deta septa

deta septa Blok pribadi

Kukira tak akan ada seorang pun ga'dis yang mau berada di posisiku saat ini. Dipaksa menikah dengan seseorang yang sanga...
24/12/2023

Kukira tak akan ada seorang pun ga'dis yang mau berada di posisiku saat ini. Dipaksa menikah dengan seseorang yang sangat dibenci di dunia. Jangankan memba'yangkan kehidupan bersama, meIihat wajahnya pun aku merasa sangat muak.

Tidak. Aku tidak mau menikah dengan Den Arya. Bagaimana bisa aku menikah dengan seorang penja'hat dan pemer'kosa seperti dia. Iebih baik aku tidak menikah seumur hidupku ketimbang harus menjadi istrinya.

MengumpuIkan keberanian, aku berdiri. Ketiga pasang mata itu kini menatapku. Tuan Tjokro, Bu Ayu, serta Den Arya.

"Sa'ya tidak mau menikah dengan Den Arya, Tuan. Iebih baik, sa'ya puIang kampung saja. Sa'ya sadar diri bahwa sa'ya hanya seorang ga'dis kampung mis'kin yang tidak ada seujung kukunya dengan keIuarga kaIian.

Sa'ya mungkin tidak dapat menuntut keadiIan di dunia ini. Sebab hukum di negeri ini tumpuI ke atas tapi ta'jam ke bawah. Sa'ya sadar tidak akan mungkin menang kaIau pun nekat membawa kasus ini ke jaIur hukum.

BiarIah, sa'kit hati sa'ya ini cukup sa'ya adukan pada AIIah saja. Dia Iah sang penggenggam hidup, yang di tangan-Nya semua akan berjaIan dengan seadiI-adiInya. Biar AIIah yang membaIas dengan caranya." Kuakhiri kaIimat dengan tatapan ta'jam pada Den Arya.

Iaki-Iaki yang usianya tak jauh beda dariku itu hanya menunduk.

Aneh. Biasanya dia akan cengengesan dan membaIas dengan ucapan menyakitkan. Tapi kenapa kaIi ini berbeda? Apakah tamparan a'yahnya tadi teIah mengembaIikan pikiran warasnya yang seIama ini hiIang?

"Oh ... syukurIah, Naina. Sa'ya sebagai ibunya, meminta maaf atas nama Arya. Jangan khawatir, Naina, kami akan memberi pesangon Iebih untuk kamu. ToIong, jangan katakan pada siapa pun tentang apa yang teIah terjadi, ya. Kita damai saja."

Bu Ayu berdiri. Menatapku dengan tatapan Iega. Aku menangis daIam hati. Dia seorang wanita, tapi menganggap enteng apa yang teIah terjadi padaku akibat uIah putranya.

"Tidak usah, Bu. harqa diri sa'ya tidak untuk diperjuaI beIikan. MeIupakan bukan berarti memaafkan. Hati-hatiIah dengan doa orang yang terzoIimi, sebab doanya Iangsung naik ke Iangit."

Aku menjawab. Sebisa mungkin kutahan airmata ini agar tidak jatuh. CukupIah tangisku semaIam. Di depan mereka, aku harus tetap tegar.

"Kamu yakin dengan keputusanmu, Naina?" Tuan Tjokro menyipit saat menatapku.

"Yakin, Tuan," jawabku mantap.

"Bagaimana kaIau kau hamiI?" Den Arya tiba-tiba menyeIa. Dan tubvhku seketika kaku dibuatnya.

HamiI?

Ya AIIah, kenapa tidak terpikirkan oIehku sebeIumnya?

Ya, bagaimana jika aku sampai hamiI karena perbuatan bejat Iaki-Iaki itu?

"Menikah saja denganku. Bukankah dengan begitu bisa menaikkan deraja'tmu? Dari seorang babu menjadi ...."

"Aku sama sekaIi tidak tertarik dengan apa yang orangtuamu miIiki," sindirku. Sengaja menekan kata-kata, agar pemuda sombonq itu sadar bahwa apa yang dinikma'tinya seIama ini adaIah miIik orangtuanya. Bukan hasiI keringatnya sendiri.

Wajah Den Arya sedikit memerah. Aku tak peduIi dan gegas menuju k'marku untuk berkemas. Hari ini juga, aku akan puIang ke kampung haIaman.

Hatiku teremas perih kaIa menatap tempat tidur yang teIah kurapikan. Di situIah aku kehiIangan hartaku yang paIing berharqa sebagai seorang wanita. Semua gara-gara dia. Aku sangat membencinya.

Kedua mataku terasa memanas. Kutengadahkan kepaIa ke atas, berharap airmata yang hendak tumpah ini bisa masuk Iagi. BiarIah ia tumpah di daIam saja.

SeIesai berkemas, aku pun segera ke Iuar k'mar. Di ruanq tamu, kini hanya tinqgaI Tuan Tjokro sendirian. Tak kudapati sosok istri dan anaknya yang ja'hat.

MeIihatku muncuI, Tuan Tjokro serta merta berdiri. Ia seperti ingin mengucapkan sesuatu kepadaku.

"Naina, ambiIIah ini sekedar untuk ongkos puIang." Ia menyerahkan sebuah ampIop yang cukup tebaI kepadaku.

"Sa'ya tidak mau menerimanya, Tuan. harqa diri sa'ya__"

"Sa'ya tidak sedang membeIi harqa dirimu. Yang namanya saIah tetap saIah, Naina. Tidak bisa menjadi benar hanya karena sejumIah uanq. Sa'ya mewakiIi keIuarga tuIus meminta maaf. Dan andaikata kamu hamiI karena Arya, maka kaIian harus menikah. Tidak dapat ditawar-tawar!"

Tuan Tjokro berkata dengan nada tegas saat menatapku. Aku terdiam, IaIu perIahan menundukkan pandangan.

'Ya AIIah ... kumohon, jangan beri aku cobaan meIebihi batas kesanggupanku,' doaku daIam hati.

Tuan Tjokro kemudian mengambiI ranseI yang tersampir di pundakku. Tanpa ijin, dia membuka resIetinq dan memasukkan ampIop tadi ke daIam tasku.

"SekaIi Iagi sa'ya minta maaf. Hati-hati di jaIan, Naina," ucapnya peIan. MeIaIui pancaran matanya, aku tahu Iaki-Iaki paro ba'ya berwajah karisma'tik itu mengucapkannya dengan tuIus.

Aku hanya mengangguk, kemudian segera berIaIu dari ha'dapannya.

"Naina!" Suara yang amat kukenaIi itu terdengar menyapa pendengaran.

Muak. Itu yang ku'rasakan. Pura-pura tak mendengar, aku mempercepat Iangkah ke Iuar dari gerbang pagar tinqgi yang menjadi sekat rumah besar ini dengan dunia Iuar.

Aku tak ingin meIihat wajahnya Iagi, mendengar suaranya, dan segaIa haI mengenai pemer'kosa itu.

"Nai!" Ienganku terasa dicengkeram dan ditarik dengan kasar oIeh sebuah tangan yang aku tahu jeIas siapa pemiIiknya.

"Iepaskan aku, baj*ngan! Breng**k kau!" Aku kaIap memaki dirinya sambiI berusaha meIepas tangannya dari tubvhku.

Jantungku berdetak sangat cepat. Napasku pun terasa sesak. Aku menatap pria di depanku sengit, berharap ia menghiIang diteIan bumi saat ini juga.

"Ayo, kuantar kau puIang ke kampung haIaman kamu," katanya dengan wajah gusar.

"Tak perIu! MenjauhIah dariku. PergiIah yang jauh, kaIau perIu, ma'ti saja sekaIian sana!" kataku kasar.

Aku yang seumur hidup bahkan tak pernah membentak orang apaIagi berkata kasar, entah kenapa kaIi ini amarahku terasa meIuap-Iuap.

"Terserah kamu, Nai. Maki atau pukuI saja aku sepuasmu. Aku memang bersaIah padamu," akunya dengan nada dan ekspresi penuh sesaI di wajah.

Aku mengheIa napas daIam-daIam. Mengisi dadaku yang sesak dengan oksigen. Andai benci ini bisa membvnvh, kupastikan sudah terbeIah tubvh IeIaki ini.

tubvhku sampai gemetar hebat menahan berbagai rasa yang berkecamuk daIam dada. Hingga puncaknya, tangisku justru pecah saat itu juga. Di tempat ini. Di depan Iaki-Iaki yang teIah menghancvrkan hidupku.

🍁🍁🍁

DlNODAl ANAK MAJlKAN
PenuIis: Dwi Indrawati

Di KBM App sudah tamat:

Ayo bergabung dan subscribe buku DINODAI ANAK MAJIKAN agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari dwiindra0330 di aplikasi KBM.

"Gue nggak nyangka, hanya demi perempuan mur4han itu, lo tega nyakitin sahabat sendiri." Bagian pinggir bibir Faldo berd...
24/12/2023

"Gue nggak nyangka, hanya demi perempuan mur4han itu, lo tega nyakitin sahabat sendiri." Bagian pinggir bibir Faldo berd4rah.

Tanpa kata, tak berlama-lama, Zhafran kembali hendak mendaratkan pu_ku_lan. Namun, aku segera menahan lengannya.

Faldo mundur beberapa langkah, setelah itu berlari ke kontrakan dengan langkah yang terpincang-pincang. Mobilnya parkir di sana. Selang beberapa saat, Faldo melintas menggunakan kendaraan roda empatnya itu di hadapan kami berdua.

Zhafran bergeming di tempatnya.

"Ayo, saya antar kamu p**ang."

"Pulang?" Alis ini mengernyit, pasalnya p**ang bagiku adalah kembali ke rumah Ayah.

"Maksud saya ... ke kontrakan."

"Ooh." Aku mengangguk pelan.

Jujur, aku takut untuk kembali ke sana, mengingat lokasi sekitar cukup sepi.

Siang hari, beberapa kediaman tampak tutup. Entah karena penghuninya pergi bekerja semua atau masing-masing dari mereka s**a menyendiri, dan tak ingin ikut campur terhadap apa pun yang terjadi di luar.

"Ersyila."

"Ya."

"Masuklah." Zhafran membukakan pintu mobil untukku.

Perlahan, aku mendudukkan diri di kursi depan. Setelah itu, Zhafran bergerak cepat menuju sisi sebelahnya. Duduk depan setir.

Sebelum berkendara, Zhafran mengambil sebotol minuman, lalu membukanya. Kupikir Zhafran ingin minum, tapi ternyata botol minuman itu ia berikan padaku.

"Terima kasih." Kuucapkan dua kata sebelum menerima pemberiannya. Air dalam botol kuhabiskan setengah dalam beberapa kali tegukan.

Tak lagi mengucap sepatah kata pun, Zhafran mulai menyetir. Aku bersandar sembari mengarahkan pandangan pada jalan. Tidak menyangka kejadian seperti hari ini akan kualami.

Apa yang sudah Faldo coba untuk lakukan menimbulkan trauma tersendiri dalam ingatan.

***

"Bagaimana keadaanmu ... maksud saya ... perasaanmu. Bukan, maksudnya--"

"Dia tidak sempat melakukan apa pun. Saya menend4ng tulang keringnya, setelah itu mencoba melarikan diri."

Zhafran dan aku kini berada di ruang tamu. Zhafran terlihat bingung dengan kata yang diucapkannya. Setelah aku menjelaskan setidaknya sedikit, pria itu terlihat menghela napas panjang.

"Ngomong-ngomong ... nggak biasanya kamu p**ang jam segini." Kuarahkan pandangan pada jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sepuluh pagi.

Zhafran terdiam beberapa saat sebelum menjawab.

"Ada barang yang ketinggalan."

"Apa?"

"Handphone."

"Terus itu ...?"

Saat ini Zhafran sedang memegang barang yang baru saja ia sebutkan. Diikutinya arah pandangku, lalu berdehem.

"Sebenarnya saya ingin mengatakan jam tangan." Dia ngeles.

"Jam tangan yang mana?" Dahiku berkerut. Pasalnya di pergelangan tangan kiri Zhafran telah terdapat benda itu.

Lagi-lagi Zhafran memandang sesuai dengan apa yang tengah kutatap. Ketika mendapati jam tangan berwarna hitam sedang ia pakai, pria tersebut lantas terdiam.

"Setelah kejadian hari ini, saya harap kamu bisa lebih berhati-hati lagi." Zhafran mengalihkan pembicaraan.

"Iya, tentu." Aku mengangguk pelan.

"Jangan bukakan pintu untuk siapa pun, selain saya."

"Kalau yang datang mama mertua, gimana?" Spontan aku bertanya.

Melihat ekspresi Zhafran yang tampak tak biasa, aku langsung meralat perkataanku itu.

"Maksud saya, mama kamu."

"Jika itu perempuan dan kamu mempercayainya, silakan."

"Baiklah."

Beralih dari Zhafran, perhatianku tertuju pada vas di meja.

Keheningan menyelimuti suasana cukup lama. Aku tenggelam dalam lamunan. Berpikir hidup yang kujalani saat ini sangat jauh berbeda dengan apa yang kulalui sebelum fitn4h itu kudapatkan.

Sahabatnya Zhafran berpikir kalau aku ini adalah perempuan mur4han. Itu benar-benar sebuah penghin44n yang besar bagiku.

"Saya pikir, karena Faldo adalah sahabat baik saya jadi dia akan memahami semuanya. Ternyata tidak. Dia sudah salah menilai." Suara Zhafran memenuhi indera pendengaran.

"Ya, dia berpikir saya sudah menjual d*ri padamu dengan harga 5 ribu rupiah." Aku menimpali.

"Dia berkata begitu?"

"Hm." Kedua telapak tanganku saling menggenggam. Menahan tangis.

Zhafran kembali terdiam, tetapi tak lama. Pria itu terdengar mengembuskan napas kasar sebelum mengucapkan sederet kata.

"Maafkan saya, Ersyila. Lima ribu itu--"

"Ini bukan soal harga. Tapi ini tentang fitn4han warga. Siapa pun yang sudah dengan sengaja menjebak saya dalam kejadian itu, saya harap selamanya dia nggak akan bisa hidup tenang. Dia harus membayar semua kerugian yang terpaksa harus saya terima."

Aku berbicara dengan tubuh tegak menghadap ke depan. Jika bukan diriku sendiri, siapa lagi yang akan menguatkan hati ini.

***

Hari yang berlalu tak terlewati begitu saja. Aku dan Zhafran merencanakan sesuatu di ruko itu. Dalam hal ini, Pak Hasan ikut andil. Kami memasang CCTV di tempat yang tersembunyi. Aksesnya langsung ke ponsel milik Zhafran.

Pukul setengah enam sore, di kamar, aku terus memandangi foto keluargaku. Berharap suatu saat bisa berkumpul kembali tanpa adanya kesalahpahaman di antara kami.

Aku yakin, mudah bagi Allah untuk membalik keadaan. Aku percaya, kebenaran akan memenangkan hati semua orang.

Tok, tok.

Bunyi ketukan, membuatku lekas menaruh ponsel di meja. Begitu pintu kamar terbuka kudapati Zhafran berdiri di depan sambil menunjukkan sebuah rekaman.

"Ada yang datang?" tanyaku antusias.

"Iya." Zhafran menjawab bersamaan dengan kejadian yang membuatku membulatkan mata.

Mereka adalah laki-laki dan wanita. Keduanya kembali melakukan hal tak senonoh. Berciuman dan ....

Canggung rasanya jika aku menonton ini berduaan dengan Zhafran. Lantas segera kualihkan pandangan.

"Ini menunjukkan pasangan itu sering datang ke sana." Zhafran buka suara.

"Dan hubungan mereka tidak seperti pasangan kekasih pada umumnya." Pria itu melanjutkan.

"Maksud kamu?"

"Salah satu dari mereka mungkin telah menikah, atau mungkin keduanya merupakan suami dan istri orang."

Mendengar kalimat yang Zhafran sampaikan, pikiranku terbuka. Dia benar. Pasangan biasa tidak mungkin main sembunyi-sembunyi seperti itu. Apa yang terjadi di bangunan bekas ruko tersebut adalah perselingkuhan. Sayangnya tak ada pembicaraan antar kedua orang itu sejak mereka memasuki area yang terpantau CCTV.

Sesekali aku mengintip video. Lelaki dan wanita itu hanya membuka masker saat berciuman. Mereka kembali memakainya ketika melakukan hal intim yang lain. Seolah tahu akan ada yang melihat itu.

"Mereka merekam sendiri. Mungkin dengan maksud mengabadikan momen." Zhafran menyandarkan lengannya pada pintu.

Aku menyimak dengan baik setiap perkataannya. Masuk akal, sebab aku yakin karena direkam itulah pasangan mes*m itu memilih menutupi wajah dengan masker.

Satu per satu jalan telah terbuka sekarang. Semakin banyak bukti yang kami punya, semakin besar peluang untuk orang-orang percaya bahwa sejatinya aku dan Zhafran tidak bersalah.

Lelaki dalam video mendekatkan wajahnya ke area sensitif sang wanita. Dari samping, aku merasa tidak mengenali wajah pria itu. Tampaknya dia seseorang yang belum pernah kutemui.

Zhafran menonton dengan serius, sedang jantungku berdegup kencang. Ditonton rasanya berdosa, tapi jika tidak ditonton, akan sulit bagiku mengenali pelakunya.

Tepat ketika mereka semakin berani menyent*h tubuh antar satu sama lain, kualihkan pandangan, tak sengaja malah menatap Zhafran, begitu p**a sebaliknya, di saat yang sama Zhafran menatapku.

Sontak wajah ini terasa panas seketika.

"Akan saya informasikan jika ada kabar terbaru," ujar Zhafran seraya memasukkan ponsel ke dalam saku celananya.

Pria itu segera menjauh dariku. Bahkan berbicara dengan tanpa memandang wajah lawan bicara.

"Kunci pintu kamarmu." Hanya itu yang terdengar sebelum Zhafran menghilang dari jarak pandang.

---
Penulis: Oryza Ryz
Judul : MAHAR 5 RIBU RUPIAH
Nama akun KBM App : OryzaSativa07 Oryza Ryz

Link part lengkap 👇

https://read.kbm.id/book/detail/63ada4eb-2042-4fc7-bed1-109043123bfd?af=c10b364f-f842-e2e0-c7bb-af78db7901a0&fbclid=IwAR2W9vq-dtgHiMxBhbrbkTKJ1ThjsDFw6YQ-R_G1GYpUYkUusXDoX6m4Hpc

Ayo bergabung dan subscribe buku Mahar 5 Ribu Rupiah agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari OryzaSativa07 di aplikasi KBM.

  By Ciayo IndahBulan Juli tahun 2000, selepas Asar.Sudah sekian lama setelah tamat SMP dan kini aku baru selesai kuliah...
23/12/2023


By Ciayo Indah

Bulan Juli tahun 2000, selepas Asar.
Sudah sekian lama setelah tamat SMP dan kini aku baru selesai kuliah, tak kudengar kabar teman mainku Roma, sohib kental masa kecil dulu.

Kebetulan sore itu aku baru gajian pertama dari kerjaan pertamaku usai selesai kuliah, tiba-tiba teringat padanya sep**ang ambil gaji. Rasanya kepengen traktir Roma makan mie ayam.

Gimana kabarnya dia sekarang ya, batinku.

Simpang jalan arah rumahku di Karang Bersiul, masuk ke Karang Bersama, bisa kudapati rumahnya, agak jauh ke dalam memang.

Pelan kulaju motorku sembari mengingat-ingat yang mana rumahnya. Bertahun berlalu ternyata telah banyak yang berubah.

Menjelang Magrib, aku menghentikan motorku di depan teras rumah Roma. Walau agak bingung karena tak lagi kudapati pohon mangga nan rimbunnlagi kerap berbuah lebat, yang dulu selalu kami panjati di sisi kanan rumahnya.

Hari hampir gelap, kebetulan rumah Roma terbuka pintu teras depannya. Aku pun dengan percaya diri mengeraskan suaraku mengucap salam memanggil-manggilnya. Tapi senyap, tak ada yang keluar dari dalam.

Setelah lumayan lama berdiri, kuperhatikan beberapa orang yang lewat depan rumah Roma tak wajar melihatku. Dua orang ibu-ibu malah seperti sengaja mondar-mandir memperhatikanku.

Roman wajah mereka seperti salah tingkah menurutku. Kulempar senyum, tapi mereka diam, tegang. Sorot mata keduanya seakan ingin menyampaikan sesuatu tapi urung. Ah, entahlah, pikirku.

Hampir aku membalik badan p**ang karena kupikir tak ada orang di rumah Roma yang gelap dan terbuka itu, tapi tiba-tiba muncul ibu Roma dari dalam.

"Siapa?"

"Uli, Buu. Ibu ingat saya nggak?" jawabku manja.

"Oooh, Uli teman Roma?"

"Iya Bu," jawabku sembari melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah Roma sebelum dipersilahkannya. Ah, Bu Siti kan dulu baik banget padaku. Aku duduk di kursi ruang tamu, sepi. Sepertinya Bu Siti, ibunya Roma ini sedang sendirian di rumah.

"Roma mana, Bu?"

Diam Bu Siti duduk di sampingku seperti tercenung.

"Roma kan di Pekan Baru. Dia sudah nikah, tinggal di sana."

"Loh? Kapan nikahnya? Kok nggak ngundang-ngundang? Isss, Ibu lah," sambungku terkejut bercampur heran kenapa Bu Siti yang kukenal aktifis kampung penggerak ibu-ibu sekelurahan sejak kami kecil ini berubah kayak orang linglung.

Mengawang tatapannya, setelah ditanya kabar Roma. Bu Siti sepertinya juga tak mengurus tubuhnya lagi seperti dulu yang selalu rapi, cantik, dan cerdas. Kupikir ibu ini agak kucel dan bau. Sembari bicara pelan-pelan, tatapannya konsisten jauh. Sesekali senggolanku yang manja membuatnya tersentak.

"Ibu, kenapa rumahnya gelap-gelapan? Udah mau Magrib gini..." ucapku, tapi Bu Siti tetap diam.

"Oh iya, Rangga mana, Bu?" Aku teringat Roma punya adik bernama Rangga.

"Dia juga udah nikah, tinggalnya jauh."

"Ooh ... bapak mana Bu?"

Diam, tambah senyap. Ibu Siti ini lama kelamaan menakutkan juga, pikirku. Mana rambutnya awut-awutan lagi. Padahal yang kuingat, dulu ibu ini sudah pakai tutup kepala.

Mataku kemudian beralih dari Bu Siti ke arah luar di mana ia menerawang jauh. Dua orang ibu-ibu tetangga yang tadi kulihat, lewat lagi. Seperti memberi isyarat agar aku segera keluar saja.

Aku bingung. Kembali kuperhatikan Bu Siti, tak dilihatnya tetangga di depan pagar. Matanya menerawang jauh. Menembus mereka berdua.

Kusentuh pundaknya sedikit kugoyang.
"Bu, Ibu sendirian di rumah?"
"Iya."
"Bapak belum p**ang kerja?"
"Bapak udah meninggal ...."
"Innalillahi wainna ilaihi roojiuun ...."

Aku terdiam, kurasakan situasi tambah tak nyaman, apalagi suasana di dalam rumah semakin redup tanpa lampu sementara hari menjelang malam.

"Sabar ya Bu," hanya itu yang bisa kukatakan sambil menghapus-hapus pundaknya. Aku kehabisan kata-kata. Tak tahu lagi harus bilang apa.

Tetangga yang memberiku isyarat tadi sudah pergi. Kami lebih banyak diam, tepatnya kehabisan pertanyaan. Aku tanya, Bu Siti menjawab sekenanya, tak berbalas menanyaiku. Bu Siti lebih banyak diam sembari menunduk atau menerawang lurus ke depan. Membuatku makin nggak nyaman.

Hari makin gelap. Suara mengaji sebelum azan Magrib sudah terdengar. Suasananya kikuk aneh. Aku bangkit bersiap-siap p**ang.

"Bu, Uli pamit p**ang, ya?"
Bu Siti tetap duduk saja diam.

"Ibu, kenapa rumahnya gelap-gelapan?"
Mendadak hatiku iba, kasihan Bu Siti sepertinya sekarang hidup sendiri.

"Biar Uli nyalakan lampu ya, Bu?" Bangkit, kucari-cari tombol saklar.

Ah, Bu Siti kan belum terlalu tua. Menurutku, umurnya paling menjelang 50-an. Sepertinya ia linglung, melamun atau stress. Pastilah karena kesepian, pikirku. Lagian ingatannya masih bagus, tadi saja dia ingat padaku, gumamku dalam hati.

Aku terkejut saat membalikkan badan setelah menekan saklar lampu ruang tamu. Ternyata Bu Siti sudah berdiri di belakangku dekat sekali. Gerakannya tak kurasakan. Sesaat, tatapannya lurus tak berkedip melihat mataku, lalu ia mengalihkan pandangan.

Ih, kenapalah Ibu ini? pikirku.

"Uli pamit ya Bu. Titip salam buat Roma, kapan-kapan Uli main lagi ya Bu." Kuraih tangannya, kucium. Serrr, kudukku kenapa merinding, batinku.

Bu Siti diam saja, tidak tersenyum walaupun sedikit.

"Assalaamu ‘alaikum."
"Wa’alaikum salam," jawabnya lirih.

Belum sampai aku di atas motor, Bu Siti sudah menutup pintu rumahnya. Lalu, "Klik" rumahnya kembali gelap. Ditekannya lagi saklar lampu yang kunyalakan tadi. Mungkin Bu Siti sedang penghematan.

Suara azan terdengar. Baru akan kulaju motorku, dua orang ibu-ibu tetangga yang sejak tadi mondar mandir menghampiriku.

"Dek, jangan dekat-dekat ibu itu sendirian."

"Memangnya kenapa Bu?"

"Ibu itu sudah nggak waras! Sejak Roma kawin lari udah stress!"

"Apa? Siapa kawin lari?" tanyaku tak percaya.

"Sekarang ini makin parah stressnya sejak suaminya meninggal. Kalo Magrib gini sering kesurupan!"

"Ya Allah, siapa kesurupan?"
Ekor mata kedua ibu itu melirik rumah Roma.

"Terus, Bu Siti ditinggal sendirian? Siapa yang jaga?"

"Ada. Adik laki-laki sama keponakannya. Ini mereka lagi keluar, entah ke mana. Kami dititipin buat jaga-jaga aja di luar. Kami aja nggak berani masuk, Situ main nyelonong aja!"

"Kan, dia nggak tau," jawab ibu satunya yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.

"Memangnya bahaya, Bu?"

"Wuiihhh, jangan ditanya, orang stress!"

Tiba-tiba percakapan kami berhenti. Ibu yang hanya bicara sesekali tadi, tangannya menunjuk-nunjuk gemetar ke arah jendela rumah Roma.

Aku terkejut. Kedua orang itu berteriak kaget, mereka lantas lari pergi. Bisa dibilang lari tunggang langgang, terbirit-birit sembari menjerit,

"Huaaahh ... setaaaaaaan!"

Kakiku gemetaran, badanku terpaku, tak kuasa bergerak. Sesosok wanita dengan rambut ke depan semua, berdiri di balik kaca jendela kamar yang gelap. Siapapun yang melihat pastilah mengira itu kuntilanak. Dari sela-sela rambutnya bisa kulihat ujung bibirnya tersenyum. Aku beristighfar. Itu tak lain tak bukan adalah Bu Siti.

"Hi hi hi, hi hi hii, hiiii hi hiiiiii hi, hiiiiiiiiiii."

Dia tertawa patah-patah semakin lama semakin melengking. Kepalanya mend**gak ke atas. Jelas kulihat wajahnya, sorot matanya. Tapi, hatiku yakin itu bukan lagi Bu Siti yang dulu, bukan juga yang tadi kutemui.

Misteri Magrib -TAMAT- - Ciayo Indah
Tak pernah terbayangkan dalam hidup Uli, dia akan bersinggungan dengan berbagai macam dedemit, jin, ...

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link di bawah:

Ayo bergabung dan subscribe buku #1 Misteri Magrib -TAMAT- agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari Ciayo Indah di aplikasi KBM.

Duh, aduh kenapa juga aku telat hari pertama kerja di kantor baru! Semoga dapat bos baik hati, ramah dan tidak sombong. ...
22/12/2023

Duh, aduh kenapa juga aku telat hari pertama kerja di kantor baru! Semoga dapat bos baik hati, ramah dan tidak sombong. Kebayang, d**g kalau galak, jangan sampai juga bos baruku adalah mantan.

Mantan? Kenapa aku jadi mikir ke sana? Ada gitu di dunia nyata seseorang tiba-tiba sekantor sama mantan? Gimana rasanya, ya harus selalu bersama dengan orang yang ingin dilupakan? Horor pasti!

Aku kerja di kantor baru karena di mutasi dari kantor lama. Katanya di sini kurang pegawai jadi ada yang ditarik dari beberapa tempat.

Resepsionis yang dandanannya aduhai menyampaikan lokasi divisi marketing. Bulu mata anti badai dipadu alis hitam lebat menjadikanku gagal fokus. Efeknya wanita muda itu melambaikan tangannya di depan wajahku.

Astagfirullah! Dimaklumi kali, ya. Aku 'kan baru banget hijrah, jadi gak bisa gitu gak ngegosipan orang di antara hati kanan dan kiri.

Fyuh!

"Baik, Mba, terima kasih!"

Katanya ruang divisi marketing ada di lantai empat. Letak lift lobi sayap kiri. Mudah mencarinya menurut mba cantik itu.

Hmm! Ternyata tidak telat sebab masuknya pukul delapan. Sekarang masih kurang lima belas menit. Aku yang salsh lihat jam tadi saking terburu-buru.

Di depan lift pertama sedang antri dua karyawan. Aku ikut gabung sambil menunggu pintunya terbuka. Sekilas pria yang ada di paling depan menoleh, lalu tersenyum sekilas. Kubalas seperlunya, lepas itu kembali diam-diaman.

Di lift ternyata dia menekan tombol lantai yang sama. Wah jangan-jangan staf marketing juga. Mau menyapa urung sebab lift sudah terbuka.

Karena baru menjejak di kantor ini, aku planga-plongo. Ehm, tapi cepat menguasai diri dan berjalan mengikuti petunjuk resepsionis tadi. Dari lift lurus, belok kiri selusuri koridor, lalu di ujungnya masuk ke belokan kanan Nah, di situ divisi marketing.

Okelah! Bismillah!

Tak kurang dari lima menit aku sampai di tempat yang dimaksud. Ada gugup dikit pas mau masuk ruangan yang didepannya tertulis divisi marketing.

Untunglah ada seseorang yang menyapa saat kaki ini sudah ada di lantai ruangan.. Namanya Herlina, staf marketing yang parasnya mirip artis dangdut fenomenal.

Ia lalu mengenalkanku pada yang lain. Dan aku bersyukur karyawan di sini menyambut ramah kehadiran orang baru.

Sebagai orang baru, tentu saja aku harus menghadap bos. Nah, ini kenapa tiba-tiba aku jadi deg-degan. Belum apa-apa keringat dingin mulai keluar dari sela-sela jari.

Ayolah Elina, jangan seperti ini. Bos itu orang biasa, dia bukan piranha.

Herlina mengantarku ke ruangn bos. Di sana dia berbicara dengan sekretarisnya.

"Tunggu aja di sini, aku balik ke ruangan, ok!"

Tak selang tiga menit aku dipersilakan masuk. Hmm, saat ruangan terbuka kulihat seorang lelaki sedang menghadap belakang. Di tangannya ada telpon genggam yang ditempelkan di telinga.

"Oke, Mom aku segera bawa mantu. Sebentar lagi datang, kok! Ada di sini orangnya!"

Deg!

Jantungku? Oh masih ada. Jelaslah kaget, 'kan yang ada di ruangan ini hanya aku, bukan mantu momnya bos.

"Orangnya cantik, keibuan, sholehah, energik, tapi agak ceroboh!"

Huaaa! Ini mau seleksi calon istri apa karyawan baru sih. Kok, aku jadi merhatiin diri sendri. Tunggu, aku cantik jelas karena cewek. Keibuan, tujuh puluh persen benar, sholehah, duh baru hijrah belum terbukti. Ceroboh, oh jangan ditanya. Hah, kok aku banget.

"Pekan depan? Sepertinya belum bisa Mom. Bulan depan, deh!"

What? Aku bulan depan dilamar. Duh, mukaku jadi panas begini.

"Oke, Mom, love you, miss you!"

Dan, taraaa! Pak manajer membalikkan badan tepat saat aku senyum senyum sendiri.

Ya, Tuhan! Malu!

Segera kukembalikan dua sudut bibir ke mode datar. Kemudian dengan kegugupan tingkat dewa aku mengangguk padanya.

"Saya Elina Hakim, karyawan pindahan dari cabang Timur!"

Eh, Tunggu, wajah pak manajer seperti tak asing. Dia mirip seseorang di masa lalu.

Kak Albi, iya kak Albi, cowok populer yang kucintai untuk pertama kalinya dalam hidup. Dan, oh Tuhan, nama yang terpasang di meja kerjanya memang Albi Wiraprakasa.

Dia mantanku mantan cinta pertamaku

Iya, dia kak Albi. Aku pasti tak salah lihat. Meski sekarang tampangnya dewasa, raut wajahnya masih sama. Alis tebal kayak alis sinchan, eh gak segitunya juga. Hdung lancip bak piramida. Rahangnya tegas gitu. Bedanya dulu klimis, sekarang ada bulu halusnya, lebih macho. Badannya juga makin tegap dan berisi.

Aih, ngapain aku jadi merhatiin tampang cowok sedetil itu. Inget pesan ustazah Nurul, tundukan pandangan. Cukup sekali saja lihatnya, jangan diulang-ulang. Nanti jatuh cinta lagi, eh!

Ampuni Elina, ya Allah udah khilaf lihat yang kinclong. Mungkin efek jomblo karatan. Dih memalukan.

"Sudah berapa lama kamu di sini?"

Suaranya berat banget, kayak penyiar radio legendaris idola mama. Memancarkan wibawa kelelakian. Ah, aku jadi gemetaran.

Duh, kenapa harus berhadapan dengan mahluk Tuhan segemoy ini. Aku takut cinta yang dulu sudah dilipat rapi, terbuka lagi. Kalau berbalas, kalau kayak dulu gimana. Sakitnya bakal berkali lipat pasti.

Ya, aku pernah sek4rat saat mencintai kak Albi. Siang malam kebayang terus, hingga sulit lepas dari pikiran. Prestasi belajarku anjlok sampai mama marah-marah.

But, cinta menyiks4 itu makin menyiks4 saat kenyataan bicara. Kak Albi gak sedikitpun melirik. Di sekelilingnya banyak cewek-cewek cantik yang juga antri pengen dapet perhatian. Alhasil aku cuma mencintai dalam diam. Dan, itu menyakitkan kawan!

"Baru saja, Pak!"

"Apa kamu?"

Pria yang kini duduk di kursi kerjanya menggantung ucapan. Mungkin dia mau nanya apa aku dengar pembicaraannya.

Ya jelas dengarlah. Lah, wong aku dari tadi ada di belakangnya. Tahu banget apa yang dibicarakan dengan orang yang dia sebut sebagai mom. But, gak mungkinlah bilang begitu. Kasihan takut jatuh harga dirinya.

"Oke, mulai sekarang kamu kerja di bawah kepemimpinan saya. Ada beberapa rule yang harus dipahami dan dijalankan."

Seperti tak terjadi apa-apa tadi, pak manajer menerangkan dengan detil aturan kerja. Juga tugas yang harus kujalani.

Kalau dilihat dari gayanya sepintas orang ini perfecto. Kayaknya rada macan, nih. Aku harus siap dengan kesempurnaan pengerjaan tugas. Jangan sampai ada sedikit kesalahan yang bisa bikin doi murka.

Lah, belum apa-apa aku udah inscure. Takut banget gak bisa sesuai standar bos baru. Nanti runtuh deh citra diri.

Pria itu terus bicara hingga aku paham apa yang harus dikerjakan. Saking serius menyimak aku sampai ternganga. Pas sadar, cepat - cepat menutup mulut. Duh, kenapa sih kebiasaan mangap tuh gak berubah. 'Kan malu di depan cowok mulut kebuka lebar.

"Ada yang ditanyakan?"

Huft kesadaranku kembalilah! Eh, apa tadi, nanya apaan, ya.

"Bapak kenal saya tidak? "

Huaa! Kenapa aku nanya pertanyaan segil4 itu. Siapa juga yang kenal Elina, cewek cupu yang kerjaannya baca buku di perpustakaan. Bukan karena rajin juga, tapi sebab tak punya u4ng buat jajan. Terlalu.

Pak Albi mengerenyitkan dahi mendengar pertanyaan gaje itu. Sebelum dia menjawab aku buru-buru menyela.

"Eh, becanda, Pak. Sudah jelas semua. Pak. Saya siap menjalankan!"

"Baiklah, selamat bekerja. Semoga kita dapat bekerja sama dengan baik!"

Sepertinya pak Albi tak kenal padaku. Artinya memang dulu itu aku baginya memang bukan siapa-siapa. Hanya penggemar gelap yang mencintai dalam kesunyian. Menyedihkan!

"Ada lagi?"

Waaa! Kenapa juga aku masih di sini. Harusnya tahu diri cepat keluar. Udah jelas pak Albi itu hanya menganggap aku karyawan dan dia bosnya.

*

Di minggu pertama bekerja aku mencoba beradaptasi dengan lingkungan, teman dan bos baru. Aku beruntung sudah punya beberapa teman dekat, Hervina dan Diana dua orang yang langsung akrab. Bahkan, makan siang pun sering bareng.

Itu sisi positifnya. Adapun sisi negaifnya adalah kekej4man bos baru. Benar saja dugaanku. Pria itu macan banget. Dia gak bisa melihat bawahannya santai dikit. Ada aja perintah kerjain inilah, itulah. Termasuk padaku yang merupakan orang baru.

"Elina dipanggil, Bos!"

Aku memutarkan bola mata saking kesal. Ini tangan baru saja diangkat dari keyboard udah harus nerima kerjaan baru lagi. Hidup di alam mana sih, nih orang? Jangan bilang warga bikini bottom.

Sebelum masuk kucoba memasang tampang baik-baik saja. Tampil semringah seolah tak ada apa-apa.

"Duduk!" titahnya

Eh, tumben nyuruh duduk. Ada apakah gerangan?

"Kamu lulusan SMP Nusa Gemilang?"

"Iya, Pak!"

Wah, wah apakah dia akan sembuh dari amnesia masa lalunya. Duh.untung jantung letaknya di dalam. Jadi pas deg-degan kencang gak akan ketahuan. Kan malu kalau aku terdeteksi lagi grogi alias gugup tingkat tinggi

Ada harapan dia itu inget aku. Ya, aku yang pernah s**a padanya. Cowok populer idola mahluk sebangsaku.

"Kok, saya gak pernah lihat kamu, ya padahal kita hanya beda dua tingkat?"

Gubrak!

***.

Yang baru, nih, jamin baper level kabupaten!

Judul
SEKANTOR DENGAN MANTAN

Penulis
Hanin Humayrohumayro

Sudah tamat di KBM APP

Ayo bergabung dan subscribe buku SEKANTOR DENGAN MANTAN agar selalu mendapatkan informasi update terbaru di buku ini dan lihat hasil karya lainnya dari HaninHumayrohumayro di aplikasi KBM.

Address

Temanggung

Telephone

+62859160006915

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when deta septa posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to deta septa:

Share