26/04/2025
Liburan seharusnya menjadi momen bahagia. Tapi bagi Qorry Aulia Rachmah, 31 tahun, liburannya ke Kota Malang, Jawa Timur, pada 2022 lalu justru meninggalkan luka yang membekas dalam.
Dari Bandung, ia datang untuk mengunjungi teman. Namun tubuhnya yang lemah membuatnya jatuh sakit. Pada 26 September, ia mencari rumah sakit swasta terbaik di Malang lewat Google. Pilihannya jatuh pada sebuah rumah sakit yang tampak terpercaya.
Di ruang IGD, ia ditangani oleh seorang dokter umum berinisial YA. Setelah pemeriksaan awal, dokter itu menyarankan rontgen karena keluhan sinusitis dan vertigo.
“Saya disuruh menitipkan nomor HP ke meja suster, nanti katanya akan dihubungi,” kenang Qorry saat dihubungi pada Rabu, 16 April 2025.
Namun yang terjadi tak seperti dugaan. Sesampainya di vila tempat ia menginap, kondisi Qorry memburuk. Tanpa diduga, dokter YA sendiri yang menghubungi via WhatsApp, memberitahu hasil rontgennya. Bukan dari admin, bukan p**a dari suster. Qorry merasa aneh, tapi memilih mengabaikan perasaannya.
Keesokan harinya, ia kembali ke IGD. Meski bukan jam dinasnya, dokter YA tetap menangani. Setelah observasi, Qorry dipindahkan ke kamar VIP. Sejak itu, komunikasi dari YA makin intens, bahkan mengarah pada hal-hal yang membuat Qorry risih.
Sampai akhirnya, kejadian itu terjadi.
Saat teman dan ibu temannya menjenguk, dokter YA masuk ke kamar tanpa jas dokter, hanya membawa stetoskop. Setelah mereka pergi, Qorry ditinggalkan sendirian. Dokter YA dengan cepat menutup gorden kamar, menciptakan ruang yang sunyi dan tertutup.
“Dia bilang mau periksa. Suruh buka baju. Karena dia dokter, saya ikuti, meski tidak nyaman,” ujar Qorry, suaranya bergetar.
Tapi apa yang dilakukan YA lebih dari sekadar pemeriksaan. Ia meminta Qorry membuka pakaian dalam. Pemeriksaan dadanya berlangsung aneh, terlalu lama, dan terasa penuh niat tak pantas. Bahkan jemarinya sengaja menyentuh area sensitif.
Saat Qorry merasa semakin takut, ia mendapati YA mengarahkan ponselnya ke arah tubuhnya.
“Dok, ngapain?” tanyanya spontan.
Dokter itu berdalih membalas pesan.
Qorry segera menutup bajunya. Ia beralasan ingin istirahat, berharap dokter itu pergi. Tapi YA masih mencoba mengobrol, berlama-lama di ruangan.
Setelah keluar, pesan-pesan tak pantas terus berdatangan. Mengajak Qorry nonton bola, bahkan ingin datang ke kontrakannya. Qorry merasa terjebak dalam ketakutan. Ia sempat ingin melapor, namun takut — apalagi mendengar suster bilang, “Dokter itu orang baik.”
Komunikasi dengan YA akhirnya berhenti setelah teman Qorry berpura-pura menjadi pacarnya.
Namun trauma itu masih membekas.
Awalnya, Qorry memilih diam. Tapi ketika mendengar kasus serupa di tempat lain, ia sadar: mungkin ada korban lain. Ia memutuskan untuk bicara.
“Saya nggak mau ada korban lagi,” tegasnya.
Setelah kisahnya tersebar, akun media sosial YA mendadak menghilang. Data dirinya pun hilang dari laman rumah sakit.
Bahkan seorang mantan kekasih YA mengonfirmasi keanehan sikap sang dokter, dan bersedia membantu Qorry.
Kini, Qorry berani melangkah. Ia bersiap menempuh jalur hukum. Pekan depan, ia berencana datang ke Malang, membawa tekad mencari keadilan — bukan hanya untuk dirinya, tapi juga untuk mereka yang mungkin belum berani bersuara.
“Saya ingin semua orang tahu. Ini harus dihentikan," tutup Qorry.