13/12/2025
Polisi diduga salah tangkap pelaku pembuangan bayi di Kabupaten Blora. Remaja putri inisial RF (16) dituding sebagai pelaku pembuangan bayi.
RF kini mengajukan protes terkait penangkapannya.
RF telah mengalami trauma akibat penangkapan itu.
Kuasa hukum korban, Bangkit Mahanantiyo mengatakan, RF merupakan korban kriminalisasi atau salah penegakan dalam ruang penyelidikan maupun penyidikan yang dilakukan oleh Polsek Jepon.
Korban ketika kejadian langsung diperiksa oleh dua bidan atas perintah polisi tanpa menunjukkan surat resmi kepada keluarga.
Alasan polisi melakukan pemeriksaan secara paksa kepada korban hanya berbekal informasi dari warga.
RF dituding membuang bayi.
"Jadi polisi ada informasi dari warga bahwa RF itulah pelaku buang bayi. Nah, dari sumber itu langsung dilakukan pengecekan tanpa prosedur. Korban ketika diperiksa seharusnya di rumah sakit. Penyidik yang melakukan harus memiliki lisensi dan spesialis penanganan anak atau sistem peradilan pidana mengenai anak karena korban masih berusia 16 tahun,"
Air mata L, ibu dari RF, jadi sorotan setelah mereka membuat laporan ke Polda Jateng atas dugaan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan Polsek Jepon.
Kamis (11/12/2025) siang, RF didampingi ibu dan kuasa hukumnya tertunduk lesu ketika keluar dari ruangan Mako Bidang Profesi dan Pengamanan (Bidpropam) Polda Jateng.
Diketahui, RF hanyalah pelajar yang sedang tekun belajar di bangku SMA.
Pembuktian medis juga membuktikan, RF tidak pernah hamil atau melakukan hubungan seksual.
Namun, polisi tanpa dasar yang jelas langsung mendatangi rumah korban dengan membawa dua bidan desa.
L menjelaskan, rumahnya ketika kejadian didatangi anggota kepolisian pada Selasa, 9 April 2025.
Mereka datang bersama bidan desa, termasuk Kepala Dusun dan Kepala Desa setempat.
RF yang merupakan anak kelimanya, tiba-tiba diperiksa dengan alasan pemeriksaan kesehatan.
Sebagai orang desa, ia tidak banyak tanya.
Ia juga tidak diberi satupun surat mengenai pemeriksaan tersebut.
"Saya izinkan anak saya diperiksa di kamar. Namun, perasaan saya tidak enak lalu menyusul masuk ke kamar," kata L.
"Di situlah saya melihat baju anak saya dan celana itu dilepas," terangnya kepada Tribun Jateng.
Atas perintah polisi, bidan desa tersebut langsung melakukan pemeriksaan dengan memasukkan bagian intim korban dengan suatu alat dan meremas payudara korban.
Tindakan ini untuk membuktikan apakah korban telah melahirkan atau sebaliknya.
Namun, tudingan polisi tersebut ternyata salah besar.
"Jujur saya masih kaget mengingat kejadian itu. Barangnya (bagian intim korban), perut diperiksa," ujar ibu korban, L.
Sementara kuasa hukum korban, Bangkit Mahanantiyo mengatakan, kedatangan korban dan keluarga untuk melaporkan dua instansi Polres Blora dan Polsek Jepon ke Bidpropam Polda Jateng.
Laporan tersebut atas dugaan penyalahgunaan wewenang.
"Betul, saya laporkan dua instansi ini ke Propam berupa penyalahgunaan kewenangan atau abuse of power," bebernya kepada Tribun.
Menurutnya, laporan ini berangkat dari kepolisian memeriksa korban tanpa prosedur.
RF tidak pernah dipanggil sebagai saksi atau pemeriksaan awal lainnya, tapi langsung diperiksa secara sewenang-wenang sampai diminta melepas busana.
"Korban dituduh melakukan pembuangan bayi, padahal secara pembuktian medis tidak pernah hamil dan dia masih virgin."
"Ini berdasarkan hasil pemeriksaan medis kami di RSUD Blora," ungkapnya.
Selepas melakukan pemeriksaan terhadap RF yang tidak taat prosedur, polisi sampai sekarang juga masih buntu dalam mengungkap kasus ini.
"Dalam pemeriksaan korban, polisi juga belum menemukan alat bukti kuat, tapi korban langsung diperiksa begitu saja," bebernya.
Dari laporan ini, Bangkit mendesak kepolisian agar mengungkap dugaan pelanggaran etik yang dilakukan anggota Polsek Jepon dan Polres Blora.
"Ya dari pelaporan ini kami harap anggota yang melanggar disidang etik," ungkapnya.
Ia berharap p**a korban mendapatkan hak-hak pemulihan.
Alami Tekanan
Akibat ulah kepolisian yang asal periksa tersebut, korban mendapatkan tekanan psikis.
Korban merasa syok karena bagian intimnya dilakukan pemeriksaan sedimikian rupa.
Korban juga merasakan sakit selama berminggu-minggu di bagian intim.
Bangkit menjelaskan, korban mendapatkan p**a tekanan mental yang cukup luar biasa karena warga sekitar memberikan stigma negatif kepadanya.
Dampak lainnya, korban sempat tidak mau bersekolah karena teman-temannya di sekolah sudah menghakimi korban adalah pelaku kasus tersebut.
Keluarga juga mendapatkan kondisi serupa, ibu korban yang memiliki riwayat jantung lemah sempat pingsan berulang kali akibat peristiwa ini.
"Kami menargetkan ada pemulihan nama baik korban karena selama ini dia dianggapnya adalah pelaku, makanya kita enggak membenarkan stigma itu," katanya.
Ia meminta Polda Jateng turun tangan untuk memulihkan nama baik korban, kompensasi kepada korban.
Sebaliknya, oknum kepolisian yang melakukan salah prosedur harus bertanggung jawab dengan melakukan permintaan maaf secara terbuka.
"Tentu harus ada sidang etik terhadap oknum kepolisian yang melanggar prosedur," katanya.
Diberi Uang
Keluarga korban berulang kali diajak berdamai dalam kasus dugaan penyalahgunaan wewenang anggota Polsek Jepon Polres Blora.
Keluarga korban juga sempat diberikan amplop tebal berisi uang damai dari pejabat setempat agar menemukan titik temu damai namun juga tetap menolak.
Keluarga dalam kasus ini tidak menginginkan uang melainkan kepastian hukum.
"Iya, keluarga korban hendak diberi uang di dalam amplop yang cukup tebal, tapi keluarga menolak karena ingin mendapatkan kepastian hukum," kata kuasa hukum korban, Bangkit Mahanantiyo, Kamis (11/12/2025), dikutip dari Tribun Jateng.
Menurut Bangkit, korban dan keluarganya pada awalnya diajak berdamai oleh polisi di kantor Kepala Desa setempat.
Mediasi itu tidak ada titik temu karena keluarga korban menolak pemberian uang sehingga akhirnya kasus ini dibawa ke kantor Bupati Blora.
Pertemuan ke tingkat lebih tinggi itu juga sama, keluarga menolak pemberian uang yang mana uang itu tidak jelas sumbernya.
"Mediasi pernah dilakukan di gedung Pemerintah Kabupaten Blora dipimpin wakil bupati beserta dari Dinas Kesehatan. Di situ diserahkan sejumlah uang di dalam amplop cokelat yang cukup tebal katanya sebagai uang sebagai pengganti karena sudah dilakukan pemeriksaan itu," katanya.
Selama proses mediasi itu, keluarga korban belum mendapatkan akses bantuan hukum.
Keluarga Tolak Uang Damai
Keluarga selama proses itu juga tetap berpendirian menolak pemberian uang tersebut.
Bangkit menilai, ajakan mediasi dan pemberian uang diduga sebagai proses pembungkaman.
Pemberian uang itu juga dianggap sebagai peredam biar keluarga korban tidak bersuara.
Langkah itu diduga karena aparat menyadari tindakan kepada korban merupakan kesalahan.
indikasi sudahlah ini diterima selesai. Cuma korban kebetulan tidak mau karena takut dia butuh kejelasan," bebernya.
Menurut Bangkit, keluarga hanya ingin mendapatkan kejelasan pada kasus yang dialami oleh korban.
Dari kondisi itulah, keluarga melaporkan kasus ini ke Bidpropam Polda Jateng.
"Penyalahgunaan kewenangan atau abusd of power yang dilakukan oleh kepolisian jangan sampai berulang kembali ke korban lainnya," terangnya.
Reaksi Polda Jateng
Sementara, Polda Jateng kini mengirimkan tim Paminal (Pengamanan Internal) ke Polres Blora untuk menindaklanjuti laporan dugaan abuse of power terhadap RF.
"Kami kirim tim Paminal ke Polres Blora untuk menindaklanjuti laporan itu," ucap Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, Kamis (11/12/2025).
Menurut Kombes Pol Artanto, tim Paminal akan melakukan pemeriksaan kepada saksi-saksi termasuk korban dan keluarganya.
"Jadi, penyelidikannya akan secara menyeluruh. Tidak hanya satu pihak," tuturnya.
Kombes Pol Artanto menekankan, langkah dari tim Paminal nantinya akan menjadi bahan pengambilan keputusan selanjutnya.
Dia sejauh ini belum bisa menilai tindakan anggota di Polres Blora sudah memenuhi prosedur atau sebaliknya.
Pihaknya harus membuktikan terlebih dahulu kegiatan penyidik kepada korban RF sudah sesuai SOP atau menyimpang dari proses penyidikan tersebut.
"Kalau ada temuan pelanggaran prosedur itu nantinya bisa disanksi sidang disiplin. Sementara pelanggaran norma perilaku berupa sidang kode etik."
"Itu tergantung hasil tim Paminal yang nanti turun ke lapangan," bebernya.
Namun dia menggarisbawahi, setiap anggota yang melakukan penyelidikan harus berpatokan pada SOP.
Prosedur tersebut berupa anggota dalam menangani kasus harus melakukan pengambilan diambil keterangan saksi terlebih dahulu, penguatan barang bukti.
"Kemudian bila ada orang yang dicurigai itu baru dilakukan upaya penyelidikan. Namun, pada prinsipnya orang atau penyidik itu harus profesional dalam melaksanakan tugasnya," katanya.
Sumber tribun-medan. com