28/11/2025
“Apa, Bu?! Anggap nggak pernah terjadi apa-apa?! Bu … dia hamil, Bu! Dia fitnah istri aku! Dia bikin rumah ini rusuh! Terus Ibu mau pura-pura nggak terjadi apa-apa?!”
Bu Nini mulai gagap.
“Dia itu adikmu perempuan satu-satunya, Rusdi! Jangan sakiti dia! Biar Ibu urus ini, biar Ibu yang cari jalan keluarnya! Jangan bikin malu keluarga!”
Rusdi menepis tangan ibunya, napasnya memburu.
“Malu? Malu sama siapa, Bu? Sama tetangga? Sama orang kampung?! Lha yang seharusnya paling malu itu aku, Bu! ... aku! Aku yang udah nuduh Ratna yang nggak-nggak! Aku malah nyalahin dia, padahal dia benar! Dia nggak salah, Bu!"
Aku berdiri di sana. Tak perlu berkata apa-apa lagi.
Karena semua kata-kata sudah diucapkan oleh kebodohan mereka sendiri.
Aku menatap Rusdi, Bu Nini, Lala … satu per satu.
Lalu kutarik napas dalam-dalam.
“Sudah cukup. Kalian habiskan saja panggung kalian di sini. Aku sudah selesai jadi penonton. Dan aku sudah selesai juga jadi boneka yang kalian mainkan seenaknya.”
Aku bersiap, merebus air untuk masak mi. Tak kuperdulikan perdebatan mereka. Habis makan siang, aku ingin tidur. Rasanya kepala ini berat sekali. Terlalu banyak yang di pikirkan. Mungkin, bila bukan ciptaan Tuhan, kepala ini pasti sudah lobet.
"Mak," panggil Rian, ia sudah siap dengan kaos oblong dan celana pendek. "Mamak berantem sama Bapak? Mamak di keroyok? Nenek dan Bibi,---"
"Nggak, Nak," potongku cepat. "Sudah salinnya? Gih beli mi, nanti airnya keburu mendidih," titahku.
"Mak," Rian mendekat dan menatap wajahku dalam. "Kita jadi pindah?" lanjutnya bertanya.
"Stttttt, nanti ada yang nguping."
Kutarik Rian agar tubuhnya mendekat. Kupeluk dia erat-erat, dan kuhirup wangi rambutnya yang mulai bau matahari karena pulang sekolah tadi. Sedangkan si Arkana, dia kutidurkan di ayunan.
"Besok Mamak jemput kamu di sekolah. Bawa barang yang sekiranya penting. Buku catatan pelajaran, kalau baju ... tidak usah. Biar Mamak belikan lagi."
Aku bicara pelan, sangat hati-hati. Karena kupastikan, tak boleh ada satu pun telinga di rumah ini yang mendengar rencana kami.
Rian menatapku, matanya mulai berkaca-kaca. Ia anak baik. Ia paham betul ... ini bukan ucapan ibu yang sedang bercanda.
"Maksud Mamak ... kita jadi ...."
Sebelum kata itu selesai keluar dari mulutnya, aku langsung mengangkat telunjuk, dan menempelkannya di bibir mungilnya.
"Ssstt ... jangan diucapkan, Nak. Jangan dibilang-bilang. Nanti ... kalau sudah waktunya, kamu akan tahu jawabannya."
Rian mengangguk, pelan. Tangannya menggenggam bajuku erat. Aku tahu, di dadanya kini berdebar hebat, tapi aku juga tahu, dia mengerti.
Dia anak lelaki, kecil, dan dia anak pintar yang di paksa dewasa oleh keadaan.
Aku usap rambutnya. "Besok ... kita mulai hidup baru, ya, Nak. Hidup yang lebih baik, di mana kamu bisa belajar dan tidur dengan nyaman. Insyaallah, Mamak janji."
Rian memelukku lebih erat. "Iya, Mak. Aku mau ikut Mamak. Aku nggak mau di sini kalau Mamak nggak ada."
Air mataku tumpah, tapi kutahan agar tak terdengar suara isak. "Bismillah, Ya Allah... kuatkan aku. Aku hanya seorang ibu yang menginginkan kenyamanan untuk anak-anaku."
🌻🌻🌻
Waktu berlalu, dan sore pun tiba. Langit mulai redup, udara sore begitu sejuk. Aku berdiri di depan cermin kecil, merapikan kerudungku.
Hari ini, aku tak berdandan apa-apa, hanya ingin tampil rapi. Karena yang kubawa, bukan wajah cantik ... tapi sebuah tekad yang sudah bulat.
Aku bersiap, membawa dompet karena beberapa berkas sudah kuserahkan pada Bu Hajjah, siang tadi. Langkahku pelan menuju teras. Kulihat, tiga beranak itu sedang duduk di ruang tamu, tapi mereka tak saling bicara. Rusdi asyik nyepin, Lala sibuk pada ponselnya, sedangkan mertuaku tersayang, tengah asyik bermain dengan Arkana.
“Mau ke mana, Na?”
Suara Rusdi terdengar datar, tapi ada gurat curiga di matanya. Barangkali ia masih memikirkan drama siang tadi. Atau mungkin ... pikirannya masih di racuni oleh ibunya.
Aku menatapnya sekilas. Tatapanku dingin. “Ke warung. Besok aku pergi ke kota untuk pelatihan. Aku harap kamu jangan curiga dan berpikir yang aneh-aneh.” Nada suaraku datar, dan cukup membuatnya jadi terdiam sejenak.
Di samping itu, Bu Nini dan Lala, seperti patung dengan muka angkuh. Mereka langsung menatapku penuh curiga, seolah-olah aku ini maling yang mau bawa kabur perhiasannya.
Padahal siang tadi aku sudah menelanjangi kebohongan mereka di depan mata Rusdi sendiri, tapi ya begitulah ... muka tembok memang begitu.
Susah sekali sadarnya. Susah sekali merasa bersalah.
Bu Nini melirikku, tatapannya tajam. “Jangan-jangan bukan ke warung, tapi ke tempat lain? Jangan bilang besok pelatihan, padahal ngumpet di rumah laki-laki?”
Aku menoleh pelan. Kulepaskan napas lewat hidung dan tersenyum tipis.
“Saya mau ke warung, Bu. Bukan melalang-buana menjajahkan diri ke pria hidung belang."
Lala mendengus, pura-pura main HP. Sedangkan Rusdi hanya diam. Entah dia malu, atau takut menambah panjang masalah.
Aku melangkah keluar, tanpa menghiraukan tatapan sinis dan ucapan mereka.
"Bismillah … sebentar lagi, rumah ini hanya akan jadi masa lalu."
🔥 To be continued
Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Judul : Hukuman Untuk Keluarga Suami
Penulis : Perarenita