
15/09/2025
Judul : SEILA
Penulis : Meinawati N
Malam itu, setelah telepon dari ibunya, Seila tak langsung tidur. Ia duduk di atas kasur tipisnya, menatap ponsel yang kini diam tanpa getaran. Pikirannya berputar-putar, mengingat semua yang telah ia lalui. Ia bisa saja pulang, kembali ke rumah, dan menyerah pada nasib. Tapi apa gunanya?
Ia sudah memilih jalannya.
Ia menghela napas panjang dan mengambil selembar kertas lusuh dari dalam tasnya—brosur tempat kursus yang ia simpan sejak pertama kali tiba di kota. Paket C, pendidikan kesetaraan SMA. Biaya pendaftarannya tertulis jelas di sudut bawah. Angka yang tak kecil, tapi juga tak mustahil untuk dia kumpulkan.
"Aku harus sekolah lagi. Karena itulah gerbang awal menuju puncak kesuksesanku nanti" batin Seila
Ia meremas kertas itu di genggamannya, lalu matanya menatap nanar pada tumpukan uang receh yang berhasil ia kumpulkan selama bekerja dikota. Belum cukup, bahkan sangat Jauh dari kata cukup. Tapi bukan berarti ia tak bisa mewujudkannya, karena keyakinan Seila sekuat baja.
"Besok, aku harus bekerja lebih keras lagi. Semangat Seila semua demi cita cita" ucap Seila menyemangati diri sendiri.
Hari-hari Seila makin padat merayap. Tidak ada waktu istirahat, bahkan dia tidak mengijinkan dirinya sendiri untuk istirahat.
Pagi hingga siang ia bekerja di warung Bu Sarti, melayani pelanggan, mencuci piring, menyapu lantai. Malamnya, ia berlari ke kios Pak Darto, mengangkat galon, menyusun barang, menyapu lantai yang tak pernah benar-benar bersih. Ia bahkan mulai mencari pekerjaan tambahan di akhir pekan—kadang mencuci baju untuk tetangga kos, kadang menjadi tenaga bantu di acara hajatan.
Tubuhnya makin kurus, matanya semakin cekung, tapi semangatnya tetap menyala.
Suatu malam, saat sedang menyusun kardus di kios, Pak Darto memperhatikannya, miris melihat gadis semudah Seila yang bekerja melebihi kapasitasnya, tapi juga sangat salut dengan semangat kerja nya yang luar biasa.
"Kamu nggak capek, Seil?" tanyanya, suaranya lebih lembut dari biasanya yng seperti kenek angkot mencari penumpang.
Seila tersenyum kecil. "Capek, Pak. Tapi saya harus nabung buat sekolah."
Pak Darto mengangguk pelan penuh kekaguman. "Keras juga hidupmu, ya."
"Semua orang juga punya hidup yang keras, Pak. Saya cuma nggak mau kalah."
Pak Darto terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kalau kamu butuh kerjaan tambahan, aku ada kenalan di kafe. Mereka butuh pelayan part-time. Mau coba?"
Mata Seila langsung berbinar. "Mau, Pak! Terima kasih!"
Keesokan harinya, Seila langsung pergi ke kafe yang dimaksud. Tempatnya lebih modern dibanding warung Bu Sarti atau kios Pak Darto. Musik mengalun pelan, aroma kopi memenuhi udara. Ia bertemu dengan seorang pria muda bernama Adrian, manajer kafe itu.
"Kamu pernah kerja di tempat seperti ini?" tanya Adrian sambil mengamati Seila dari ujung kepala sampai kaki.
Seila menggeleng sambil menjawab cepat dan tegas "Belum, Mas. Tapi saya cepat belajar."
Adrian menatapnya lama, lalu mengangguk. "Oke. Satu minggu percobaan. Kalau kamu bisa kerja bagus, kamu lanjut."
Dan begitu lah, Seila menambah satu pekerjaan lagi dalam hidupnya.
Pagi hingga siang di warung.
Malam di kios.
Akhir pekan di kafe.
Tubuhnya mulai memberi perlawanan—kadang pusing, kadang gemetar, tapi ia tak peduli.
Lalu akhirnya, pada suatu malam yang sunyi, ia menghitung tabungannya dan menyadari sesuatu.
Cukup. Senyum tercetak jelas diwajah cantiknya yang mulai kusam. Senyum penuh kebanggaan pada dirinya sendiri. Senyum penuh kemenangan akan kerja kerasnya selama berbulan bulan dikota Surabaya.
Setelah berbulan-bulan bekerja tanpa henti, uangnya akhirnya cukup untuk mendaftar Paket C.
Malam itu, ia menangis untuk pertama kalinya sejak lama. Tapi kali ini, bukan karena kesedihan tapi karena kemenangan akan dirinya sendiri, akan pencapaian nya sendiri.
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah :
https://read.kbm.id/book/read/d51f527e-64f0-4fad-842b-865cddfcbf2c/e3b273eb-5955-4809-a03c-b7be21c2ea63