
30/04/2025
Kuntilanak Massal Bangkit dari Kubur
Desa Karangjati selama ini dikenal damai. Namun, semuanya berubah setelah proyek pelebaran jalan melintasi hutan kecil yang dianggap keramat oleh warga. Di sanalah, menurut cerita turun-temurun, pernah dikuburkan para wanita korban pembantaian massal zaman penjajahan—yang meninggal dalam kondisi hamil dan tak pernah dimakamkan secara layak.
Warga sudah memperingatkan, tapi pemerintah desa tak menggubris. Truk-truk berat mulai menggali tanah dan merobohkan pohon-pohon tua. Dan malam setelah pohon terakhir tumbang, teror dimulai.
Malam itu, langit gelap gulita tanpa bulan. Angin berhembus aneh, seperti mengandung bisikan. Warga mulai mendengar suara tangisan perempuan dari arah hutan. Bukan satu… tapi puluhan. Tangisan itu menggema hingga ke dalam rumah-rumah.
"Pak… itu suara apa?" tanya Sari kepada ayahnya, seorang kepala dusun. Tapi sang ayah hanya membisu, matanya tertuju ke arah hutan yang kini tampak lebih hitam dari malam itu sendiri.
Keesokan harinya, mayat Pak Supri—operator alat berat—ditemukan tergantung di atas pohon dengan wajah menghitam dan mulut menganga lebar. Di dadanya, tertulis dengan darah: "Kuburku kau usik, kutuntut darahmu."
Semakin hari, suasana desa menjadi mencekam. Lampu-lampu padam sendiri tiap malam. Bayangan putih bergelantungan di pohon dan genteng. Warga melihat sosok-sosok wanita berambut panjang dengan perut robek berdiri di depan rumah. Mereka menangis, tertawa, lalu menghilang.
Puncaknya terjadi saat malam Jumat Kliwon. Dari arah bekas kuburan massal, terdengar jeritan memekakkan telinga. Tanah menggembung. Lalu pecah. Sosok-sosok kuntilanak bangkit satu per satu. Puluhan. Ratusan. Mereka melayang perlahan menuju desa. Mata mereka merah membara, perut sobek menganga, darah masih menetes dari ujung rambutnya.
Warga berlarian panik, tapi ke mana pun mereka pergi, suara tangis mengiringi. Rumah-rumah dibakar sendiri oleh pemiliknya yang kehilangan akal. Anak-anak kecil mengigau keras sambil menjerit: "Mereka datang! Mereka lapar!"
Satu demi satu penduduk desa menghilang tanpa jejak. Hanya suara tawa kuntilanak yang terus terdengar, menggema sepanjang malam.
Desa Karangjati kini hanyalah puing. Tak ada lagi yang berani melintas, apalagi membangun. Jalanan proyek itu kini ditelan ilalang, dan siapa pun yang mencoba melewati malam di sana… tak pernah kembali.
Karena para kuntilanak itu… masih lapar.
---