23/11/2025
﷽
┏ □■□ ━━━━━━━
AMALAN BERPAHALA BESAR YANG BISA DILAKUKAN OLEH IBU RUMAH TANGGA
┗━━━━━━━━━━ ○○●
Perjalanan hidup kita adalah waktu sesaat menuju kehidupan akhirat tempat dibalasnya segala amalan, Surga sebagai tempat menetap atau Neraka menjadi tempat kembali. Itu semua sesuai dengan amalan yang kita kerjakan di dunia.
Karena akhirat waktunya tiada berujung, didunia tempat berladang amalan dengan waktu yang terbatas, artinya kita harus mencari amalan-amalan yang memberi kita nilai pahala yang besar.
Amalan apakah yang besar pahalanya?
Mari kita bersama mencoba untuk memahami dan mencari jawabannya dalam uraian berikut ini:
▪️Keyakinan adalah amalan, bahkan nilai keyakinan lebih tinggi dari sekedar amalan badan; Tauhid kita yang benar, keimanaan kita akan keesaan dan keagungan Allah Ta’ala dengan Nama dan Sifat-Nya yang Maha Suci tiada serupa dengan makhluk-Nya, adalah amalan terbesar bagi seorang muslim, bahkan seluruh amalan berasal darinya. Sebagian dari kita telah mengetahui hadits Bitaqah (kartu) yang timbangan nilai kebaikannya lebih besar dari cacatan amal sejauh mata memandang, itu dengan jelas menunjukkan tingginya nilai pahala dari sebuah keyakinan.
▪️Amalan wajib lebih besar pahalanya dari amalan sunah, sholat Isya di Bulan Ramadhan lebih besar pahalanya dari pahala shalat tarawih, walaupun rakaatnya lebih banyak. dst.
▪️Amal Jariyah yang pahalanya terus mengalir lebih besar nilainya dari pahala amalan yang sifatnya satu kali dilakukan selesai. Seseorang yang mengajarkan ilmunya akan mendapatkan pahala yang lebih banyak dari yang menyedekahkan hartanya untuk fakir miskin; karena ilmu yang diajarkan efeknya berkelanjutan. Bahkan sampai sekarang Abu Hurairah radiyallahu anhu akan mendapatkan pahala dari hadits yang dia riwayatkan.
Setelah membaca uraian diatas, apakah yang bisa dilakukan oleh seorang istri untuk menambah pundi-pundi pahalannya dari amalan yang wajib ataupun sunnah?
Allah Ta’ala berfirman:
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). (An Nisaa,34)
Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa wanita yang sholihah adalah wanita yang taat kepada Allah dan melaksanakan kewajiban kepada suaminya. Artinya ketaatan seorang istri memiliki dua sisi, ibadah dia pribadi kepada Allah Ta’ala dan ibadah dia dalam hubungannya dengan sesama, dan hak yang paling tinggi atas seorang istri, adalah hak suami dan diikuti oleh hak dan kewajiban yang lain.
Seorang wanita yang telah menjadi seorang istri dia memiliki lahan untuk beramal, berikut kita mencoba mengenal sebagian darinya.
[1]. Ibadah kepada Allah, dia melaksanakan kewajiban kemudian diikuti dengan amalan-amalan yang sunnah. Hal yang paling mudah dilakukan seorang wanita di rumah adalah membaca dan menghafalkan al-Quran serta memahami kandungannya, memperbanyak dzikir dan ini sangat mudah, bisa sambil masak atau sambil mencuci, begitu p**a mendengarkan murattal al-Quran atau rekaman pengajian.
[2]. Ibadah sebagai istri, dia memenuhi kewajibannya sebagai istri; melayani suami adalah ibadah, menyiapkan makan suami adalah pohon pahala, mencuci pakaian suami adalah celengan amal yang terus bertambah tiap hari; lakukan semua itu dengan sabar dan mengharap pahala dari-Nya.
[3]. Ibadah sebagai ibu, dia mengurus anak dan mendidiknya, bisa menjadi pahala yang kelipatannya tiada terhingga. Jika dia mengajarkan anaknya surat al-Fatihah; setiap anaknya tersebut shalat dia mendapatkan pahala, anaknya mengajarkan cucunya, cucunya mengajarkan anaknya, dan seterusnya; artinya rantai pahala dari mengajarkan surat al-Fatihah terus bersambung.
[4]. Ibadah sebagai anak dan menantu, walaupun dia sebagai istri, hak kedua orang tua untuk mengabdi tetap ada, dan ditambah lahan baru yaitu berbuat baik kepada mertua. Ketahuilah bahwa kesabaran seorang istri jika mertua tinggal bersama dirumahnya, adalah amalan bagi suami dan dirinya.
[5]. Ibadah sebagai anggota masyarakat, bukankah Nabi mengajarkan kalau masak diperbanyak kuahnya, agar tetangga tidak hanya merasakan bau, tapi saling membagi dan saling mencicipi, yang menunjukkan ikatan sebagai anggota masyarakat, yang saling menopang satu dengan yang lain. Dalam hal ini, seorang ibu rumah tangga bisa membuka tempat belajar Al-Quran kecil-kecil dirumahnya, kalau keahliannya pada bidang yang lain seperti Bahasa Arab atau Bahasa Inggris, dia membuat les gratis, terutama untuk anak-anak tetangga yang tidak mampu.
Ini adalah sebagian contoh ibadah yang bisa dilakukan oleh ibu rumah tangga di rumah. Semoga dapat memberikan gambaran umum bahwa ibadah yang dilakukan oleh seorang wanita di rumahnya sangatlah beragam dan lahan tanamannya bervariasi.
Semoga Allah Taala selalu memberi petunjuk kepada kita untuk melakukan amal-amal yang membawa kita ke Surga. Amin Ya Rabbalalamin!
➡https://konsultasisyariah.com/36029-amalan-berpahala-besar-yang-bisa-dilakukan-oleh-ibu-rumah-tangga.html
--------------
BASAHI LISANMU DENGAN BERDZIKIR
Di antara sifat seorang yang berakal adalah senantiasa menyibukkan lisannya dengan berdzikir kepada Allah. Karena tidaklah ia memandang kepada alam yang indah di sekitarnya, memikirkan hikmah dari setiap kejadian di sekelilingnya ataupun yang ia lalui sendiri, kecuali padanya terdapat tanda-tanda akan kebesaran Allah Tabaraka wa Ta’ala.
Dzikir merupakan amalan yang ringan, ibadah yang paling mudah, karena gerakan lisan lebih ringan dan mudah daripada gerakan anggota badan yang lain. Meskipun begitu, dzikir kepada Allah merupakan amalan yang tinggi derajatnya, agung martabatnya, serta memiliki keutamaan dan faidah yang amat banyak.
Ketika seorang wanita disibukkan dengan berbagai pekerjaan rumah, seperti menyapu, mencuci baju, menyetrika, ataupun yang lainnya, maka hendaknya ia melakukan pekerjaan tersebut sembari membasahi lisannya dengan berdzikir kepada Allah. Karena dengan melakukan hal tersebut, niscaya ia mendapatkan kebaikan yang sangat banyak.
Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
”أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ، وَأَزْكَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ، وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ إِنْفَاقِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ، وَخَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ؟“ قَالُوا: ”بَلَى“ قَالَ: “ذِكْرُ اللَّهِ تَعَالَى“
“Maukah aku tunjukkan kepada kalian amalan yang paling utama, paling suci di sisi Rabb kalian, paling baik untuk meninggikan derajat kalian, lebih baik daripada kalian menginfakkan emas dan perak, serta lebih utama daripada kalian bertemu (berperang) dengan musuh lalu memenggal leher mereka dan mereka memenggal leher kalian?” Mereka berkata, “Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dzikir kepada Allah.” (Shahih Al-Jami’, no. 2629)
Imam Muslim telah meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَبَقَ المُفَرِّدُونَ
“Al-Mufarridun telah menang.”
Mereka berkata, “Apakah Al-Mufarridun itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda,
الذَّاكِرُوْنَ اللَّهَ كَثِيراً وَالذَّاكِرَاتُ
“Laki-laki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah.” (HR. Muslim no. 2676)
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ
“Perumpamaan orang yang berdzikir kepada Rabbnya dan yang tidak berdzikir adalah seperti orang hidup dan mati.” (HR. Bukhari no. 6407)
⚉ Berdzikir merupakan perintah Allah
Allah Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, dzikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS. Al-Ahzab: 41)
Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam kitab beliau, “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan dalam ayat ini agar hamba-Nya banyak berdzikir kepada-Nya. Hal ini dikarenakan besarnya kebutuhan seorang hamba terhadap dzikir, ketergantungannya padanya, serta ketidakberdayaan tanpanya meskipun sekejap mata. Setiap kesempatan yang tidak digunakan oleh seorang hamba untuk berdzikir niscaya menjadi beban atasnya dan bukan keberhasilan baginya. Kerugian yang menimpanya lebih besar daripada keberuntungan yang didapatkannya saat lalai dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kelak dia akan sangat menyesal ketika bertemu dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala di hari kiamat.” (Fiqih Doa dan Dzikir, hal. 12)
Ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ سَاعَةٍ تَمُرُّ بِابْنِ آدَمَ لَا يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى فِيْهَا إِلَّا تَحَسَّرَ عَلَيْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak ada satu waktu pun yang berlalu atas anak keturunan Adam, sedangkan dia tidak berdzikir kepada Allah Ta’ala di dalamnya, melainkan dia akan menyesalinya pada hari kiamat.” (Shahih Al-Jami’, no. 5720)
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan sebuah hadis dari ‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
مَا مِنْ قَوْمٍ جَلَسُوا مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوا اللهَ فِيْهِ، إِلَّا رَأَوْهُ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidak ada satu pun kelompok manusia yang sama-sama duduk di sebuah majelis, namun tidak berdzikir kepada Allah, kecuali mereka akan melihatnya pada hari kiamat nanti dengan penuh penyesalan.” (HR. Ahmad, 2: 224)
‘Ali bin Abi Thalhah menuturkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang firman Allah (ٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا), beliau berkata, “Sungguh, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mewajibkan suatu kewajiban kepada hamba-hamba-Nya kecuali Dia menjadikan kewajiban itu memiliki batasan-batasan tertentu. Kemudian Allah menetapkan kondisi-kondisi yang menjadi udzur untuk meninggalkan kewajiban tersebut, kecuali kewajiban berdzikir. Karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menetapkan batasan tertentu dan tidak ada seorang pun yang diizinkan untuk meninggalkannya, kecuali dalam keadaan darurat.”
Dzikir hendaknya dilakukan dalam setiap keadaan, sebagaimana firman-Nya; (فَٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ قِيَٰمًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِكُمْ) “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan terbaring.” (QS. An-Nisa: 103) Baik di malam hari ataupun di siang hari, di daratan ataupun di lautan, di perjalanan ataupun di rumah, di saat kaya ataupun miskin, di saat sehat ataupun sakit, pada saat tersembunyi ataupun tampak kelihatan oleh manusia, dan pada segala situasi. Firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala; (وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا) “Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang.” Apabila kalian telah melakukan hal itu, niscaya Allah akan melimpahkan rahmat-Nya kepada kalian dan para malaikat akan mendoakan kalian.” (Tafsir Ath-Thabari, 20: 280)
⚉ Keutamaan berdzikir
▪️Allah senantiasa mengingat hamba-Nya yang berdzikir kepada-Nya
Hal ini sebagaimana firman Allah,
فَٱذْكُرُونِىٓ أَذْكُرْكُمْ
“Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (p**a) kepadamu.” (QS. Al-Baqarah: 152)
Dalam Ash-Shahihain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَقُوْلُ اللهُ: مَنْ ذَكَرَيْ فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِيْ، وَمَنْ ذَكَرَنِ فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ
“Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman, ‘Barangsiapa yang mengingat-Ku dalam hatinya (kesendirian), niscaya aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Dan barangsiapa mengingat-Ku dalam keramaian, niscaya Aku akan mengingatnya dalam keramaian yang lebih utama dari manusia (yaitu kump**an para malaikat).” (HR. Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)
▪️Dzikir menghidupkan hati
Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam kitab beliau, “Dzikir adalah kehidupan hakiki bagi hati. Ia adalah makanan hati dan ruh. Apabila seorang hamba kehilangan atau lalai dari berdzikir, jadilah ia seperti jasad yang dijauhkan dari makanannya. Tak ada kehidupan bagi hati kecuali dengan dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Oleh karena itu, Syekhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Dzikir bagi hati seperti air bagi ikan. Bagaimana keadaan ikan apabila berpisah dengan air?” (Al-Wabil Ash-Shayyib, hal. 85)” (Fiqih Doa dan Dzikir, hal. 19)
Selain itu, berdzikir juga akan mendatangkan ketenangan bagi hati. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ ٱللَّهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ ٱللَّهِ تَطْمَئِنُّ ٱلْقُلُوبُ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah, hati menjadi tenteram.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
▪️Dzikir menyelamatkan pelakunya dari adzab Allah
Dalam Al-Musnad dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا عَمِلَ آدَمِيٌّ عَمَلاً أَنْجَى لَهُ مِنْ عَذَاب الله مِنْ ذِكْرِ الله تَعَالَى
“Tidaklah seorang manusia mengamalkan suatu amalan yang lebih menyelamatkannya dari adzab Allah daripada dzikir kepada Allah Ta’ala.” (Al-Musnad, 5: 239. Dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 5644)
▪️Dzikir menjadi cahaya bagi pelakunya di dunia, di kuburnya, dan cahaya baginya di tempat kembalinya, bahkan ia berjalan di hadapannya di atas shirath
Allah Ta’ala berfirman,
أَوَمَن كَانَ مَيْتًا فَأَحْيَيْنَٰهُ وَجَعَلْنَا لَهُۥ نُورًا يَمْشِى بِهِۦ فِى ٱلنَّاسِ كَمَن مَّثَلُهُۥ فِى ٱلظُّلُمَٰتِ لَيْسَ بِخَارِجٍ مِّنْهَا ۚ
“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?” (QS. Al-An’am: 122)
Permisalan pertama adalah orang mukmin, dia bercahaya disebabkan oleh keimanannya pada Allah, kecintaan, ma’rifat, dan dzikir kepada-Nya.
Permisalan kedua adalah orang yang lalai berdzikir pada Allah Subhanahu wa Ta’ala serta berpaling dari dzikir dan kecintaan kepada-Nya.
Puncak dari segala persoalan dan inti dari semua keberuntungan adalah adanya cahaya. Sedangkan puncak dari segala kesengsaraan adalah hilangnya cahaya tersebut. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa memperbanyak doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, memohon agar cahaya itu hadir dalam setiap aspek kehidupannya, baik lahir maupun batin. Beliau juga memohon agar cahaya itu mengelilinginya dari segala penjuru, serta menjadikan dzat dan seluruh tubuhnya bercahaya.
Imam Muslim rahimahullah meriwayatkan dalam Shahih-nya, dari hadis Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, tentang dzikir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari, beliau berkata, “Dan dalam doa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اللَّهُمَّ اجْعَلْ فِي قَلْبِي نُوْراً، وَفِي بَصَرِي نُوْراً، وَفِي سَمْعِي نُوْراً، وَعَنْ يَمِيْنِي نُوْراً ، وَعَنْ يَسَارِي نُوْراً ، وَفَوْقِيْ نُوْراً، وَتَحْتِي نُوْراً، وَأَمَامِي نُوْراً، وَخَلْفِي نُوراً، وَعَظِّمْ لِي نُوراً
“Ya Allah, jadikanlah pada hatiku cahaya, pada pandanganku cahaya, pada pendengaranku cahaya, dari kananku cahaya, dan kiriku cahaya, di atasku cahaya, di bawahku cahaya, di depanku cahaya, di belakangku cahaya, dan perbanyaklah bagiku cahaya.” (HR. Muslim no. 763)
Dzikir adalah cahaya bagi hati, wajah dan anggota badan orang yang berdzikir. Cahaya baginya di dunia, di alam kubur dan di hari kiamat. (Fiqih Doa dan Dzikir, hal 24-25)
▪️Selawat Allah dan para malaikat kepada orang yang berdzikir
Allah Ta’ala berfirman,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱذْكُرُوا۟ ٱللَّهَ ذِكْرًا كَثِيرًا * وَسَبِّحُوهُ بُكْرَةً وَأَصِيلًا * هُوَ ٱلَّذِى يُصَلِّى عَلَيْكُمْ وَمَلَٰٓئِكَتُهُۥ لِيُخْرِجَكُم مِّنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ ۚ وَكَانَ بِٱلْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dialah yang memberi rahmat kepadamu dan malaikat-Nya (memohonkan ampunan untukmu), supaya Dia mengeluarkan kamu dari kegelapan kepada cahaya (yang terang). Dan adalah Dia Maha Penyayang kepada orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Ahzab: 41-43)
Selawat dari Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah pujian Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang disampaikan di hadapan para malaikat. Pengertian seperti ini dikemukakan oleh Al-Bukhari yang mengutip pendapat Abul ‘Aliyah (Al-Bukhari, Tafsir Al-Ahzab). Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Abu Ja’far Ar-Razi yang mengutip pendapat Ar-Rabi’ bin Anas. Pendapat lain mengatakan bahwa selawat yang berasal dari Allah adalah rahmat. Dan kedua pendapat ini tidak saling bertentangan.
Adapun selawat dari malaikat memiliki arti bahwa malaikat berdoa dan memohonkan ampunan kepada Allah untuk manusia. Sebagaimana firman-Nya,
ٱلَّذِينَ يَحْمِلُونَ ٱلْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُۥ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِۦ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَىْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا فَٱغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا۟ وَٱتَّبَعُوا۟ سَبِيلَكَ وَقِهِمْ عَذَابَ ٱلْجَحِيمِ * رَبَّنَا وَأَدْخِلْهُمْ جَنَّٰتِ عَدْنٍ ٱلَّتِى وَعَدتَّهُمْ وَمَن صَلَحَ مِنْ ءَابَآئِهِمْ وَأَزْوَٰجِهِمْ وَذُرِّيَّٰتِهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْعَزِيزُ ٱلْحَكِيمُ * وَقِهِمُ ٱلسَّيِّـَٔاتِ ۚ وَمَن تَقِ ٱلسَّيِّـَٔاتِ يَوْمَئِذٍ فَقَدْ رَحِمْتَهُۥ ۚ وَذَٰلِكَ هُوَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Rabbnya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan), ‘Ya Rabb kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertobat dan mengikuti jalan Engkau dan peliharalah mereka dari siksaan neraka yang menyala-nyala. Ya Rabb kami, masukkanlah mereka ke dalam surga ‘Adn yang telah Engkau janjikan kepada mereka dan orang-orang yang saleh di antara bapak-bapak mereka, dan istri-istri mereka, dan keturunan mereka semua. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan peliharalah mereka dari (balasan) kejahatan. Dan orang-orang yang Engkau pelihara dari (pembalasan) kejahatan pada hari itu, maka sesungguhnya telah Engkau anugerahkan rahmat kepadanya dan itulah kemenangan yang besar.” (QS. Ghafir: 7-9) (Tafsir Ibnu Katsir, 7: 317-318)
▪️Dzikir mengamankan pelakunya dari sifat nifaq (kemunafikan)
Karena seorang yang munafik sangat sedikit mengingat Allah. Sebagaimana firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala,
إِنَّ ٱلْمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوٓا۟ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قامُوا۟ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan salat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.” (QS. An-Nisa’: 142)
Allah Tabaraka wa Ta’ala juga mengakhiri surah Al-Munafiqun dengan firman-Nya,
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَٰلُكُمْ وَلَآ أَوْلَٰدُكُمْ عَن ذِكْرِ ٱللَّهِ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْخَٰسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian, mereka itulah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9)
▪️Dzikir menjadi penyembuh bagi hati dan obat bagi penyakit-penyakit hati
Makhul bin ‘Abdullah rahimahullah berkata, “Dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah penyembuh dan dzikir (mengingat) manusia adalah penyakit.”
▪️Berdzikir menghilangkan kekerasan hati
Suatu ketika, seorang laki-laki datang kepada Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah dan berkata, “Wahai Abu Said, aku mengadukan kepadamu kekerasan hatiku.” Beliau berkata, “Luluhkan ia dengan dzikir.”
▪️Dzikir mendatangkan nikmat-nikmat dan menolak bencana
Syekh ‘Abdurrazzaq bin ‘Abdil Muhsin Al-Badr hafizhahullah mengatakan dalam kitab beliau, “Tidak ada yang bisa mendatangkan nikmat dan tidak p**a menolak bencana seperti halnya dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ ٱللَّهَ يُدَٰفِعُ عَنِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Hajj: 38)
Pembelaan Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka sesuai dengan kekuatan iman mereka dan kesempurnaannya. Sedangkan materi iman dan kekuatannya adalah dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa imannya lebih sempurna dan dzikirnya lebih banyak, maka bagiannya yang berupa pembelaan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapnya lebih besar dan luas. Barangsiapa yang berkurang, niscaya berkurang p**a pembelaannya. Jika berdzikir, niscaya diingat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bila lupa berdzikir, maka akan dilupakan p**a oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Fiqih Doa dan Dzikir, hal. 30)
Syekh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah mengatakan di dalam tafsir beliau berkaitan dengan ayat ketiga puluh delapan dalam surah Al-Hajj di atas, “Ini merupakan informasi, janji, dan berita baik dari Allah bagi orang-orang yang beriman, bahwa Allah melindungi mereka dari segala hal yang dibenci, mengenyahkan segala kejelekan dari mereka, lantaran keimanan mereka (kepada Allah), seperti kejahatan orang-orang kafir, kejelekan dan bisikan keraguan dari setan, keburukan-keburukan internal mereka, kesalahan amalan-amalan mereka, menanggung beban penderitaan mereka saat datangnya musibah tatkala mereka tidak mampu memikulnya, sehingga meringankannya sampai benar-benar ringan. Setiap mukmin memperoleh hak pembelaan dan keutamaan ini sesuai dengan kadar keimanannya, sedikit atau banyak.” (Tafsir As–Sa’di, 4: 674-675)
▪️Berdzikir secara terus-menerus dapat menggantikan amal-amal ketaatan lainnya, bahkan menempati posisinya
Hal itu telah disebutkan secara tegas dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Sesungguhnya orang-orang fakir dari kaum Muhajirin datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, orang-orang yang berkecukupan (kaya) telah memboyong pahala-pahala dan kenikmatan abadi. Mereka salat seperti kami salat, mereka puasa seperti kami puasa, sedangkan mereka memiliki kelebihan harta yang mereka gunakan untuk menunaikan haji, umrah, jihad, dan sedekah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَلا أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ، وَتَسْبِقُونَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ، وَلَا أَحَدٌ يَكُوْنُ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلَّا مَنْ صَنَعَ مَا صَنَعْتُمْ؟
“Maukah aku ajarkan kepada kamu sesuatu yang dengannya kamu dapat menyusul orang-orang yang mendahului kamu, dan dengannya kamu bisa melampaui orang-orang yang sesudah kamu, dan tidak ada seorang pun yang lebih utama di antara kamu, kecuali orang yang melakukan seperti yang kamu lakukan?”
Mereka berkata, “Baiklah, wahai Rasulullah.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُسَبِّحُوْنَ وَتَحْمَدُوْنَ وَتُكَبِّرُوْنَ خَلْفَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Bertasbihlah, bertahmidlah, dan bertakbirlah di akhir setiap salat …” hingga akhir hadis. (Muttafaqun ‘alaih, HR. Bukhari no. 843 dan Muslim no. 1006)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan dzikir sebagai pengganti bagi mereka atas apa yang telah luput dari mereka yang berupa haji, umrah, dan jihad. Dikabarkan p**a bahwa mereka dapat mengungguli yang lain disebabkan oleh dzikir ini. Ketika orang-orang yang berkecukupan mendengarnya, maka mereka juga mengamalkannya. Maka mereka mendapatkan tambahan – di samping sedekah dan ibadah maliyah (harta benda) – peribadatan dengan dzikir ini. Mereka pun meraih dua keutamaan. Akhirnya, orang-orang miskin tidak mau ketinggalan dan mengabarkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang yang berkecukupan telah bersekutu dengan mereka dalam hal itu. Sementara orang-orang kaya itu memiliki amalan tersendiri yang tidak mampu mereka lakukan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيْهِ مَنْ يَشَاءُ
“Itulah karunia Allah yang diberikannya kepada siapa saja yang Dia kehendaki.”
Dalam hadis Abdullah bin Busr radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, dan selain mereka, beliau berkata, Seorang Arab badui datang dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya syariat-syariat Islam telah banyak atasku, maka beritahukan kepadaku sesuatu yang bisa aku jadikan pegangan.’
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا يَزَالُ لِسَانُكَ رَطْبًا مِنْ ذِكْرِ الله
“Hendaklah senantiasa lisanmu basah karena dzikir kepada Allah.” (HR. Tirmidzi no. 3375, Ibnu Majah no. 3793, dan Al-Hakim, 1: 495)
Hanya kepada Allah kita memohon taufik.
➡https://muslimah.or.id/22036-basahi-lisanmu-dengan-berdzikir-bag-1.html