
23/07/2025
Apakah Masih Menjajikankah Menjadi Sastrawan.
Sastrawan Disanjung, Nasib Terabaikan
Sastrawan masih dihormati status sosialnya di Indonesia. Namun, nasib kehidupan sehari-harinya rapuh terdesak minimnya penghargaan nyata.
Pindaros, seorang penyair Yunani Kuno, menulis ode untuk para pahlawan pada abad ke-5 sebelum Masehi. Karyanya dibacakan di depan khalayak. Setiap baitnya disambut gemuruh. Karyanya pun disalin di lembar papirus terbaik. Bukan hanya penghormatan sosial, ia pun dibayar setara dengan kekayaan satu keluarga kaya zaman itu.
Di Athena, penyair dianggap bagian penting negara. Ia merupakan seorang seniman, pemikir, sekaligus guru moral.
Tak kalah dengan Yunani, di tanah Jawa abad ke-19 hidup pujangga Keraton Surakarta bernama Ranggawarsita.
Tak hanya penyair istana, Ranggawarsita meramal zaman, menafsir gejolak sosial, dan turut menjaga kosmologi budaya. Bukan sekadar demi estetika, karya-karyanya memperingatkan keruntuhan nilai dan kejatuhan peradaban.
Di antara kemelut zaman kolonial, ia menjadi cermin betapa syair dapat menjadi benteng terakhir kebijaksanaan.
Sekian abad berlalu, Indonesia memiliki sastrawan hebat bernama Pramoedya Ananta Toer. Kata-katanya mengguncang batas kekuasaan hingga menghidupkan kembali sejarah yang dibungkam.
Kendati begitu, ia harus mengalami pengasingan.
Bahkan magnum opus-nya, tetralogi Bumi Manusia, ditulis di tanah Buru saat rezim Orde Baru. Sastra punya kekuatan sosial begitu besar hingga ditakuti kekuasaan.
Kini, zaman bergerak makin modern mengimpit kehidupan para sastrawan.
Di satu sisi, status sosial sastrawan masih diakui dalam masyarakat.
Di sisi lain, kehidupan sehari-harinya harus dijalani dengan perjuangan berat.
Di sudut-sudut wilayah mungkin saja masih ada sastrawan yang membacakan karyanya.
Namun, ia pulang ke rumah kontrakan yang hampir habis sewanya.
Masih bisakah mereka hidup dari kata-kata?
sambung ke saluran ya