Marten Hagisimijau

  • Home
  • Marten Hagisimijau

Marten Hagisimijau “Hidup juga Revolusi Mati juga Revolusi, yang terpenting berkarya untuk hidup”

KEMANUSIAAN DI BAWAH KANDANG SISTEM NEGARAApa kabar keadilan di Tanah Papua ?Apakah masih hidup di hati lembaga yang ber...
12/11/2025

KEMANUSIAAN DI BAWAH KANDANG SISTEM NEGARA

Apa kabar keadilan di Tanah Papua ?
Apakah masih hidup di hati lembaga yang bernama Majelis Rakyat Papua (MRP) lembaga yang lahir dari rahim perjuangan Otonomi Khusus, namun kini terjebak dalam kandang sistem negara yang dikendalikan dari Jakarta?

Rakyat Papua hari ini hidup di antara bayang-bayang militerisme, kerusakan lingkungan, kerakusan investasi, dan kematian kemanusiaan. MRP seharusnya menjadi benteng terakhir bagi Orang Asli Papua (OAP), tetapi kini terlihat seperti institusi yang kehilangan keberanian moralnya menjadi “kandang sistem”, di mana suara adat, agama, dan perempuan hanya menjadi hiasan protokol pemerintahan.

MRP bukan lembaga birokrasi biasa. Ia adalah simbol kultural, tempat rakyat adat menitipkan martabat dan hak hidupnya. Namun di Papua, lembaga ini seakan melupakan fungsi dasarnya: melindungi hak-hak dasar manusia, mempertahankan tanah adat, dan menyuarakan kebenaran terhadap kekuasaan yang menindas.

Di tengah derita pengungsian, konflik bersenjata, dan kemiskinan yang meningkat,
MRP justru diam, atau lebih sibuk dengan rapat resmi, perjalanan dinas, dan perayaan simbolik.
Kemanusiaan bukanlah urusan administratif — ia adalah panggilan moral.

Darurat militerisme bukan hanya kehadiran tentara di jalanan, tetapi situasi ketika rakyat hidup dalam ketakutan dan kehilangan kebebasan.

Di Papua, operasi militer telah mengubah kampung menjadi medan perang.
Anak-anak tidak bisa sekolah, ibu-ibu kehilangan rumah, dan ratusan keluarga hidup di hutan tanpa jaminan hidup. Ketika suara peluru lebih keras daripada suara rakyat, maka itu adalah darurat kemanusiaan.

Di saat seperti ini, MRP seharusnya bersuara keras: menuntut penghentian operasi militer, memanggil pemerintah untuk tanggung jawab, dan membuka ruang dialog kemanusiaan. Diamnya MRP sama saja dengan mendiamkan penderitaan rakyatnya sendiri.

Investasi di Tanah Papua sering disebut pembangunan, namun bagi rakyat adat, itu adalah perampasan tanah, hutan, dan kehidupan.

Perusahaan tambang, sawit, dan proyek infrastruktur datang membawa izin dari Jakarta, mengatasnamakan kemajuan, tetapi meninggalkan kehancuran sosial dan ekologis.
Air sungai keruh, hutan gundul, tanah adat berpindah tangan sementara rakyat hanya jadi penonton di tanah sendiri.

MRP punya mandat memberi pertimbangan terhadap setiap kerjasama antara pemerintah dan pihak ketiga. Tetapi di Papua, keputusan investasi tetap berjalan tanpa suara rakyat adat.
Di sinilah MRP gagal menjalankan tanggung jawab kemanusiaannya.

Ketika lembaga adat tunduk pada tekanan kekuasaan dan uang, maka ia berubah menjadi benalu sistem oligarki, bukan pelindung rakyat.

Krisis kemanusiaan bukan sekadar angka statistik ia adalah wajah lapar seorang anak di pengungsian,adalah ibu yang menangis mencari rumahnya yang terbakar,adalah suara rakyat yang tak lagi berani bersuara.

Di Papua, ribuan orang mengungsi, akses bantuan terbatas, dan pelanggaran HAM terus terjadi.Namun lembaga seperti MRP belum menjadikan hal ini prioritas darurat.
Krisis kemanusiaan menuntut empati, bukan laporan kegiatan.Ia menuntut keberanian untuk berkata:“Stop kekerasan! Hentikan operasi militer! Kembalikan tanah rakyat adat!”

Sistem politik Indonesia di Tanah Papua sering bekerja seperti mesin yang tidak punya hati.
Kebijakan datang dari atas, tetapi derita ditanggung di bawah.Para birokrat lokal sebagian di antaranya elit borjuis birokratis hidup dari proyek, bukan dari pengabdian.

Mereka menjadi tikus-tikus kantor,
yang memakan anggaran rakyat atas nama kemajuan,sementara rakyat adat kehilangan tanah dan martabat.

MRP tidak boleh ikut tenggelam dalam budaya ini.Lembaga ini lahir dari perjuangan, bukan dari meja kekuasaan. Jika MRP terus diam, maka rakyat akan menganggapnya sebagai bagian dari mesin penindasan yang sama.

Dunia harus mendengar suara Papua Tengah.
Rakyat di sana tidak meminta belas kasihan,
mereka menuntut keadilan dan penghormatan terhadap kemanusiaan.

Solidaritas global harus bangkit dari Asia, Afrika, Amerika Latin, hingga Eropa
karena penindasan di Tanah Papua adalah luka bagi seluruh umat manusia.

Kita menyeru MRP: Bangkitlah dari diam panjangmu, berhentilah tunduk pada sistem oligarki Jakarta, jadilah lembaga rakyat sejati bukan alat legitimasi kekuasaan

> “Kemanusiaan mati kandang sistem negara,
karena yang seharusnya berbicara memilih diam.”

MRP Papua masih punya kesempatan untuk menulis bab baru dalam sejarah rakyat Papua. Bukan dengan pidato, tapi dengan keberanian. Bukan dengan upacara, tapi dengan tindakan.

Sebab, jika lembaga rakyat tidak lagi berpihak pada rakyat, maka sejarah akan menulisnya bukan sebagai pelindung, melainkan sebagai pengkhianat kemanusiaan.

Sorotan west Papua Freedom Fighters

10/11/2025

Address


Telephone

+6282197653250

Website

Alerts

Be the first to know and let us send you an email when Marten Hagisimijau posts news and promotions. Your email address will not be used for any other purpose, and you can unsubscribe at any time.

Contact The Business

Send a message to Marten Hagisimijau:

  • Want your business to be the top-listed Media Company?

Share