NengSyantik

NengSyantik Bercerita lah. Karena itu akan membuatmu bahagia. bagi kamu yang suka membaca dan berimajinasi..

Judul : SEILAPenulis : Meinawati NMalam itu, setelah telepon dari ibunya, Seila tak langsung tidur. Ia duduk di atas kas...
15/09/2025

Judul : SEILA
Penulis : Meinawati N

Malam itu, setelah telepon dari ibunya, Seila tak langsung tidur. Ia duduk di atas kasur tipisnya, menatap ponsel yang kini diam tanpa getaran. Pikirannya berputar-putar, mengingat semua yang telah ia lalui. Ia bisa saja pulang, kembali ke rumah, dan menyerah pada nasib. Tapi apa gunanya?

Ia sudah memilih jalannya.

Ia menghela napas panjang dan mengambil selembar kertas lusuh dari dalam tasnya—brosur tempat kursus yang ia simpan sejak pertama kali tiba di kota. Paket C, pendidikan kesetaraan SMA. Biaya pendaftarannya tertulis jelas di sudut bawah. Angka yang tak kecil, tapi juga tak mustahil untuk dia kumpulkan.

"Aku harus sekolah lagi. Karena itulah gerbang awal menuju puncak kesuksesanku nanti" batin Seila

Ia meremas kertas itu di genggamannya, lalu matanya menatap nanar pada tumpukan uang receh yang berhasil ia kumpulkan selama bekerja dikota. Belum cukup, bahkan sangat Jauh dari kata cukup. Tapi bukan berarti ia tak bisa mewujudkannya, karena keyakinan Seila sekuat baja.

"Besok, aku harus bekerja lebih keras lagi. Semangat Seila semua demi cita cita" ucap Seila menyemangati diri sendiri.

Hari-hari Seila makin padat merayap. Tidak ada waktu istirahat, bahkan dia tidak mengijinkan dirinya sendiri untuk istirahat.

Pagi hingga siang ia bekerja di warung Bu Sarti, melayani pelanggan, mencuci piring, menyapu lantai. Malamnya, ia berlari ke kios Pak Darto, mengangkat galon, menyusun barang, menyapu lantai yang tak pernah benar-benar bersih. Ia bahkan mulai mencari pekerjaan tambahan di akhir pekan—kadang mencuci baju untuk tetangga kos, kadang menjadi tenaga bantu di acara hajatan.

Tubuhnya makin kurus, matanya semakin cekung, tapi semangatnya tetap menyala.

Suatu malam, saat sedang menyusun kardus di kios, Pak Darto memperhatikannya, miris melihat gadis semudah Seila yang bekerja melebihi kapasitasnya, tapi juga sangat salut dengan semangat kerja nya yang luar biasa.

"Kamu nggak capek, Seil?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya yng seperti kenek angkot mencari penumpang.

Seila tersenyum kecil. "Capek, Pak. Tapi saya harus nabung buat sekolah."

Pak Darto mengangguk pelan penuh kekaguman. "Keras juga hidupmu, ya."

"Semua orang juga punya hidup yang keras, Pak. Saya cuma nggak mau kalah."

Pak Darto terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kalau kamu butuh kerjaan tambahan, aku ada kenalan di kafe. Mereka butuh pelayan part-time. Mau coba?"

Mata Seila langsung berbinar. "Mau, Pak! Terima kasih!"

Keesokan harinya, Seila langsung pergi ke kafe yang dimaksud. Tempatnya lebih modern dibanding warung Bu Sarti atau kios Pak Darto. Musik mengalun pelan, aroma kopi memenuhi udara. Ia bertemu dengan seorang pria muda bernama Adrian, manajer kafe itu.

"Kamu pernah kerja di tempat seperti ini?" tanya Adrian sambil mengamati Seila dari ujung kepala sampai kaki.

Seila menggeleng sambil menjawab cepat dan tegas "Belum, Mas. Tapi saya cepat belajar."

Adrian menatapnya lama, lalu mengangguk. "Oke. Satu minggu percobaan. Kalau kamu bisa kerja bagus, kamu lanjut."

Dan begitu lah, Seila menambah satu pekerjaan lagi dalam hidupnya.

Pagi hingga siang di warung.
Malam di kios.
Akhir pekan di kafe.

Tubuhnya mulai memberi perlawanan—kadang pusing, kadang gemetar, tapi ia tak peduli.

Lalu akhirnya, pada suatu malam yang sunyi, ia menghitung tabungannya dan menyadari sesuatu.

Cukup. Senyum tercetak jelas diwajah cantiknya yang mulai kusam. Senyum penuh kebanggaan pada dirinya sendiri. Senyum penuh kemenangan akan kerja kerasnya selama berbulan bulan dikota Surabaya.

Setelah berbulan-bulan bekerja tanpa henti, uangnya akhirnya cukup untuk mendaftar Paket C.

Malam itu, ia menangis untuk pertama kalinya sejak lama. Tapi kali ini, bukan karena kesedihan tapi karena kemenangan akan dirinya sendiri, akan pencapaian nya sendiri.

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah :
https://read.kbm.id/book/read/d51f527e-64f0-4fad-842b-865cddfcbf2c/e3b273eb-5955-4809-a03c-b7be21c2ea63

Judul : Untaian Tirai yang Robek Penulis : Lia Myesha Bab 4 Pertengkaran “Dari mana saja kamu? Menghilang begitu saja bi...
15/09/2025

Judul : Untaian Tirai yang Robek
Penulis : Lia Myesha

Bab 4 Pertengkaran

“Dari mana saja kamu? Menghilang begitu saja bikin khawatir orang rumah! Kalau ada masalah selesaikan baik-baik jangan lari!” suara ibu bergetar saat berbicara dengan Mas Reza, aku tahu itu bukan marah melainkan rasa khawatir yang begitu besar.
“Aku gak ada masalah apa-apa kok, Ma. Cuma istirahat aja diluar sebentar.” Mas Reza menjawab dengan sedikit gelisah.
“Kenapa harus menghilang berhari-hari kalau tak ada masalah? Jujur sama mama, kamu punya hu ta ng untuk apa?” ibu mengintimidasi Mas Reza dengan penuh penekanan.
“Hu ta ng apa, Ma?” aku shock mendengar respon Mas Reza.
“Ya mama gak tahu, kamu ber hu ta ng untuk apa? Empat puluh juta Reza! Dengan jumlah sebesar itu tanpa sepengetahuan keluarga untuk apa uang itu?” suara ibu terdengar bergetar.
“Mama tahu darimana aku punya hu ta ng? Pasti kamu yang melapor ke mama!” setengah berteriak Mas Reza menudingku.
Aku menggeleng, “Gak usah kamu tuduh Aruni, kalau hu ta ng mu gak menunggak mana mungkin ada orang yang mencarimu ke rumah!” cecar ibu.
“Mas, penagih hu ta ng yang kemarin datang itu menanyakan alamat rumah ini ke Mbak Rini, dan dia berasumsi kalau orang itu adalah se li ng ku ha n ku.” Ungkapku.
“Mama kaget Reza dengar Aruni se li ngk u h, tapi mama lebih kaget setelah mendengar pengakuan Aruni. Kamu harus segera menyelesaikan masalah ini Reza, sebelum makin banyak orang tahu kalau kamu be rh u ta ng.”

Baca selengkapnya di aplikas KBM!

Penulis : Adji SoegiatnoNovel : Mertuaku Musuh Ayah.Aplikasi : KBM AppRatri termenung memandangi buku tulis yang di lemb...
15/09/2025

Penulis : Adji Soegiatno
Novel : Mertuaku Musuh Ayah.
Aplikasi : KBM App
Ratri termenung memandangi buku tulis yang di lembar pertama bertuliskan puisi ciptaan Reni. Reni memberi buku tulis yang hanya bertuliskan puisi gubahannya.

Bunga Mawar.
Oleh : Reni

Aku terduduk tak berdaya.
Ketika Bunga mawar itu pergi menggantang asa
Terlalu berat hidup di taman di depan kamarku.
Di tanah tetangga yang bukan miliku.
Bunga Matahari, bunga Melati, Tulip dan lainnya.
Tapi hanya engkau yang memberikan merahmu.
Tapi hanya engkau yang bisa mengisi hariku
Bunga mawar itu dibawa pergi tuannya.
Kerinduanku kepada mawar tercerabut dari mauku.
Aku hanya bisa berteriak jangan pergi
Tapi tuanmu lebih berhak atas dirimu
Aku tahu mawar kita sudah lama bercengkarama.
Aku tahu kaupun tak mau berpisah denganku.
Kita sudah satu jiwa.
Tak banyak yang bisa kuperbuat.
Selamat jalan Mawarku
Semoga kau indah di tanah barumu.
Dibawah temeraman lampu kamar
Doaku untukmu
Condet, 25 Juli 1980
Reni yang merindukanmu Mawar.

Air mata Ratri meleleh buku tulis itu dibuka dan ditutup.

‘Reni kenapa kita harus berpisah.’ Ucap Ratri disela-sela termenungnya.

Tiba-tiba pintu kamar dibuka bunda. “Kenapa engkau menangis nak?’

“Reniii Bunda.” Ratri memeluk ibunya.

“Ini takdir Allah nak, kalau kau solehah, apa yang kamu inginkan kelak akan dipenuhi Allah. Ikhlas dan ridho dengan takdir Allah di Dunia Nak.” Ibunya memberikan siraman Rohani pada Ratri.

“Dia baik Bu.” Ratri terus menangis.

Mendengar isak tangis Ayah menyusul ke kamar Ratri “Ada apa?” tanya Ayah.

“Ratri sedih Yah mau berbisah dengan Reni.” Bunda memberitahu Ayah.

“Ratri. Ratri kamu itu egois nggak ngerti betapa Ayah pontang panting menegakkan keluarga ini Ratri.” Ayah sedikit marah melihat Ratri

“Sudah Ayah dia masih ank-anak belum tahu beratnya jadi orang tua. Sabar Ayah.” Bunda menenangkan Ayah.

“Kalau kau tidak mau ikut Ayah kau mau tinggal di sini silakan.” Ayah bukannya reda tambah emosi.

“Sabar Ayah, dia tetap ikut Ayah. Dia sayang sama Ayah.” Bunda terus merayu Ayah.

“kalau sayang sama Ayah bantu Ayah, jangan malah membebani Ayah. Suruh Ayah memikirkan Reni segala.” Ayah semakin meninggi

Mendengar nama Reni disebut Ratri Khawatir kalau Ayah malah membenci Reni.”Maafkan aku Ayah, Aku ikut Ayah. Aku sayang Ayang.”

Medengar kata sayang, Ayah luluh”Ratri boleh terbawa emosi mau berpisah dengan Reni, tapi Ratri harus berani menghadapi kenyataan hidup. Hidup tidak selalu seperti yang kita harapkan, dihadapan Ratri banyak yang akan tidak selalu sesui. misal tidak pindah Ratri pengin sekolah di SMP dua? bisa diteriama bisa enggak kan, misal diterima maunya bareng Reni kan? Bisa bareng bisa nggak, kalau bareng maunya sekels kan? Bisa sekelas bisa enggak. Dan masih banyak kemungkinan-kemungkinan yang mungkin tidak sesuai dengan keinginan Ratri,“ Ayah menasehati Ratri.

“iya Ayah.” Ratri berusaha melegakan Ayah hatinya masih protes kenapa harus dipisah dari Reni?

“Bukan hanya SMP, SMA, Kuliah bisa tidak sesuai yang diinginkan. Belum lagi jodoh kamu. Pekerjaan kamu masih banyak yang akan kamu alami. Dan semua masih menjadi misteri. Ada satu kaidah, terima takdir Allah dengn Ikhlas ridho, Syukuri apa yang didapat.” Ayahnya terus menasehati

Ketika Ayah bilang kata kuliah dia terbayang mBak Wulan rumah paling ujung anaknya Pak haji Dullah.’Mungkinkan bisa seperti mBak Wulan pakai jacket kuning, sesekali pakai baju praktikum putih. Pulang dianter cowoknya pakai sepeda motor tidak masuk dalam keinginannya, tapi di jemuran ada jacket kuning dan baju praktikum putih dijemur jadi impiannya.’

“ Kita berangkat kapan Ayah?” Ratri menerima nasehat Ayahnya

“Bulan depan setelah tujuh belasan, Ada apa?” Ayahnya lega Ratri sudah terima kenyataan

“Mau ngajak makan Reni terakhir Ayah,” kata Ratri

“Dimana?” Ayah sepertinya akan support apa yang akan dilakukan Ratri

“Bakso Bang Doel aja.” Rati berusaha memberikan sikap yang natural kepada Ayahnya bahwa di asik-asik aja ikut Ayah.

Hari ini penuh kejutan, Ayah mendapatkan Ratri sudah terima keputusannya. Bunda juga antusias menyiapkan keberangkatan. Dibalik Bunda yang antusias memendam lara.

“Bu, emang Bapak usaha disini sudah tertutup ya?“ Mpok Rani istri Bang Yusuf nampak berat sekali ditinggal Bundanya Ratri.

“Dari Tanah kusir jualan aspsories motor, Buka kantin di SMP, pindah Condet usaha aquarium, ke kampung Duku jualan sembako belum ada yang membuahkan hasil. Makan mah nggak pernah sampai kelaparan. Tapi kan orang hidup nggak Cuma makan,” Bunda setengah curhat.

“terus nanti yang jadi bendahara RW siapa?” mPok Rani mengantar undangan undangan perpisahan RW dengan Bunda

“Ada lah nanti penggantinya.” Bunda membaca Undangan kapan acaranya

“yang mau pegang duit banyak Bu, yang amanah kaya ibu sulit dicari, kan tinggal nyathet yang masuk berapa dari siapa, pengelurannnya dicatet, saldonya ada. Lah kalau bukan ibu pengeluaran nggak jelas, saldo nggak ada duitnya.” Mpok Rani melihat-lihat bungkusan yang mau di bawa Bunda “ini apa aja Bu?’ lanjutnya.

“yang itu perlengkapan dapur, ada kompor minyak, panci, penggorengan dan lain-lain. Yang ini peralatan pertanian, punya ayah tahunya Cuma cangkul sama linggis, tapi macem- macem si. Yang itu tau perlengkapannya Ayah ada selang kayaknya p***a air diesel deh.” Bunda semangat membara.

“Kok Kompornya kecil?” mPok Rani heran.

“ Memang nyari yang kecil, Hanya buat darurat, nyari minyak tanahnnya juga belum tentu mudah. Lebih mudah cari kayu bakar, nanti di sana kan banyak pakai kayu bakar.” Bunda ingat di rumah Orang tuanya sudah biasa pakai kayu bakar.

“Ouw, asik juga tuh, masakannya juga lebih enak pakai kayu bakar.” mPok Rani ngiler masakannya.

Perpisahan di balai RW haru biru, bunda pamitan, terima kasih dan minta maaf sambil berurai air mata. Yang lain tidak kalah bersedih sapu tangan pada basah karenanya.

“Nanti kita ramai-ramai main ke sana ya.” Bu RW saking bersemangat nggak mikir berapa ongkosnya berapa waktunya.

Sudah gitu ditimpali yang sangat terpukul dengan kepergian Bunda “Kita nabung buat pergi ke sana.”

Tidak mudah mengambil Keputusan berangkat transmigrasi, disamping teman dan lingkungan banyak yang keberatan, Saudara tidak kalah berat. “Mas bagaimana kata tetanggga dikampung. Pergi jauh Cuma mau makan gaplek.” Ya pemahaman orang kampung transmigrasi tanam singkong bikin gaplek.

“Kenapa kita harus memikirkan tetangga?” Ayah tetap optimis tanah dua setengah hektar bisa menjadi masa depan yang cerah asal tekun dan ulet.

Sudah kebayang jangka panjang lima tahun ke depan tanam tanaman keras, karet atau kelapa sawit, jangka menengahnya singkong, ketela rambat, jangka pendeknya padi palawija dansejenisnya. Lima tahun pertama pasti berat penuh perjuangan kalau sawit dan karet sudah menghasilkan baru menikmati. Sawit panen, singkong panen palawija juga panen. Ayah bisa nyupir bisa bengkel bisa nyari truk bekas, buat angkutan. Ayah tetap optimis ini salah satu menggapai masa depan cerah.

“Kita kan hidup nggak sedirian Mas.” Adek-adeknya terus merayu kakaknya untuk membatalkan berangkat.

“tetangga mau menanggung hidup kita.” Ayah malah ketawa, mulai sedikit selon.

“Ouw udah sama aja dengan Gito.” Gito adalah preman yang ditinggal istrinya malah kumpul kebo dengan istri adik iparnya. Ketikan digrebeg disuruh kawin ‘kamu nyuruh kawin yang mau menafkahi istri saya kamu?’ pusing lah yang grebeg. Walau pada akhirnya sadar malah kawin sendiri ke KUA. Coba mau nikah dari kemarin diongkosi semua biaya nikah.

Bab 9 “Tidak pergi makan Mel.” Tanya Lula hati-hati. Tidak biasanya sahabatnya ini diam dan beku seperti ini.“Tidak! Mal...
15/09/2025

Bab 9
“Tidak pergi makan Mel.” Tanya Lula hati-hati. Tidak biasanya sahabatnya ini diam dan beku seperti ini.

“Tidak! Malas!” Amel menjawab dengan suara pelan namun tegas.

Terpaksa lula ke kantin sendiri, bergabung dengan teman yang lain yang juga sedang cari makan di jam istirahat pertama.

“Kantin bu Ucup cukup padat, kalau jam istirahat pertama seperti ini. Hampir saja ia tidak kebagian tempat duduk, kalau saja Wulan tidak menggeser pantatnya sedikit, mempersilahkannya duduk.

“Duduk sini La.” Kata Wulan menunjuk tempat kosong di sampingnya dengan dagu.”

“Iya makasih.” Jawabnya sambil duduk gabung dengan Wulan cs.

“Tumben kamu sendiri La.” Tanya Indri di depannya yang sedang menuang kecap diatas gumpalan baso panas dan menggoda selera.

“Amel lagi di kelas. Malas katanya.” Jawab Lula.

“Malas atau tidak mau gabung dengan kita di kantin.” Indri Kembali berkomentar.

“Basonya satu pak.” Lula memesan bakso pada pak Ucup yang sedang sibuk membantu istrinya, mengacuhkan peratanyaan Indri.

“Iya tunggu bentar nak.” Jawab pak Ucup, bujang sekolah yang membantu istrinya ketika tugasnya sudah selesai. Apalagi pada jam istirahat seperti ini, pasti bu Ucup kewalahan.

Lula berdiri mengambil air mineral dalam freser. Sebenarnya ia bisa menunggu pak Ucup mengantar pesanannya lengkap dengar air mineralnya.

Tapi karena malas rasanya ia membahas masalah Amel yang mulai hangat, ia mencoba mengalihkan perhatiannya. Ia pergi dan menyetop pak Ucup yang berjalan menuju meja tempatnya duduk tadi,lalu duduk disamping siswa kelas tujuh dekat pintu samping kantin.
Kasian banget sih Amel. Dia jadi bahan gunjingan siswa dan papanya jadi gunjingan guru. Kata Lula dalam hati sambal menyuap lamat-lamat basonya.

Belum separuh makanan kes**aannya itu masuk ke perut, ia sudah menelungkupkan sendok garpunya diatas piring. Lalu menyelinap keluar lewat pintu samping.

Ah kasian Amel. Apa ia masih di kelas ya. Tanya Lula dalam hati. Ah aku harus memastikan dia masih di kelas atau sudah pergi.

Dengan Langkah panjang-panjang ia berjalan ke kelasnya. Ingin rasanya ia memeluk sahabatnya itu dengan erat. Ingin berbagi rasa.

Dari jendela samping kelas ia melihat Amel menelungkup di atas meja. Bahunya berguncang, berarti ia menangis. Kata Amel dalam hati. Berkelebat beberapa kejadian beberapa waktu terakhir ini. Ia seperti menolaknya kalau di sapa . Seakan ia ingin menelan sendi masalahnya.

Lula jadi ragu, langkahnya terhenti dekat pintu. Jangan jangan ia tidak mau diganggu seperti kejadian yang lalu-lalu. Namun hati kecilnya menyuruhnya mendekat. Dia sahabat kamu, dia butuh teman berbagi cerita. Bisik hati kecil lula.

Sedangkan Amel menangis sesenggukan, lengannya diatas meja menyangga kepalanya yang terasa berat dan rumit. Mandeg untuk diajak berpikir.

Pada siapa aku harus bilang hal ini. Tante Yaumil adik mama pasti sangat sibuk kerja, apa lagi dia baru melahirkan. Kebayang bagaimana repotnya mengurus dua balita sendiri sambil kerja.

Sedangkan tante Nila adik papa, tidak begitu akrab dengan aku. Apalagi beliau gayanya sangat cuek. Mana mau urus yang seperti ini. Kata Amel membatin. Ia semakin sesenggukan. Lula semakin sedih melihatnya.

Sampai bel berbunyi, Lula belum berani masuk. Teman sudah pada berdatangan. Lula hanya bisa bersandar di daun pintu. Tidak bisa berbuat apa-apa.

Tiba tiba ia melihat Amel berjalan tergesa. Ditelusurinya Langkah temannya itu dengan memandangnya dari jauh. Ou… ia berbelok menuju musolah. Ia mengangkat jilbabnya keluar dari dagu. Pelan ia membasuh wajahnya beberapa kali. Lalu di pasang Kembali. Kini ia melangkah kemari. Berarti ia mau masuk kelas untuk belajar.
Cepa Lula melangkah masuk. Khawatir kalau Amel merasa di perhatikan atau dikuntit, lalu tersinggung lagi. Wah bisa runyam jadinya kalau seperti ini. Kata Lula dalam hati.

Pas ia duduk di bangkunya, pak Rudi guru IPS juga datang sambil membawa peta. Amel menghisap ingus dalam hidungnya berulang kali. Pertanda hidungnya mampet. Ia diam seribu Bahasa. Buku paket geografi terbuka di depannya, tapi kayaknya ia tidak focus.

Aku juga jadinya tidak focus. Sebentar-sebentar balik lihat dia. Kata Lula dalam hati. Mel aku turut prihatin lihat kamu seperti ini tapi, kamu seperti s**a menikmati sendiri masalahmu. Lanjut Lula berbicara sendiri.

Aku ingat persis, hari Ahad kemarin, ketika aku ikut ibu dan bapak aku ke kota, mau jenguk keluarga mama di Rumah sakit Wahidin, aku melihat mobil papamu di parkiran. Aku pikir kamu bersama papamu di rumah sakit ini, ternyata beliau Bersama dengan guru kita Mel.

Sebenarnya aku juga mau tanyakan langsung ke kamu Mel, tapi aku pikir belum saatnya sekarang. Aku tetap menunggu waktu yang tepat. Waktu dimana kamu siap mendengar ceritaku Mel.

Waktu itu papamu jalan beriringan di koridor rumah sakit dengan posisi badan yang sangat mepet. Layaknya suami isteri. Dan Alhamdulilla beliau tidak mengenali saya. Bu guru juga tidak mengenali saya saat itu. Apalagi saya menggunakan masker Kesehatan.

Aku tidak pakai masker juga, aku rasa keduanya takakan peduli. Karena dia sedang dimabuk asmara. Mungkin saja mereka pikir, dunia ini milik mereka berdua. Jadi bisa saja mereka berbuat ses**a hatinya.

Sampai selesai pak Rudi mengajar dan meninggalkan kelas ,tak satupun, materinya yang mampir di ke palaku.

“Mel mau?” Tanya Lula sambil menyodorkan siverqueen mini pada Amel.

“Boleh.” Jawabnya singkat sambil mengambil sepotong coklat kes**aanya itu.

“Ambil semuanya, ini masih ada.” Jawab Lula santai, sambil membuka coklat lain yang baru diambil dari dalam tasnya.

“Kamu punya coklat banyak, lagi punya duit banyak ya?” Kata Amel mulai santai

“Banyak duit, juga tidak. ini kiriman dari kak Yuni kemarin, katanya hadiah ulang tahun
aku.”

“Oh kamu ulang tahun? Sory aku tidak tahu.” Amel memeluk sahabatnya akrab.

“Oh tak apa-apa.” Aku juga tidak merayakan. Kebetulan saja kak Yuni kirim.

“Mel sakit? Suara kamu serak.”

“Enggak sih cuman hidung aku saja yang mampet. Flu biasa. Istirahat yang cukup juga sudah bisa sembuh.” Ia masih berkelit. Pada hal, aku lihat sendiri tadi ia menangis.

Ketika pulang sekolah aku lihat dia lamat-lamat mengemas bukunya dalam tas. Sepertinya ia sengaja mau berlama lama. Dia juga pura-pura morogoh laci meja seakan akan ada barangnya yang ketinggalan.

Karena aku tetap menunggunya untuk pulang bersama seperti kebiasaan kami sebelumnya, akhirnya ia pulang juga bersamaku.

Kami jalan bersisian depan musolah, lalu belok kanan samping ruang kepala sekolah. Dia berjinjit mengintip ke dalam. Aku juga pura-pura tidak memperhatikan. Aku tetap jalan sampai pos piket.

Mungkin ia yakin ruangan kepala sekolah aman-aman saja, ia melangkah ke arahku. “Pulang bareng yu Mel.” Ajakku mendahuluinya.

“Iya, ayo.” Katanya sambil menyetop bentor yang melintas.

“Mel baso beranak depan lapangan katanya enak. Mampir yo.”

“Pernah coba?”

“Belum, makanya aku ajak kamu sekarang.”

“Ok kalau begitu. Sekarang aku traktir kamu. Hari ini ulang tahunmu kan.”

“Kan aku yang ajak kamu, masa kamu yang traktir aku.”

“Ah tak soal siapa yang tratir, yang pasti aku lapar sekarang.” Keduanya menyudahi pertengkarannya
Lalu masuk warung yang sedang ramai ramainya itu. Sudah jadi kebiasaan keduanya meributkan hal sepele seperti itu.Dan itu yang membuatnya saling merindukan.

“Huh aku mau benyek-benyek mukanya.” Kata Amel dengan suara yang ditekan, ketika mereka berdiri depan gerai bakso setelah makan. Dan melintas bu Camelia dengan motor vespa primavera pink rosa di depannya. Ia mencengkram kuat lenganku. Ou… sakit juga cengkaraman anak ini.

“Tunggu aku akan buat perhitungan denganmu.” Katanya sambil menghempaskan pantatnyadi atas bentor yang aku setop .

Judul: R3t4k Dalam P4ngku4n Cint4Penulis: Eni Widarti Bab IIKeh4milan Rinai tidak memiliki masalah yang berarti, semua b...
15/09/2025

Judul: R3t4k Dalam P4ngku4n Cint4
Penulis: Eni Widarti

Bab II

Keh4milan Rinai tidak memiliki masalah yang berarti, semua berjalan baik dan aman. Perutnya yang tadinya masih bisa disembunyikan di balik blouse, lama kelamaan sudah tidak bisa lagi dan harus menggunakan pakaian khusus ibu h4mil.

Ada hal yang berbeda pada keh4milan Riani kali ini. Kalau keh4milan terdahulu, dia selalu ingin tampil c4ntik, s**a d4nd4n, sering menghabiskan banyak waktu di salon. Kali ini berbanding terbalik. Riani sama sekali tidak s**a dandan, bahkan seringkali untuk berangkat bekerja Rendra yang harus memakaikan lipstik di bibir istrinya tersebut.

Bagi Rendra hal itu tidak jadi masalah, toh dia mencintai istrinya secara keseluruhan. Bukan hanya w4j4hnya yang c4ntik dan b4dannya yang bagus.

Saat usia k4ndungan Riani memasuki usia tujuh bulan, ada kejadian yang membuat semua orang dibuatnya panik. Tiba-tiba Riani mengalami pend4r4han, dia langsung bert3ri4k memanggil Rendra, yang dengan berlari k3nc4ng langsung menghampiri Riani.

“Ada apa, S4y4ng?” tanya Rendra dengan nada panik.

“Mas keluar d4r4h ini” jawab Riani
Rendra pun tambah panik lagi, sampai bingung harus berbuat apa. Hal tersebut justru membuat Riani menjadi g3m4s.

“Mas, ayo ke Rumah Sakit. Kenapa kamu malah mondar mandir nggak jelas begitu” kata Riani, yang membuat Rendra sadar bahwa yang harus dilakukan adalah membawa istrinya ke Rumah Sakit.

“e…iya Bu, ayo kita ke Rumah Sakit” jawab Rendra sambil memb4ngunkan Riani dari t3mp4t ti dur, dan membimbingnya menuju kursi di ruang tamu depan
“Duduk disini sebentar Bu, aku ambil kunci mobil dan domp3t dulu” kata Rendra kepada Riani.

“Kartu berobatku ada di l4ci l3mari mas” kata Riani meminta Rendra untuk mengambilkan buku berobatnya, dan langsung dijawab Rendra dengan anggukan k3p4la, dan berlari menuju k4m4r untuk mengambil semua yang diperlukan untuk berobat ke rumah sakit.

“Mbak Mi, minta tolong 4nak-4nak dijemput ya,” pesan Rendra kepada asisten ru mah tangga yang telah lebih dari sepuluh tahun tinggal bersama mereka.

“Iya, Pak. Nanti saya jemput non Nanda dan Non Amel,” jawab mbak Mi dengan nada hormat.

“Kami berangkat ya, Mbak,” kata Rendra lagi.

“Iya pak. Semoga ibu baik-baik saja,” jawab mbak Mi.

Setelah dirasa semua siap, Rendra menggend**g Riani menuju mobil, dan selanjutnya mereka menuju Rumah Sakit. Walau pikiran dan h4tinya sedang k4lut, Rendra masih mengemudi mobil dengan baik. Di perjalanan, Riani menghubungi pihak rumah sakit dan mengatakan bahwa dirinya pend4r4han.

Sesampainya di Rumah Sakit, tampak suster sudah menunggu dengan menyiapkan brankar. Karena diketahui kalau pasien pend4r4han. Begitu mobil sampai, perawat dengan sigap memindahkan pasien ke brankar, dan membawanya masuk. Ternyata dokter yang biasa di datangi Riani saat control, saat ini sedang ada jadwal jaga. Tetapi sesuai prosedur di rumah sakit, Riani harus melewati IGD terlebih dahulu.

Setelah di teliti ternyata merupakan pasien dokter k4ndungan sehingga dipanggilkan dokter yang biasa Riani control untuk segera dilakukan pemeriksaan. Dokter k4ndungan pun datang, dan dari hasil pemeriksaan Riani diharuskan bed rest sampai saat melahirkan tiba. Rendra yang mendengar perkataan dokter pun menjadi panik.

“Bed rest harus di Rumah Sakit atau bisa dilakukan di rumah, Dokter?” tanya Rendra kepada dokter yang menangani Riani.

“Kalau bapak bisa menjamin di rumah ibu bisa bed rest dengan baik, di rumah tidak masalah. Hanya saya menyarankan untuk waktu minimal seminggu sebaiknya di rumah sakit saja” jawab dokter menjelaskan kepada Rendra “karena kalau ibu tidak bisa bed rest dengan baik, resiko bayinya akan la hir pr3m4ture Pak” lanjutnya. Mendengar penjelasan dokter tersebut, Rendra hanya bisa mengiyakan daripada terjadi permasalahan yang lebih serius dengan Riani dan k4ndung4nnya. Karena memang keh4mil4n ini merupakan keinginan Riani, yang merupakan k3h4milan yang memiliki resiko lebih besar mengingat usia Riani sudah hampir memasuki k3p4la empat.

Rendra mengurus administrasi supaya istrinya bisa menginap di rumah sakit minimal 1 minggu ke depan, dan setelah semua selesai Riani pun dipindahkan ke k4m4r perawatan.

Judul : SEILA Penulis : Meinawati NSeila bangun sebelum matahari terbit. Matanya masih berat, tubuhnya masih pegal, tapi...
13/09/2025

Judul : SEILA
Penulis : Meinawati N

Seila bangun sebelum matahari terbit. Matanya masih berat, tubuhnya masih pegal, tapi ia sudah terbiasa. Di desa dulu, bekerja keras adalah rutinitas yang tak bisa ditawar. Bedanya, kali ini ia bekerja untuk dirinya sendiri, bukan untuk memenuhi perintah orang lain.

Setelah mandi dan mencuci muka dengan air dingin dari kamar mandi kos yang sempit, ia mengenakan kaos lusuh dan celana panjang, lalu berangkat ke warung. Jalanan masih sepi, hanya ada beberapa tukang sayur yang mendorong gerobak mereka.

Sesampainya di warung, ia langsung mulai bekerja. Piring-piring kotor menggunung di bak cuci, sisa makanan berceceran di meja. Pemilik warung, Bu Sarti, menyapanya dengan anggukan kecil.

"Semangat, Nak. Hari ini pelanggan banyak," kata Bu Sarti sambil menyiapkan bahan-bahan di dapur.

Seila hanya mengangguk dan mulai mencuci piring. Tangannya bergerak cepat, air sabun membasahi jemarinya yang mulai kasar. Setelah piring-piring bersih, ia lanjut menyapu dan mengepel lantai. Hanya sesekali ia melirik ke luar, melihat orang-orang yang datang dan pergi, hidup mereka yang terlihat jauh lebih mudah dibandingkan dirinya.

Hari-hari berlalu dalam ritme yang sama—bangun pagi, kerja, pulang malam, tidur dalam kelelahan. Uang yang ia dapat memang tidak banyak, tapi cukup untuk bertahan hidup dan menabung sedikit demi sedikit.

Namun, seperti kata Rangga dulu, hidup di kota itu keras.

Di bulan kedua, tantangan mulai datang. Seorang pelanggan yang kasar marah-marah hanya karena makanannya kurang garam. Ia berteriak, membanting sendok, bahkan hampir melempar piring.

"Pelayan macam apa kalian ini? Masak aja nggak becus!" bentaknya.

Seila menahan napas, tangannya mengepal. Ingin rasanya membalas, tapi ia tahu itu tak akan menyelesaikan apa-apa. Ia menunduk sedikit dan meminta maaf.

Begitulah realita bekerja dari bawah. Ia harus menelan ego dan harga diri, demi bertahan.

Tak hanya itu, ada juga rekan kerja yang iri karena ia rajin bekerja. Suatu hari, seorang pegawai lama, Mbak Rini, sengaja menumpahkan air ke lantai saat Seila sedang sibuk mengantar pesanan.

"Astaga, Seila! Hati-hati d**g!" katanya pura-pura kaget ketika Seila terpeleset.

Seila menggertakkan giginya, tapi tetap diam. Ia tahu, tak semua orang s**a melihat orang baru bekerja lebih giat.

Tapi satu hal yang ia pelajari sejak kecil: kerja keras tidak akan mengkhianati.

Dua bulan kemudian, Bu Sarti mulai mempercayainya untuk membantu di dapur.

"Seila, kamu bisa motong-motong bahan nggak?"

Seila mengangguk. "Bisa, Bu!"

Dengan telaten, ia mulai belajar memasak. Awalnya hanya mengiris bawang, lalu menggoreng telur, hingga akhirnya memasak beberapa menu sederhana. Setiap kesalahan ia perbaiki, setiap kritik ia terima.

Seiring waktu, ia mulai merasa lebih nyaman. Walaupun lelah, ada kepuasan saat melihat pelanggan menikmati makanan yang ia siapkan. Ada kebanggaan saat menerima upah hasil keringat sendiri.

Tapi tentu saja, kenyataan tetap menamparnya di wajah.

Saat tabungannya mulai cukup untuk mendaftar Paket C, kos-kosannya tiba-tiba naik harga.

"Maaf, Dek. Biaya listrik naik. Jadi kos ikut naik juga," kata pemilik kos, tanpa peduli bahwa bagi Seila, kenaikan itu berarti harus bekerja lebih lama lagi sebelum bisa sekolah.

Seila hanya bisa menghela napas panjang. Ia ingin menangis, tapi air matanya terlalu berharga untuk dibuang hanya karena keadaan tidak berpihak padanya.

Malam itu, ia duduk di kamarnya yang sempit, menghitung uang yang ia punya.

Belum cukup.

Tapi ia tidak akan menyerah.

Ia menggenggam uangnya erat-erat dan berbisik pada dirinya sendiri, "Aku akan terus maju. Apapun yang terjadi."

Hidup memang keras. Tapi Seila akan bekerja lebih keras lagi.

Malam itu, setelah menghitung uangnya, Seila duduk bersandar di dinding kamar kosnya yang sempit. Pikirannya penuh dengan angka-angka yang tak kunjung cukup. Ia menghela napas, menatap langit-langit kamar yang bercat kusam.

Ponselnya bergetar di lantai. Rangga.

Tanpa berpikir panjang, ia mengangkatnya.

"Halo?"

"Masih hidup?" Suara Rangga di seberang.

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah :
https://read.kbm.id/book/read/d51f527e-64f0-4fad-842b-865cddfcbf2c/1c7c8a40-2857-41dd-8fc8-a081a5be0053

“Capek? Baru denger perempuan ngelawan aja udah capek? Gimana kalau harus kerja kayak kami dari pagi sampai malam?” seum...
06/09/2025

“Capek? Baru denger perempuan ngelawan aja udah capek? Gimana kalau harus kerja kayak kami dari pagi sampai malam?”
seumur hidup baru kali ini laki laki dewasa harus tunduk pada ucapan seorang bocah perempuan yang bahkan belum genap 15 tahun usianya.
...........................

Hari-hari berlalu, dan Seila semakin mengerti satu hal: jika ingin bertahan, ia harus lebih kuat. Bukan hanya lebih kuat dari saudara laki-lakinya, tapi juga dari aturan-aturan yang mengekang perempuan di rumah ini.
Ia memperhatikan bagaimana Bunda Jeni menelan kesedihan dalam diam, bagaimana Bibi Ratna meredam amarahnya dengan mengalah, dan bagaimana para perempuan lain sibuk mengurus rumah tanpa sempat memikirkan diri sendiri.
Tapi Seila bukan mereka. Ia tak mau menghabiskan hidupnya dalam kepatuhan buta.
Suatu siang, ketika matahari sedang terik-teriknya, ia melihat Om Rafi duduk santai di teras, sementara Bunda Jeni dan Bibi Ratna sibuk mengangkat karung beras yang baru dibeli dari pasar. Napas mereka memburu, peluh mengalir di pelipis, tapi tak ada yang meminta bantuan Om Rafi. Dan tentu saja, Om Rafi sendiri tak merasa perlu membantu.
Seila mengepalkan tangan.
Tanpa banyak bicara, ia melangkah cepat, mengambil alih satu karung dari tangan Bunda Jeni, lalu mengangkatnya ke pundak. Beratnya membuat punggungnya sedikit melengkung, tapi ia tak peduli.
Bunda Jeni terkejut. “Seila, biar Bunda saja—”
“Nggak apa-apa, Bun,” jawab Seila, rahangnya mengeras. “Aku kuat.”
Ia berjalan melewati Om Rafi yang masih duduk santai, menatapnya dengan tatapan mencemooh.
“Wah, sok jago,” gumamnya.
Seila menurunkan karung dengan keras di lantai hingga debu beterbangan. Ia menatap mata Om Rafi tanpa gentar.
“Om bisa angkat sendiri?” tantangnya.
Om Rafi mendengus, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Ngapain aku harus angkat-angkat gituan? Itu kerjaan perempuan.”
Seila menyilangkan tangan di dada. “Oh ya? Sejak kapan?”
Om Rafi menguap malas. “Dari dulu. Laki-laki nggak perlu kerja berat di rumah. Tugas kita cari uang.”
Seila terkekeh sinis. “Cari uang? Om aja masih nebeng di rumah Mbah. Udah kerja belum?”
Om Rafi melotot. “Bocah ini! Aku lagi nunggu kesempatan yang bagus, ngerti?”
Seila mengangguk-angguk pura-pura paham. “Oh, jadi selama nunggu kesempatan, Om kerjaannya santai-santai, ya?”
Bibi Ratna yang sedari tadi diam, menoleh dengan senyum kecil. “Iya, Rafi. Kenapa nggak bantu? Lumayan olahraga.”
Om Rafi mengibaskan tangan. “Aduh, Bi. Aku ini laki-laki. Nanti kalau kerja kasar malah ototnya pegel.”
Seila menepuk lengannya sendiri. “Terus perempuan boleh pegel-pegel?”
Om Rafi menatapnya seolah ia baru menyadari sesuatu. “Ya… kan kalian terbiasa.”
Seila terkekeh lagi. “Kebiasaan nggak berarti itu bener, Om.”
Bunda Jeni akhirnya angkat bicara, suaranya pelan tapi penuh makna. “Rafi, kalau dari kecil kamu diajarin angkat barang, kamu juga bakal terbiasa.”
Om Rafi mengerutkan kening, jelas tak punya jawaban yang masuk akal.
Seila memanfaatkan kesempatan itu. “Kalau gitu, mulai sekarang, Om angkat karung ini. Biar terbiasa.”
Om Rafi mendengus. “Nggak usah ngajarin aku, bocah.”
Seila menyeringai. “Kenapa? Takut pegel?”
Om Rafi berdiri, seolah ingin menegaskan posisinya sebagai laki-laki yang lebih berkuasa. “Denger ya, Seila. Aku ini laki-laki, aku nggak perlu—”
Seila mengangkat satu karung lagi dan melemparkannya ke pangkuan Om Rafi. Lelaki itu terkejut dan buru-buru menyingkirkan karung itu dari kakinya.

Judul : SEILA
Penulis : Meinawati N

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah :
https://read.kbm.id/book/read/d51f527e-64f0-4fad-842b-865cddfcbf2c/0d393141-f0ab-4f9c-acf9-6dd818bd789d

Address

Surabaya

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when NengSyantik posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share