahagia karena kupikir cincin itu untukku tapi seketika perasaanku hancur ketika sore harinya aku melihat cincin itu ada di tangan Mimi. Katakan Mas, benarkah kamu yang memberi cincin itu kepada Mimi?"
Mas Gala membuang napas kasar.
"Hanya cincin, tolong jangan dipermasalahkan. Kamu mau cincin yang seperti apa, besok akan Mas belikan."
"Aku tak butuh cincin Mas, aku hanya butuh jawaban, apa benar kamu yang memberi cincin berlian kepada Mimi?"
Mas Gala masih terdiam.
"Jawab Mas, jangan diam."
"Iya."
"Tapi untuk apa, Mas? bukankah tidak pantas seorang bos memberi cincin kepada karyawannya seharga puluhan juta? Lalu apa alasan memberi cincin itu kepada Mimi?"
Karena Mas Gala tetap diam, emosikupun tersulut. Dengan kedua tangan aku menggoyang-goyangkan kedua bahu suamiku itu.
"Jawab, Mas."
"Cukup Naya, jangan berteriak."
"Aku berteriak karena kamu diam, Mas!"
"Sudah kukatakan hanta cincin, kenapa kamu marah?"
"Aku tidak akan marah jika kamu memberi cincin itu untuk Mama atau adik-adikmu. Tapi jika untuk wanita lain, aku cemburu. Aku marah. Aku ini istri kamu Mas, apakah salah jika aku hanya ingin kamu mencintai dan memerhatikanku?"
Ucapanku mengalir bersama dengan air mata yang membasahi kedua p**i. Tidak pernah selama lima belas tahun pernikahan aku merasakan sakit yang seperti ini.
"Aku mencintaimu, Mas. Aku tak ingin kamu salah menempatkan rasamu untuk wanita lain. Ingat Mas kamu pernah mengatakan, kita berjuang bersama dari nol. Kamu juga pernah berkata, akulah istri yang sudah menemanimu dari kamu bukan siapa-siapa sampai punya perusahaan dan punya harta seperti ini. Ingat Mas bahwa kamu juga yang berkata bahwa kamu akan setia seperti apapun badai menerpa rumah tangga kita kelak. Lalu ada apa dengan semua ini, Mas? Apa benar kamu sudah melupakan semua janjimu hanya kareba wanita itu?"
Sejenak hening, bahkan suara angin pun tak terdengar.
"Maafkan Papa, Ma. Papa khilaf."
Deg.
***
Bersambung
Baca kisah ini selengkapnya di aplikasi KBM app, judul cerita Akhir Sebuah P3ngkhian4tan Penulis : wahyunisst.
Terima kasih. Utamakan baca Al-Quran.