Novel Senja

Novel Senja berbagai novel seru hadir di sini

“Apa, Bu?! Anggap nggak pernah terjadi apa-apa?! Bu … dia hamil, Bu! Dia fitnah istri aku! Dia bikin rumah ini rusuh! Te...
28/11/2025

“Apa, Bu?! Anggap nggak pernah terjadi apa-apa?! Bu … dia hamil, Bu! Dia fitnah istri aku! Dia bikin rumah ini rusuh! Terus Ibu mau pura-pura nggak terjadi apa-apa?!”

Bu Nini mulai gagap.

“Dia itu adikmu perempuan satu-satunya, Rusdi! Jangan sakiti dia! Biar Ibu urus ini, biar Ibu yang cari jalan keluarnya! Jangan bikin malu keluarga!”

Rusdi menepis tangan ibunya, napasnya memburu.

“Malu? Malu sama siapa, Bu? Sama tetangga? Sama orang kampung?! Lha yang seharusnya paling malu itu aku, Bu! ... aku! Aku yang udah nuduh Ratna yang nggak-nggak! Aku malah nyalahin dia, padahal dia benar! Dia nggak salah, Bu!"

Aku berdiri di sana. Tak perlu berkata apa-apa lagi.
Karena semua kata-kata sudah diucapkan oleh kebodohan mereka sendiri.

Aku menatap Rusdi, Bu Nini, Lala … satu per satu.
Lalu kutarik napas dalam-dalam.

“Sudah cukup. Kalian habiskan saja panggung kalian di sini. Aku sudah selesai jadi penonton. Dan aku sudah selesai juga jadi boneka yang kalian mainkan seenaknya.”

Aku bersiap, merebus air untuk masak mi. Tak kuperdulikan perdebatan mereka. Habis makan siang, aku ingin tidur. Rasanya kepala ini berat sekali. Terlalu banyak yang di pikirkan. Mungkin, bila bukan ciptaan Tuhan, kepala ini pasti sudah lobet.

"Mak," panggil Rian, ia sudah siap dengan kaos oblong dan celana pendek. "Mamak berantem sama Bapak? Mamak di keroyok? Nenek dan Bibi,---"

"Nggak, Nak," potongku cepat. "Sudah salinnya? Gih beli mi, nanti airnya keburu mendidih," titahku.

"Mak," Rian mendekat dan menatap wajahku dalam. "Kita jadi pindah?" lanjutnya bertanya.

"Stttttt, nanti ada yang nguping."

Kutarik Rian agar tubuhnya mendekat. Kupeluk dia erat-erat, dan kuhirup wangi rambutnya yang mulai bau matahari karena pulang sekolah tadi. Sedangkan si Arkana, dia kutidurkan di ayunan.

"Besok Mamak jemput kamu di sekolah. Bawa barang yang sekiranya penting. Buku catatan pelajaran, kalau baju ... tidak usah. Biar Mamak belikan lagi."

Aku bicara pelan, sangat hati-hati. Karena kupastikan, tak boleh ada satu pun telinga di rumah ini yang mendengar rencana kami.

Rian menatapku, matanya mulai berkaca-kaca. Ia anak baik. Ia paham betul ... ini bukan ucapan ibu yang sedang bercanda.

"Maksud Mamak ... kita jadi ...."

Sebelum kata itu selesai keluar dari mulutnya, aku langsung mengangkat telunjuk, dan menempelkannya di bibir mungilnya.

"Ssstt ... jangan diucapkan, Nak. Jangan dibilang-bilang. Nanti ... kalau sudah waktunya, kamu akan tahu jawabannya."

Rian mengangguk, pelan. Tangannya menggenggam bajuku erat. Aku tahu, di dadanya kini berdebar hebat, tapi aku juga tahu, dia mengerti.
Dia anak lelaki, kecil, dan dia anak pintar yang di paksa dewasa oleh keadaan.

Aku usap rambutnya. "Besok ... kita mulai hidup baru, ya, Nak. Hidup yang lebih baik, di mana kamu bisa belajar dan tidur dengan nyaman. Insyaallah, Mamak janji."

Rian memelukku lebih erat. "Iya, Mak. Aku mau ikut Mamak. Aku nggak mau di sini kalau Mamak nggak ada."

Air mataku tumpah, tapi kutahan agar tak terdengar suara isak. "Bismillah, Ya Allah... kuatkan aku. Aku hanya seorang ibu yang menginginkan kenyamanan untuk anak-anaku."

🌻🌻🌻

Waktu berlalu, dan sore pun tiba. Langit mulai redup, udara sore begitu sejuk. Aku berdiri di depan cermin kecil, merapikan kerudungku.

Hari ini, aku tak berdandan apa-apa, hanya ingin tampil rapi. Karena yang kubawa, bukan wajah cantik ... tapi sebuah tekad yang sudah bulat.

Aku bersiap, membawa dompet karena beberapa berkas sudah kuserahkan pada Bu Hajjah, siang tadi. Langkahku pelan menuju teras. Kulihat, tiga beranak itu sedang duduk di ruang tamu, tapi mereka tak saling bicara. Rusdi asyik nyepin, Lala sibuk pada ponselnya, sedangkan mertuaku tersayang, tengah asyik bermain dengan Arkana.

“Mau ke mana, Na?”

Suara Rusdi terdengar datar, tapi ada gurat curiga di matanya. Barangkali ia masih memikirkan drama siang tadi. Atau mungkin ... pikirannya masih di racuni oleh ibunya.

Aku menatapnya sekilas. Tatapanku dingin. “Ke warung. Besok aku pergi ke kota untuk pelatihan. Aku harap kamu jangan curiga dan berpikir yang aneh-aneh.” Nada suaraku datar, dan cukup membuatnya jadi terdiam sejenak.

Di samping itu, Bu Nini dan Lala, seperti patung dengan muka angkuh. Mereka langsung menatapku penuh curiga, seolah-olah aku ini maling yang mau bawa kabur perhiasannya.

Padahal siang tadi aku sudah menelanjangi kebohongan mereka di depan mata Rusdi sendiri, tapi ya begitulah ... muka tembok memang begitu.

Susah sekali sadarnya. Susah sekali merasa bersalah.

Bu Nini melirikku, tatapannya tajam. “Jangan-jangan bukan ke warung, tapi ke tempat lain? Jangan bilang besok pelatihan, padahal ngumpet di rumah laki-laki?”

Aku menoleh pelan. Kulepaskan napas lewat hidung dan tersenyum tipis.

“Saya mau ke warung, Bu. Bukan melalang-buana menjajahkan diri ke pria hidung belang."

Lala mendengus, pura-pura main HP. Sedangkan Rusdi hanya diam. Entah dia malu, atau takut menambah panjang masalah.

Aku melangkah keluar, tanpa menghiraukan tatapan sinis dan ucapan mereka.

"Bismillah … sebentar lagi, rumah ini hanya akan jadi masa lalu."

🔥 To be continued

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App
Judul : Hukuman Untuk Keluarga Suami
Penulis : Perarenita

Part 5Pagi itu, ruang rapat utama di lantai dua dipenuhi ke t e g a n gan. Seluruh jajaran karyawan mulai dari manajer h...
28/11/2025

Part 5

Pagi itu, ruang rapat utama di lantai dua dipenuhi ke t e g a n gan. Seluruh jajaran karyawan mulai dari manajer hingga office boy sudah duduk rapi di kursinya masing-masing. Pukul delapan tepat, suara langkah sepatu hak tinggi terdengar meng h e n t ak lantai marmer. Semua orang menoleh secara bersamaan ke arah sumber suara.

Rania masuk dengan penampilan elegan dan penuh wibawa. Blazer putih dengan inner satin hitam dan rok pensil senada membalut tu b u hnya, rambut disanggul rapi, ekspresinya datar tak menunjukkan emosi apa pun.

Di belakang Rania, seorang wanita muda berbusana profesional membawa tumpukan dokumen dan laptop, jelas bukan wajah yang dikenali semua orang, mungkin asisten pribadi Rania.

Mata Ibram mem b e l a lak saat melihat istrinya duduk di ujung meja, tepat di kursi pimpinan rapat, kursi yang selama ini ia duduki.

"Selamat pagi semuanya," ucap Rania tenang, sambil membuka map merah di hadapannya. Secara otomatis, semua yang hadir memperhatikan Rania.

“Terima kasih sudah hadir. Sesuai agenda, hari ini kita akan membahas hasil audit internal dan perubahan formasi kepemimpinan perusahaan untuk sementara.” lanjut Rania, dengan suara yang tenang.

Ibram berdeham, mencoba mengambil alih. “Rania, seharusnya aku...”

“Pak Ibram,” potong Rania cepat, nadanya d i n g i n namun tetap sopan. “Anda harus sadari bahwa saya adalah pemilik saham terbesar dari perusahaan ini. Saya mempunyai hak untuk mengambil alih kepemimpinan jika itu diperlukan. Jadi, izinkan saya memimpin rapat ini.”

Ruangan hening. Semua tatapan kini berpindah ke Ibram yang tampak kaku di kursinya.

Rania menatap s u a minya t a j a m, lalu membuka halaman pertama dari laporan audit. “Mari kita mulai dari laporan kas masuk dan keluar bulan Maret. Ada selisih 475 juta rupiah yang belum jelas alokasinya. Saya yakin semua dari kalian ingin tahu ke mana u a ng itu pergi.”

Ibram nampak tak nyaman. Beberapa karyawan saling melempar pandang, mereka tampak g u g up.

Rania melanjutkan, “Jangan khawatir. Saya tidak akan bertindak gegabah. Saya hanya ingin kejujuran dan transparansi.”

Selanjutnya, Rania me l e m p ar satu berkas ke tengah meja, tepat di hadapan Ibram. “Ini nota pembelian mobil baru senilai 2,1 miliar atas nama pribadi yang tidak ada kaitan dengan operasional perusahaan.”

Ibram me nye ka ke r i n g a tnya yang mulai mengalir. Tangannya ge me tar halus di bawah meja.

Rania menatap suaminya t a j am.

“Kamu bisa jelaskan ini, Mas?”

Ibram hendak membuka m u l ut untuk menjelaskan, namun belum sempat Ibram bicara, pintu ruang rapat terbuka.

Seorang satpam masuk, menunduk sopan, lalu berkata,

“Maaf mengganggu… ada tamu yang bersikeras ingin masuk, padahal saya sudah berusaha mencegahnya.”

"Siapa?" tanya Raina.

"Namanya Siska" ucap satpam berbadan gempal tersebut.

Ibram tampak me m b e ku mendengar nama Siska. Sementara itu, Rania hanya tersenyum kecil.

“Biarkan dia masuk,” ucapnya Rania. “Rasanya, waktunya tepat.”

Siska melangkah masuk dengan an g k u h, mengenakan dress merah me n y a la dan kacamata hitam besar yang ia l e p a s dengan gaya dra ma tis. Tatapannya menyapu seluruh ruangan dengan percaya diri, lalu berhenti pada Rania dan Ibram.

“Aku dengar ada rapat penting. Sayang banget aku nggak diajak, padahal aku adalah brand ambassador produk baru perusahaan ini” ucap Siska, diiringi senyum me n y e b a l kan.

Rania berdiri dari kursinya dengan tenang, lalu menyilangkan tangan di depan d a d a.

“Kebetulan, Siska. Kamu datang di waktu yang tepat. Karena setelah ini, saya memang ingin mengumumkan satu hal penting terkait posisi kamu di perusahaan ini.”

Siska tersenyum lebih lebar, ia sangat percaya diri bahwa Rania pasti akan memberikan jabatan strategis untuk dirinya.

Sementara itu, Ibram menunduk g u g up. Ia tahu kali ini i s t r i nya pasti akan membalas apa yang Siska lakukan tempo hari, karena berani datang ke rumahnya dan meng h i n a Rania.

“Silakan, Bu Rania. Saya yakin ini soal kerja sama kita sebagai brand ambassador, ya?” ucap Siska, seolah sudah menang sebelum p e r a ng dimulai.

"Ya, anda benar!" Ucap Rania, ia kemudian mengambil map yang sudah dipersiapkan untuk diberikan pada Siska.

Siska menerima map tersebut dengan tersenyum penuh ke me na ngan, sambil membuka map yang diberikan oleh Rania. Hatinya bersorak, dia pikir karena Rania akhirnya mengalah padanya.

“Itu adalah surat pembatalan kerja sama antara perusahaan kami dan Anda, atas pertimbangan profesionalisme dan integritas.” ucap Rania, sebelum Siska sempat membaca isi dokumen dalam map tersebut.

Siska ter b e l a lak. “Apa maksudmu?”

“Saya tidak pernah menyetujui penunjukan Anda sebagai brand ambassador,” lanjut Rania tenang. “Surat kontrak yang Anda tandatangani hanya ditandatangani sepihak oleh Pak Ibram, tanpa melalui prosedur legal dan keputusan direksi. Selain itu, citra Anda dinilai tidak sesuai dengan nilai dan misi perusahaan kami.”

Beberapa manajer dan staf yang hadir dalam rapat tersebut mulai berbisik-bisik pelan, suasana mulai berubah. Sekarang Siska yang berdiri mematung di tengah ruangan, seolah kehilangan harga dirinya.

Rania melangkah pelan mendekati Siska, menatapnya lurus, lalu berkata:

“Kami akan mencari sosok yang lebih profesional, berintegritas, dan mampu mewakili produk kami dengan benar. Bukan seseorang yang menyalahgunakan kedekatan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri.”

Siska ingin membalas, tapi mulutnya tak mampu mengeluarkan satu kata pun.

Rania berbalik, kembali ke tempat duduknya, lalu menekan remote presentasi yang langsung mengganti slide ke agenda berikutnya.

“Sekarang, mari kita lanjutkan ke agenda rapat utama hari ini.” ucap Rania penuh wibawa.

Satpam yang tadi mengantar Siska berdiri kembali di pintu. Dengan raut wajah p u c at, Siska akhirnya melangkah keluar, tanpa kata, tanpa sorotan glamor yang sebelumnya dia tunjukan.

“Saya ingin menyampaikan pengumuman penting lainnya yang sudah disetujui oleh para pemegang saham utama dan kuasa hukum perusahaan.” ucap Rania, sambil mengeluarkan dokumen akta perusahaan yang baru, lalu meletakanya di meja.

“Atas dugaan pe nye le we ngan da na dan pe nya lah gu naan kekuasaan, mulai hari ini, saya Rania Astari Darmawan, untuk sementara mengambil alih kepemimpinan perusahaan ini sebagai direktur utama. Jabatan ini berlaku efektif mulai hari ini sampai dengan keputusan pada rapat besar direksi dan komisaris yang akan dilakukan dua minggu ke depan”

Suara bisik-bisik kembali terdengar. Mata semua orang kini tertuju pada Ibram, yang wa j a hnya tampak p uc at dan te ga ng.

Beberapa orang sudah menduga hal ini akan terjadi, akibat kelakuan Ibram yang tidak amanah dalam memimpin perusahaan dan melakukan aff air dengan model se k si bernama Siska. Namun, beberapa lainya masih mempertanyakan apa alasan Rania melakukan hal tersebut.

“Pak Ibram Prasetya,” lanjut Rania, menoleh ke arah su a m i nya, “akan tetap bekerja di perusahaan ini sebagai staf senior pada divisi pemasaran. Jika Bapak keberatan dengan keputusan sementara ini, maka silahkan Bapak lakukan sang ga han dan pembelaan pada saat rapat dengan komisaris dan dewan direksi. Saya akan mengembalikan jabatan Bapak jika memang Bapak terbukti tak ber sa lah"

Ibram me nu n duk. Ia tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan. Ibram tak memiliki persiapan apa-apa untuk m e l a w an Rania saat ini.

Semua yang ia pikir bisa ia kendalikan, kini ru n t uh di depan matanya. Ia bahkan merasa dip e r m a l ukan oleh is t r i nya sendiri.

“Saya akan membawa perusahaan ini kembali ke jalurnya. Tanpa kon flik kepentingan, tanpa pe n y a l a h g u n a an kekuasaan. Saya harap semuanya bisa bekerja sama secara profesional.”

Ruangan kembali hening, lalu disusul tepuk tangan pelan dari salah satu anggota direksi. Tepuk tangan itu kemudian diikuti oleh yang lain, hingga akhirnya seluruh ruangan bergemuruh oleh apresiasi dan rasa hormat yang tulus untuk Rania.

***

Setelah rapat resmi ditutup, satu per satu karyawan yang mengikuti rapat mulai meninggalkan ruangan dengan suasana penuh bisik-bisik dan ekspresi takjub. Beberapa sempat menyalami Rania dengan senyum kagum, tapi Ibram tetap duduk terpaku di kursinya, tak berg e m ing.

“Rania, kamu tega melakukan ini pada s u a m imu sendiri?” suara itu keluar dari mulut Ibram saat semua orang telah meninggalkan ruang rapat. Pelan tapi t a j a m, penuh b a ra am arah yang ditahan.

Rania menoleh perlahan, menatap Ibram yang kini berdiri dari kursinya, rahangnya me n g e r as, ma tanya me n y a la, seolah siap untuk ber p e r ang melawan suaminya sendiri.

"Ya, aku siap me la wan siapapun yang telah meng h a n c u r kan kepercayaan dan perusahaanku!" Ucap Rania, t e g as.

Baca lanjutanya di KBM App
Judul : Aku Bukan Istri Lemah, Mas!
Penulis : Rinda Septiana

Hatiku hancvr kala mengetahui ba yiku dijadikan penge mis oleh mertua saat kutinggal pergi bekerja. Ternyata alasannya.....
27/11/2025

Hatiku hancvr kala mengetahui ba yiku dijadikan penge mis oleh mertua saat kutinggal pergi bekerja. Ternyata alasannya....
____________________________
Ba yiku Dijadikan Pengem is oleh Mertua(4)

Mata Keenan tajam seperti elang yang sedang mencari mang sa.

“Disana! Sekarang!” seru Keenan.

Perlahan mobil melaju, Fatimah sungguh terlihat ahli, ia terlihat tenang berusaha mendekatkan mobil sedekat mungkin dengan posisi Zara ditidurkan.

Hatiku semakin terasa tak karuan, degup jantungku berdetak lebih cepat. Keenan menyuruhku duduk di kursi paling belakang, sementara ia duduk di kursi tengah. Aku sungguh merasa sangat takut, takut terjadi sesuatu pada Keenan dan Zara.

Zebbb!

Mobil berhenti tepat di samping bahu jalan, kulihat dengan jelas Zara ditidurkan dekat tembok beton besar. Tak kurang dari 10 centimeter dari aspal. Zara an akku, tak terbayangkan olehku, selama dua minggu ini dia terpapar oleh matahari langsung, juga oleh debu jalanan. Da daku terasa sesak, air mata pun mulai berdasarkan ingin keluar kembali.

“Zara!” gumamku.

“Tenangkan dirimu,” ucap Keenan pelan.

Aku mengangguk pelan sambil menutup mulutku dengan tangan. Sayup-sayup terdengar Keenan bergumam.

“Bismillah,” gumam Keenan.

Kulihat ia mengangguk, kemudian dibalas anggukan oleh Fatimah. Mereka seperti sudah memiliki chemistry, apa mungkin selama ini mereka memiliki hubvngan? Huh, bukan saatnya aku memikirkan ini. Sekarang fokusku adalah Zara, Bismillah. Bantu kami, Ya Allah.

Perlahan Keenan membuka pintu mobil, jarak yang dekat, hanya dua langkah memudahkan pergerakan Keenan, ditambah tak ada yang mengawasi Zara, ia digeletakan seorang diri. Keenan bergegas menggend**g Zara. Lalu masuk kembali ke dalam mobil.

Bruk!

Mobil melesat dengan cepat bak Film action. Keenan berbalik, lalu menyerahkan Zara padaku. Zaraku, kesayanganku, kudekap erat tubuh mungilnya, kucivmi p**inya. Rasa haru bercampur bahagia, aku tak berhenti tersenyum walau air mata terus mende sak keluar dan membasahi p**i. Berulang kali ku seka tetapi tetap saja p**iku basah.

“Zara! Maafkan Bunda! Maaf!” ucapku lirih.

Kulihat tatapan Keenan pun sayu melihat kearahku, sesekali ia tertunduk.

“Terima kasih! Terimakasih Keenan, terima kasih Fatimah. Kalau tak ada kalian, aku tak tahu harus bagaimana. Terima kasih,” ucapku.

“Jangan bicara seperti itu, bukan karena kami. Tetapi karena Allah, semua ini tak akan terjadi tanpa Kehendak-Nya.

“Alhamdulillah, Alhamdulillahirobbilalamin,” ucapku penuh syukur.

Sungguh aku sangat bersyukur telah dipertemukan dengan orang-orang baik seperti Keenan dan Fatimah. Aku menyesal karena telah mar ah dan kesal pada Keenan, padahal dia ternyata baik. Caranya menyelesaikan masalah sungguh tenang dan berstrategi. Tatapannya meneduhkan, sentvhan pada Zara pun terlihat lembut, senyumnya…

Eh eh, kenapa aku jadi mengagumi Keenan. Astagfirullah, aku tak boleh seperti ini. Aku ini perempuan bersuami dan sudah memiliki an ak. Ini tak sepatutnya! Ampunilah aku, Ya Allah karena terlalu berlebihan.

“Mau kemana kita sekarang?” tanya Fatimah.

Degh!

Aku terhenyak, aku tak tahu harus membawa Zara kemana. Aku hanya bisa memeluk putri kecilku, aku tak mau membawanya pulang ke rumah lagi. Tapi harus kemana?

“Kenapa?” tanya Keenan.

“Sarah pasti tak tahu harus membawa Zara kemana,” jawab Fatimah.

Aku mengangguk pelan.

“Kenapa tak dibawa ke rumah orang tuamu saja,” celetuk Keenan.

“Aku malu.”

“Kenapa harus malu, mereka itu orang tuamu. Mereka harus tahu kondisimu yang sebenarnya, aku yakin mereka akan bahagia bisa dekat dengan cucunya, sekaligus merasa geram dengan kelakuan mertuamu,” ucap Keenan.

Ya, ucapan Keenan memang sangat benar, tetapi aku malu pada orang tuaku. Sejak awal, mereka tak setuju aku menikah dengan Bang Latif, entah karena apa, akupun tak pernah mencari tahu. Tetapi karena aku dulu memak sakan kehendakku, akhirnya mereka mengizinkan. Sejak saat itu hubungan kami menjadi renggang.

Aku jarang berkunjung, karena Bang Latif selalu melarang.

Saat melahirkan, aku memberi kabar pada mereka. Mereka sangat bahagia dan berjanji akan datang ke rumah sakit. Tetapi hingga saat ini, mereka tak kunjung datang. Entah karena apa? Itu pun aku tak mencari tahu. Apa mungkin karena aku ini anak durha ka, sehingga semua kemalangan ini menimpaku?

Aku menceritakan semua masalahku pada Keenan dan Fatimah. Sedih rasanya, disaat seperti ini, jauh dengan keluarga sendiri.

Keenan sekarang sudah kembali ke kursi kemudi, cukup lama kita berputar-putar hingga akhirnya mobil berhenti tepat di depan sebuah rumah berpagar kayu setinggi dua meter. Rumah yang sangat kurindukan.

Kulihat ia turun, kemudian memencet Bell. Tak lama terlihat pagar dibuka. Aku membe kap mulutku.

“Ibu!” ucapku lirih.

Entah apa yang mereka bicarakan, tak lama Keenan membawa ibu berjalan mendekati mobil kemudian mengetuk kacanya pelan.

Fatimah membuka kaca mobil.

Tatapan ibu, sungguh tak terlihat kemarahan sedikitpun. Matanya berembun sama seperti diriku, bi birnya bergetar, perlahan tangannya terulur.

“Mana cucu ibu?” ucap Ibu pelan.

Aku beringsut maju, kuraih tangannya, kucium khidmat.

“Maafkan Sarah, Bu! Maaf!” ucapku sambil berderai air mata.

Pintu dibuka, pelvkan yang selama ini kurindukan, pelvkan hangat nan menenangkan. Ibu mengusap lembut pucuk kepalaku, aku seperti kembali ke masa dulu, masa penuh kasih sayang.

Ibu mende kap erat tubvh Zara, senyumnya tiada memudar walau sesekali ia mengusap matanya. Ibu menuntunku masuk sambil sebelah tangannya menggend**g Zara.

Degh!

Aku menghentikan langkahku saat melihat seorang pria berkacamata keluar dari rumah. Ya itu ayahku, ayah yang selalu kubanggakan.

“Sarah pulang!” ucap Ibu bahagia.

Ayah masih mematung di pintu utama, kulihat matanya pun berembun menatapku. Aku berlari mencivm tangannya sambil berlutut.

“Maafkan Sarah, Ayah! Maaf!”

Ayah memegang bahuku, ia mengangguk dengan cepat. Sungguh besar hati kalian, disini aku sadar kalau orang tuaku sangat menyayangiku.

Mereka sangat bahagia dengan tangan terbuka menerima kedatanganku dan Zara. Hingga petang aku baru tersadar kalau aku harus kembali pulang ke rumah. Masalah perizinan kantor pun sudah diurus oleh Keenan karena aku tak kembali lagi ke kantor.

Aku yakin Zara ada di tangan yang tepat, kini saatnya aku mulai pembala san awal untuk mertuaku! Lihatlah, kalau selama ini ibu mertuaku bisa berpura-pura baik. Maka itu yang akan kulakukan.

Aku tiba di rumah tepat pukul lima sore, sama seperti biasanya. Rumah terlihat sepi, pintu pun tertutup rapat. Aku yakin ibu pasti sudah mengetahui tentang hilangnya putriku.

Perlahan kubuka pintu, ternyata benar. Tak ada siapapun di rumah. Tak menunggu lama, aku segera menghubungi nomor mertuaku. Panggilanku beberapa kali ditolak, aku yakin pasti dia sedang panik mencari Zara yang hil ang.

Tak mendapatkan jawaban dari ibu, aku segera menghubungi Bang Latif untuk menanyakan keberadaan ibu dan Zara.

“Bang! Ibu dan Zara kenapa tak ada dirumah?” tanyaku.

“Mana Abang tahu! Cari saja di lampu me…,” ucapan Bang Latif menggantung di udara.

“Dimana, Bang?” tanyaku memastikan.

“Sudahlah! Abang sedang bekerja, kamu cari saja sendiri!”

“Tapi dimana, Bang?”

Tut! Tut! Tut!

Panggilan diakhiri oleh Bang Latif.

Ada apa ini? Aku tak mungkin salah dengar, tadi Bang Latif seperti mengucapkan lampu merah. Apa sebenarnya Bang Latif mengetahui kejah atan ibu? Atau dia ikut berada dibalik semua ini?

Lanjut baca di KBM app yuk 🥰🥰
Judul: Ba yiku Dijadikan Pengem is oleh Mertua
Penulis: d2h_verluthver

https://read.kbm.id/book/detail/2dbf424f-6739-4e4d-a226-4fea7f89173f

Part 4"Mas, sebagai fee atas jasaku menjadi model produkmu yang akan launching, aku minta l i m a ra tus ju ta untuk tig...
27/11/2025

Part 4

"Mas, sebagai fee atas jasaku menjadi model produkmu yang akan launching, aku minta l i m a ra tus ju ta untuk tiga bulan pertama" ucap Siska, sambil ber ma nja di pan g k uan Ibram.

"Li ma ra tus juta i tu terlalu berlebihan sayang, brand yang akan diluncurkan masih baru, skala perusahaan ini juga masih kecil" ucap Ibram, ia kini tak mau gegabah menuruti semua permintaan Siska karena khawatir Rania mulai c u r iga.

"Mas, kamu tahu kan aku bukan wanita mu r a han. Aku juga butuh mobil baru yang lebih m e w ah, seperti masserati atau alphard" Siska semakin me r a juk.

"Aku tidak bisa lagi memenuhi keinginanmu yang terlalu berlebihan itu, Siska" Ibram berusaha memberi pengertian pada Siska.

Siska meng e r u cutkan b i b irnya kesal, lalu bangkit dari pang k u an Ibram dengan gerakan dramatis. Ia melipat tangan di dada dan menatap Ibram t a j am, tak lagi m a n ja, melainkan seperti a n a k ke cil yang tidak diberi mainan yang ia mau.

"Jadi sekarang kamu p e l it, Mas?" tukasnya sinis. "Waktu awal-awal kamu yang kejar-kejar aku, apa kamu lupa kamu janji akan memberikan apapun yang aku minta?"

Ibram menghela napas, g u s ar. Keringat mulai muncul di pelipisnya. Ia melirik sekilas ke pintu, seolah takut seseorang mendengar percakapan mereka.

"Siska, kamu harus ngerti… sekarang situasinya beda. Rania…" suara Ibram merendah, “…dia mulai c u r i ga."

Siska memutar bola m a t anya. “Jadi, kamu takut sama is tri mu yang mi s kin dan bo doh, itu?”

"Aku takut kehilangan semuanya, Siska!" Ibram akhirnya mem b e n tak pelan, nadanya penuh te k a nan.

"Mas, ist ri mis kinmu tak akan berani berbuat macam-macam. Buktinya, sampai saat ini dia masih diam padahal aku sudah menemuinya di rumahmu beberapa hari yang lalu" ucap Siska penuh percaya diri.

Wajah Ibram langsung berubah pucat saat mendengar ucapan Siska. Ia menegakkan tu b u hnya, matanya memb e l alak menatap pere m p uan yang kini berdiri di depannya dengan senyum p u a s.

"Apa kamu bilang?" suaranya nyaris bergetar. "Kamu… menemuinya? Di rumahku?!"

Siska hanya mengangkat alis, masih dengan senyum con g k aknya. “Iya, kenapa? Lagipula aku cuma datang sebentar. Aku kan ingin mengenal lebih dekat sosok wanita yang katanya sa ngat kamu c i n t ai itu.”

"Siska!" Ibram menahan suaranya agar tak memben tak, tetapi nada kemarahannya tak terbendung.

Ibram mendekati Siska, menatap perempuan muda itu dengan tatapan t a j a m. "Apa kamu g i l a?! Kamu tahu nggak kalau perbuatanmu itu bisa bikin semuanya ber a n t akan? Rania bukan perempuan bo doh. Kalau dia tahu lebih banyak, semua ini bisa berakhir bu ruk!"

"Sudahlah Mas, istrimu itu hanya perempuan bo doh dengan pen a m p ilan lu suh yang tak punya kekuatan apapun. Lihat saja, dengan penampilan lu suhnya, dia masih beharap c i n ta dan ke s e t i a anmu!" Siska tertawa, seolah menge jek keadaan Rania saat itu yang terlihat men y e dihkan.

Ibram me m i jit pel i p isnya dengan g e r am, tu b u hnya mulai gelisah mondar-mandir di ruangan.

"Siska, kamu benar-benar tak mengenal Rania" ucap Ibram dengan nada kesal dan putus asa. Ia tahu, kini nasibnya berada di ujung tanduk.

"Kalau memang istrimu itu pintar, dia pasti sudah datang ke kantor untuk mela b r a ku. Buktinya, sampai saat ini dia masih diam tak bergeming, Mas" ucap Siska, ia masih saja tertawa kecil.

"Kalau Rania diam, itu berarti dia sedang merencanakan sesuatu..." gumamnya, lebih pada diri sendiri.

Ia tahu Rania bukan wanita yang akan diam selamanya. Keheningannya bukan tanda ke l e m ahan, justru itulah hal yang menakutkan.

Ibram menghentikan langkahnya yang sedari tadi mondar-mandir di ruanganya, menatap Siska penuh amarah. “Dengar ya, Siska. Sekali lagi kamu bertindak tanpa sepengetahuanku, aku akan...”

Belum selesai Ibram melanjutkan ucapanya, ponselnya berdering. Nama Rania terpampang di layar.

Mata Ibram mem b e l a lak, j a n t u n g nya berdetak lebih kencang.

Siska melirik layar ponsel, lalu tersenyum tipis. “Angkat d**g, Mas. Aku penasaran… dia mau ngomongin apa ya kali ini?” ucapnya dengan nada men y i n dir.

Ibram menatap layar ponsel sejenak, lalu menelan l u d a hnya. Suara dering itu terdengar lebih nyaring dari biasanya, seolah mewakili ket e g a ngan yang tiba-tiba menyelimuti ruangannya.

Dengan ragu, ia menggeser ikon hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. "Halo, sayang..."

Siska bersandar di dinding, menyilangkan tangan,diam-diam mendengarkan apa yang dibicarakan Ibram dengan i s t r i nya.

“Halo, Mas,” suara Rania terdengar tenang, tapi t a j am.

“Kita perlu bicara. Aku sudah menjadwalkan rapat mendadak besok pagi pukul delapan. Pastikan kamu hadir. Dan tolong, jangan bawa tamu tak diundang.” ucap Rania, tegas.

Ibram terdiam. Lidahnya kelu. Suara Rania terdengar terlalu tenang, terlalu dingin seperti badai yang sedang menahan diri sebelum me n g h a n c u r kan segalanya.

"Apa yang ingin kamu bicarakan, sayang?" tanya Ibram, dengan suara be r g e t ar.

“Audit keuangan serta evaluasi kinerja direksi,” jawab Rania cepat. “Aku sudah siapkan semua dokumennya. Aku harap kamu juga siap"

"Tapi, apakah kamu sudah menemukan pengasuh yang tepat untuk merawat Natasha selama kamu kembali bekerja?" tanya Ibram, mencoba mengalihkan rasa g u g u pnya.

“Sudah,” jawab Rania singkat, datar namun mantap. Setelah itu telepon terputus tanpa menunggu jawaban ataupun pertanyaan selanjutnya dari Ibram.

Ibram mematung, ponsel masih tergenggam di tangannya. Ia merasa dinding makin me n e k a nnya dari segala arah.

Baca lanjutanya di KBM App
Judul : Aku Bukan Istri Lemah, Mas!
Penulis : Rinda Septiana

Dokter menemukan benda di dalam ra hi m adik kembaranku setelah ia ditemukan tak bernyawa di depan rumah. Pesan terakhir...
27/11/2025

Dokter menemukan benda di dalam
ra hi m adik kembaranku setelah ia ditemukan tak bernyawa di depan rumah. Pesan terakhirnya membuat aku merinding
**

Angel menatap t. u b uh kaku adik kembarnya berbaring di atas brankar rumah sakit. Belum sempat ia saling berbagi cerita, adiknya sudah pergi pulang ke alam lain.

Mata Angel sembab tak tega dengan kondisi Tiara saat ini. Tu b uh cantik sang adik membuat dirinya murka.

Angel mengenggam erat jemari Tiara yang sangat dingin. Tak peduli berapa banyak d a r a h mengalir dari tubuh Tiara mengotori pakaiannya.

Satu pesan dari adiknya sebelum menghembuskan napas terakhir terngiang-ngiang di kepala.

"A-angel ... Balas mereka yang membuatku menderita," ucap Tiara--adik Angel lirih. Matanya sembab, tubuhnya penuh lu ka ca b ik dan memar. Belum sempat Tiara berkata lebih banyak ia sudah pergi selamanya.

Angel berteriak memanggil nama Tiara, saudara satu-satunya. Tak ada yang mencegah hembusan terakhir napas Tiara karena semua adalah takdir sang ilahi.

Pemakaman dilakukan di rumah Angel. Tak seorang pun tahu kamatian adiknya. Tiara datang ke rumah Angel yang letaknya cukup jauh dari rumah suami Tiara dengan jalan tertatih-tatih. Paha mulus dan putih mengalir d a ra h segar ketika ia sampai di pagar rumah berlantai dua. Tiara melarikan diri dari kebiadapan orang-orang itu.

Dokter melakukan tes visum kepada jasad Tiara.

"Apa yang terjadi dengan adik saya?" Angel melipat tangan di dada menahan rasa sesak yang sejak tadi menyelimuti diri. Berharap mendapatkan jawaban dari dokter keluarga Angel--Dokter Ardian.

"Tiara mengalami luka fisik akibat pukulan dan keras di bagian wajah, badannya juga memar, bagian pergelangan tangan seperti diikat berhari-hari dan ...." Dokter Ardian berhenti berucap dan menarik napas. Bagaimana cara mengatakan hal tersebut. Diri sendiri saja tak tega dan geram apalagi Angel.

Angel menatap Ardian tajam." Dan apa?" Angel tak sabar mendengar penjelasan dari dokter itu. "Katakan!" Ia tahu pasti terjadi sesuatu dengan adiknya yang membuat wajah dokter tersebut sedih.

"Dokter Ardian yang terhormat. Katakan?"

Dokter Ardian memejamkan mata dan menghembuskan napas.
"Bagian alat v i ta lnya, dimasukkan sesuatu benda yang sangat keras. Bagian tersebut terlihat hancur dan penuh l u k a." Lelaki itu tak kuat menahan rasa sedih suaranya bergetar.

Mengatakannya saja sangat sulit apalagi membayangkannya. Belum pernah menemukan pasien separah ini. Sebagai manusia, ia mengutuk perbuatan keji orang tersebut. Siapa pelakunya? Mereka juga tak tahu. Karena Angel selama ini tinggal di Inggris.

Seminggu yang lalu Angel memberitahukan Tiara melalui aplikasi biru menggunakan messenger kalau ia akan pulang ke tanah air. Namun, beberapa minggu di Indonesia Angel tak mendapatkan kabar dari adiknya. Tak ada yang tahu kalau Tiara memiliki saudara kembar kecuali ibu panti asuhan dan pengurus panti yang telah wafat. Panti tersebut sudah tak berjalan.

Angel telah mantap untuk membongkar kematian Tiara. Ia tak mau menghubungi polisi, yang ia inginkan adalah mencari pembunuh adiknya dengan tangannya sendiri.

"Aku tak akan memaafkan kalian," ucapnya mengepalkan tangan.

~~~

Sebulan kemudian,

Angel berdiri di depan pagar rumah suami Tiara. Ia adalah Antoni, Angel melihat foto lelaki itu di aplikasi biru milik adiknya. Hujan turun dengan lebat, Angel tak mempedulikan tubuhnya yang sudah basah kuyub.

Seorang penjaga keamanan rumah melihat Angel terkejut." Non Tiara! Ke mana saja kami mencari Anda," ucap lelaki itu. Ia terlihat khawatir. Angel bergeming melihat lelaki berumur empat puluhan menyapanya.

Angel tersenyum, ia masuk ke dalam ditemani oleh penjaga tersebut yang tak tahu siapa namanya. Angel memilih diam. Pakaiannya ia buat sederhana karena Tiara adalah wanita sederhana dengan make up tipis, berbeda dengannya yang selalu menggunakan barang mewah.

Seorang lelaki berwajah campuran Jerman-Indonesia membuka pintu. Matanya terbelalak.

"Tiara ...." Memeluk tubuh Angel yang berganti nama menjadi Tiara. Terdengar suara isakan dan kerinduan terdalam. Lelaki itu membawa Angel masuk. Ia diam tanpa kata.

"Tiara! Ya Tuhan Tiara! Kamu masih hidup," teriak wanita berambut pirang. Memeluk tubuhnya dan menatap manik Tiara dalam. Ia tak tahu siapa wanita yang berada di depannya. Wanita itu menghampiri Antoni dan memeluk pinggangnya.

"Mama! Mama!" teriak wanita itu. Ia memakai dress yang sangat tipis.

"Ros, kamu hampiri Mama di kamar," usul Antoni, ternyata wanita itu bernama Ros.

Wanita separuh baya menghampirinya dan matanya terkejut. Dengan langkah cepat, ia mena m p a r p**i Tiara. Tiara menundukkan kepala dan kembali mend**gakkan kepala.

****

Judul di KBM
Jasad Adikku Tergeletak Di Depan Rumah (Pembalasan Saudara Kembar) Tamat
Penulis : Bellez LTF

Baca juga ceritaku yang lain KBM
1. Setahun Tak Tersentuh ( Tamat)
2. Kuhancurkan Pernikahan Suami Dengan Elegan (Tamat)
3. Jerit Tangis Maduku (tamat )
4. Status WhatsApp Istriku (Tamat)
5. 21 Hari Menghilangnya Suami (Tamat)


Jasad Adikku Di Depan Rumah (Pembalasan Saudara Kembar) - Bellez

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:
https://read.kbm.id/book/detail/9290bf86-3e21-814c-252f-6d5c55d8b0b8?af=0f097919-b7d0-d9e5-864c-019ae4dc1dc5

Address

Tasikmalaya

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Novel Senja posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Share