17/07/2025
Mbak Dina menyodorkan selembar kertas putih itu padaku. “Disini jelas tertulis nama Ihsan Kusuma sebagai ayah dari janin ini dan Rania Aprilia sebagai wanita yang sedang mengandung janin ini.”
DEG!
Tubuhku rasanya lemas tak bertenaga. Kakiku seperti tak berpijak. Ketika hidupku dirundung rasa bersalah pada mas Ihsan karena aku yang sudah tidur dengan laki-laki lain, rupanya takdir k ej am malah semakin mempermainkanku.
Mas ihsan, suamiku dan Mbak Rania, kakak iparku. Mereka ...
Suami yang sudah mati-matian aku perjuangkan kehidupannya, sampai aku harus rela me njv al keh orm ata nku, tapi ternyata suamiku …
=====================
POV SERUNI.
Baru saja aku berdiri, tiba-tiba ada dua tangan kekar yang melingkar di pinggangku diikuti tubuh besar yang menempel di punggungku.
“Aku gak s**a diabaikan,” bisik Mas Bisma dengan nada rendah tapi penuh penekanan.
Aku terdiam, merasakan kehangatan tubuhnya yang begitu dekat, tapi hatiku dipenuhi kebingungan. Pikiranku melayang pada Mas Ihsan yang sedang berjuang pulih di rumah sakit, berharap untuk kembali menjalani pernikahan kami dengan bahagia.
Namun, di saat yang sama, aku juga merasakan tarikan em os i yang tak bisa kugambarkan dengan jelas terhadap Mas Bisma.
“Aku ... aku minta maaf, Mas,” jawabku pelan, berusaha untuk melepaskan diri dari pelukannya tanpa membuatnya marah.
Mas Bisma mempererat pelukannya. “Jangan minta maaf, Seruni. Aku cuma ingin tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan. Kamu gak bisa terus-terusan mengabaikan perasaan kita berdua. Aku bisa merasakan tatapanmu yang dipenuhi cinta saat bersamaku.”
Aku menelan ludah, mencari kata-kata yang tepat. “Mas, aku ... aku bimbang. Mas Ihsan baru saja sadar, dan dia sangat membutuhkan aku. Aku gak bisa mengabaikan perasaan dan tanggung jawabku sebagai istrinya.”
“Jadi kamu mencintainya?” tanya Mas Bisma, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu yang intens.
Aku terdiam sejenak sebelum menjawab. Selama dua hari ini aku bahagia bersama mas Ihsan. Ditambah lagi kami sudah dua tahun berpacaran sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Tapi bibirku kelu untuk mengatakan kalau aku mencintai mas Ihsan di hadapan mas Bisma.
“Aku... aku gak tahu, Mas. Aku bingung dengan perasaanku sendiri.”
Dia menghela napas berat. “Seruni, aku tahu kamu punya rasa tanggung jawab terhadap suamimu. Tapi aku juga butuh kejujuranmu. Apa yang kamu rasakan terhadapku? Apakah ada sedikit saja perasaanmu untukku?”
Aku merasakan air mata menggenang di mataku. “Mas, aku sungguh gak bisa menjawab pertanyaanmu. Mas tahu kalau aku udah nikah sama mas Ihsan. Aku gak bisa mengabaikan ikatan suci pernikahanku dengan Mas Ihsan. Aku... aku merasa terjebak di antara dua dunia yang berbeda.”
Mas Bisma memutar tubuhku hingga aku menghadapnya. Dia menatap dalam ke mataku, mencari kebenaran di dalamnya. “Seruni, aku hanya ingin kamu jujur. Kalau kamu merasa sesuatu untukku, aku akan menunggu. Bahkan kalau perlu aku akan merebutmu dari Ihsan. Tapi kalau tidak, aku akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi.”
Aku menunduk, tak sanggup menatap matanya. Tubuhku lemas mendengarnya akan pergi meninggalkanku. Perasaanku benar-benar campur aduk saat ini.
Dia mengangkat daguku dengan lembut, memaksa aku untuk menatapnya. “Maafkan aku yang terus memaksamu. Aku terlalu naif karena terbawa perasaanku sendiri. Seperti yang kamu tahu, aku sangat mencintaimu.”
Aku mengangguk pelan, air mata akhirnya jatuh dari sudut mataku. “Maafkan aku juga, Mas. Aku akan mencoba untuk mencari jawabannya.”
Mas Bisma melepaskan pelukannya dan melangkah mundur. “Aku akan pergi ke Singapura untuk beberapa waktu. Gunakan waktu ini untuk berpikir. Ketika aku kembali, aku berharap kamu sudah menemukan jawabannya.”
Aku hanya bisa mengangguk, merasakan campuran perasaan lega dan ketakutan. Setelah itu, aku mengambil alat-alat kebersihan lalu berjalan keluar dari kamar mas Bisma tanpa berkata apa-apa lagi.
Aku duduk di kursi kayu yang ada di dapur, mencoba mengatur napas dan mengumpulkan pikiranku. Kejadian dengan Mas Bisma barusan meninggalkan jejak yang dalam di hatiku.
Aku harus mencari cara untuk menghadapi perasaan ini dan membuat keputusan yang tepat, baik untuk diriku sendiri maupun untuk Mas Ihsan.
Saat jam menunjukkan angka dua siang, aku yang sedang menggosok baju-baju, segera menghentikan kegiatanku. Aku segera pamit pada Bu Ambar. Saat ini mas Bisma sudah tidak ada. Tadi siang selepas makan siang dia berangkat lagi ke Singapura.
Pikiranku selama ini tentang mas Bisma yang urakan, kerjanya hanya leha-leha, nongkrong gak jelas dengan teman-temannya sambil m ab vk dan s**a menghambur-hamburkan v an g orang tuanya seketika sirna. Meskipun aku belum tahu dengan segala kegiatannya di Singapura seperti apa.
Ketika aku kembali ke rumah sakit, Mas Ihsan sedang berbicara dengan seorang perawat. Wajahnya tampak lebih cerah, dan aku merasakan kelegaan melihatnya semakin pulih. Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya.
Aku duduk di samping Mas Ihsan, menggenggam tangannya. Senyumannya menenangkanku, dan aku merasa sedikit lega melihatnya semakin pulih.
“Gimana hari ini, Mas? Ada perkembangan?” tanyaku sambil mengusap lembut tangannya.
“Lumayan, Run. Badanku masih lemas, tapi lebih baik dari kemarin,” jawabnya sambil tersenyum.
“Aku senang dengar itu, Mas,” ucapku dengan penuh keyakinan.
Mas Ihsan mengangguk, tapi tatapannya berubah serius. “Run, kamu juga harus jaga kesehatanmu. Jangan terlalu lelah. Aku gak mau kamu sakit karena terus-terusan mengurus aku.”
Aku tersenyum, berusaha menenangkan dirinya. “Aku baik-baik saja, Mas. Jangan khawatir. Yang penting sekarang Mas harus fokus pada pemulihan.”
Sejak aku masuk tadi, Bu Minten sudah ada di dalam ruangan. Wajahnya keras dengan tatapan yang menatapku dengan kebencian mendalam. Entah apa alasannya bisa sebenci itu padaku.
Mas Ihsan yang menyadari tatapan b enc i ibunya padaku langsung menyentuh lengan ibunya. Bu, jangan gitu d**g lihatnya sama Seruni. Dia pasti gak nyaman.”
“Ibu hanya ingin memastikan bahwa dia benar-benar istri yang baik buatmu, Ihsan. Kamu itu anakku satu-satunya yang masih hidup. Ibu gak mau ada yang terjadi lagi sama kamu.”
Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak. Kurang baik apalagi aku sama mas Ihsan sampai rela me nj val keh orm ata nku meski akhirnya aku pun terjebak dalam perasaan yang membingungkan.
Aku mengangguk pelan, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Aku tahu bahwa aku harus kuat, tidak hanya untuk Mas Ihsan tetapi juga untuk diriku sendiri.
Sore harinya, ketika Mas Ihsan sedang tidur, aku teringat janjiku dengan Mbak Dina. Seharusnya pertemuan kami terjadi saat mas Ihsan masih koma, tapi mbak Dina sendiri yang membatalkannya karena ada kerjaan mendadak.
Aku harus bertemu dengannya untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang foto USG yang kutemukan dibawah tumpukan baju suamiku. Dengan berat hati, aku meninggalkan rumah sakit sejenak, memastikan perawat akan mengawasi Mas Ihsan selama aku pergi.
Di kafe, Mbak Dina sudah menungguku. "Seruni, maaf ya soal pembatalan janji temu kita waktu itu," katanya sambil tersenyum.
“Gak apa-apa, Mbak. Santai ajalah. Mbak mau bantu aku pun meski sangat beresiko, itu sudah untung banget buat aku,” ucapku.
Mbak Dina tersenyum manis. “Amplop dariku waktu dibawa kan?”
“Dibawa, Mbak.” Aku menyodorkan amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya terdapat dokumen yang menunjukkan bahwa foto USG itu milik seorang wanita.
Kulihat mbak Dian merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya, lalu membukanya. Detak jantungku langsung meningkat, penasaran dengan isi surat pemeriksaan itu.
“Setelah aku telusuri dari komputer rumah sakit, aku menemukan data-data kalau ini foto USG ini dicetak 7 bulan yang lalu,” katanya tanpa melihat ke arahku.
“Terus USG itu punya siapa, Mbak?” tanyaku dengan debar jantung yang semakin menggila.
Mbak Dina menatap ragu padaku. “Kamu yakin mau tahu, Run?”
“Yakin, Mbak. Kalau aku gak yakin, aku gak bakal minta tolong sama kamu, Mbak.” Selain jantungku yang berdebar tak karuan, nafasku juga seolah tengah berlomba.
Mbak Dina menyodorkan selembar kertas putih itu padaku. “Disini jelas tertulis nama Ihsan Kusuma sebagai ayah dari janin ini dan Rania Aprilia sebagai wanita yang sedang mengandung janin ini.”
DEG!
Tubuhku rasanya lemas tak bertenaga. Kakiku seperti tak berpijak. Ketika hidupku dirundung rasa bersalah pada mas Ihsan karena aku yang sudah tidur dengan laki-laki lain, rupanya takdir k ej am malah semakin mempermainkanku.
Mas ihsan, suamiku dan Mbak Rania, kakak iparku. Mereka ...
Suami yang sudah mati-matian aku perjuangkan kehidupannya, sampai aku harus rela me njv al keh orm ata nku, tapi ternyata suamiku …
‘Ya Allah … Aku tak sanggup lagi membayangkannya. Aku … aku ….’ ucapku dalam hati.
Mbak Dina menghampiriku. “Seruni, kamu baik-baik saja?”
Aku menganggukkan kepalaku. “Aku ….”
Seketika dunia yang kulihat berputar, lalu gelap mengikuti.
***
Aku terbangun saat indra penciumanku mengendus bau obat-obatan yang mendominasi. Rupanya aku sudah berada di rumah sakit. Aku merasakan tangan hangat memegang tanganku. Kulihat wajah Mbak Dina yang penuh kekhawatiran.
“Seruni, kamu pingsan tadi. Aku langsung membawamu ke sini,” kata Mbak Dina sambil menatapku dengan cemas.
Aku hanya bisa mengangguk, meski kepalaku masih berdenyut hebat. Rasanya seperti dunia sedang menghancurkanku perlahan, seolah setiap keping harapanku diputarbalikkan oleh nasib yang k ej am. Air mata mulai mengalir tanpa bisa kuhentikan, seperti bendungan yang jebol setelah menahan beban air terlalu lama.
Aku lalu menangis tersedu-sedu. “Aku merasa hidupku h an cvr, Mbak,” ucapku dengan suara serak. “Aku sudah berusaha sekuat tenaga, aku bahkan mengorbankan diriku... tapi ternyata, Mas Ihsan... dia yang lebih dulu mengkhianatiku.”
Tangisku semakin menjadi, terasa seperti badai yang mengguncang hatiku tanpa henti. Mbak Dina mencoba menenangkanku, tapi aku hanya bisa menangis tersedu-sedu, merasakan sakit yang tak terperi di dalam dadaku.
Rasanya seperti ada ribuan pisau yang menusuk setiap sudut hatiku, mengoyak setiap harapan dan impian yang pernah kubangun.
Aku merasa tak berdaya, seolah aku hanyalah daun yang terombang-ambing di tengah badai yang tak kunjung reda. Setiap tetes air mata yang jatuh, membawa serta kepingan-kepingan hatiku yang r em vk.
“Seruni, yang sabar ya. Aku akan selalu ada di sini untukmu. Jangan merasa sendirian,” bisik Mbak Dina sambil memelukku erat. Pelukannya hangat, tapi tak mampu menghapus luka dalam hatiku yang terasa seperti jurang tak berdasar.
“Bagaimana mungkin aku bisa menghadapi ini, Mbak? Aku merasa dikhianati, ditinggalkan. Semua pengorbananku sia-sia,” ucapku dengan suara terisak, mataku tak henti-hentinya mengalirkan air mata.
Aku merasa seperti perahu yang kehilangan arah di tengah lautan luas. Semua yang kukira nyata, ternyata hanyalah bayangan semu yang menghancurkan kenyataan. Rasanya seperti terjebak dalam mimpi b vr vk yang tak pernah usai, setiap detik terasa seperti siksaan yang tak kunjung berhenti.
Mbak Dina mengusap rambutku lembut, mencoba memberikan ketenangan di tengah badai yang melanda hatiku. “Kamu kuat, Seruni. Kamu bisa melewati ini. Aku percaya padamu.”
Kata-katanya seolah menjadi setitik cahaya di tengah kegelapan yang mencekam. Aku tahu, meski p er ih dan l vka ini begitu dalam, aku harus bangkit. Aku harus menemukan kekuatan untuk menghadapi kenyataan p ah it ini.
Dengan napas yang masih tersengal dan hati yang r em vk redam, aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanianku. Meski dunia terasa hancur di sekelilingku, aku tahu bahwa aku harus bangkit dan melawan. Demi diriku sendiri, demi masa depanku.
Aku menggenggam tangan Mbak Dina erat-erat. “Terima kasih, Mbak. Aku akan berusaha kuat. Aku harus bangkit dari ket erp vr vkan ini.”
Judul: TAMAT || Terpaksa Menj val Keh orm atan
Penulis: Alana Wulan
Platform: KBM APP
YUK BACA MARATON DARI BAB 1 SAMPAI TAMAT HANYA DI KBM ATAU KLIK L IN K DI KOLOM KOMENTAR