24/07/2025
Sumbawa, 24 Juli 2025– Di bawah langit cerah Desa Tatade, Kecamatan Lopok, Kamis (24/7/2025), ribuan warga berkumpul dalam masjid, berbagi nasi, lauk hasil bumi, dan canda tawa dalam hangatnya tradisi yang akrab disebut Mangan Barema. Tradisi makan bersama ini bukan sekadar ritual tahunan, melainkan gema budaya yang mengikat kembali jalinan kebersamaan masyarakat Tau Samawa dengan akar nilai leluhur mereka.
Tradisi ini, seperti dituturkan Ketua Panitia Mangan Barema Sudarli, adalah harapan besar masyarakat Desa Tatade agar budaya lokal mereka tak sekadar menjadi kenangan, tetapi hidup sebagai kebanggaan daerah.
“Saya percaya dan yakin, hari ini Desa Tatade membikin sejarah baru. Kami berharap Mangan Barema ini masuk dalam kalender wisata budaya Kabupaten Sumbawa,” ujarnya penuh semangat di hadapan Bupati, Wakil Bupati, dan Pimpinan DPRD Sumbawa.
Nada yang sama juga datang dari Kepala Desa Tatade, Subadri, yang menyebut pelaksanaan Mangan Barema sebagai perwujudan semangat gotong royong warga.
“Saya merasa sangat bangga, ini hajat besar kita semua. Kalau tradisi ini diangkat menjadi identitas budaya desa, itu akan jadi penghormatan bagi semangat kebersamaan yang masih terjaga,” katanya.
Lebih dari sekadar perjamuan rakyat, Mangan Barema adalah peristiwa budaya yang menyalakan kembali semangat Tau Tana Samawa, menggugah kembali filosofi hidup “Kakatet ko Nene, Kangila Boat Lenge” yang bermakna takut kepada sang pencipta, takut berbuat buruk.
Hal itu juga ditegaskan oleh Wakil Ketua DPRD Sumbawa, Gita Lisbano, yang menyebut Mangan Barema sebagai pengejawantahan nilai luhur Pancasila, khususnya sila ketiga.
“Tradisi ini meruntuhkan sekat-sekat perbedaan, semua duduk bersama, berbagi, dan bergembira. Ini bukan sekadar makan bersama, tapi warisan budaya tak ternilai yang mencerminkan jati diri bangsa.”
Sementara itu, Bupati Sumbawa, Syarafuddin Jarot, mengurai makna mendalam dari tradisi ini. Mangan Barema, menurutnya, bukan sekadar simbol syukur atas hasil panen, tapi juga sarana memperkuat silaturahmi dan gotong royong. Ia menyoroti bagaimana bentuk tradisi ini telah mengalami modifikasi dari masa ke masa, tanpa kehilangan rohnya.
“Di Lamenta, misalnya, ada ‘sedekah orong’ dan ‘nuja ode’. Tapi di Tatade ini lebih canggih—dilaksanakan di gedung yang sedang dibangun, sekaligus bentuk harapan agar tahun depan gedung itu rampung. Ini bukan hanya makan, tapi bentuk peradaban berakar dari budaya lokal,” jelasnya.
Bupati juga menegaskan komitmennya melanjutkan Surat Keputusan Desa Budaya yang pernah dirintis almarhum Bupati Sumbawa sebelumnya, Husni Djibril. Ia bahkan menjanjikan bahwa Mangan Barema akan masuk dalam kalender event wisata budaya Kabupaten Sumbawa. Namun ia mengingatkan agar tradisi ini tidak bergantung pada anggaran pemerintah.
“Kalau semua dibebankan ke APBD, kita justru kehilangan rohnya. Esensi Mangan Barema adalah rasa syukur dan gotong royong. Jangan sampai nilai itu hilang hanya karena seremonial,” pesannya.
Lebih jauh, Bupati juga menyinggung pencapaian nyata Pemda di sektor pertanian yang menjadi sumber rezeki masyarakat. Dari kelangkaan pupuk yang sudah tertangani hingga keberhasilan Sumbawa mengekspor jagung—prestasi yang membuat petani kini tersenyum puas.
“Harga jagung kita sekarang sangat bagus. Pembeli dari luar negeri antre untuk beli jagung Sumbawa. Inilah hasil dari berkah dan kerja keras bersama, yang kita syukuri hari ini lewat Mangan Barema,” tambahnya.
Dan hari itu, di antara kepulan aroma nasi hangat dan lauk kampung yang tersaji di atas piring, diiringi tawa anak-anak dan senyum para orang tua, Mangan Barema kembali hidup sebagai denyut nadi budaya. Bukan sekadar tradisi, tapi manifestasi cinta pada warisan leluhur yang tak pernah lekang oleh waktu. Di Tatade, budaya bukan sekadar dirayakan—ia dijaga, dirawat, dan diwariskan. (Ken)