06/09/2025
Kompol Cosmas Kaju G*e, Perwira yang Terjebak dalam Badai Tugas
Di tengah gemuruh kehidupan, ada kisah-kisah yang mengguncang hati, bukan hanya karena tragedinya, tetapi juga karena kemanusiaan yang tersembunyi di baliknya.
Salah satunya adalah kisah Kompol Cosmas Kaju G*e, seorang perwira menengah Polri yang hidupnya bagaikan mozaik pengabdian, keberanian, dan luka yang tak terucapkan.
Nama Cosmas kini menjadi sorotan, bukan hanya karena putusan pahit pemberhentian tidak hormat (PTDH) dari institusi yang ia junjung, tetapi juga karena air matanya yang mencerminkan pergulatan batin seorang abdi negara.
Kompol Cosmas, putra kelahiran Kampung Laja, Ngada, Nusa Tenggara Timur, adalah sosok yang telah mendedikasikan hidupnya untuk menjaga keamanan negeri ini.
Dari medan operasi rawan di Poso, Aceh, hingga Papua, hingga misi perdamaian dunia bersama Pas**an Garuda di Lebanon, Cosmas telah menorehkan jejak perjuangan yang penuh risiko.
Bahu kirinya pernah ditembus peluru di Poso, tanda nyata bahwa darahnya telah tumpah demi menjaga kedaulatan Ibu Pertiwi. Setiap penugasan dijalaninya dengan semangat pengabdian yang tak pernah pudar, sebuah teladan bagi siapa saja yang memahami makna tugas seorang polisi.
Namun, hidup seringkali menulis skenario yang tak terduga. Pada 28 Agustus 2025, di tengah hiruk-pikuk aksi unjuk rasa di Jakarta, kendaraan taktis (rantis) Brimob yang ditumpangi Cosmas melindas Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, hingga merenggut nyawanya.
Tragedi ini menjadi titik balik yang mengguncang hidupnya. Dalam sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP), Cosmas duduk dengan seragam cokelat muda dan baret biru, mendengarkan putusan yang mengakhiri kariernya. Air matanya tumpah, bukan hanya karena kehilangan profesi, tetapi juga karena beban moral atas kejadian yang ia akui sungguh-sungguh di luar dugaan.
Dengan suara bergetar, Cosmas bersumpah demi Tuhan bahwa tak ada niat untuk mencelakai siapa pun.
"Sesungguhnya saya hanya melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai perintah institusi dan komandan secara totalitas, untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum," ujarnya, patah-patah, seolah mencoba menjelaskan kepada dunia bahwa hatinya tak pernah berniat merenggut nyawa.
Ia baru mengetahui kematian Affan dari video viral di media sosial, beberapa jam setelah kejadian, ketika batu, petasan, dan gas air mata mengaburkan pandangan di tengah kekacauan demonstrasi.
Cosmas bukan hanya seorang perwira, tetapi juga manusia. Tangisnya di ruang sidang adalah bahasa hati yang tak mampu diucapkan kata. Ia meminta maaf kepada keluarga Affan, kepada Kapolri, dan kepada rekan-rekannya di Polri, dengan air mata yang membasahi p**i.
"Saya menyampaikan duka cita yang mendalam kepada korban Affan Kurniawan serta keluarga besar," katanya, penuh penyesalan.
Di balik seragamnya, ada jiwa yang terluka, terperangkap antara kesetiaan pada tugas dan beban atas tragedi yang tak diinginkan.
Keputusan PTDH yang dijatuhkan kepadanya memicu gelombang dukungan dari masyarakat, terutama dari Nusa Tenggara Timur. Petisi penolakan pemecatan yang digagas Mercy Jasinta telah ditandatangani lebih dari 174.000 orang, sebuah bukti bahwa banyak yang melihat Cosmas bukan sebagai pelaku yang berniat jahat, tetapi sebagai korban dari situasi yang tak terkendali.
Masyarakat Ngada, Flores, bahkan menggelar ritual adat Zia Ura Ngana sebagai bentuk solidaritas, menunjukkan betapa Cosmas dianggap sebagai putra kebanggaan yang telah mengabdi dengan penuh dedikasi.
Kisah Cosmas adalah cerminan dari dilema seorang polisi: menjalankan perintah di tengah situasi kacau, dengan risiko yang mengintai di setiap langkah. Ia bukan pahlawan tanpa cela, tetapi juga bukan penutup cerita yang layak dicela.
Di balik putusan etik dan sanksi pidana yang kini menantinya, ada hati yang berdarah untuk negeri, ada jiwa yang meratap atas kehilangan yang tak disengaja. Cosmas mengajarkan kita bahwa di tengah tugas berat, kemanusiaan tetap hidup, meski terkadang tersembunyi di balik air mata.
Semoga, di tengah luka ini, Cosmas menemukan kedamaian, dan keluarga Affan menemukan keadilan yang mereka cari. Dan semoga, kisah ini menjadi pengingat bagi kita semua bahwa di balik setiap seragam, ada hati yang berdetak, berjuang, dan kadang-kadang menangis dalam sunyi.
Tuhan memberkatimu Pak Cosmas...