05/08/2025
Michael Clark Rockefeller, putra Gubernur New York Nelson Rockefeller, menghilang pada 19 November 1961 di wilayah Asmat, Papua Barat (saat itu masih koloni Belanda) ketika mengumpulkan seni ukir untuk Museum of Primitive Art milik keluarganya. Perjalanan bersama antropolog René Wassing menggunakan katamaran berakhir tragis ketika perahu terbalik akibat arus dan ombak besar di muara Sungai Betsj. Dua pendamping lokal berhasil berenang ke darat untuk mencari bantuan, sementara Rockefeller dan Wassing bertahan di perahu terbalik selama berjam-jam. Pada sore hari, Rockefeller memutuskan berenang menuju pantai dengan bantuan dua jerigen kosong sebagai pelampung, dan terlihat terakhir kali oleh Wassing sebagai tiga titik kecil di tengah laut. Setelah itu, ia menghilang tanpa jejak.
Pencarian besar-besaran dilakukan oleh pihak Belanda, dibantu Australia, menggunakan kapal, pesawat, dan helikopter. Selama dua minggu, hasilnya nihil. Pemerintah kolonial secara resmi menyatakan Rockefeller kemungkinan besar tenggelam, dan ia dinyatakan meninggal secara hukum pada 1964. Namun, sejak hari pertama, desas-desus lain berkembang di balik layar.
Sejumlah laporan misionaris dan catatan rahasia Belanda yang kemudian ditemukan menyebutkan bahwa Rockefeller mungkin berhasil mencapai pantai, tepat di wilayah desa Otsjanep yang memiliki sejarah berdarah dengan pemerintah kolonial. Pada 1958, pasukan Belanda pernah menembak mati sejumlah pria Otsjanep sebagai balasan atas pembunuhan seorang petugas polisi. Dalam budaya Asmat, praktik headhunting dan kanibalisme ritual masih hidup saat itu, bukan untuk sekadar makan, tetapi sebagai bagian dari ritus pembalasan dan pengambilan jiwa musuh. Teori ini menyatakan bahwa kedatangan Rockefeller, seorang pria kulit putih asing, dipandang sebagai kesempatan untuk menyeimbangkan kembali kehormatan suku. Laporan tersebut mengklaim ia dibunuh, kepalanya diambil, dan tubuhnya dimakan dalam ritual, dengan beberapa tulang dijadikan ujung tombak.
Jurnalis Milt Machlin pada 1969 melakukan investigasi langsung ke Papua. Ia mendengar kesaksian yang menguatkan teori pembunuhan ritual, namun juga memicu spekulasi baru ketika membawa p**ang rekaman kabur yang menampilkan seorang pria kulit putih mendayung bersama anggota Asmat. Adegan itu memicu rumor bahwa Rockefeller masih hidup dan memilih tinggal di pedalaman. Foto tersebut kemudian dianalisis dan dinilai tidak meyakinkan; kemungkinan pria itu hanyalah misionaris atau turis. Machlin sendiri menolak teori “hidup bersama suku” dan cenderung percaya Rockefeller dibunuh segera setelah mencapai pantai.
Seiring waktu, kasus ini melahirkan berbagai teori konspirasi. Sebagian meyakini pemerintah Belanda sengaja menyembunyikan kebenaran untuk menghindari skandal internasional di tengah ketegangan politik dengan Indonesia, yang saat itu bersaing memperebutkan Papua. Pengakuan bahwa pewaris keluarga Rockefeller menjadi korban kanibalisme bisa menghancurkan citra Belanda dan mengundang kemarahan Amerika. Teori lain menuduh bahwa Rockefeller menjadi korban permainan bisnis atau politik yang melibatkan keluarga besarnya, di mana kedekatannya dengan masyarakat lokal dianggap berpotensi mengganggu agenda ekonomi di wilayah tersebut. Ada p**a spekulasi bahwa ia ditangkap dan diperbudak oleh kelompok pedalaman atau jaringan perdagangan manusia di perbatasan Papua–Papua Nugini, meski tidak ada bukti konkret.
Beberapa versi bahkan menuding kalangan gereja atau misionaris mengetahui keberadaan Rockefeller setelah ia selamat, namun memilih menutupinya untuk melindungi privasi atau reputasi institusi. Dalam versi ini, ia diyakini mungkin bertahan hidup selama bertahun-tahun di pedalaman, namun sengaja dijauhkan dari dunia luar.
Hingga kini, kematian Michael Rockefeller tetap menjadi misteri. Tidak ada jasad, pakaian, atau barang pribadinya yang ditemukan secara meyakinkan. Bukti paling dekat dengan kebenaran adalah gabungan kesaksian lisan, arsip rahasia, dan rumor yang tidak pernah diverifikasi secara ilmiah. Bagi sebagian orang, ia adalah korban arus laut yang ganas; bagi yang lain, ia adalah simbol rahasia kelam hubungan antara dunia Barat dan masyarakat adat di ujung bumi. Kasus ini terus menjadi bahan perdebatan, menyisakan pertanyaan apakah kebenaran sebenarnya terkubur di dasar laut, tersembunyi di hutan rawa Asmat, atau dikunci rapat di lemari arsip pemerintah.