12/08/2025
Sang Penjaga Merah Putih: Impian Sang Petani
Bab 1: Bisikan Angin Agustus
Angin Agustus di Sidikalang selalu punya caranya sendiri untuk membangunkan dunia. Sinar keemasannya merayap perlahan, menyentuh dedaunan kopi yang basah embun di kebun-kebun Sitinjo, hingga menerangi gang-gang sempit, termasuk Gang Multi. Di salah satu rumah sederhana beratap seng, Mahmud Dabutar (25) sudah terjaga. Bukan karena alarm, melainkan naluri seorang petani yang terbiasa bersahabat dengan pagi. Aroma kopi hitam mengepul dari dapur, sementara di luar, ayam jantan berkokok riuh, memecah kesunyian.
Mahmud meneguk kopinya perlahan, pikirannya melayang pada rutinitas hari itu: bercocok tanam di kebun orang tua. Tangannya yang kasar, kapalan akibat cangkul dan arit, adalah saksi bisu perjuangan hidupnya. Namun, di balik fisik pekerja keras itu, tersembunyi sebuah impian yang tak pernah padam, meski redup: menjadi seorang guru. Ia sering membayangkan dirinya berdiri di depan kelas, menjelaskan rumus matematika atau sejarah pahlawan, mata anak-anak berbinar menangkap setiap kata. Namun, realita seringkali lebih keras dari impian. Biaya kuliah yang menjulang tinggi telah mengubur cita-cita itu dalam-dalam, membuatnya pasrah pada takdir sebagai petani.
"Lagi-lagi hari ini… ke kebun," gumam Mahmud pada dirinya sendiri, menghela napas. Mimpi tentang buku dan papan tulis terasa begitu jauh, bagai ilusi di padang gersang.
Bab 2: Pagi di Stadion Panji:
Pagi itu, Sabtu 9 Agustus 2025, Mahmud memutuskan untuk berolahraga di Stadion Panji Sidikalang. Udara segar memeluknya saat ia mulai berlari pelan mengelilingi lintasan. Keringat mulai membasahi dahinya, membasuh sedikit beban pikiran. Di kejauhan, ia melihat sekelompok remaja berseragam rapi, berbaris dan bergerak serempak. Mereka adalah Paskibraka Kabupaten, sedang berlatih keras untuk upacara pengibaran bendera Merah Putih pada 17 Agustus nanti.
Mahmud berhenti sejenak, mengamati mereka. Senyum tipis mengembang di bibirnya. Ada rasa haru melihat semangat mereka, para tunas muda yang akan menjadi ujung tombak perayaan kemerdekaan. Ia membayangkan betapa bangganya mereka saat mengibarkan bendera setinggi-tingginya.
"Wow… semangat sekali mereka," bisik Mahmud pada dirinya sendiri. "Pasti bangga sekali saat mengibarkan Sang Merah Putih nanti."
Namun, perhatian Mahmud teralih pada tiang bendera utama. Sesuatu tampak tidak beres. Salah satu tali atau bagian mekanisnya terlihat kendur, menghalangi bendera untuk bisa naik sempurna. Mahmud mengerutkan kening. Ini bisa jadi masalah besar bagi latihan Paskibraka.
Tiba-tiba, seorang pria paruh baya, penjaga stadion, menghampirinya dengan raut wajah cemas. "Nak Mahmud, tolong sebentar!" panggilnya terengah. "Tiang bendera ini, ada masalah! Anak-anak Paskibraka tidak bisa latihan kalau begini!"
Mata mereka bertemu. Dalam tatapan penjaga stadion, Mahmud membaca keputusasaan. Dan dalam hati Mahmud, muncul desakan untuk membantu. "Tidak mungkin mereka berhenti latihan. Aku harus bantu!" batin Mahmud mantap. Ia tak berpikir panjang, tak peduli pada bahaya, atau pada keringat dan lumpur yang mungkin menempel di bajunya. Ia hanya melihat satu hal: ada masalah yang harus diselesaikan, demi kelancaran persiapan hari kemerdekaan.
"Baik, Pak! Saya akan bantu!" jawab Mahmud tanpa ragu, suaranya mantap.
Bab 3: Aksi Heroik di Ketinggian
Tanpa menunggu aba-aba, Mahmud melangkah mendekati tiang. Ia mengamati struktur tiang, mencari celah, pegangan. Dengan cekatan, tangannya mulai merayap naik, kakinya menjejak kuat pada struktur besi. Ia bergerak seperti tupai, lincah dan tanpa ragu. Setiap inci yang ia panjat adalah pertaruhan, namun adrenalin mengalir deras dalam nadinya.
Di bawah, suasana menjadi hening. Anggota Paskibraka, pelatih, bahkan beberapa warga yang berolahraga ikut menyaksikan. Mata mereka terbelalak, kagum sekaligus cemas. Mereka melihat seorang pemuda berpakaian sederhana, dengan berbekal keberanian dan keikhlasan, memanjat tiang yang menjulang tinggi. Mahmud merasa angin berdesir di telinganya, pandangannya lurus ke atas, fokus pada bagian yang rusak.
Akhirnya, ia mencapai puncaknya. Dengan hati-hati namun cekatan, jari-jemarinya memperbaiki bagian yang kendur. Butuh beberapa menit, namun terasa seperti keabadian. Setelah memastikan semuanya kembali berfungsi dengan baik, Mahmud mulai turun. Perlahan, satu demi satu pijakan, hingga kakinya kembali menyentuh tanah yang kokoh.
Seketika, riuh tepuk tangan membahana. Sorakan dan pujian datang dari segala arah. "Hidup Pak Mahmud!" teriak seorang anggota Paskibraka muda.
Mahmud tersipu, sedikit canggung. Ia tak pernah menyangka aksinya akan mendapat respons sehebat itu. Baginya, itu hanya sebuah tindakan sederhana, bantuan dari hati seorang anak bangsa.
Bab 4: Badai Viral dan Kebaikan Tak Terduga
Kejadian di Stadion Panji cepat menyebar. Ponsel-ponsel mengambil gambar, video pendek diunggah ke media sosial. Dalam hitungan jam, kisah Mahmud Dabutar sang pemanjat tiang menjadi viral. Berita menyebar bagai api, pujian membanjiri kolom komentar, tagar-tagar kebaikan berseliweran. Mahmud sendiri awalnya tak menyadari semua kehebohan itu. Ia kembali ke kebun, melanjutkan rutinitasnya.
Namun, ia tak bisa lari dari takdir. Beberapa hari kemudian, saat sedang beristirahat, sebuah mobil berhenti di depan rumahnya. Seorang wanita anggun keluar, mengenakan seraga coklat (PNS). Dialah Kakak Iis Hamidah Ujung, Pembina Paskibraka Dairi.
"Selamat pagi, Mas Mahmud?" sapa Kak Iis ramah, senyumnya tulus.
Mahmud terkejut, tak menyangka akan dihampiri langsung oleh pembina Paskibraka. Ia bangkit dari duduknya. "Eh, iya… Ada yang bisa saya bantu, Bu?"
"Saya Iis Hamidah Ujung, Pembina Paskibraka Dairi," kata Kak Iis, mengulurkan tangan. "Saya ingin mengucapkan terima kasih atas bantuanmu di stadion waktu itu."
Mahmud menjabat tangan itu, merasa sedikit kikuk. "Wah… saya tidak menyangka akan dihampiri langsung. Saya ikhlas kok, Bu, demi Indonesia."
Kak Iis tersenyum simpul, matanya menatap Mahmud penuh penghargaan. Mereka berbincang lama. Kak Iis mengungkapkan apresiasi yang mendalam, sementara Mahmud menceritakan sedikit kisah hidupnya, termasuk cita-citanya yang tak kesampaian. Dari pertemuan itu, Mahmud merasa ada kehangatan yang menjalar di hatinya. Ia berharap, di momen sakral 17 Agustus 2025 nanti, upacara pengibaran bendera akan berjalan lancar dan aman, tanpa kendala sedikit pun. Doanya tulus, terucap dari lubuk hati seorang patriot sejati.
"Saya berharap, Kak," kata Mahmud, suaranya pelan, "nanti 17 Agustus 2025, upacara bisa berjalan lancar dan aman."
"Amin," jawab Kak Iis. "Terima kasih doanya, Mahmud. Kamu luar biasa."
Bab 5: Impian yang Masih Menunggu
Meskipun kehidupannya sedikit terusik dengan ketenaran mendadak, Mahmud tetap Mahmud yang sama. Ia masih bekerja keras di kebun, membantu orang tuanya. Tanah adalah nafasnya, dan keringat adalah saksi baktinya.
Namun, di sela-sela rutinitas itu, terkadang mata Mahmud memandang jauh ke langit, seolah menembus batas-batas cakrawala. Ia teringat kembali pada impiannya yang terpendam, cita-cita menjadi seorang guru. Sebuah panggilan yang tak pernah benar-benar mati, hanya tertidur.
"Yah dulu, Bang," tuturnya suatu kali, kepada seorang wartawan yang datang mewawancarai, "karena terkendala di biaya, yah tidak tercapai, Bang." Ada nada penyesalan yang samar dalam suaranya, namun tidak ada kepahitan. Hanya penerimaan. Ia tahu, hidup punya jalannya sendiri.
Mahmud Dabutar adalah potret kesederhanaan, keberanian, dan keikhlasan. Ia mungkin tak memiliki gelar sarjana, namun ia memiliki hati seluas samudra dan jiwa yang tangguh. Kisahnya bukan hanya tentang seorang pemuda yang memanjat tiang bendera. Lebih dari itu, ini adalah kisah tentang impian yang terhalang, tentang ketulusan yang menggerakkan, dan tentang bagaimana seorang petani biasa bisa menjadi pahlawan di mata banyak orang, hanya dengan satu tindakan kecil penuh keberanian. Dan di dalam hatinya, impian untuk mengajar, untuk berbagi ilmu, mungkin suatu hari nanti akan menemukan jalannya, menunggu waktu yang tepat untuk kembali menyala.
Karya tulis - Josua Sitohang.
terinspirasi dari Penyelamat Tiang Bendera.