NengSyantik

NengSyantik Bercerita lah. Karena itu akan membuatmu bahagia. bagi kamu yang suka membaca dan berimajinasi..

Judul: Aku B*nci Jadi Ibu Rumah TanggaPenulis: LavannajivanaBab 1: C*lana Dalam, Kopi, Dan Suara TangisanJam 03.57 pagi....
25/07/2025

Judul: Aku B*nci Jadi Ibu Rumah Tangga
Penulis: Lavannajivana

Bab 1: C*lana Dalam, Kopi, Dan Suara Tangisan

Jam 03.57 pagi.
Alarm di HP belum bunyi, tapi aku sudah terbangun. Bukan karena kesadaran spiritual, bukan juga karena ingin salat tahajud. Tapi karena ada kaki mungil yang ne*dang hidungku dan bau susu basi menyeruak dari bantal sebelah.
"Rafa…," gumamku setengah sadar. *nakku yang b**gsu, dua tahun, entah sejak kapan pindah ke ka*urku dan t*dur melintang kayak bintang laut nyasar.
Aku bangun pelan, mencoba tidak membangunkannya. Tapi seperti biasa, itu cuma harapan kosong. Rafa menggeliat, lalu menangis keras seperti sedang ditinggal rombongan arisan.
"Maaaaa…!"
Tangisannya membelah pagi dengan indah, membuat ayam tetangga urung berkokok.
“Kenapa aku nggak bisa tidur seperti manusia normal?”
Turun ke dapur, aku langsung bikin kopi. Ritual wajib sebelum *nak-*nak bangun dan rumah berubah jadi arena gladiator. Aku baru tuang air panas ke gelas ketika suara lain menyusul dari k*mar sebelah.
"Maaaa… c*lana dalam aku yang unicorn mana?!"
Itu Dinda. *nak sulungku. Tujuh tahun. Sudah sekolah dasar, tapi drama pagi hari masih kayak telenovela.
Aku menutup mata. Menghela napas dalam-dalam. Menghibur diri dengan mantra pagi, "Sabar, sabar, sabar. Ini ujian, bukan kutukan. Ini pilihan, bukan karma. Ini cinta, bukan siksaan.”
"Mama! Unicorn-nya nggak ada! Yang warna pink muda itu, yang ada glitter-nya di pinggir! Aku mau pakai itu hari ini!" Dia cemberut, seolah hidupnya bakal hancur kalau pakai c*lana dalam motif biasa.
"Ya ampun, Ndindaaa… itu kayaknya Mama cuci dua hari lalu. Mungkin belum kering."
Aku buka lemari. Kosong. Buka keranjang. Setengah basah. Akhirnya aku lempar satu c*lana dalam lain — biru polos.
Dinda menatapku seolah aku baru saja mengh*ncurkan harga dirinya sebagai perempuan.
Lalu datanglah Reza.
Suamiku — Pria baik, pekerja keras, dan… kadang terlalu santai menghadapi kekacauan rumah.
Dia muncul dari k*mar dengan mata setengah merem, kaus kusut, dan kalimat legendaris,
"S*yang, kopi udah ada belum?"
Aku menoleh. Kopi yang tadi aku buat belum sempat aku minum masih ngebul di meja.
Kupandangi gelas itu sejenak. Lalu kupindahkan ke depannya.
"Nih. Nikmatin."
Dia duduk sambil menguap, lalu menyeruput. “Aahhh. Kopinya pas banget.”
Aku tersenyum. Senyum palsu, tentu. Tapi rapi. Sudah terlatih.
Kadang aku bertanya dalam hati: Kapan ya terakhir kali aku jadi manusia utuh?
Yang bisa bangun pagi tanpa panik. Yang bisa p*pis tanpa ada anak yang ged*r-ged*r pintu kaya satpol PP yang lagi gr*bek kost-kostan. Yang bisa makan mie rebus panas, bukan mie yang udah bengkak dan dingin karena kelamaan diabaikan.
Lucunya, tiap kali aku ngeluh, jawabannya selalu sama.
"Kan kamu ibu rumah tangga. Di rumah aja."
Iya. Di rumah aja. Tapi kerjaanku nggak pernah “aja”.
Hari ini sebenarnya biasa saja. Tapi hari biasa itu justru yang bikin aku lelah.
Malam harinya, setelah *nak-*nak tidur dan Reza terlelap dengan laptop masih menyala di d*da, aku buka buku tulis kecil di laci. Sudah seminggu aku mulai menulis jurnal. Nggak tahu kenapa.
Mungkin karena kalau aku nggak cerita di kertas, aku bisa meledak sendiri.
Aku tulis pelan-pelan:
"Hari ini aku nyaris nangis gara-gara nggak bisa p*pis sendiri. Tapi aku nggak nangis. Aku ketawa. Ketawa pahit. Sambil cuci piring dan mikir, apa aku satu-satunya ibu yang ngerasa kayak gini?"
"Aku sayang *nak-*nakku. Aku cinta suamiku. Tapi jujur... Kadang, aku b*nci jadi ibu rumah tangga."
Tapi tentu... semua itu cuma bisa kutulis di jurnal. Karena kalau kubilang langsung ke Reza, dia pasti jawab, "Kamu mikir terlalu jauh, Sayang. Di rumah itu sudah cukup kok. Anak-anak butuh kamu." Selalu begitu. Kalimat sederhana. Tapi seperti pagar besi yang tak bisa kupanjat.
Karena di matanya, aku adalah "ibu rumah tangga ideal"— dan itu seharusnya cukup untuk membuatku bahagia.
Lalu tiba-tiba HP-ku berbunyi Pelan. Satu pesan WhatsApp masuk
“Nad, kamu masih bisa desain nggak? Aku butuh kamu.” Aku diam. Napas tercekat. Tanganku gemetar. Seolah tub*hku langsung terbangun penuh—bukan karena kopi, bukan karena *nak nangis. Tapi karena sebuah kalimat dari masa lalu… yang selama ini kupikir sudah terkubur.
Apakah ini…
kesempatan? Atau jebakan?
Dan…
bolehkah seorang ibu rumah tangga seperti aku—masih punya mimpi?

Baca lengkap di KBM App

Judul: Laskar Impian Otong Penulis: Kalyana Fitri“Maaf saya datang tanpa kabar… Empat tahun bukan waktu yang singkat. Ta...
25/07/2025

Judul: Laskar Impian Otong
Penulis: Kalyana Fitri

“Maaf saya datang tanpa kabar… Empat tahun bukan waktu yang singkat. Tapi saya kembali karena ingin menyampaikan bahwa saya menyimpan rasa. Waktu itu saya tak bisa bicara… tapi sekarang, saya tidak ingin menunda lebih lama.” Ucapan itu seperti sudah dilatih berkali kali di depan cermin. Bahkan belum sempat Gadis mempersilahkan tamunya masuk dan duduk.

Gadis itu terdiam, menatap Otong dengan campuran bingung dan haru. Wajah itu masih sama, tapi kini lebih tegas, lebih matang, bukan lagi pemuda luka yang diselamatkannya dulu, melainkan pria yang datang dengan sikap pasti dan pandangan teguh. Hening menyelimuti halaman kecil itu; hanya suara angin sore dan gesekan dedaunan yang menemani. Gadis menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak yang sulit dijelaskan. Suasana bergejolak memang menuntut bahwa segala sesuatu mesti to the poin.

“Mari masuk dan duduk,” ucapnya akhirnya, singkat namun cukup untuk menyadarkan Otong: ia bukan sedang menghadapi atasan, bukan p**a petugas piket di gardu monyet. Ini Gadis, perempuan yang pernah menolongnya hidup. Otong nyaris tersenyum, tapi menahannya demi menjaga wibawa. Masa menutup mulutnya, tersenyum menahan geli.

“Otong…” bisiknya pelan. “Empat tahun… tanpa satu kabar pun. Pak Tentara sekarang makin gagah, ya.” Kelakar itu meluruhkan kekakuan, meski hanya sejenak. Otong terpaku mendengar sebutan itu—"Pak Tentara"—nama panggilan yang dulu kerap dilontarkan Gadis saat merawatnya dalam luka dan diam.

Lamunannya buyar saat Gadis kembali bicara.

“Maaf, aku… aku butuh waktu. Mau minum apa?”
Mereka duduk lima belas menit di bawah pohon belimbing, di samping rumah. Kursi kayu tua menopang diam yang berat. Sinar matahari sore menyusup di antara daun, hangat menyentuh wajah Gadis. Tak banyak kata. Diam sudah cukup.

Otong mengangguk. Kaku, tapi penuh pengertian. Tatapannya tajam, tapi matanya melembut. Ia lega—Gadis masih sendiri. Belum ada orang lain. Itu cukup baginya.

Baginya, permintaan waktu bukan penolakan. Ia tahu, tidak semua hal bisa didapat dengan cepat. Kadang, yang dibutuhkan adalah sabar dan keberanian untuk bertahan. Tak ada janji, tapi masih ada harapan. Dan itu cukup untuk membuatnya tetap berjuang.

Selengkapnya di KBM app.

BAB 1. Aroma AsingJudul: Setia yang DikhianatiPenulis: Putri RafiCerita ini adalah potret getir kehancuran rumah tangga ...
25/07/2025

BAB 1. Aroma Asing
Judul: Setia yang Dikhianati
Penulis: Putri Rafi

Cerita ini adalah potret getir kehancuran rumah tangga dari sudut pandang seorang istri yang dikhianati, namun memilih untuk bangkit demi harga diri dan masa depan anak-anaknya. Narasi dimulai dengan pengakuan pahit sang istri bahwa ia bukan wanita lemah yang bisa dikhianati diam-diam. Kalimat ini menjadi fondasi awal dari tekadnya untuk menghadapi kebenaran, seberapa menyakitkan pun itu.
Malam pengkhianatan terungkap ketika sang istri menemukan pesan-pesan mesra di ponsel suaminya. Meskipun tidur di ranjang yang sama, jarak emosional di antara mereka begitu jauh, tergambar dari punggung yang saling membelakangi. Suaminya, Dafa, tertidur p**as, menunjukkan ketidakpedulian atau mungkin kemampuannya menyembunyikan rasa bersalah. Sementara itu, sang istri dilanda insomnia, hatinya hancur berkeping-keping oleh kenyataan pahit yang perlahan mengoyak isi dadanya.
Pukul tiga pagi, di tengah kegelapan dan kesunyian, ia menemukan pelarian dalam seni. Tanpa konsep atau sketsa, ia melukis di kanvas kecil. Emosinya yang bergejolak, amarah yang meledak diam-diam, terwujud dalam sapuan warna merah yang menyambar putih. Tangis bisu dan air mata yang menetes tanpa suara menunjukkan kedalaman lukanya, sekaligus kekuatannya untuk tetap tegar demi Arka dan Alika, dua buah hatinya yang menjadi alasan terbesar untuk bertahan. Momen ini adalah titik balik penting, di mana ia mulai memproses rasa sakitnya dan mencari cara untuk menghadapinya.
Pertanyaan reflektif muncul: "Aku tidak tahu sejak kapan aku berhenti menjadi istri yang dicintai." Ia merenungkan berbagai kemungkinan – apakah sejak ia menjadi ibu, sejak tubuhnya berubah dan lebih sering memakai daster, atau sejak ia tak sempat berdandan. Namun, dugaan paling menyakitkan adalah, "Atau mungkin … sejak dia bertemu dia," merujuk pada wanita lain yang menjadi selingkuhan suaminya. Pertanyaan retoris tentang memperkenalkan Livia ke suaminya menunjukkan tingkat ironi dan kepolosan yang tragis di masa lalu, sebelum kebenaran terungkap. Ini juga mengisyaratkan bahwa Livia mungkin adalah seseorang yang dikenal oleh sang istri, memperdalam rasa sakit pengkhianatan.
Keesokan paginya, Dafa bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Ia terburu-buru berangkat kerja, mencium p**i dan dahi istrinya, serta memberikan senyuman. Penjelasan Dafa kepada Arka tentang rapat penting terasa hambar dan tidak meyakinkan. Sang istri menatapnya, heran bagaimana suaminya bisa bersikap normal setelah malam yang penuh pengkhianatan. Ia bahkan masih bisa membalas lambaian tangan Dafa dengan anggukan dan senyuman, menunjukkan betapa rumitnya emosi yang ia rasakan – antara keterkejutan, kemarahan, dan mungkin sisa-sisa cinta yang masih membekas.
Titik puncak cerita datang ketika Dafa melupakan ponselnya di meja. Dorongan untuk memeriksa ponsel itu tak tertahankan, dan apa yang ia temukan mengukuhkan semua ketakutannya. Sebuah panggilan tak terjawab dan pesan masuk dari nama "L" (yang kemudian terungkap sebagai Livia) dengan isi yang sangat jelas: "Sampai ketemu nanti malam, Mas. Aku sudah booking kamar seperti biasa. 💋." Pesan ini mengkonfirmasi bahwa perselingkuhan itu bukan sekadar main-main, melainkan sudah berjalan jauh dan terorganisir.
Reaksi sang istri adalah kombinasi dari syok, kemarahan, dan rasa diremehkan. Gemetar, membeku, dan air mata yang tak tertahankan, namun bukan hanya karena sedih. Rasa marah dan sakit juga bercampur aduk, tetapi yang paling dominan adalah perasaan diremehkan dan dikhianati oleh dua orang yang paling ia percaya. Di sinilah keputusan krusial diambil. Ia memeluk ponsel itu, dan seperti dorongan gaib, mulai memotret pesan-pesan tersebut, mengirimkannya ke emailnya sendiri sebagai bukti. Tindakan ini bukanlah tentang balas dendam semata, melainkan tentang menjaga harga diri dan melindungi anak-anaknya. Ini menandakan awal dari perjuangan sang istri untuk mencari keadilan dan menegakkan martabatnya. Cerita ini kemungkinan akan berlanjut dengan konfrontasi dan perjuangan sang istri untuk keluar dari situasi sulit ini, entah melalui perceraian atau upaya rekonsiliasi yang penuh tantang

Judul: Rindu tak Berujung TemuPenulis: Umm_AlifaZahra berjalan menuju resto, dan menabrak seseorang hingga..... "Braakkk...
25/07/2025

Judul: Rindu tak Berujung Temu
Penulis: Umm_Alifa

Zahra berjalan menuju resto, dan menabrak seseorang hingga.....
"Braakkk... Praaang..."
,"Astaga, kalau jalan itu pakai mata..."

Zahra menunduk, "Maaf tuan, saya ceroboh, saya minta maaf..." Suara lirihnya seakan takut dikenali.

Pria itu terkejut, "Zahra, kamu Zahra kan...?"
Zahra menoleh, menatap pria itu dengan wajah datar dan dingin.
Pria itu tersenyum manis, tapi luntur saat melihat ekspresi Zahra.

"Berapa saya harus ganti rugi handphone anda yang hancur tuan?" tanya Zahra dengan nada dingin.
Pria itu merasakan sakit di hatinya, seakan harapannya untuk kembali sudah tak ada lagi.

"Zahra apa kau lupa padaku...?"
Tanya pria itu sendu

Dengan seringai di wajah Zahra berkata
"Apa kau cukup penting untuk ku ingat..?"
Setelah itu dia beranjak pergi

Ketika hendak memanggil Zahra sang asisten menginterupsi agar segera memasuki resto untuk bertemu dengan client.

"Maaf tuan saya terlambat, ada sedikit masalah...." pria itu menjabat tangan sang client seraya duduk berhadapan dengan mereka

"Oh tidak apa, tuan Denis ...."
Meetingpun berlangsung namun sang pria tidak fokus dengan pembahasannya, namun pikirannya melayang ke beberapa saat lalu, wanita itu, yang ia cari sslama ini akhirnya ia temukan, dia cantik dan anggun seiring dengan usianya yang bertambah dia makin cantik dan dewasa apalagi kini wanita itu mengenakan hijab yang membuat kecantikannya semakin terpancar.
Dia asyik melamun sendiri membayangkan wanita itu, dia hanya bergeming ketika sang asisten memanggilnya.
“Tuan, apakah anda baik-baik saja...?” tanya sang asiste
“Oh iya, kenapa...?” tanya Denis gelagapan karena malu ternyata dia tak memperhatikan pembahasan peoyeknya kali ini.
“ sepertinya kita harus menjadwalkan ulang meeting kali ini tuan Dennis, karena saat ini anda tidak fokus ....” ucap sang client kecewa namun tetap ingin melannutkan rencana proyek besar ini.
Dennispun menjawab “ aahh, maafkan saya tuan, jika anada tidak keberatan kita akan jadwalkan ulang pembahasan proyek kali ini, asisten saya akan menghub**gi ana lagi nanti..”
“Baiklah kami tunggu kabar selanjutnya tuan...” sambil bersalaman merekapun meninggalkan resto.
“Apa yang terjadi tuan, tidak biasanya anda tidak fokus seperti ini, apalagi ini adalah proyek yang anda nantikan ..” tanya sang asisten Kevin.
“Kosongkan jadwalku hari ini, aku tidak ingin diganggu....” tanpa menjawab Dennis beranjak meninggalkan Kevin terbengong sendiri.
“Gak biasanya si boss kayak gini,...!?”
Kemudian Kevin menjalankan titah dari sang majikan agar tidak ada yang mengganggunya.
Dennis merenung sepeninggal asistennya, dia membuka laci dan meraih sebuah foto lama, mengelusnya dengan sorot mata sendu.
Di sisi lain setelah meninggalkan resto Zahra menemui sang suami
“Hei... ada apa sayang mengapa tiba-tiba mellow begini hmmm....” dengan penuh kasih ia mengelus surai sang istri yang tertutup hijab.
Zahra semakin mengeratkan pelukannya pada sang suami “ gak biasanya kamu gini, kenapa sayang, cerita sama mas...” Zahra menggeleng menatap sang suami, betapa ia sangat mencintai suaminya.
“Aku gak apa-apa mas, maaf aku jadinya beli makanan cepat saji saja, gak apa-apa kan....?”
“Gak apa-apa mas tetap s**a apa yang kamu berikan pada mas....” Zahra tersenyum sambil menyiapkan makan siang mereka.
Seketika perasaannya menghangat dan melupakan kejadian tadi.
Setelah selesai makan siang mereka mengobrol ringan sambil bersantai di sofa ruangan kantor sang suami.
Inilah yang dia s**ai dari suaminya Adnan Abqari, dalam setiap momen dia selalu melibatkan dirinya walau hanya untuk sekedar bercerita, atau meminta pendapatnya entah itu tentang perusahaan ataupun lainnya, dia merasa dihargai oleh sang suami.
“Mas, aku pamit dulu mau jemput Ibra di sekolahnya...” Zahra hendak berdiri pamit namun sang suami malah menarik tangannya sehingga ia terduduk di pangkuan sang suami
“Ibra p**ang sekolah masih satu jam lagi sayang, aku masih ingin bersamamu...” rengek sang suami manja
Zahrapun mengalah menghadapi sang suami yang sedang mode manja
“baiklah 30 menit lagi, aku temani dulu oke...” Adnan tersenyum senang seperti bocah, karena setelah ada anaknya maka dia akan menguasai sang istri.
Zahrapun tiba di sekolah sang anak tepat saat bell berbunyi. Anak-anak keluar dengan penuh semangat tak nampak kelelahan.
“Mama....” seru sang anak sambil berlari ke arahnya dan merekapun p**ang diantar sopir.

Waktu berlalu setelah pertemuan tak terduga waktu itu Dennis terua mendatangi resto tersebut agar bertemu kembali dengan Zahra. Namun seakan dunia tak mendukung beberapa kali ia mengunjungi resto setiap hari namun dia gak pernah melihatnya lagi. Sang asisten merasa heran dengan tingkah bosnya yang terus saja menunggu di resto tanpa memesan apapun, namun dia hanya duduk termenung seperti menunggu seseorang.
Akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya “tuan apakah anda menunggu seseorang, sudah lama kita di sini hanya duduk saja...” ucap sang asisten kerena lama-lama dia juga merasa bosan hanya duduk saja
“ jika kau ingin p**ang, ya p**ang saja, saya tetap mau duduk di sini..” ucap Dennis dengan ketus.
Kevin menghela nafas pasrah dengan jawaban sang bos, namun ia juga tidak bisa berlama-lama karena masih banyak dokumen yang harus ia serahkan pada bosnya ini. Namun ia tak punya cukup nyali untuk meninggalkan bosnya.
Setiap orang yang melewati pintu masuk Dennis seakan tak ingin melewatkan siapapun yang dilihatnya. Hingga tak lama kemudian yang dia harapkan terlihat memaauki resto. Senyum lebar tercipta dibibirnya dengan merapikan pakaiannya ia segera menuju orang yang telah lama ia nanti, dengan penuh percaya diri berjalan menghampiri.
Namun belum sempat ia memanggilnya dia terpaku melihat siapa yang datang dengan orang yang dinantinya. Ia tak sendiri melainkan bersama seseorang yang entah siapa karena terhalang orang lain.

DEG...DEG...DEG....DEG...

Jantungnya berdegup kencang tak karuan, pikirannya melayang dengan berbagai kemungkinan yang ada. Tiba-tiba ia sudah berada di depan mereka, dengan mata berkaca-kaca seorang Dennis yang dingin dan arogan berubah menjadi lemah lembut.
Sang asisten menghampirinya “ tuan jangan diam terus, anda menghalangi jalan orang yang mau masuk.....” dengan berbisik namun penuh peringatan Kevin mencoba menyadarkan atasannya yang terpaku.
“Dennis, apa kau Dennis Atmaja, lama tidak bertemu akhirnya setelah sekian lama kau p**ang juga....” pria itu langsung memeluk Dennis hangat, namun Dennia seakan terpaku tak bergerak bahkan merespon saja tidak, dia hanya melihat wanita yang ia tunggu melewatinya begitu saja.
“Hai b**g kenapa kau diam terus, apa kau tidak senang bertemu kawan lamamu....?”
Dennis hanya tersenyum tipis, momen yang ia tunggu terhanggu oleh temannya, namun ia masih bisa melihat wanita itu dari kejauhan.
Siapa pria yang bersama dengan wanita itu, karena sedari tadi dia tak bisa melihatnya karena duduk membelakanginya.
“kamu nampak bahagia tanpaku....” gumam Dennis pelan
Sedangkan dadi sudut sana akhirnya si pria beranjak bersama anak kecil, ia pun menoleh seakan mencari sesuatu, ketika pria itu berbalik...

DEG...

Jantungnya seakan terlepas dari tempatnya, pria itu dia ternyata.....

Judul: Cinta Tak BernamaPenuli: i@m_AyanaLangit Surabaya temaram, bias jingga menyelinap di jendela kamar Avara. Ia dudu...
25/07/2025

Judul: Cinta Tak Bernama
Penuli: i@m_Ayana

Langit Surabaya temaram, bias jingga menyelinap di jendela kamar Avara. Ia duduk memeluk lutut di atas ranjang, menatap buku catatan usang di pangkuannya. Di sampingnya, Ana memperhatikan dengan sorot prihatin.
“Kamu masih memikirkan dia, Ra?” tanya Ana lembut.
Air mata Avara jatuh. “Enam tahun aku nyimpan tanya tanpa alamat. Dia hilang, dan aku bahkan nggak tahu kenapa.”
“Mungkin Allah memang sedang menyembunyikan karena waktunya belum tepat. Kamu harus sabar, Ra,” ujar Ana, mengusap pundaknya.
Avara menarik napas. “Tapi aku lelah. Kita ke Surabaya untuk cari jejak dia, tapi hasilnya nihil.”
“Avara Biyanca! Jangan bilang begitu. Allah Maha Pengasih. Jangan berburuk sangka pada-Nya.”
“Tapi doaku belum juga dikabulkan, Ana,” lirihnya.
Ana tersenyum. “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah...” Ia mengutip QS. Yusuf:87, menghadirkan cahaya di hati Avara.
Avara terdiam, terharu. “Maafin aku, Na. Aku jadi malu.”
“Kisah itu turun saat Nabi Ya’qub kehilangan Yusuf bertahun-tahun, tapi tak pernah putus asa. Kita bisa belajar dari itu.”
“Iya, aku paham...”
“Kamu boleh sedih, tapi jangan padamkan harapan. Terus minta sama Allah.”
“Terima kasih, Na. Aku akan coba bangkit lagi. InsyaAllah.”
Ana menatapnya serius, “Tapi mau sampai kapan kamu nungguin dia? Mungkin dia sudah melupakan kamu Ra.! maaf kalau aku mengatakan ini!” tegas Ana, “Aku hanya nggak mau kamu semakin terluka, jika nanti...”
“jika nanti...dia melupakan aku dan melupakan semua kenangan itu!” kata Avara menyamb**g perkataan Ana yang menggantung di udara.
Setelah itu, mereka saling merengkuh dalam pelukan yang hangat. Tak ada kata-kata yang terucap, hanya keheningan yang dipenuhi getar haru. Dua sahabat yang telah tumbuh bersama sejak kecil, kini saling menguatkan dalam dekapan yang seakan ingin menahan dunia agar tak runtuh.
Setelahnya, Avara membuka buku catatan cokelatnya. Ada tulisan Alfa, “Kalau kita jadi orang hebat, kita ketemu lagi di sini.”
Ana mendekat. “Ini tulisan Alfa?”
“Iya. Sebelum dia pergi.”
“Ra, gimana kalau kita cari Alfa lagi?”
“Tapi... gimana kalau nggak ketemu?”
“Kita libur dua minggu. Kita bisa ke SD tempat kalian ikut lomba, atau ke rumah kakeknya. Siapa tahu ada yang tahu.”
Avara berpikir. “Aku coba minta Oma bicara ke ibu dan kakak. Mungkin kita bisa lebih lama di Surabaya.”
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Oma Rina masuk. “Ada yang cari kamu di depan. Laki-laki tampan, Oma suruh tunggu di ruang tamu. Tapi jangan menatapnya terlalu lama, ya...” ledeknya.
“Alfa!” tebak Ana cepat.
“Enggak mungkin... Ini pasti mimpi.” Avara panik.
“Ayo Ra, sebelum orangnya keburu pergi!”
Avara bergegas, jantungnya berdebar. Di ruang tamu, berdiri pria berwajah tenang dan ramah.
“Al... Alfa?” bisik Avara.
“Bukan. Saya Fatih.” Ia tersenyum sopan.
Avara terdiam. Ana segera membisik, “Ra, ini Fatih, bukan Alfa!”
“Silakan duduk,” ujar Avara gugup.
Oma tersenyum. “Bagas minta Fatih datang. Ini hadiah ulang tahun untuk kamu.”
Avara makin salah tingkah. Harapan yang sempat melamb**g, jatuh perlahan. Tapi di balik kecewa, ada kehangatan ketika ia menatap Fatih.
“Salam kenal, Avara. Malam ini saya cuma menyampaikan amanah dari Mas Bagas. Ini kue ulang tahun untuk kamu,” ucap Fatih, menyerahkan kotak.
“Terima kasih, Kak Fatih,” Avara menerima kue itu.
Ana mendekat, berbisik, “Ra, Kakakmu biasanya nggak gini. Apa dia punya maksud lain?”
“Mungkin... dia mulai belajar kasih aku ruang untuk berteman,” jawab Avara pelan.
“Bagas memang perhatian!” tambah Oma.
“Saya yang berterima kasih, Oma. Mas Bagas cuma ingin Avara bahagia,” jawab Fatih santun.
Avara tertawa kecil. “Lucu, biasanya Mas Bagas selalu serius. Tapi malam ini malah kasih kejutan.”
“Mungkin dia percaya, waktunya Avara kenal orang baru. Dan insyaAllah, saya nggak akan mengecewakannya,” kata Fatih tegas.
Ana tertawa pelan, “Mas Bagas nggak mungkin sembarangan menitipkan kamu pada orang lain Ra, ini sebuah mukzijat," ucap Ana. Ia melirik penuh arti, berbisik pelan “atau jangan-jangan, Fatih sengaja Mas Bagas kirim supaya kamu bisa lupakan Alfa?”
Avara refleks menutup mulut Ana dengan telapak tangannya, mencoba meredam godaan sahabatnya yang mulai tak terkendali. Tapi kalimat terakhir itu sudah lebih dulu menelusup ke dalam pikirannya, seperti jarum halus yang menusuk pelan namun dalam.
Ia tersenyum samar, meski ada getir yang sulit disembunyikan. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan seseorang yang hidup di setiap doa dan mimpi kecilnya?.

Ia tersenyum samar, meski ada getir yang sulit disembunyikan. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan seseorang yang hidup di setiap doa dan mimpi kecilnya?.

"Raja Tanpa Gigi. Cucu Tanpa Takut. Rumah Siap Meledak"...............“Mungkin sebaiknya kita punya rumah sendiri, Jen,”...
18/07/2025

"Raja Tanpa Gigi. Cucu Tanpa Takut. Rumah Siap Meledak"...............

“Mungkin sebaiknya kita punya rumah sendiri, Jen,” ucapnya suatu malam, saat mereka baru saja menikah.

Bunda Jeni menatapnya dengan ragu. “Tapi Ibu nggak akan setuju.”

“Kita ini keluarga kecil, Jen. Harus punya tempat sendiri. Aku suami kamu.”

Saat Bunda Jeni menyampaikan keinginannya pada Mbok Mis, yang terjadi justru kebalikannya.

“Apa?!” suara Mbok Mis melengking. “Mau pergi dari sini? Mau ninggalin rumah ini?! Kamu itu anak pertama, Jeni! Anak pertama nggak boleh jauh dari orang tua! Lagip**a rumah ini butuh laki-laki dewasa buat ngurus keluarga!”

“Tapi Bu—”

“Kalau Hardi mau pergi, silakan! Tapi kamu tetap di sini, Jeni! Dan kalau dia pergi, jangan harap aku anggap dia keluarga lagi!”

Sejak hari itu, Ayah Hardi tahu bahwa ia tak pernah benar-benar punya kuasa. Bahkan haknya sebagai seorang suami, untuk membawa istri dan anaknya ke rumah mereka sendiri, telah dicabut oleh Mbok Mis.

Makin lama, makin jelas.

Ia hanya nama di atas kertas.

Bahkan setelah Seila lahir, keadaan tak banyak berubah. Ia ingin membesarkan putrinya dengan cara yang berbeda, ingin Seila tumbuh dengan lebih banyak kebebasan daripada yang dimiliki ibunya. Tapi sekali lagi, Mbok Mis selalu lebih lantang, lebih kuat.

“Anak perempuan itu harus bisa kerja! Nggak usah banyak tanya!”

“Jangan banyak main di luar! Perempuan nggak pantas keluyuran!”

“Seila harus nurut! Nanti kalau bandel, susah dapat suami!”

Dan Ayah Hardi? Ia hanya diam.

Seiring waktu, ia mulai melihat perubahan di Seila. Gadis kecilnya yang dulu menurut mulai memberontak. Seila tumbuh dengan mata penuh perlawanan, dengan mulut yang tak ragu berbicara, dengan tangan yang tak mau diam saat melihat ketidakadilan.

Ia tahu, semua itu terjadi karena dirinya.

Karena ia gagal.

Ia gagal menjadi seorang ayah yang bisa melindungi anaknya dari aturan rumah yang menyesakkan ini. Ia gagal menjadi seorang suami yang bisa membawa istrinya keluar dari cengkeraman ibunya sendiri. Ia gagal menjadi seorang laki-laki yang bisa berdiri tegak di rumahnya sendiri.

Dan kini, Seila sudah terlalu jauh.

Ia bisa melihatnya di mata gadis itu. Mata yang sama seperti miliknya dulu—penuh harapan dan keinginan untuk bebas—tapi dengan sesuatu yang lebih.

Keberanian.

Seila bukan lagi gadis kecil yang bisa dibentuk seenaknya oleh aturan rumah ini. Ia bukan lagi anak perempuan yang bisa dib**gkam oleh omelan dan ancaman Mbok Mis.

Tapi justru itu yang membuat Ayah Hardi semakin takut.

Ia melihat Seila seperti melihat dirinya yang gagal.

Ia dulu ingin melawan, tapi memilih menyerah. Seila tidak akan menyerah, dan itu berarti hidupnya akan jauh lebih sulit.

Ia ingin mengatakan sesuatu, ingin memperingatkan Seila, ingin memintanya berhenti melawan sebelum terlambat.

Tapi lidahnya terasa kelu.

Karena di dalam lubuk hatinya, ia tahu…

Seila hanya melakukan apa yang dulu seharusnya ia lakukan.

Dan Saat ini..

Ayah Hardi duduk di teras dengan wajah muram. Tangannya menggenggam cangkir kopi yang isinya sudah dingin sejak tadi, sementara matanya menatap kosong ke halaman rumah.

Di dalam rumah, suara Mbok Mis terdengar nyaring, memberi perintah ke sana kemari. "Ratna, mana anak anakmu suruh mereka menyapu halaman! Jeni, masak yang banyak, sebentar lagi banyak tamu datang ke rumah ini! Seila, jangan cuma berdiri di situ, bantu ibumu!"

Judul : SEILA
Penulis : Meinawati N
KBM APP

Baca Selengkapnya di KBM APP

https://read.kbm.id/book/read/d51f527e-64f0-4fad-842b-865cddfcbf2c/b050a1b2-557d-45d6-8e7a-6fce20f97355





Mbak Dina menyodorkan selembar kertas putih itu padaku. “Disini jelas tertulis nama Ihsan Kusuma sebagai ayah dari janin...
17/07/2025

Mbak Dina menyodorkan selembar kertas putih itu padaku. “Disini jelas tertulis nama Ihsan Kusuma sebagai ayah dari janin ini dan Rania Aprilia sebagai wanita yang sedang mengandung janin ini.”

DEG!

Tubuhku rasanya lemas tak bertenaga. Kakiku seperti tak berpijak. Ketika hidupku dirundung rasa bersalah pada mas Ihsan karena aku yang sudah tidur dengan laki-laki lain, rupanya takdir k ej am malah semakin mempermainkanku.

Mas ihsan, suamiku dan Mbak Rania, kakak iparku. Mereka ...

Suami yang sudah mati-matian aku perjuangkan kehidupannya, sampai aku harus rela me njv al keh orm ata nku, tapi ternyata suamiku …

=====================


POV SERUNI.

Baru saja aku berdiri, tiba-tiba ada dua tangan kekar yang melingkar di pinggangku diikuti tubuh besar yang menempel di punggungku.

“Aku gak s**a diabaikan,” bisik Mas Bisma dengan nada rendah tapi penuh penekanan.

Aku terdiam, merasakan kehangatan tubuhnya yang begitu dekat, tapi hatiku dipenuhi kebingungan. Pikiranku melayang pada Mas Ihsan yang sedang berjuang pulih di rumah sakit, berharap untuk kembali menjalani pernikahan kami dengan bahagia.

Namun, di saat yang sama, aku juga merasakan tarikan em os i yang tak bisa kugambarkan dengan jelas terhadap Mas Bisma.

“Aku ... aku minta maaf, Mas,” jawabku pelan, berusaha untuk melepaskan diri dari pelukannya tanpa membuatnya marah.

Mas Bisma mempererat pelukannya. “Jangan minta maaf, Seruni. Aku cuma ingin tahu apa yang sebenarnya kamu rasakan. Kamu gak bisa terus-terusan mengabaikan perasaan kita berdua. Aku bisa merasakan tatapanmu yang dipenuhi cinta saat bersamaku.”

Aku menelan ludah, mencari kata-kata yang tepat. “Mas, aku ... aku bimbang. Mas Ihsan baru saja sadar, dan dia sangat membutuhkan aku. Aku gak bisa mengabaikan perasaan dan tanggung jawabku sebagai istrinya.”

“Jadi kamu mencintainya?” tanya Mas Bisma, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu yang intens.

Aku terdiam sejenak sebelum menjawab. Selama dua hari ini aku bahagia bersama mas Ihsan. Ditambah lagi kami sudah dua tahun berpacaran sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Tapi bibirku kelu untuk mengatakan kalau aku mencintai mas Ihsan di hadapan mas Bisma.

“Aku... aku gak tahu, Mas. Aku bingung dengan perasaanku sendiri.”

Dia menghela napas berat. “Seruni, aku tahu kamu punya rasa tanggung jawab terhadap suamimu. Tapi aku juga butuh kejujuranmu. Apa yang kamu rasakan terhadapku? Apakah ada sedikit saja perasaanmu untukku?”

Aku merasakan air mata menggenang di mataku. “Mas, aku sungguh gak bisa menjawab pertanyaanmu. Mas tahu kalau aku udah nikah sama mas Ihsan. Aku gak bisa mengabaikan ikatan suci pernikahanku dengan Mas Ihsan. Aku... aku merasa terjebak di antara dua dunia yang berbeda.”

Mas Bisma memutar tubuhku hingga aku menghadapnya. Dia menatap dalam ke mataku, mencari kebenaran di dalamnya. “Seruni, aku hanya ingin kamu jujur. Kalau kamu merasa sesuatu untukku, aku akan menunggu. Bahkan kalau perlu aku akan merebutmu dari Ihsan. Tapi kalau tidak, aku akan pergi dan tidak akan mengganggumu lagi.”

Aku menunduk, tak sanggup menatap matanya. Tubuhku lemas mendengarnya akan pergi meninggalkanku. Perasaanku benar-benar campur aduk saat ini.

Dia mengangkat daguku dengan lembut, memaksa aku untuk menatapnya. “Maafkan aku yang terus memaksamu. Aku terlalu naif karena terbawa perasaanku sendiri. Seperti yang kamu tahu, aku sangat mencintaimu.”

Aku mengangguk pelan, air mata akhirnya jatuh dari sudut mataku. “Maafkan aku juga, Mas. Aku akan mencoba untuk mencari jawabannya.”

Mas Bisma melepaskan pelukannya dan melangkah mundur. “Aku akan pergi ke Singapura untuk beberapa waktu. Gunakan waktu ini untuk berpikir. Ketika aku kembali, aku berharap kamu sudah menemukan jawabannya.”

Aku hanya bisa mengangguk, merasakan campuran perasaan lega dan ketakutan. Setelah itu, aku mengambil alat-alat kebersihan lalu berjalan keluar dari kamar mas Bisma tanpa berkata apa-apa lagi.

Aku duduk di kursi kayu yang ada di dapur, mencoba mengatur napas dan mengumpulkan pikiranku. Kejadian dengan Mas Bisma barusan meninggalkan jejak yang dalam di hatiku.

Aku harus mencari cara untuk menghadapi perasaan ini dan membuat keputusan yang tepat, baik untuk diriku sendiri maupun untuk Mas Ihsan.

Saat jam menunjukkan angka dua siang, aku yang sedang menggosok baju-baju, segera menghentikan kegiatanku. Aku segera pamit pada Bu Ambar. Saat ini mas Bisma sudah tidak ada. Tadi siang selepas makan siang dia berangkat lagi ke Singapura.

Pikiranku selama ini tentang mas Bisma yang urakan, kerjanya hanya leha-leha, nongkrong gak jelas dengan teman-temannya sambil m ab vk dan s**a menghambur-hamburkan v an g orang tuanya seketika sirna. Meskipun aku belum tahu dengan segala kegiatannya di Singapura seperti apa.

Ketika aku kembali ke rumah sakit, Mas Ihsan sedang berbicara dengan seorang perawat. Wajahnya tampak lebih cerah, dan aku merasakan kelegaan melihatnya semakin pulih. Aku duduk di sampingnya, menggenggam tangannya.

Aku duduk di samping Mas Ihsan, menggenggam tangannya. Senyumannya menenangkanku, dan aku merasa sedikit lega melihatnya semakin pulih.

“Gimana hari ini, Mas? Ada perkembangan?” tanyaku sambil mengusap lembut tangannya.

“Lumayan, Run. Badanku masih lemas, tapi lebih baik dari kemarin,” jawabnya sambil tersenyum.

“Aku senang dengar itu, Mas,” ucapku dengan penuh keyakinan.

Mas Ihsan mengangguk, tapi tatapannya berubah serius. “Run, kamu juga harus jaga kesehatanmu. Jangan terlalu lelah. Aku gak mau kamu sakit karena terus-terusan mengurus aku.”

Aku tersenyum, berusaha menenangkan dirinya. “Aku baik-baik saja, Mas. Jangan khawatir. Yang penting sekarang Mas harus fokus pada pemulihan.”

Sejak aku masuk tadi, Bu Minten sudah ada di dalam ruangan. Wajahnya keras dengan tatapan yang menatapku dengan kebencian mendalam. Entah apa alasannya bisa sebenci itu padaku.

Mas Ihsan yang menyadari tatapan b enc i ibunya padaku langsung menyentuh lengan ibunya. Bu, jangan gitu d**g lihatnya sama Seruni. Dia pasti gak nyaman.”

“Ibu hanya ingin memastikan bahwa dia benar-benar istri yang baik buatmu, Ihsan. Kamu itu anakku satu-satunya yang masih hidup. Ibu gak mau ada yang terjadi lagi sama kamu.”

Rasanya aku ingin tertawa terbahak-bahak. Kurang baik apalagi aku sama mas Ihsan sampai rela me nj val keh orm ata nku meski akhirnya aku pun terjebak dalam perasaan yang membingungkan.

Aku mengangguk pelan, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. Aku tahu bahwa aku harus kuat, tidak hanya untuk Mas Ihsan tetapi juga untuk diriku sendiri.

Sore harinya, ketika Mas Ihsan sedang tidur, aku teringat janjiku dengan Mbak Dina. Seharusnya pertemuan kami terjadi saat mas Ihsan masih koma, tapi mbak Dina sendiri yang membatalkannya karena ada kerjaan mendadak.

Aku harus bertemu dengannya untuk mendapatkan informasi lebih lanjut tentang foto USG yang kutemukan dibawah tumpukan baju suamiku. Dengan berat hati, aku meninggalkan rumah sakit sejenak, memastikan perawat akan mengawasi Mas Ihsan selama aku pergi.

Di kafe, Mbak Dina sudah menungguku. "Seruni, maaf ya soal pembatalan janji temu kita waktu itu," katanya sambil tersenyum.

“Gak apa-apa, Mbak. Santai ajalah. Mbak mau bantu aku pun meski sangat beresiko, itu sudah untung banget buat aku,” ucapku.

Mbak Dina tersenyum manis. “Amplop dariku waktu dibawa kan?”

“Dibawa, Mbak.” Aku menyodorkan amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya terdapat dokumen yang menunjukkan bahwa foto USG itu milik seorang wanita.

Kulihat mbak Dian merobek amplop itu dan mengeluarkan isinya, lalu membukanya. Detak jantungku langsung meningkat, penasaran dengan isi surat pemeriksaan itu.

“Setelah aku telusuri dari komputer rumah sakit, aku menemukan data-data kalau ini foto USG ini dicetak 7 bulan yang lalu,” katanya tanpa melihat ke arahku.

“Terus USG itu punya siapa, Mbak?” tanyaku dengan debar jantung yang semakin menggila.

Mbak Dina menatap ragu padaku. “Kamu yakin mau tahu, Run?”

“Yakin, Mbak. Kalau aku gak yakin, aku gak bakal minta tolong sama kamu, Mbak.” Selain jantungku yang berdebar tak karuan, nafasku juga seolah tengah berlomba.

Mbak Dina menyodorkan selembar kertas putih itu padaku. “Disini jelas tertulis nama Ihsan Kusuma sebagai ayah dari janin ini dan Rania Aprilia sebagai wanita yang sedang mengandung janin ini.”

DEG!

Tubuhku rasanya lemas tak bertenaga. Kakiku seperti tak berpijak. Ketika hidupku dirundung rasa bersalah pada mas Ihsan karena aku yang sudah tidur dengan laki-laki lain, rupanya takdir k ej am malah semakin mempermainkanku.

Mas ihsan, suamiku dan Mbak Rania, kakak iparku. Mereka ...

Suami yang sudah mati-matian aku perjuangkan kehidupannya, sampai aku harus rela me njv al keh orm ata nku, tapi ternyata suamiku …

‘Ya Allah … Aku tak sanggup lagi membayangkannya. Aku … aku ….’ ucapku dalam hati.

Mbak Dina menghampiriku. “Seruni, kamu baik-baik saja?”

Aku menganggukkan kepalaku. “Aku ….”

Seketika dunia yang kulihat berputar, lalu gelap mengikuti.

***

Aku terbangun saat indra penciumanku mengendus bau obat-obatan yang mendominasi. Rupanya aku sudah berada di rumah sakit. Aku merasakan tangan hangat memegang tanganku. Kulihat wajah Mbak Dina yang penuh kekhawatiran.

“Seruni, kamu pingsan tadi. Aku langsung membawamu ke sini,” kata Mbak Dina sambil menatapku dengan cemas.

Aku hanya bisa mengangguk, meski kepalaku masih berdenyut hebat. Rasanya seperti dunia sedang menghancurkanku perlahan, seolah setiap keping harapanku diputarbalikkan oleh nasib yang k ej am. Air mata mulai mengalir tanpa bisa kuhentikan, seperti bendungan yang jebol setelah menahan beban air terlalu lama.

Aku lalu menangis tersedu-sedu. “Aku merasa hidupku h an cvr, Mbak,” ucapku dengan suara serak. “Aku sudah berusaha sekuat tenaga, aku bahkan mengorbankan diriku... tapi ternyata, Mas Ihsan... dia yang lebih dulu mengkhianatiku.”

Tangisku semakin menjadi, terasa seperti badai yang mengguncang hatiku tanpa henti. Mbak Dina mencoba menenangkanku, tapi aku hanya bisa menangis tersedu-sedu, merasakan sakit yang tak terperi di dalam dadaku.

Rasanya seperti ada ribuan pisau yang menusuk setiap sudut hatiku, mengoyak setiap harapan dan impian yang pernah kubangun.

Aku merasa tak berdaya, seolah aku hanyalah daun yang terombang-ambing di tengah badai yang tak kunjung reda. Setiap tetes air mata yang jatuh, membawa serta kepingan-kepingan hatiku yang r em vk.

“Seruni, yang sabar ya. Aku akan selalu ada di sini untukmu. Jangan merasa sendirian,” bisik Mbak Dina sambil memelukku erat. Pelukannya hangat, tapi tak mampu menghapus luka dalam hatiku yang terasa seperti jurang tak berdasar.

“Bagaimana mungkin aku bisa menghadapi ini, Mbak? Aku merasa dikhianati, ditinggalkan. Semua pengorbananku sia-sia,” ucapku dengan suara terisak, mataku tak henti-hentinya mengalirkan air mata.

Aku merasa seperti perahu yang kehilangan arah di tengah lautan luas. Semua yang kukira nyata, ternyata hanyalah bayangan semu yang menghancurkan kenyataan. Rasanya seperti terjebak dalam mimpi b vr vk yang tak pernah usai, setiap detik terasa seperti siksaan yang tak kunjung berhenti.

Mbak Dina mengusap rambutku lembut, mencoba memberikan ketenangan di tengah badai yang melanda hatiku. “Kamu kuat, Seruni. Kamu bisa melewati ini. Aku percaya padamu.”

Kata-katanya seolah menjadi setitik cahaya di tengah kegelapan yang mencekam. Aku tahu, meski p er ih dan l vka ini begitu dalam, aku harus bangkit. Aku harus menemukan kekuatan untuk menghadapi kenyataan p ah it ini.

Dengan napas yang masih tersengal dan hati yang r em vk redam, aku mencoba mengumpulkan sisa-sisa keberanianku. Meski dunia terasa hancur di sekelilingku, aku tahu bahwa aku harus bangkit dan melawan. Demi diriku sendiri, demi masa depanku.


Aku menggenggam tangan Mbak Dina erat-erat. “Terima kasih, Mbak. Aku akan berusaha kuat. Aku harus bangkit dari ket erp vr vkan ini.”

Judul: TAMAT || Terpaksa Menj val Keh orm atan
Penulis: Alana Wulan
Platform: KBM APP

YUK BACA MARATON DARI BAB 1 SAMPAI TAMAT HANYA DI KBM ATAU KLIK L IN K DI KOLOM KOMENTAR

Address

Surabaya

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when NengSyantik posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share