10/06/2025
Di jantung Sulawesi Tenggara, dua p**au yang dulu sunyi dan lestari kini berubah wajah. Pulau Kabaena dan Pulau Wawonii—tanah yang dahulu dipenuhi hijaunya hutan tropis dan jernihnya aliran sungai—kini bergetar di bawah deru alat berat dan kep**an debu tambang.
Kabaena, yang dikenal sebagai tanah leluhur yang kaya budaya dan sejarah, kini perlahan kehilangan identitasnya. Gunung-gunungnya diratakan, tanahnya dikeruk, dan masyarakat adat terpinggirkan oleh ekspansi pertambangan nikel. Hutan yang dulu menjadi sumber hidup kini hanya tinggal kenangan yang tertinggal di foto-foto lama dan cerita lisan para tetua.
Begitu p**a dengan Wawonii. Pulau kecil yang dikelilingi laut biru dan garis pantai menawan kini terluka. Hutan mangrove yang melindungi garis pantai menghilang, digantikan oleh jalan hauling dan pelabuhan tambang. Sumber air bersih mengering. Warga harus berjalan jauh untuk mendapatkan air, sementara sungai yang dulu menghidupi kini keruh dan tercemar.
Penduduk di dua p**au ini tidak hanya kehilangan ruang hidup, tapi juga kehilangan hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Penolakan demi penolakan tak jarang dibalas dengan intimidasi, bahkan kriminalisasi. Suara-suara yang berseru untuk mempertahankan alam sering kali dikalahkan oleh kepentingan modal dan kekuasaan.
Kini, Kabaena dan Wawonii bukan sekadar p**au, melainkan simbol perlawanan. Simbol dari sebuah pertanyaan besar: sampai kapan kekayaan alam akan terus dikorbankan demi tambang, sementara yang tertinggal hanya luka di bumi dan air mata rakyat?